Aku teringat bahwa Ayi akan memperlihatkan apa yang ingin aku ketahui.
Aku tersadar dengan tangan Dimar menembus dadaku, dan tanganku menembus ulu hatinya.
Kami berdiri berhadapan seperti bekas bertarung habis-habisan dengannya.
Saat kuingin mencabut tanganku dari ulu hatinya, lenganku dicengkram Dimar.
"Mar.."ujarku saat melihat wajahnya yang lesu.
"Akhirnya kau sadar."
Ucapnya pelan.
Terlihat bekas darah yang dimuntahkan oleh Dimar masih basah di bibirnya.
"Maafkan aku yang buta balas dendam." Aku menangis seperti anak kecil, perasaan menyesal kental mengusik hatiku.
"Tak apa. Aku mengerti..."
Ucapannya terpotong, dengan susah payah Dimar menarik nafas dan melanjutkan.
"Calagra habis oleh Sudragi, Sudragi habis olehmu, kau membantai habis dalam keadaan marah dan tak sadarkan diri."
Ia berkata sambil mengatur nafasnya perlahan.
"Maafkan aku...maaf...maaf.." Tangisku pecah, aku tak mengindahkan apa yang Dimar katakan.
"Seharusnya aku yang minta maaf..."
Ia mengatakan dengan pelan hampir berbisik.
"Kubuat mantra dari dendammu.."
Ia menarik nafas panjang.
"Dan sumpahmu menjadi penderitaanmu..."
Tubuhnya mulai lemas akan ambruk.
"Purwayiksa."
Kata-kata terakhirnya terucap perlahan lalu ia menutup mata dan akhirnya nafas terakhir Dimar terhembus hilang.
Tubuhnya akhirnya jatuh, tangannya yang menembus dadaku tercabut paksa.
Lukaku menutup karena Baja Purwa, helmku juga tak lagi terpasang. Aku memeluk tubuh Dimar dan berteriak marah.
Bau mayat terbakar, asap mengepul dari bangunan, rumput yang menghitam, tanah yang banjir darah, aku tak mempedulikan semua itu. Tangisku pecah, aku tak bisa mati karena sumpahku sendiri.
'Samaga tumbak taga weulah, kawula bakal mulih saawak diga.
Nyai Asih Kirya
Cayiksa
Baja Purwa
Purwayiksa.'
~oOo~
Aku berjalan ke arah timur menuju sungai panjang yang membatasi Calagra dan Sudragi. Langkahku pelan lesu terayun enggan.
Sebuah mata air terlihat menggenang jernih. Aku berhenti dan meminumnya. Pantulan wajahku terlihat disana.
Aku menutup mataku mengingat-ingat wajah istriku, dan mencoba menerapkannya pada wajahku.
Saat kubuka mata, kini terlihat pantulan wajah istriku disana.
Aku tersenyum, bayangan istriku tersenyum.
Aku menangis, bayangan istriku menangis.
Kuraba wajahku,
Kuraba rambutku,
Ini bukan diriku.
Ini adalah wajah dari diri istriku.
Aku secara tak sengaja meniru wajahnya dengan Kawula Nista.
Kucoba mengulanginya dengan suaraku.
"Kakang Kiyar..."
Ya, suaraku terdengar lembut dan mirip suara istriku.
Aku melakukannya lagi.
"Apah..."
Suaraku terdengar seperti Cayiksa.
Aku tersenyum dan menangis bersamaan.
"hahaha.... HAHAHAHA...."
Aku tertawa terbahak-bahak sambil menangis dan berteriak.
Aku terus tertawa lebar hingga rahangku terasa aneh. Saat aku berhenti lalu menatap wajahku dan tersenyum. Yang kulihat adalah wajah Cayiksa dengan senyuman melintang dari ujung telinga kiri ke ujung telinga kanan.
Lagi-lagi aku tertawa.
Ini bukan senyuman tapi lebih mirip sayatan. Aku mentertawakan penampilanku sendiri dan takdir kejam yang menimpaku.
Tak kurasa gelap mulai menyelimuti hari. Hutan yang harus kulalui untuk menuju sungai Wetan menggelap perlahan.
Aku bangun dan melanjutkan perjalananku.
Baru saja aku berdiri, sesosok makhluk muncul di hadapanku.
