Sudah lebih dari enam bulan terlewati sejak pertemuanku dengan Ayi terakhir kali.
Selama itu pula aku menghilang dari pelacakan Vijaya.
Istri juga mulai beraktivitas seperti biasa. Anak kami lahir melalui operasi sesar karena posisinya yang tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal. Syukur, keduanya selamat.
Ada rindu aneh yang menganggu tentang teh Yuyun. Tapi sayangnya halimunan yang dipasang untukku masih belum juga ia batalkan.
Dimana bulan purnama bulat sempurna, langit malam cerah, udara sejuk, semuanya begitu tenang.
Kududuk di sebuah kursi didepan rumah, menikmati secangkir kopi dan tembakau. Melepas penat setelah berkutat dengan hari hingga hampir sekarat.
Seseorang berdiri di samping kebun singkong pinggir jalan.
Kuperhatikan dia, semuanya hitam lebih seperti bayangan daripada seseorang.
Terik matahari membakar segalanya, debu pun terbang membawa hawa panas yang mengganggu.
Bau keringat orang lalu-lalang liar di udara. Kadang terdengar teriakan-teriakan penjaja makanan ringan, tukang parkir, bercampur dengan desingan riuh kendaraan.
Melewati kerumunan itu, masuk ke sebuah komplek ruko. Berbanding terbalik, udaranya lebih ringan karena banyak pohon tumbuh subur disitu.
Diantara jajaran ruko ada satu yang menarik perhatian, sebuah butik dengan aksen hitam dan emas mengangkat tema glamor, cantik.
Pandanganku terhenti disitu selama beberapa saat. Tak tahu apa yang aku tunggu. Lalu seorang wanita turun dari mobil dan masuk kesana.
Pandanganku mulai bergerak kembali, aku mengikuti perempuan itu masuk.
Saat membuka pintu kaca, aku lihat pantulannya. Teh Yuyun! Aku seperti melihat dari atas kepala teh Yuyun!
Pandanganku mendekati wanita setengah baya didepanku itu sedikit lebih cepat, dan lalu tangan teh Yuyun terjulur dan menyentuh punggungnya.
"Jabang getih."
Suaranya lirih, tapi aku mengenal dengan baik. Ini suara teh Yuyun.
Wanita itu menoleh ke belakang, memperlihatkan sebagian wajahnya. Itu wanita tua Sri Han.
"Kau ..."
Kata-katanya terpotong saat melihat teh Yuyun dihadapannya.
Lalu
Wanita itu muntah darah bercampur gumpalan-gumpalan kecil sebesar jempol kaki.
Teh Yuyun hanya diam melihatnya tanpa bergerak selama beberapa saat.
Ia lalu berjongkok dan menatap mata Sri dengan seksama. Sri menahan muntah darahnya dengan mengatupkan rahangnya rapat.
Teh Yuyun mengepalkan tangannya dan memukul pipi wanita itu sekali.
Sri tak bisa lagi menahannya, ia memuntahkan darah dan gumpalan-gumpalan merah aneh lagi. Hanya yang berbeda kini, gumpalan-gumpalan daging itu seperti mulai bergerak.
Aku memusatkan perhatianku pada hal itu. Bentuknya, warnanya.
itu janin?
Aku tak percaya apa yang aku lihat. Wanita itu memuntahkan darah dan puluhan janin-janin kecil sebesar jempol kaki dari mulutnya.
Aku merasa mual melihat hal itu. Apalagi puluhan janinnya kini bergerak dengan aneh. Tangan mereka, kaki mereka yang sangat kecil mulai bergerak-gerak. Mereka merangkak tak tentu arah.
Lagi-lagi wanita itu muntah lagi. Bau amis mulai menguar membuatku merasa pusing dan mual.
Sri Han mulai terlihat marah, ia menggertakkan giginya. Ia menahan muntahnya dan gerakan rahangnya seperti mengunyah janin-janin yang mencoba keluar.
"Kuanggap kau tahu resikonya."
Kata-katanya penuh dengan penekanan amarah yang tertahan.
