- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#78
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan....

Aku berjalan pelan menaiki tangga menuju lantai 2. Ketika berbelok di ujung lorong aku sudah melihat Fandra duduk merokok di depan kamarku.
“Gimana?” tanyanya ketika aku sudah berdiri di depannya.
“Udah buka gips!” aku tersenyum kecil memperlihatkan tanganku yang sudah tidak di gips padanya.
“Udah dibuka? Udah sembuh?”
“Belum lah, mana bisa secepat itu,” ujarku lalu membuka pintu kamar.
Aku meletakkan tas dan jaket yg kupakai kemudian kembali keluar dengan membawa kursi plastik yang ada dikamarku dan duduk di depan dinding balkon berdampingan dengan Fandra yang sedang sibuk menelpon.
Aku memandangi langit yang mendung dan gerimis yang terus turun perlahan membasahi tanah di bawah kami yang menguarkan aroma basah segar.
“Ngelamun aja,” ujar Fandra lalu menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
Aku hanya diam tidak menyahut.
“Gw cape Fan,” ujarku tanpa memandanganya, pikiranku melayang mengingat masa-masa paling sulit yang sudah berhasil aku lalui, ”kalau saja gw ngga takut sama iming-iming dosa, mungkin dari dulu gw udah bunuh diri.”
“Jangan ngomong gitu,”sahut Fandra
“Kenapa ya? Apa salah gw?”
“Hidup itu ngga perlu dipikirin, hanya perlu di jalanin aja, apa adanya.”
Aku diam. Dia memang benar, aku tahu, hanya saja di suatu moment, aku juga ngga tahan dan ingin berontak.
Bermacam-macam pertanyaan mengusik pikiranku.
“You promised me, you will be okay, remember?”
“Ini bukan hanya karena Abrar, ini seperti... seperti, gw ngerasa tidak diinginkan lalu buat apa gw ada di sini kalau hanya kesusahan aja yang gw dapatin. Gw rasa ini ngga adil. Gw muak sama hidup gw.”
Aku menoleh padanya yang juga sedang menatapku datar. Aku tersenyum getir.
“Setelah gw ke sini, gw ngerasa sedikit bersemangat, gw senang ketemu orang-orang baru, pergi ke tempat-tempat indah yang cuma bisa gw bayangin di kepala gw. Gw ngga pernah nyangka, ternyata ujung-ujungnya sama aja. Gw ngerasa kaya dipermainkan. Yah, bener kata orang hidup itu teaternya Tuhan. Sekarang gw takut ngerasa senang atau bahagia, takut kalau-kalau itu hanya prank nya Tuhan buat gw. Gw iri sama temen-temen gw, mereka punya hidup yang jauh lebih baik dari gw, meski gw jauh lebih pinter dari mereka, tapi kalau boleh memilih, gw memilih lebih baik gw bodoh tapi memiliki apa yang mereka miliki. Mereka punya keluarga yang bahagia, punya orang tua, layaknya orang tua senormalnya, yang bisa di ajak sharing, punya saudara untuk saling berbagi, yah walau terkadang mereka juga ngeluh sering brtengkar karena hal-hal kecil, tapi tetap rasa sayang itu ada dan bahkan gw pun bisa ngerasainnya, mereka punya tempat untuk pulang, tempat yang berlindung yang nyaman dan aman...”
Aku menghela nafas, melepaskan sesak di dadaku, melepaskan ingatan yang tiba-tiba menyerbu pikiranku lepas tak terkendali dari memoriku.
Aku menyentuh pelipisku, merasakan sebuah guratan tebal yang cukup panjang di ujung jariku, sebagian kecil luka dari masa lalu yang masih nyata bisa kurasakan sehingga ketika aku berpikir itu adalah mimpi, dengan mudah aku bisa membantahnya.
***
“Ma….” Suaraku pelan dan lirih memanggil mama ketika kudengar suara-suara ribut di luar kamarku.
Dengan ragu bercampur takut aku membuka pintu mencoba mengintip apa yang sedang terjadi di luar sana. Karena aku tidak bisa langsung melihat dari balik pintu kamarku, aku beranikan diri keluar dari kamar dan berjingkat menuju ke ruang tengah, tempat di mana kuperkirakan datangnya suara-suara ribut tadi.
“Sudah kubilang sama kamu, jangan ke sana lagi, kamu tau si Roni itu suka sama kamu makanya dia biarin kamu kerja di sana!!” terdengar suara keras Om Albert.
“Ngga bener itu! Roni sudah punya istri, istrinya pun baik sama aku. Kamu jangan asal nuduh!”