Tubuhnya hitam gelam pendek seperti balita, perutnya buncit hingga menyentuh tanah, gigi-giginya besar mencuat, ia melihatku dengan marah.
Makhluk itu melompat dan mengigit pahaku dengan ganas. Seperti hewan buas yang sedang menyantap mangsanya.
Setiap daging yang berhasil ia telan, luka di pahaku menutup, ia mengulanginya lagi dan lagi dengan cepat.
"Berhentilah demit."Kupegang kepalanya dan kuangkat hingga wajah kami sejajar.
"Kau memakanku seolah itu sangat lezat, sekarang giliranku." Aku secara tak sadar meniru kemampuannya, dan memakan makhluk itu seperti ia mengunyah pahaku.
Makhluk itu meronta berusaha melepaskan diri. Mulutku melebar seukuran kepalanya dan menelannya bulat-bulat. Hingga aku bisa merasakan dia masih meronta dalam perutku sejenak sebelum akhirnya ia berhenti bergerak.
Aku terus berjalan hingga sampai di sungai Wetan.
Jika aku tak bisa mati, maka biarkan aku tenggelam hingga aku tak bisa lagi hidup.
Baja Purwa kuubah seperti tali besi dan mengikat tubuhku pada batu sebesar badanku.
Kujatuhkan diri ke dalam sungai.
Aku jatuh tenggelam, air masuk ke paru-paru lewat mulut dan hidungku.
Aku mati rasa, bahkan rasa sakit tak dapat kunikmati lagi.
Jantungkupun tak pernah lagi berdetak.
Saat tubuhku mencapai dasar sungai, aku sadar. Aku kini bukan lagi manusia. Lalu kututup mataku dan menhilangkan semua kesadaranku.
~oOo~
Entah sudah berapa lama waktu berlalu, dasar sungai terasa lebih dangkal dari terakhir aku menenggelamkan diri. Aku membuka mata dan melihat langit sekali lagi, warna jingga menghiasi cakrawala begitu mempesona.
Kubuka ikatanku dan duduk. Tubuhku penuh dengan lumut dan bebatuan yang menempel. Aku bersihkan satu-satu sambil berpikir.
'Apa yang sebenarnya sedang aku lakukan disini?'
Ujung mataku menangkap seseorang, kutengok dan kuperhatikan dia.
Seorang kakek memakai celana hitam bertelanjang dada tanpa alas kaki. Ia memakai ikat kepala coklat dengan corak cantik seperti kain yang dipunya oleh anggota kerajaan.
Kakek itu berdiri di seberang sungai, menatapku yang baru saja terbangun.
"Kamangsa naon kawari ki?"
("Jaman apa sekarang ki?")
Aku bertanya sekeras mungkin, namun hanya bisikan yang keluar.
Kakek itu melompati sungai dalam sekali lompat dan kini berdiri di hadapanku.
"Opat natus matangpuluh hiji warsa samet akang neuleum diri."
("Empat ratus empat puluh satu tahun sejak akang menenggelamkan diri.")
Jawabnya.
"Pangersa wawuhan kawula?"
("Kau mengenalku?")
Tanyaku padanya.
"Iwal saambu jukut, sapoek mongklek."
("Hanya sedikit saja aku mengenalmu.")
Jawabnya.
Aku memegangi kepalaku yang terasa aneh, mencoba mengingat semuanya.
Kenapa aku ada di dasar sungai?
Sejak kapan aku ada disana?
Kenapa aku tidak mati?
"Kau menjadi Batara Karang tanpa disengaja, tubuhmu rusak, mati dan memulihkan diri secara berulang terus-menerus hingga hari ini. Ingatanmu juga hilang dalam proses itu."
Jelasnya sambil memperhatikan tubuhku.
Aku diam mencoba memahaminya.
"Kau abadi karena sumpahmu, tombakmu takkan pernah bisa terbelah. Kau pernah membuat tombak dari Baja Purwa yang merupakan zirah yang tak bisa rusak dan selalu bisa memulihkan diri. Ajianmu membuatnya lebih parah, kau meniru ajian yang tersimpan dalam zirah Baja Purwa. Diakhir Baja Purwa asli melekat di tubuhmu."
Jelasnya panjang lebar.
Aku menatapnya tak mengerti.
"Pendeknya, kau bukan lagi manusia."
Ujarnya sambil menggeleng kepala padaku.