Teh Yuyun lagi-lagi diam, dia entah kenapa tak membalas ucapan wanita dihadapannya. Dia kemudian berdiri, aku bisa melihat hampir setengah lantai butik ini penuh dengan genangan darah dan janin-janin bayi manusia yang merangkak pelan kesana-kemari.
Teh Yuyun lalu menendang rahang wanita itu dengan keras. Sri sedikit terlempar, ia lagi-lagi muntah.
Sri Han seperti tak berdaya dibuatnya. Tubuhnya seperti gemetar menahan sakit. Ia bahkan tak mampu untuk berdiri, ia hanya dapat terduduk dengan menyandarkan punggungnya ke tembok dibelakangnya.
"Laknat! Kupastikan kau gagal!"
Wanita itu meracau marah.
Teh Yuyun hanya menatapnya, ia lalu mengibas tangannya sekali. Awalnya aku hanya menganggap bahwa apa yang teh Yuyun lakukan hanya sebagai gestur menghina.
Namun ternyata aku salah, puluhan janin yang tadi bergerak tanpa arah kini mulai bergerak menuju Sri Han yang sedang duduk tak berdaya. Mereka perlahan memanjat tubuhnya dan berusaha masuk kembali ke mulut wanita itu.
Sri Han dengan susah payah menyingkirkan janin-janin itu satu persatu yang mencoba memanjat tubuhnya.
"Pergi!"
Dengan marah ia berusaha mengusir mereka.
Teh Yuyun berjalan mendekatinya. Ia lalu lagi-lagi mendaratkan tendangan ke dagu wanita itu, membuatnya mulai hilang kesadaran. Sri Han mencoba tetap sadar dengan amarah yang meluap-luap.
Teh Yuyun lalu menginjak telapak tangan kiri Sri Han. Ia kemudian menekannya kuat-kuat.
"Agh.."
Sri Han teriak tertahan, dia tak ingin membuka mulutnya dan membiarkan janin-janin itu masuk.
Tangan kanannya mencoba menyingkirkan kaki teh Yuyun.
Tapi kondisinya saat ini sangat memperihatinkan. Janin-janin itu tak pernah berhenti untuk masuk ke mulutnya, bahkan aku mulai merasa sangat ngeri.
Janin-janinnya mulai masuk lewat lubang hidung dan bahkan lubang telinga Sri Han.
Sementara Sri Han tak pernah berhenti untuk mencoba menyingkirkan mereka meski tangan kirinya tertahan karena teh Yuyun injak. Ia benar-benar mencoba sangat keras dengan tubuhnya yang sangat lemah.
Hingga dia muntah lagi, teh Yuyun mengangkat kakinya agar tak terkena muntahan Sri Han.
Saat mulutnya terbuka dan muntah, janin-janin itu memanjat wajah teh Yuyun dan mencoba masuk ke mulutnya, lubang hidungnya, dan bahkan kedua telinganya. Aku melihat dengan jelas dan membuatku sedikit trauma, kepala seorang wanita paruh baya penuh dirayapi janin manusia yang mencoba masuk ke semua lubang yang ada di kepala dan wajahnya.
Lalu seorang perempuan muda keluar dari ruangan lain di butik itu. Sepatunya menginjak genangan darah dan janin.
"AAAAHHHH!!!"
Aku yakin teriakan kerasnya bisa didengar bahkan hingga keluar.
Teh Yuyun yang menyadari bahwa ini harus segera disudahi, mulai berjalan mundur sambil terus memperhatikan kondisi Sri Han.
Sementara perempuan muda tadi, saat ia melihat Sri Han yang sedang dirayapi oleh Janin-janin kecil ambruk, tubuhnya terlihat kaget dan lemas. Lalu ia juga muntah sepertinya merasa mual. Muntahan perempuan muda itu bercampur dengan genangan darah milik Sri Han.
Sebelum ada orang lain yang memergoki teh Yuyun, ia keluar dengan cepat, berbelok menuju belakang jajaran ruko.
"Satu selesai."
Teh Yuyun berujar sambil terus berjalan menjauh.
Teh Yuyun keluar dari komplek ruko tersebut dan terus menjauh, sementara teriakan lain terdengar dari dalam butik membuat orang-orang di komplek ruko itu berkumpul.