“Plak!!!” Aku terkejut. Tangan Om Albert yang selama ini kukenal sangat baik dan menyenangkan menampar pipi mama dengan sangat keras sampai mama terjatuh.
“Kamu…. Kamu berani nampar aku, “ mamaku berdiri dengan muka memerah.
“Kenapa memangnya? Kamu yang ngga tahu diri jadi wanita…” tangan Om Albert terangkat dan sebelum tangan itu terayun lagi ke arah mama, aku berteriak sekuat tenaga dari tempat persembunyianku.
“Mamaaaaaa!!!” Aku menghambur memeluk mamaku yang kurasakan menyambut tubuh kecilku dalam pelukannya
“Kamu ngapain di sini?!” suara mama kurasakan bergetar. “Kamu ke kamar ya, tidur.”
“Kenapa mama di pukul sama Om?” tanyaku dengan berurai air mata.
“Om ngga pukul mama kok," sahut Mama dengan mata memerah berkaca-kaca.
Aku tahu mama berbohong. Aku berbalik dan menatap ke Om Albert.
“Kenapa Om mukulin mamaku?” tanyaku dengan perasaan marah dan tidak terima mamaku di perlakukan seperti itu.
“Kamu masuk ke kamar sekarang, jangan banyak tanya!” suara Om Albert sangat tegas, tapi dia tidak membentakku seperti yang dia lakukan kepada mamaku tadi
“Ngga mau!! Om ja….”
Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, tangan Om Albert mencengkram lenganku dengan kuat dan menyeretku menjauhi mama.
Kudengar suara teriakan histeris mama, sebelum aku merasakan tangan Om Albert melepaskan lenganku dan kurasakan badanku terhempas membentur lantai dan sebuah benturan lain pun kurasakan di pelipisku.
Aku mengerang, merasakan sakit yang sangat di kepalaku. Mataku tidak dapat melihat dengan jelas, banyak sekali cahaya berkilau diantara gelap yang kulihat.
Aku merasakan ada sesuatu, seperti air yang mengalir membasahi sebagian wajahku, tapi rasanya tidak sesejuk ketika aku mencuci mukaku ketika pulang sekolah.
Aku bergumam memanggil mamaku, ingin berteriak tapi aku tidak bisa mengeluarkan suara keras seperti tadi. Aku merasa badanku terangkat, samar aku mendengar suara mama, suara tante Sri dan Marni, kepalaku masih sangat sakit, bahkan sekarang terasa sangat nyeri dan ngilu kurasakan tidak hanya di kepala, wajah, tapi juga di seluruh tubuhku.
Perlahan kilauan cahaya yang datang silih berganti di pelupuk mataku menghilang dan tergantikan oleh pekatnya gelap.
***
Fandra meloncat dari duduknya dan masuk ke dalam kamarku, dia kembali dengan membawa cardigan dan tas selempangku.
“Ini!” ujarnya memberikan ke dua barang itu padaku
“Buat apa?” tanyaku bingung
“Pakai!” Dia meletakkannya begitu saja di pangkuanku dan dia sendiri masuk ke kamarnya dan tak lama kemudian dia keluar sudah lengkap dengan jaket kulit yang biasa dia pakai dan lagi memberikanku sebuah jaket parasut berwarna biru navy.
“Pakai ini juga, ini anti air, di luar masih gerimis, jadi kita ngga usah pake jas hujan lagi. Cepetan dipakai”
“Mau ke mana, ini udah malem banget lho, Fan?”
“Ikut aja, aku tunjukkan sesuatu ke kamu,” sahutnya memandangku, “pakai dulu jaketnya, terutama tangan kamu jangan sampai kedinginan.”
Aku menurutinya memakai cardigan dan juga jaket pemberiannya. Kemudian dengan sepeda motornya dia membawaku ke menyusuri jalan yang lengang dan basah.
Memasuki daerah Kuta jalanan malam yang lengang kini mulai sedikit padat. Kanan kiri tampak bar dan cafe yang masih buka dipenuhi oleh pengunjung yang kebanyakan dari mereka adalah turis asing meski ada beberapa tampak pula orang lokal yang ikut menikmati suasana yang riuh rendah.
Semenjak tinggal di sini, aku tidak pernah mengunjungi gemerlap Kuta di malam hari. Aku terlalu lelah bekerja untuk menikmati hal-hal seperti ini.
Entah kenapa Fandra mengajakku ke tempat ini.
Dia memarkirkan motornya di depan toko yang sudah tutup.
“Kita parkir di sini aja, di sana pasti sudah penuh,” ujarnya sambil meminta helm yang kupakai dan meletakkannya di atas spion motornya.