"HAHAHA kenapa ucapanmu berbelit hanya untuk menjelaskan itu tua bangka?"Aku benar-benar geli dengan tingkahnya.
Ia diam, merengut menatapku tertawa terbahak-bahak.
"Sebaiknya kau tidak meniru penampilanku dulu."
Ucapannya membuatku berhenti tertawa.
"Oh? Mari kita lihat bagaimana rupaku saat ini." Aku berjalan dan bercermin diatas air sunga yang cukup jernih.
Ya pantulanku menyerupai wajah kakek tua itu.
"Aku lupa wajahku sendiri, nanti jika aku bertemu orang lain, aku akan mengambil rupanya."
Kataku.
"Di gunung ini hanya ada aku."
Katanya kesal.
"Jangan merengek kakek tua. Biarkan aku tidur lagi kalau begitu." Aku bersiap menyelam lagi.
Sebelum aku melompat ia menyebutkan sesuatu.
"Purwayiksa."
Kata-kata itu membuat kepalaku sakit seperti hampir meledak. Ingatan-ingatanku yang terpotong bermunculan seperti potret yang melintasi mataku dengan kecepatan tinggi.
Perlahan tubuhku berubah menjadi hitam seluruhnya, aku seperti kumpulan asap yang membentuk wujud manusia. Hanya mataku yang berwarna putih.
Saat aku mulai tenang, kakek tua sialan itu berkata lagi.
"Namamu Ayi sekarang. Kependekan dari nama kramatmu. Lagipula kemampuan milikmu membuatmu tak punya jenis kelamin yang jelas. Nama Ayi disini bisa berarti perempuan atau laki-laki. Mirip kemampuan menirumu."
Jelasnya.
"Baik, namaku Ayi. Kenapa kau bisa tahu semua tentangku? Siapa kau?"
Aku harus waspada padanya.
"Aku membaca riak air sungai setiap hari, ikan-ikan disini enggan memakan umpanku, ternyata ada tubuhmu didasar sungai yang menjadi makanan mereka. Lalu di suatu kesempatan, aku bertemu dengan musuhku yang membawa makhluk yang mirip denganmu. Seekor ular berkepala manusia bernama Rega. Aku membaca ingatannya dan dari situ aku mengetahuimu."
Ia menjelaskan sambil bersiap untuk pergi.
"Aku akan mengikutimu kalau begitu, siapa namamu kakek tua?"
Aku juga bersiap untuk mengikutinya.
"Orang-orang di kaki gunung memanggilku Lawuh."
Katanya sambil berbalik.
~oOo~
Sejak saat itu, aku mengikuti Ki Lawuh, ia sedikit-banyaknya mengenalku, entah bagaimana.
Ia tinggal di sebuah gubuk dari anyaman bambu dan pondasi kayu.
"Aku masih manusia yang butuh makan."
Katanya suatu hari saat aku menegurnya kenapa ia beternak ayam dan menanam sayuran.
"Ada banyak demit di gunung ini dan beberapa yang kadang dari luar. Kau bisa memakan mereka."
Ujarnya saat kami membahas makanan.
Aku tertegun sejenak.
"Atau kau lebih memilih untuk memakan manusia?"
Tanyanya kemudian.
Aku menggeleng sambil tertawa.
"Akan menjadi aneh jika aku memakan manusia, sedangkan katamu dulu aku manusia."
Jawabku sambil terpingkal.
"Baguslah, hanya ingat ini! Jangan memakan Geni. Paham?"
Ia memperingatkan.
"Geni? Hewan atau demit apa itu? Lucu sekali namanya. Hahaha aku yakin kau yang memberi nama kan?"Perutku geli saat mendengar namanya.
"Ck.. Geni itu yang semalam kau sebut dia anjing penjaga."
Jelasnya.
"Dia? Makhluk lucu itu? Penjaga? Hahaha... Seleramu seperti gadis desa."
Perutku sakit, aku tertawa hingga harus berbaring.
"Ah sialan, terserahlah."
Ia lalu pergi.
Aku masih tertawa saat ia benar-benar pergi.
Aku menemukan hiburan setelah lama tertidur, tak kusangka kakek tua itu punya selera humor juga.
Keseharian kami berlalu, saat malam aku akan berburu. Bukan sebab lapar, hanya saja aku merasa aneh jika tak memakan sesuatu.