~oOo~
Pandanganku gelap sebentar, lalu sebuah pemandangan terlihat. Aku seperti berada didalam sebuah mobil. Tangan teh Yuyun berada diatas kemudi.
Kuedarkan pandanganku, kanan-kiri terbentang kebun teh sejauh yang kulihat.
Aku mencoba menerka ada dimana aku ini. Saat sedang berpikir, mobil berbelok ke kiri. Rumah-rumah kecil sederhana mulai terlihat semakin padat.
Hingga jalan menanjak tajam dengan kanan-kiri kebun teh lagi. Tidak ada rumah setelah itu.
Hingga sebuah bangunan besar dengan 3 lantai terlihat dari samping. Seperti villa.
Teh Yuyun memarkirkan mobilnya dibawah pohon dekat sebuah warung kopi yang tak lagi diisi. Lalu dengan cepat langit berubah gelap. Teh Yuyun keluar dan berjalan menuju villa tersebut.
Kupandangi langit, bintang bertaburan dan bulan purnama terlihat terang. Aku baru sadar jika saat di mobil tadi pandanganku mengenai waktu seolah sudah dipercepat.
Teh Yuyun terus berjalan, ia kini sampai di gerbang yang dijaga oleh seorang pria tua.
"Mau kemana?"
Tanya pria itu.
Teh Yuyun tidak menjawabnya.
Ia menarik kerah pria tua itu dengan cepat dan menariknya hingga kepalanya membentur gerbang besi. Saat pria itu sempoyongan, teh Yuyun membuka paksa gerbangnya untuk masuk dan memukul tengkuknya hingga ia jatuh tak sadarkan diri.
Teh Yuyun kembali berjalan menuju pintu masuk, saat ia tiba di depan pintu, ia tak serta merta membukanya begitu saja. Tak Yuyun menempelkan telapak tangannya dan melafalkan sesuatu dengan lirih. Lalu setelah itu, barulah ia membuka pintunya.
Sebuah aula dengan sofa melingkar, juga tangga yang menghubungkan ke lantai atas terbentang di hadapanku.
Samar aku bisa mendengar suara rintihan dan erangan nafas memburu nafsu dari kamar sebelah kanan. Teh Yuyun menoleh dan berjalan menuju asal suara tersebut.
Dengan keras, teh Yuyun menendang pintu kamar hingga terbuka dengan paksa.
Kini terlihat sumber dari suara erangan tadi.
Kara, sedang telanjang bulat sambil duduk diatas seorang pria. Ia sedang melakukan persetubuhan dengan lelaki itu.
Teh Yuyun langsung melompat dan mendaratkan tendangan ke arah kepala Kara, Kara yang tak sempat menahan terlempar seketika.
Saat Kara terlempar, aku melihat siapa laki-laki yang sedang ia setubuhi. Seorang pemuda terlihat telanjang sambil berbaring. Ia terlihat kurus kering seperti tengkorak berbalut kulit. Matanya berwarna putih seluruhnya, mulutnya menganga dan air liur tak henti menetes dari situ.
Teh Yuyun memandang laki-laki itu sebentar, lalu menggeleng kepala tanda kasihan. Saat matanya kembali melihat Kara. Kara meniup telapak tangannya dan menyebarkan bubuk berwarna merah muda hingga menutupi seluruh ruangan.
Pandanganku terhalang. Aku tak dapat melihat apapun selain kabut merah muda.
Kulihat teh Yuyun bergerak mundur, hingga kurasa ia membentur tembok dan menunggu disana.
Seperti sudah menduga, Kara menyerang dari depan. Ia menghunuskan jarinya mengincar leher teh Yuyun.
Teh Yuyun merunduk menghindar, Mengetahui serangannya meleset, Kara memutar tangannya dan menghunuskannya ke bawah dengan cepat.
Teh Yuyun berguling ke samping, kakinya mencoba menyapu Kara yang sedang berdiri. Sayangnya karena pandangannya terhalang, sapuan itu hanya terlepas sia-sia.
