Pertarungan berlanjut, aku masih merasakan diriku menjadi Kirya setelah bertemu dengan Ayi.
Aku menusuk dada dari kedua prajurit Sudragi. Kudekap erat istri dan anakku yang telah tak bernyawa.
"HAAAAAAAARRRGGHHHH!!!"
Aku berteriak menangis sejadi-jadinya, kedua orang yang kucintai tewas. Tak kusangka tadi adalah sarapan terakhir kami. Dadaku penuh sesak karena pilu, kepalaku hangat, air mataku deras mengalir, dendam ini harus kubayar apapun caranya.
Aku teringat dengan ajian terlarang yang sedang kusempurnakan. Awalnya aku bermaksud membuang efek samping yang mematikan dari ajian ini, dan hanya mengambil kekuatannya.
Persetan dengan penyempurnaan!
Kali ini, antara aku atau bajingan Regandra yang harus mati.
Ajian Kawula Nista adalah ajian yang mengambil ajian yang digunakan lawan. Mantra mentahnya membayar kerusakan pada tubuhku sebagai ganti dari peniruan ajian lain. Semakin berharga bayarannya, semakin rusak tubuhku, semakin banyak ajian yang dapat aku tiru.
Dengan kata lain,
Semakin aku sekarat, semakin pula aku menjadi kuat.
Aku meletakkan tubuh anak dan istriku, tangisku reda berganti kemarahan yang teramat sangat.
Kuletakkan ujung tombak tepat pada jantungku dan bersiap menusuknya,
Pedang dari prajurit Sudragi kuletakkan dileherku dan bersiap untuk menyayatnya.
"Panista alam lelembut,
Kagung pati mayapada,
Tireuh manah walangsaka,
Pireuh calangka weulah siki,
Kawula nista kanjeunan pira,
Kawula
Nista
Kanjeunan
Pira."
Kusayat leherku, kutembus jantung dengan tombakku, keduanya kulakukan bersamaan.
Sakit, panas, perih, kurasakan tanpa ampun. Tubuhku mengigil seketika, lalu sejuk dan hangat kemudian.
Aku ambruk dan tak sadarkan diri, kupastikan aku hampir mati.
Sejenak kemudian, mataku terbuka, tubuhku terasa ringan, luka-lukaku terbuka lebar, tapi tidak ada rasa sakit disitu.
Suaraku menjadi serak dan berat, jantungku berdetak pelan hampir berhenti sepenuhnya. Dengan leher yang menganga dan tombak yang menembus jantungku, aku bangun berdiri.
"REGANDRA!!!" Aku berlari mengejar bajingan itu seperti kesetanan, ajian tapak ngangin milik Dimar kutiru agar berlari lebih cepat.
Ketika jaraknya cukup, aku mencabut tombak yang menancap di jantungku dan melemparnya ke arah kaki belakang kuda yang ia pacu.
Regandra dan Nyi Ratu jatuh tersungkur. Kedua tubuh mereka tertindih kuda.
Dengan ganas, Regandra bangun. Menendang kudanya menjauh. Sementara Nyi Ratu ia pukul tengkuknya hingga tak sadarkan diri.
"Kirya, jika kau mendekat lebih dari 2 langkah. Nyi Ratu akan kubunuh!"
Ancamnya sambil menempelkan kujang di tenggorokan Nyi Ratu yang sedang tergeletak.
Aku berhenti dan memperhatikannya sebentar.
"Kau pikir aku peduli?" Aku semakin mendekatinya dengan berjalan.
"Ck, prawiga tercela!"
Ia melepaskan Nyi Ratu dan maju menghadapiku.
Aku hanya menatapnya, mempersiapkan ajianku untuk meniru miliknya.
"Kau tahu benar, aku pemegang Baja Purwa. Melihat kondisimu yang berdarah-darah, kau akan mati dalam 2 gerakan. Pikirkan lagi sebelum menghadapiku."
Ia mencoba membuatku mundur.
"zirah itu? Mari kita lihat kemampuan apa yang dia punya." Aku tersenyum.
"Kau akan menyesal, Kirya!"
Ia memasang kuda-kuda, memegang kujangnya erat, dan bersiap menghunusnya padaku.
Aku melemaskan leher dan pundakku sebelum bergerak mendekatinya.
Dalam sekejap aku berada di samping Regandra dan menendang tepat di rusuknya. Ia terpental, dan kembali bangun dengan cepat. Sebelum ia sempat membalas seranganku, sebuah ledakan kecil tanpa asap meledak tepat di rusuk yang aku serang.
Regandra mengurungkan gerakannya dan memilih melompat mundur.
"Bagaimana kau bisa melakukan ajian milik Dimar?"
Tanyanya sambil memegang rusuknya.
"Kau bisa tanyakan nanti saat kita berdua di neraka."
Aku tak ingin menunggu lebih lama.
Lompatanku mendarat tepat di belakangnya, ku pegang kepalanya dan memelintirnya ke belakang dengan cepat. Sebelum tubuhnya ambruk, kuangkat dia ke atas dan membantingnya dengan keras.