“Ngapain ke sini?” tanyaku padanya
“Aku kenalin ke temen-temenku,” ujarnya tersenyum, “ayo.”
Dia meraih tanganku dan menggandengku sepanjang kami berjalan ke tempat tujuannya. Dia masuk ke sebuah, bar? Club? Apalah namanya itu.
Sepertinya tempat ini menjadi tempat favorite karena pengunjungnya sangat ramai dan suara musik yang menghentak-hentak terdengar sampai keluar.
Sejenak dia bertegur sapa dengan seorang lelaki di pintu masuk, bicara sebentar, tertawa-tawa, dan kemudian menggandeng tanganku lagi memasuki tempat itu ketika laki-laki itu membebaskannya masuk tanpa melewati meja reservasi terlebih dahulu.
Kami masuk ke ruangan yang sangat bising dengan hingar bingar musik. Ruangan besar yang gelap dan hanya di terangi dengan kerlap kerlip lampu yang bersliweran membuat kepalaku sedikit pening.
Di depan sana ada panggung besar dan seorang DJ sedang berdiri menghadap meja dengan peralatan DJ nya.
Fandra menarik tanganku mengajak duduk di meja bar.
“Bang Fandra!!” seorang lelaki yang berdiri di balik meja bar berteriak memanggil namanya.
“Oi... masih di sini aja lo! Wah mantap bro, udah dibelakang meja sekarang,” ujar Fandra menyambut salam dari cowok itu.
“Berkat abang jugalah ini, ama siapa Bang?”
“Cewek gw,” sahut Fandra dengan entengnya menoleh padaku dan tersenyum pada laki-laki tadi.
Aku mendelik padanya yang disambut dengan kedipan matanya padaku dibarengi dengan senyum jahilnya.
“Wuih, cantik banget ceweknya, kenapa ngga pernah diajak main sini sih Bang?”
“Lagi sibuk aja, eh minta minuman lo yang paling enak tapi yg low alkohol ya,” ujar Fandra pada laki-laki itu.
“Siap!”
Fandra menggeser duduknya lebih mendekat padaku, bukan dekat lagi, tapi udah menempel. Tapi wajar saja dengan kebisingan yang super high ini akan susah mendengarkan lawan bicara. Tadi saja Fandra ngobrol dengan bartender itu dengan setengah berteriak.
“Cowok tadi namanya Azul, dulu dia pernah jadi petugas kebersihan, pernah jadi waiter, sampai sekarang jadi bartender. Bukannya sombong, aku yang maksa dia belajar. See... sekarang dia dapat posisi yang lebih baik,” ujarnya tepat di samping teligaku.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sisi kanan kiri ada beberapa space yang dibuat seperti cubicle dengan sofa-sofa mengelilingi di sekitar dinding bagian dalam.
Pengunjung bisa menikmati musik atau minuman di sana dengan cukup private.
Sedangkan di tengah-tengah ruangan di isi beberapa meja bundar di mana pengunjung bisa berbaur dan agak ke depan ada space kosong di mana ada beberapa orang yang berjoget-joget mengikuti musik yang menghentak Cumiakkan telinga.
“Kamu liat di sebelah kiri, room no 2 dari belakang, cewek yang berbaju hitam, rambut sepinggang,” ujar Fandra.
Aku mengikuti petunjuknya dan mancari wanita yang dimaksudkannya.
“Ya, aku liat,” sahutku ketika melihat wanita yang di maksudkan Fandra.
Cukup cantik, polesan make upnya tidak terlalu berlebihan tapi tetap membuatnya menarik. Menurutku, wanita itu terlihat matang dan seperti menjaga jarak dengan tamunya yang saat itu adalah seorang pria berumur sekitaran pertengahan 40an.
“Namanya Meli, Melinda. Dia itu janda, anaknya cewek, hmm...kalau sekarang mungkin umur anaknya udah sekitar 15 tahunan. Dia itu single parent, suaminya selingkuh dan dia memilih hidup sendiri. Dia exclusive di sini, dalam artian, dia sudah punya pelanggan sendiri yang khusus ke sini untuk di layanin sama dia. ‘Dilayanin’ di sini bukan artian negative, karena Melinda salah satu wanita yang anti di ‘booking’,” jelas Fandra.
“Berarti, pelanggan dia udah nyaman meski cuma sekedar ngobrol-ngobrol doang?”
“Yup!” sahut Fandra, “Dulu dia itu udah kaya kakak tertua kita di sini.”
Aku melihat wanita itu, Melinda, keluar dari cubicle dan berjalan menuju meja bar. Dia mendekati kami tapi sepertinya dia tidak menyadari ada Fandra di sampingku.