Teh Yuyun berdiri dengan cepat, kuda-kudanya terpasang kuat. Ia mencoba tenang dan menarik nafasnya panjang. Kara kembali menyerang, tangannya terlihat menjulur tiba-tiba dari kabut merah muda, teh Yuyun dengan cepat menangkis serangan itu dengan lengannya lalu mencoba membalas dengan memukul perut Kara.
Saat serangan teh Yuyun hampir mengenai perut Kara, sesuatu menabrak teh Yuyun dengan keras hingga ia terpental ke belakang dan akhirnya keluar dari kamar.
Beruntung, di luar kamar tidak ada kabut merah muda yang menghalangi pandangan.
Teh Yuyun mengerang sebentar, dan meludah sembarangan sebelum ia berdiri dengan tegak.
Kara terlihat berjalan keluar kamar dengan perlahan, ia memakai kebaya merah muda tak lagi telanjang seperti tadi. Sesosok makhluk seperti wanita merayap di dinding keluar dari kamar bersamanya. Kepalanya terbalik dengan mata dibawah, alih-alih seharusnya mulutnya ada diatas tapi disana hanya terlihat mulut yang menganga tanpa ada rahang bawah, hal itu jelas memperlihatkan kerongkongannya serta lidahnya yang terjulur keluar bersamaan tetesan liur, pinggangnya juga terlihat terputar membuat kedua kakinya terbalik. Posenya mirip belalang, hanya saja ini manusia.
Melihat makhluk itu, aku tahu betul. Itu adalah makhluk yang menghuni kamar nomor 19 di hotel tempat bang Herul kerja dulu.
"Aku tak menyangka anda dapat bertahan dari racunku."
Kara berujar sambil terus berjalan mendekat.
Teh Yuyun terdiam, aku mengerti jika menyerang tanpa rencana hanya sia-sia.
Setelah terdiam beberapa saat, teh Yuyun kembali menerjang menyerang Kara. Dengan sigap Kara menghindar menjauh.
"Balaki!"
Kara memanggil makhluk itu untuk membantunya menyerang teh Yuyun.
Balaki mencoba menangkap lengan teh Yuyun berkali-kali, namun teh Yuyun dengan cepat melangkah mundur menghindar.
Seperti habis kesabaran, Balaki melompat ke tembok lalu dengan tolakan kakinya ia menerjang ke arah teh Yuyun.
Teh Yuyun menahan serangan itu dan membalasnya dengan tendangan tepat di perut membuat makhluk itu terlempar.
Baru saja teh Yuyun melancarkan serangan pada Balaki, Kara mendekat dengan cepat dan menusuk perut teh Yuyun dengan jarinya.
Teh Yuyun yang tak sempat menghindar terpaksa menerima serangan itu. Ia lalu menggenggam lengan kara dengan tangan kanannya dan menempelkan tangan kirinya ke perut Kara.
"Susuk nyai melati."
Hanya tiga kata itu yang keluar dari teh Yuyun.
Kara yang mendengarnya berusaha melepaskan cengkraman tangan teh Yuyun, namun teh Yuyun seolah diam tak bergeming, ia mencakar pipi teh Yuyun berkali-kali seperti panik.
Membuat teh Yuyun menerima luka-luka itu dengan tenang dan tersenyum.
Sementara Kara, wajahnya semakin panik tak karuan, ia seperti merasakan ketakutan yang hebat karena mendengar 3 kata itu dari teh Yuyun.
Saat di keadaan itu, Balaki menyerang teh Yuyun dengan tendangan yang tepat mengenai wajahnya. Membuat teh Yuyun harus terpental dan melepaskan cengkraman tangannya pada Kara.
Tak sampai disitu,
Balaki bersiap menerjang kembali ke arah teh Yuyun. Namun sayang, tiba-tiba sebuah lengan menahan kakinya.
Saat kulihat, ada beberapa tangan yang tercetak di perut Kara seperti mencoba keluar dari perutnya. Sementara perutnya sudah berlubang dan satu lengan berhasil keluar dan menahan Balaki.
Kara panik dan mencoba menekan tangan-tangan itu agar tak keluar dan merobek perutnya.
Aku melihatnya meringis, karena aku mengerti bahwa yang Kara lakukan itu sia-sia.