Harus ku akui, rasa dedemit rata-rata hambar dan berbau kemenyan atau bunga. Tapi akupun tak bisa merasakan rasa seperti manusia.
Aku ikut membantunya saat turun gunung sesekali. Sifat anehnya yang tak segan membunuh orang yang bersalah, seperti berseberangan dari orang kebanyakan. Entahlah, yang pasti rasa demit yang ia buru lebih baik dari yang aku dapat.
Hingga suatu hari,
Seorang wanita datang kemari. Matanya penuh dendam, lidahnya tajam.
Ia meminta untuk berguru pada Lawuh untuk membalas dendam.
Awalnya Lawuh menolak, namun saat nama Kala keluar dari wanita itu, dia terlihat kesal dan menerima si wanita untuk berguru padanya.
Beberapa hari kemudian, aku baru tahu jika nama wanita itu Yuyun.
Lawuh menutup matanya dengan kain putih dan memasang ajian di lidahnya hingga ia tak bisa bicara.
"Itu untuk meredam dendamnya yang terlalu besar."
Katanya beralasan.
"Kau yakin? Bukan karena Yuyun melihatmu dengan bengis dan kata-kata tajamnya tempo hari?" Aku mengejeknya sambil menahan tawa.
Lawuh hanya menolehku cepat dan kemudian membuang muka.
"HAHAHAHA... Sial, aku bisa mati tertawa lama-lama." Aku puas saat melihat reaksinya.
Waktu berlalu, Yuyun telah menyelesaikan perguruannya pada Lawuh. Namun ia masih butuh berlatih selama beberapa waktu lagi.
Namun satu kejadian membuatnya angkat kaki lebih cepat.
Ia melepaskan ajian yang menahannya bicara.
"Kau tidak seharusnya membunuh laki-laki itu tua bangka sial!"
Umpatnya.
"Lalu aku harus melepasnya begitu saja setelah apa yang ia lakukan pada gadis tak berdosa itu?"
Lawuh tak ingin kalah.
"Tak ada yang mati karenanya! Ia masih bisa memperbaiki diri!"
Yuyun semakin meninggi.
"Ia telah rusak menjadi manusia sejak dia memutuskan untuk melakukan hal keji itu! Jangan lagi membantah!"
Lawuh mulai kesal.
"Terserah! Aku pergi! Biar aku sendiri yang akan membalas dendamku! Kau tua bangka! Membusuk saja di gunungmu!"
Setelah berkata seperti itu, ia pergi.
Sebelum ia melangkah lebih jauh, ia berteriak.
"Ayi!!"
Aku dipanggil olehnya.
Aku datang dengan enggan.
"Kau akan ikut bersamaku agar tak lagi membunuh orang lain."
Ia menunjuk wajahku.
Aku seperti terikat dan menurut.
"Lepas! Aku tak membunuhnya. Aku hanya melemparnya ke sungai dan beberapa demit buaya memakannya sebagai tumbal. Aku tak bersalah."
Aku melepaskan ajiannya dan membuat alasan.
"Ck.. kalau begitu, aku akan memberimu makanan lezat lebih sering dari tua bangka itu."
Rupanya ia benar-benar tak ingin menyerah untuk membawaku.
"Kau kira aku akan terbujuk?" Aku menentang dan menatap matanya.
Dia terdiam dan membalas tatapanku.
"Tentu saja aku akan ikut." Kesempatan seperti ini untuk makhluk sepertiku kenapa harus menolak?
"Baiklah, baiklah, bawa juga Geni bersama kalian. Satu pergi, yang lain juga. Aku tak ingin repot mengurusnya."
Lawuh memerintahkan Geni untuk ikut bersama kami.
"Kau akan kesepian disini tua bangka." Ejekku padanya yang akan kami tinggalkan.
"Apa yang kau harapkan dari manusia yang terikat pada gunung dan tak bisa mati? Pergilah! Orang-orang semakin banyak di kaki gunung, banyak hal berubah. Aku takkan bosan melihatnya."
Katanya sambil tersenyum.
"Baik, sampai jumpa lagi bocah gila."
Akhirnya kami berpisah dengannya.
"Akhirnya kau mengakui umurmu jauh lebih tua dariku."
Kata-kata itu menjadi salam perpisahan kami.