Dia sepertinya sedang memesan minuman. Fandra mengambil potongan jeruk yang menghiasi gelasku dan melemparnya ke arah Melinda dan tepat mengenai pipinya. Melinda menoleh kaget ke arahku dan sejurus kemudian kekagetan di wajahnya berubah menjadi senyum sumringah ketika melihat Fandra.
“Eh, bajingan sialan, kemana aja lo! Banjir bandang ya di rumah lo sampe lo hanyut ke sini!” sapanya sambil memukul kepala Fandra ya tertawa cikikikan.
“Ampun ndoro...ampun...hahahaha,” ujar Fandra yang kemudian menyambut pelukan hangat dari Melinda.
‘Sehat, Nyah?” tanya Fandra setelah mereka puas melepas kangen
“Kalau gw ngga sehat gw ngga bakalan di sini, bodoh!” sahut Melinda menoyor kepalanya Fandra. “Lo ke sini pasti ada maunya ini!”
“Ngga, ngga... gw cuma kangen ama mantan-mantan gw di sini aja, sekalian mau pamer cewek baru gw, kenalin ini cewek gw,” sahut Fandra melihat ke arahku.
Melinda melihat ke arahku dan aku memberikannya senyuman canggung karena dia melihatku tajam dari ujung kepala sampai ujung kakiku.
“Benaran kamu ceweknya Fandra?” tanyanya dengan pandangan tajam menyelidik.
Aku hanya tersenyum sambil melihat ragu ke Fandra yang tampak cekikikan.
“Silakan lo menebar kebohongan, tapi jangan sama gw, jangan coba-coba!” ujarnya kini kepada Fandra yang tertawa.
“Anak siapa lo bawa ke sini?Ngajarin yang ngga bener aja lo!”
Fandra masih tertawa, “Lo sendiri juga masih ngga bener aja,” sahutnya
“Biar gw aja yang ngga bener, yang lain jangan! Tamu gw bulukan nungguin gw tuh, lo jaga diri, bawa pergi ni cewe dari sini, pulangin cepeten!”
Sekali lagi di memukul kepala Fandra sebelum berjalan kembali ke pelanggannya.
“You see her...,” ujar Fandra padaku, “Demi menghidupi anak dan ibunya dia bekerja di sini, meski dia tahu this is not the right place for her, tapi hanya ini yang bisa dia lakukan untuk bertahan hidup. Kamu tahu sendiri kan gimana pandangan masyarakat kalau ada wanita kerja di club malam, selalu dikait-kaitkan dengan yang negative. Menghadapi pandangan masyarakatnya yang sulit, padahal setiap orang berhak memilih mau hidup gimana dan seperti apa, malah mereka yang repot.”
Aku memandang Fandra yang matanya masih terus melihat ke arah Melinda. Dia menolehku dan tersenyum.
“Beruntungnya mama kamu bisa bertahan bersamamu tidak dengan cara seperti ini.”
Aku mengalihkan pandanganku ketika kurasakan mataku memanas, aku melihat deretan gelas-gelas wine yang tergantung di atas meja bar. Terbayang wajah mamaku di sana.
Kudengar Fandra menghela nafas, kemudian menyentuh tanganku.
“Tunggu di sini, aku ke belakang sebentar,” ujar Fandra turun dari kursinya.
Mungkin itu keberuntungan mama, tapi bukan keberuntunganku. Aku menegak habis minumanku yang masih tersisa setengah di gelasnya. Hawa hangat menjalar di kerongkonganku begitu minuman itu habis tertelan.
Aku mengedarkan pandangan mengamati orang-orang yang ada di sekitarku. Makin malam suasananya semakin ramai.
Mataku terpaut pada sebuah meja di mana ada seorang pria bule yang kuperkirakan sudah cukup berumur di lihat dari keriput di wajahnya sedang menggandeng seorang wanita berkulit sawo matang yang bergelayut manja di tangannya.
Setelah pria bule itu menegak birnya dia mencium si wanita dengan penuh nafsu dan mengangkat tubuh kecil wanita itu kepangkuannya.
Apa yang mereka pikirkan, rutukku dalam hati
Aku membalikkan badan, lebih baik tidak melihat pemandangan menjijikkan seperti itu.
Menjijikkan? Kamu bilang menjijikkan? Lalu kamu sendiri gimana,Vio?
Sebuah suara seperti menghantam ingatanku membuat darahku berdesir dan memberikan nyeri di setiap sendiku.
“Hai...” sebuah suara mengejutkanku dari lamunan.