Benar saja, setelah beberapa tangan, kini juga menyembul kepala yang mencoba keluar dari perut Kara. Persis seperti beberapa orang yang mencoba keluar namun terhalang oleh kulit dari perutbya. Saat teriakan panjang dari Kara menggema, perutnya robek dengan lebar seketika, kini keluarlah pemilik tangan-tangan itu.
Satu wanita dewasa merangkak keluar dari perut Kara, ia seperti keluar dari sebuah lubang yang menghubungkan antar dimensi. Dia adalah pemilik tangan yang menahan kaki Balaki. Balaki yang meronta lebih kuat, namun tangan wanita aneh itu mencengkeram kaki Balaki yang satunya hingga ia Berhasil benar-benar keluar dari perut Kara. Kini aku dapat melihat jelas, wanita itu memakai pakaian kebaya putih lusuh bercampur warna merah darah dari perut Kara, ia memakai kain batik yang robek sana-sini. Aku tak dapat melihat wajahnya karena ia membelakangiku.
Wanita itu berdiri dan menarik Balaki mundur menuju kamar yang tadi Kara tempati. Gerakannya saat menarik Balaki sungguh kaku, seperti sendi-sendi di tubuhnya tidak bekerja dengan normal.
Wanita lain mulai merangkak, tangannya meraih-raih seperti mencari pegangan, ia akhirnya memegang leher Kara dan mencoba keluar dengan susah payah.
Wanita dengan pakaian yang sama merangkak keluar dan menindih tubuh Kara hingga ia bisa melewati wajah Kara. Warna merah darah menempel secara tak sengaja ke seluruh wajah Kara. Wanita kedua ini lalu berdiri dan berjalan dengan kaku menyusul wanita pertama yang sedang menyeret Balaki.
Lalu satu lagi mencoba keluar, kedua tangannya menempel di lantai ia seperti mengangkat tubuhnya keatas, aku melihat dengan jelas kepalanya saat timbul dari lubang di perut Kara.
Berbeda dari dua yang lain, ia tak terlihat kesulitan. Kini wanita ketiga itu berdiri, kedua telapak tangannya terlipat di depan perutnya dengan anggun. Ia berjalan mendekati teh Yuyun.
Kini aku dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas. Ia tak memiliki apapun di wajahnya, tak ada mata atau bibir, maupun hidung. Mukanya rata dan berwarna hitam!
Wajahnya berwarna hitam rata itu kontras dengan pakaian dan lengannya yang berwarna putih pucat.
Wanita muka rata itu berjalan semakin dekat lalu melewati teh Yuyun begitu saja, dan keluar dari Villa.
Teh Yuyun ambruk, ia menahan tubuhnya dengan posisi berlutut. Kepalanya menengadah ke atas menatap langit-langit. Tangannya menahan luka di perut yang diakibatkan oleh Kara.
"ARRGGHHH!!!!"
Teh Yuyu berteriak sangat keras membuat telingaku sakit.
Lalu teh Yuyun melihat Kara yang masih bernafas. Perutnya robek tak karuan, ususnya keluar menggeliat jijik, darahnya menggenangi lantai.
Kara menatap teh Yuyun, aku melihat wajahnya seperti ketakutan, lalu teh Yuyun mencoba berdiri. Ia berjalan dengan pelan sambil menahan rasa sakit dari perutnya yang terluka, keluar dari sana meninggalkan Kara yang sekarat sambil
"Dua selesai."
Ujarnya saat langkahnya menapaki teras depan dan semakin menjauh.
Aku melihat ke belakang, Kara mulai pucat, wajahnya mulai redup, matanya masih terbuka, lalu ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan meninggalkan ekspresi yang terlihat sangat amat ketakutan, sungguh pemandangan yang mengerikan yang pernah aku lihat.
Aku tak ingin melihat hal yang seperti ini lagi. Aku tak ingin lagi membersamai teh Yuyun membalas dendamnya dengan cara yang keji dan menyeramkan. Namun masalahnya, apakah Ayi yang memperlihatkan semua ini padaku mengetahui apa yang kurasakan?