~oOo~
Aku menempati sebuah ruangan di lantai atas di tempat tinggalnya. Ia memperlakukanku seperti manusia, sungguh aneh.
Aku jarang ada disana, lebih sering berkeliaran dan mempelajari peradaban baru. Semua benar-benar telah berubah.
Dulu, ajian adalah hal yang setiap orang pasti punya. Sekarang, sangat jarang menemukan nafas dari orang yang memilikinya.
Waktu sekali lagi berlalu, entah berapa puluh tahun. Yuyun mulai menua dan beruban, ia masih mempertahankan sisi manusianya.
Seperti halnya gurunya, Lawuh, Yuyun juga membantu orang-orang dengan kemampuannya. Tapi aku bisa bilang dia lebih lembut dan manusiawi.
Dan pertarungannya melawan keluarga Han, membuatku bergairah setelah sekian lama.
Seorang wanita muda mencari Yuyun. Saat kulihat ia, suasana ini, mirip saat Yuyun datang dan mencari Lawuh.
Melihat pemandangan itu, aku tak menyesal hidup lama.
Mereka berdua masuk dan naik ke lantai atas.
Saat mereka berdua di teras atas belakang.
"Ayi."
Yuyun memanggilku.
Aku datang dengan cepat berharap ada sesuatu yang menarik yang akan terjadi.
Aku menatap perempuan itu, begitu muda, begitu belia. Aku bertaruh ia baru saja menginjak 20an.
Seperti biasa, secara tak sadar aku meniru rupa dan wajahnya.
Perempuan itu mendekat, lalu bersimpuh di hadapanku.
"Kawula Ratih, nung ngabdi janten murid. Milari ajian Dalak Natih nu kagungan ....."
("Saya Ratih, bermaksud ingin menjadi murid. Mencari Ajian Dalak Natih yang sedang dipegang ....")
Ia menghentikan perkataannya.
Aku berjongkok dan memegang pipinya agar dia menatapku. Matanya seperti Yuyun dulu, kental dengan dendam dan kebencian yang meluap.
"Sebutkan!"
Aku tersenyum puas dan lebar, akan ada hal menarik yang akan terjadi dalam pertempuran melawan keluarga Han.
"Purwayiksa .... "
Tubuhku seperti terlempar. Perasaanku kembali ke waktu yang seharusnya. Tapi aku masih ada di ruangan putih.
Ayi memegangi kepalanya, wujudnya berubah-ubah tak terkendali. Aku melihat keadaan Ayi Seperti menatap layar televisi yang berganti saluran dengan cepat.
kata-kata Ayi berat dan mengancam.
Aku melangkah mundur, lalu kujawab dengan hati-hati.
Sungguh aku takut untuk menyebut nama keramatnya.
Ia menoleh, menatap tajam ke arahku. Aku seperti akan dimangsa olehnya.
Dengan sekejap mata, ia ada dihadapanku dan mencekik leherku sambil berjalan maju.
Ia terus mendorongku dengan kuat.
Ayi kemudian hilang seperti asap yang tertiup angin.
Aku masih mengatur nafas.
Sebuah suara laki-laki membangunkanku, tubuhku ia guncang-guncang.
Aku membuka mata, menyadari aku sedang dalam posisi tertidur diatas meja.
Orang itu duduk didepanku.
Barulah aku sadar, dia kevin.
Ujarku.
"Tadi gua lagi pesen kopi, lu lagi ngobrol sama cewe serius bener. Yaudah, gua diem dulu dibar. Pas cewe tu pergi, baru dah gua samperin lu."
Jelasnya dengan heboh.
Selidikku.
Jawabnya singkat.
Tanyaku lagi.
Kevin balik tanya.
Jawabku.
Ia bertanya tentang Ratih.
"Dia Ratih, gua gak punya kontaknya juga. Lu naksir?"
Tanyaku.
Ejeknya.
"Ah terserah, kalo gua ketemu lagi gua minta kontaknya buat lu. Puas?"
Kesalku.
Jawabnya sambil menepuk pundakku berkali-kali.
Kuteguk kopiku yang masih hangat, terlintas beberapa pikiran tentang apa yang telah terjadi. Nama keramat Ayi, asal-usulnya, dan apa yang ia lakukan hingga hari ini. Ia memperlihatkan apa yang benar-benar ingin aku tahu.