Aku berjalan pelan menaiki tangga menuju lantai 2. Ketika berbelok di ujung lorong aku sudah melihat Fandra duduk merokok di depan kamarku.
“Gimana?” tanyanya ketika aku sudah berdiri di depannya.
“Udah buka gips!” aku tersenyum kecil memperlihatkan tanganku yang sudah tidak di gips padanya.
“Udah dibuka? Udah sembuh?”
“Belum lah, mana bisa secepat itu,” ujarku lalu membuka pintu kamar.
Aku meletakkan tas dan jaket yg kupakai kemudian kembali keluar dengan membawa kursi plastik yang ada dikamarku dan duduk di depan dinding balkon berdampingan dengan Fandra yang sedang sibuk menelpon.
Aku memandangi langit yang mendung dan gerimis yang terus turun perlahan membasahi tanah di bawah kami yang menguarkan aroma basah segar.
“Ngelamun aja,” ujar Fandra lalu menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
Aku hanya diam tidak menyahut.
“Gw cape Fan,” ujarku tanpa memandanganya, pikiranku melayang mengingat masa-masa paling sulit yang sudah berhasil aku lalui, ”kalau saja gw ngga takut sama iming-iming dosa, mungkin dari dulu gw udah bunuh diri.”
“Jangan ngomong gitu,”sahut Fandra
“Kenapa ya? Apa salah gw?”
“Hidup itu ngga perlu dipikirin, hanya perlu di jalanin aja, apa adanya.”
Aku diam. Dia memang benar, aku tahu, hanya saja di suatu moment, aku juga ngga tahan dan ingin berontak.
Bermacam-macam pertanyaan mengusik pikiranku.
“You promised me, you will be okay, remember?”
“Ini bukan hanya karena Abrar, ini seperti... seperti, gw ngerasa tidak diinginkan lalu buat apa gw ada di sini kalau hanya kesusahan aja yang gw dapatin. Gw rasa ini ngga adil. Gw muak sama hidup gw.”
Aku menoleh padanya yang juga sedang menatapku datar. Aku tersenyum getir.
“Setelah gw ke sini, gw ngerasa sedikit bersemangat, gw senang ketemu orang-orang baru, pergi ke tempat-tempat indah yang cuma bisa gw bayangin di kepala gw. Gw ngga pernah nyangka, ternyata ujung-ujungnya sama aja. Gw ngerasa kaya dipermainkan. Yah, bener kata orang hidup itu teaternya Tuhan. Sekarang gw takut ngerasa senang atau bahagia, takut kalau-kalau itu hanya prank nya Tuhan buat gw. Gw iri sama temen-temen gw, mereka punya hidup yang jauh lebih baik dari gw, meski gw jauh lebih pinter dari mereka, tapi kalau boleh memilih, gw memilih lebih baik gw bodoh tapi memiliki apa yang mereka miliki. Mereka punya keluarga yang bahagia, punya orang tua, layaknya orang tua senormalnya, yang bisa di ajak sharing, punya saudara untuk saling berbagi, yah walau terkadang mereka juga ngeluh sering brtengkar karena hal-hal kecil, tapi tetap rasa sayang itu ada dan bahkan gw pun bisa ngerasainnya, mereka punya tempat untuk pulang, tempat yang berlindung yang nyaman dan aman...”
Aku menghela nafas, melepaskan sesak di dadaku, melepaskan ingatan yang tiba-tiba menyerbu pikiranku lepas tak terkendali dari memoriku.
Aku menyentuh pelipisku, merasakan sebuah guratan tebal yang cukup panjang di ujung jariku, sebagian kecil luka dari masa lalu yang masih nyata bisa kurasakan sehingga ketika aku berpikir itu adalah mimpi, dengan mudah aku bisa membantahnya.
***
“Ma….” Suaraku pelan dan lirih memanggil mama ketika kudengar suara-suara ribut di luar kamarku.
Dengan ragu bercampur takut aku membuka pintu mencoba mengintip apa yang sedang terjadi di luar sana. Karena aku tidak bisa langsung melihat dari balik pintu kamarku, aku beranikan diri keluar dari kamar dan berjingkat menuju ke ruang tengah, tempat di mana kuperkirakan datangnya suara-suara ribut tadi.
“Sudah kubilang sama kamu, jangan ke sana lagi, kamu tau si Roni itu suka sama kamu makanya dia biarin kamu kerja di sana!!” terdengar suara keras Om Albert.
“Ngga bener itu! Roni sudah punya istri, istrinya pun baik sama aku. Kamu jangan asal nuduh!”
“Plak!!!” Aku terkejut. Tangan Om Albert yang selama ini kukenal sangat baik dan menyenangkan menampar pipi mama dengan sangat keras sampai mama terjatuh.