Tapak ngangin kufokuskan dalam satu titik di ujung kaki, membuat sebuah bilah pedang tak kasat mata.
Aku melompat keatas, memutar tubuhku dan mengarahkan seranganku pada lehernya. Akan kupenggal dia.
Tepat sebelum seranganku mendarat, Regandra berhasil menghindar dan menusuk betisku dengan kujangnya.
Ia melompat mundur dan berdiri.
Meski kepalanya telah berbalik ke belakang, ia seperti baik-baik saja.
"Kau bilang ingin melihat kemampuan Baja Purwa bukan?"
Ucapnya sambil memutar kepalanya kembali ke posisi semula.
"Akan kutunjukkan!"
Zirah yang ia pakai berubah menjadi hitam kelam dengan garis berwarna hijau dan merah.
Helmnya muncul dua tanduk yang melingkar di kanan-kiri dahi dan melingkar ke belakang. Kini wajahnya telah tertutup sempurna, helm itu menyisakan sebuah garis lurus melintangi mata.
Sementara seluruh tubuhnya telah terpenuhi dengan zirah hitam dengan duri-duri kecil yang timbul di permukaan.
"Menarik!" Lagi-lagi aku tersenyum. Akan kutiru semua ajian yang ia gunakan dan kuperlihatkan padanya sebuah balas dendam yang lebih menyakitkan dibanding kematian.
Regandra percaya dengan zirahnya, ia menyerangku bertubi-tubi. Aku tentu saja menghalau dan berusaha membalas. Herannya setiap kali seranganku berhasil merusak zirah dan melukainya, luka itu akan sembuh dan zirahnya juga akan kembali seperti semula.
"Kau puas?!"
Ia berkata di sela-sela serangannya yang datang tanpa henti.
Energi bumi yang kupijak, kuhisap dan kusimpan di kaki kanan. Lalu kulepaskan tendangan berat yang telak mengenai perutnya hingga ia harus terlempar mundur.
"Sepertinya ajianmu bertolak belakang dengan Baja Purwa. Sayang sekali."
Aku berusaha membuatnya marah.
"Lalu kenapa? Baja Purwa lebih dari cukup untuk membinasakanmu."
Ia tampak kesal.
"Apa jadinya jika ajian yang disimpan baja Purwa ada dua? Mari kita cari tahu."
Aku menyeringai.
Sementara Regandra tak mau menunggu, ia datang dan membuat tendangan keras beruntun yang mengarah pada luka di jantungku.
Kuterima serangan itu hingga ia berhenti dalam dua tarikan nafas.
Saat ia berhenti kuangkat celah zirah yang ada di perutnya dan membantingnya ke tanah.
Saat ia tergeletak, kuinjak dan kutiru ajian Baja Purwa.
Darahku mengalir deras lagi, alih-alih jatuh ke bawah, darah itu menjalari seluruh tubuhku, lalu mengeras dan berubah menjadi hitam, duri-duri kecil mencuat dari sana. Hanya tersisa kepalaku yang tak dilapisi oleh tiruan ajian Baja Purwa.
"Bajingan!!"
Regandra mengutuk dan membuat tombak dari Baja Purwa hingga menancap telak di dahiku.
Saat aku kehilangan keseimbangan, dia memukul perut dan dadaku berkali-kali, sebagai penutup ia menendang kepalaku hingga aku jatuh terlempar.
Aku bangun dan mencabut tombak itu, seperti cairan aneh, tombak itu malah menyatu dengan baja Purwa milikku.
"Tombakku kini takkan terbelah lagi." Aku meniru apa yang Regandra lakukan. Kubuat tombak dari baja Purwa dan melemparkannya tepat di dahinya.
Ia mengelak, dengan tapak ngangin aku mendekatinya dengan cepat, lalu kubuat tombak baru dan kini seranganku berhasil masuk. Tombakku menancap di dahinya hingga menembus kepala Regandra.
Saat ia mulai kehilangan keseimbangan, kubuat bilah pedang dari baja Purwa dilapisi ajian tapak ngangin, lalu menebas lehernya hingga putus.
Leher Regandra menggelinding masih memakai helm yang mana bagian dari Baja Purwa.
Kuinjak kepalanya, helm itu mencair dan menyatu dengan Baja Purwa milikku.
Saat kepala Regandra terlepas dari Baja Purwa, sesosok tubuh ular keluar dari kepala yang terputus itu.
Saat lengkap,
Kepala Regandra kini memiliki tubuh ular.
Mata dan lidahnya menjadi seperti mata dan lidah ular.
'SHAAAKK!'
Ia mengeluarkan cairan hijau dari mulutnya dan mengenai kepalaku. Wajahku meleleh hingga habis seluruhnya, saat tubuhku hampir jatuh, baja Purwa melapisi kepalaku membentuk helm dengan 2 tanduk yang melingkar.
Dan itulah hal terakhir yang aku ingat.
Hingga ........