“Kamu…. Kamu berani nampar aku, “ mamaku berdiri dengan muka memerah.
“Kenapa memangnya? Kamu yang ngga tahu diri jadi wanita…” tangan Om Albert terangkat dan sebelum tangan itu terayun lagi ke arah mama, aku berteriak sekuat tenaga dari tempat persembunyianku.
“Mamaaaaaa!!!” Aku menghambur memeluk mamaku yang kurasakan menyambut tubuh kecilku dalam pelukannya
“Kamu ngapain di sini?!” suara mama kurasakan bergetar. “Kamu ke kamar ya, tidur.”
“Kenapa mama di pukul sama Om?” tanyaku dengan berurai air mata.
“Om ngga pukul mama kok," sahut Mama dengan mata memerah berkaca-kaca.
Aku tahu mama berbohong. Aku berbalik dan menatap ke Om Albert.
“Kenapa Om mukulin mamaku?” tanyaku dengan perasaan marah dan tidak terima mamaku di perlakukan seperti itu.
“Kamu masuk ke kamar sekarang, jangan banyak tanya!” suara Om Albert sangat tegas, tapi dia tidak membentakku seperti yang dia lakukan kepada mamaku tadi
“Ngga mau!! Om ja….”
Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, tangan Om Albert mencengkram lenganku dengan kuat dan menyeretku menjauhi mama.
Kudengar suara teriakan histeris mama, sebelum aku merasakan tangan Om Albert melepaskan lenganku dan kurasakan badanku terhempas membentur lantai dan sebuah benturan lain pun kurasakan di pelipisku.
Aku mengerang, merasakan sakit yang sangat di kepalaku. Mataku tidak dapat melihat dengan jelas, banyak sekali cahaya berkilau diantara gelap yang kulihat.
Aku merasakan ada sesuatu, seperti air yang mengalir membasahi sebagian wajahku, tapi rasanya tidak sesejuk ketika aku mencuci mukaku ketika pulang sekolah.
Aku bergumam memanggil mamaku, ingin berteriak tapi aku tidak bisa mengeluarkan suara keras seperti tadi. Aku merasa badanku terangkat, samar aku mendengar suara mama, suara tante Sri dan Marni, kepalaku masih sangat sakit, bahkan sekarang terasa sangat nyeri dan ngilu kurasakan tidak hanya di kepala, wajah, tapi juga di seluruh tubuhku.
Perlahan kilauan cahaya yang datang silih berganti di pelupuk mataku menghilang dan tergantikan oleh pekatnya gelap.
***
Fandra meloncat dari duduknya dan masuk ke dalam kamarku, dia kembali dengan membawa cardigan dan tas selempangku.
“Ini!” ujarnya memberikan ke dua barang itu padaku
“Buat apa?” tanyaku bingung
“Pakai!” Dia meletakkannya begitu saja di pangkuanku dan dia sendiri masuk ke kamarnya dan tak lama kemudian dia keluar sudah lengkap dengan jaket kulit yang biasa dia pakai dan lagi memberikanku sebuah jaket parasut berwarna biru navy.
“Pakai ini juga, ini anti air, di luar masih gerimis, jadi kita ngga usah pake jas hujan lagi. Cepetan dipakai”
“Mau ke mana, ini udah malem banget lho, Fan?”
“Ikut aja, aku tunjukkan sesuatu ke kamu,” sahutnya memandangku, “pakai dulu jaketnya, terutama tangan kamu jangan sampai kedinginan.”
Aku menurutinya memakai cardigan dan juga jaket pemberiannya. Kemudian dengan sepeda motornya dia membawaku ke menyusuri jalan yang lengang dan basah.
Memasuki daerah Kuta jalanan malam yang lengang kini mulai sedikit padat. Kanan kiri tampak bar dan cafe yang masih buka dipenuhi oleh pengunjung yang kebanyakan dari mereka adalah turis asing meski ada beberapa tampak pula orang lokal yang ikut menikmati suasana yang riuh rendah.
Semenjak tinggal di sini, aku tidak pernah mengunjungi gemerlap Kuta di malam hari. Aku terlalu lelah bekerja untuk menikmati hal-hal seperti ini.
Entah kenapa Fandra mengajakku ke tempat ini.
Dia memarkirkan motornya di depan toko yang sudah tutup.
“Kita parkir di sini aja, di sana pasti sudah penuh,” ujarnya sambil meminta helm yang kupakai dan meletakkannya di atas spion motornya.
“Ngapain ke sini?” tanyaku padanya
“Aku kenalin ke temen-temenku,” ujarnya tersenyum, “ayo.”
Dia meraih tanganku dan menggandengku sepanjang kami berjalan ke tempat tujuannya. Dia masuk ke sebuah, bar? Club? Apalah namanya itu.
Sepertinya tempat ini menjadi tempat favorite karena pengunjungnya sangat ramai dan suara musik yang menghentak-hentak terdengar sampai keluar.
Sejenak dia bertegur sapa dengan seorang lelaki di pintu masuk, bicara sebentar, tertawa-tawa, dan kemudian menggandeng tanganku lagi memasuki tempat itu ketika laki-laki itu membebaskannya masuk tanpa melewati meja reservasi terlebih dahulu.
Kami masuk ke ruangan yang sangat bising dengan hingar bingar musik. Ruangan besar yang gelap dan hanya di terangi dengan kerlap kerlip lampu yang bersliweran membuat kepalaku sedikit pening.
Di depan sana ada panggung besar dan seorang DJ sedang berdiri menghadap meja dengan peralatan DJ nya.
Fandra menarik tanganku mengajak duduk di meja bar.
“Bang Fandra!!” seorang lelaki yang berdiri di balik meja bar berteriak memanggil namanya.
“Oi... masih di sini aja lo! Wah mantap bro, udah dibelakang meja sekarang,” ujar Fandra menyambut salam dari cowok itu.
“Berkat abang jugalah ini, ama siapa Bang?”
“Cewek gw,” sahut Fandra dengan entengnya menoleh padaku dan tersenyum pada laki-laki tadi.
Aku mendelik padanya yang disambut dengan kedipan matanya padaku dibarengi dengan senyum jahilnya.
“Wuih, cantik banget ceweknya, kenapa ngga pernah diajak main sini sih Bang?”
“Lagi sibuk aja, eh minta minuman lo yang paling enak tapi yg low alkohol ya,” ujar Fandra pada laki-laki itu.
“Siap!”
Fandra menggeser duduknya lebih mendekat padaku, bukan dekat lagi, tapi udah menempel. Tapi wajar saja dengan kebisingan yang super high ini akan susah mendengarkan lawan bicara. Tadi saja Fandra ngobrol dengan bartender itu dengan setengah berteriak.
“Cowok tadi namanya Azul, dulu dia pernah jadi petugas kebersihan, pernah jadi waiter, sampai sekarang jadi bartender. Bukannya sombong, aku yang maksa dia belajar. See... sekarang dia dapat posisi yang lebih baik,” ujarnya tepat di samping teligaku.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sisi kanan kiri ada beberapa space yang dibuat seperti cubicle dengan sofa-sofa mengelilingi di sekitar dinding bagian dalam.
Pengunjung bisa menikmati musik atau minuman di sana dengan cukup private.
Sedangkan di tengah-tengah ruangan di isi beberapa meja bundar di mana pengunjung bisa berbaur dan agak ke depan ada space kosong di mana ada beberapa orang yang berjoget-joget mengikuti musik yang menghentak Cumiakkan telinga.
“Kamu liat di sebelah kiri, room no 2 dari belakang, cewek yang berbaju hitam, rambut sepinggang,” ujar Fandra.
Aku mengikuti petunjuknya dan mancari wanita yang dimaksudkannya.
“Ya, aku liat,” sahutku ketika melihat wanita yang di maksudkan Fandra.
Cukup cantik, polesan make upnya tidak terlalu berlebihan tapi tetap membuatnya menarik. Menurutku, wanita itu terlihat matang dan seperti menjaga jarak dengan tamunya yang saat itu adalah seorang pria berumur sekitaran pertengahan 40an.
“Namanya Meli, Melinda. Dia itu janda, anaknya cewek, hmm...kalau sekarang mungkin umur anaknya udah sekitar 15 tahunan. Dia itu single parent, suaminya selingkuh dan dia memilih hidup sendiri. Dia exclusive di sini, dalam artian, dia sudah punya pelanggan sendiri yang khusus ke sini untuk di layanin sama dia. ‘Dilayanin’ di sini bukan artian negative, karena Melinda salah satu wanita yang anti di ‘booking’,” jelas Fandra.
“Berarti, pelanggan dia udah nyaman meski cuma sekedar ngobrol-ngobrol doang?”
“Yup!” sahut Fandra, “Dulu dia itu udah kaya kakak tertua kita di sini.”
Aku melihat wanita itu, Melinda, keluar dari cubicle dan berjalan menuju meja bar. Dia mendekati kami tapi sepertinya dia tidak menyadari ada Fandra di sampingku.
Dia sepertinya sedang memesan minuman. Fandra mengambil potongan jeruk yang menghiasi gelasku dan melemparnya ke arah Melinda dan tepat mengenai pipinya. Melinda menoleh kaget ke arahku dan sejurus kemudian kekagetan di wajahnya berubah menjadi senyum sumringah ketika melihat Fandra.
“Eh, bajingan sialan, kemana aja lo! Banjir bandang ya di rumah lo sampe lo hanyut ke sini!” sapanya sambil memukul kepala Fandra ya tertawa cikikikan.
“Ampun ndoro...ampun...hahahaha,” ujar Fandra yang kemudian menyambut pelukan hangat dari Melinda.
‘Sehat, Nyah?” tanya Fandra setelah mereka puas melepas kangen
“Kalau gw ngga sehat gw ngga bakalan di sini, bodoh!” sahut Melinda menoyor kepalanya Fandra. “Lo ke sini pasti ada maunya ini!”
“Ngga, ngga... gw cuma kangen ama mantan-mantan gw di sini aja, sekalian mau pamer cewek baru gw, kenalin ini cewek gw,” sahut Fandra melihat ke arahku.
Melinda melihat ke arahku dan aku memberikannya senyuman canggung karena dia melihatku tajam dari ujung kepala sampai ujung kakiku.
“Benaran kamu ceweknya Fandra?” tanyanya dengan pandangan tajam menyelidik.
Aku hanya tersenyum sambil melihat ragu ke Fandra yang tampak cekikikan.
“Silakan lo menebar kebohongan, tapi jangan sama gw, jangan coba-coba!” ujarnya kini kepada Fandra yang tertawa.
“Anak siapa lo bawa ke sini?Ngajarin yang ngga bener aja lo!”
Fandra masih tertawa, “Lo sendiri juga masih ngga bener aja,” sahutnya
“Biar gw aja yang ngga bener, yang lain jangan! Tamu gw bulukan nungguin gw tuh, lo jaga diri, bawa pergi ni cewe dari sini, pulangin cepeten!”
Sekali lagi di memukul kepala Fandra sebelum berjalan kembali ke pelanggannya.
“You see her...,” ujar Fandra padaku, “Demi menghidupi anak dan ibunya dia bekerja di sini, meski dia tahu this is not the right place for her, tapi hanya ini yang bisa dia lakukan untuk bertahan hidup. Kamu tahu sendiri kan gimana pandangan masyarakat kalau ada wanita kerja di club malam, selalu dikait-kaitkan dengan yang negative. Menghadapi pandangan masyarakatnya yang sulit, padahal setiap orang berhak memilih mau hidup gimana dan seperti apa, malah mereka yang repot.”
Aku memandang Fandra yang matanya masih terus melihat ke arah Melinda. Dia menolehku dan tersenyum.
“Beruntungnya mama kamu bisa bertahan bersamamu tidak dengan cara seperti ini.”
Aku mengalihkan pandanganku ketika kurasakan mataku memanas, aku melihat deretan gelas-gelas wine yang tergantung di atas meja bar. Terbayang wajah mamaku di sana.
Kudengar Fandra menghela nafas, kemudian menyentuh tanganku.
“Tunggu di sini, aku ke belakang sebentar,” ujar Fandra turun dari kursinya.
Mungkin itu keberuntungan mama, tapi bukan keberuntunganku. Aku menegak habis minumanku yang masih tersisa setengah di gelasnya. Hawa hangat menjalar di kerongkonganku begitu minuman itu habis tertelan.
Aku mengedarkan pandangan mengamati orang-orang yang ada di sekitarku. Makin malam suasananya semakin ramai.
Mataku terpaut pada sebuah meja di mana ada seorang pria bule yang kuperkirakan sudah cukup berumur di lihat dari keriput di wajahnya sedang menggandeng seorang wanita berkulit sawo matang yang bergelayut manja di tangannya.
Setelah pria bule itu menegak birnya dia mencium si wanita dengan penuh nafsu dan mengangkat tubuh kecil wanita itu kepangkuannya.
Apa yang mereka pikirkan, rutukku dalam hati
Aku membalikkan badan, lebih baik tidak melihat pemandangan menjijikkan seperti itu.
Menjijikkan? Kamu bilang menjijikkan? Lalu kamu sendiri gimana,Vio?
Sebuah suara seperti menghantam ingatanku membuat darahku berdesir dan memberikan nyeri di setiap sendiku.
“Hai...” sebuah suara mengejutkanku dari lamunan.
Diubah oleh drupadi5 05-10-2020 18:57
JabLai cOY dan 4 lainnya memberi reputasi
5