Kevin tersenyum lebar, aku meringis jijik dan memundurkan tubuhku sedikit menjauh.
Kevin masih bisa bicara dengan senyuman anehnya.
Aku memberi tanda dengan jariku bergerak dari telinga kiri ke kanan melintang melewati bibir, membentuk senyuman.
Suaranya lebih serak sekarang.
Tawanya tertahan.
Seketika aku tersadar. Aku duduk di sebuah ruangan dengan keseluruhan berwarna putih. Kursi yang kududuki, meja dihadapanku, semuanya putih.
Aku panik dan melihat ke sekitar.
Aku berbalik dan melihatnya, kini dia mengambil rupaku.
ia menujukku.
Ia marah dan membentakku.
Sial, aku kelepasan.
Dia terdiam sebentar sambil menatapku dalam-dalam.
Keluhnya.
Katanya dengan nada rendah.
Ia menatapku sedikit kesal.
Aku menarik nafas dan siap menyebutnya.
Ayi mengarah telapak tangannya padaku, memberi isyarat berhenti.
Ujarnya sambil menarik nafas panjang.
Aku mengangguk.
Kebisingan pagi itu membangunkanku, orang-orang memulai kegiatannya lebih ramai dari hari-hari biasanya.
Kulihat istriku sedang menyiapkan sarapan, anakku juga turut membantu.
"Apah saurna bade tanding?"
("Ayah katanya akan bertarung?")
Anak perempuanku memeluk kakiku dan bertanya dengan manis.
"Muhun geulis, apah bade tanding patih."
("Iya sayang, ayah bertarung memperebutkan posisi patih.")
Jawabku sambil mengelus kepalanya.
"Mung apah janten patih, kenging baja purwa nya pah?"
("Jika ayah jadi patih, dapat armor purwa ya yah?")
Ia lanjut bertanya dengan mata berbinar.
"Hahaha .. ai neng, baja purwa mah kangge Mahapatih Calagra atuh, apah mah moal tiasa kenging."
("Baja purwa hanya untuk Mahapatih Calagra. Ayah gak bakal bisa dapet.")
Jelasku sambil mengusap gemas kepalanya.
"Bari jeung pami apah janten Mahapatih, neng hoyong kitun ngalih ka Agarabinta?"
("Lagian kalo ayah jadi Mahapatih, neng mau gitu pindah ke Agarabinta?")
Kini istriku ikut dalam perbincangan kami.
"Alim ah, tebih."
("Gak mau ah, jauh.")
Jawabnya sambil mengambil makanannya.
Kami hanya tersenyum dengan tingkah anak perempuanku, dan melanjutkan sarapan.
Setelahnya aku membersihkan diriku di belakang. Dan bersiap di kamar, baju tempur, sepatu besi, pelindung lengan, tameng, kupakai semuanya di seluruh tubuh.
Sebelum aku melangkah keluar kamar, aku berlutut satu kaki menghadap timur.
"O Sang hyang agung Kasha,
Kula angkat tanding, pasihan samudaya kagungan."
Istriku menunggu di pintu kamar, setelah aku selesai berdoa,
Ia mendekapku erat.
"Kakang nging pati sateuacan nyai nyingdep kawasa."
("Kamu dilarang mati sebelum aku mati.")
Ucapnya lirih sambil memelukku dengan erat.
Sebelum menjawabnya, kukecup dalam-dalam kepalanya dan berbisik.
"Nyai Asih kadeudeuh, yeuh kakang Kiyar taya mulih iwal aran. Samaga tumbak taga weulah, kakang bakal mulih saawak diga."
("Istriku Asih yang kusayang, ini aku Kiyar takkan pulang kecuali nama. Selama tombak belum terbelah, aku akan pulang tanpa cedera.")
Angkuhku lembut untuk membuatnya tenang.
"Saucap keucap prawiga eta jangji kang."
("Sepatah kata prajurit itu janji kang.")
Ia melepaskan dekapannya dan menatapku dengan serius.
"Muhun nyai."
("Betul sayang.")
Balasku lembut.
Kemudian aku berpamitan dengan istri dan anak perempuanku.
"Neng Cayiksa kadeudeuh apah, jampian apah nya geulis?"
("Neng Cayiksa kesayangan ayah, doakan ayah ya cantik?")
"Muhun apah."
("Iya ayah.")
Ia kembali memelukku sebelum akhirnya aku keluar rumah.
Bau tembikar dan besi bercampur di udara pagi menyingkap embun yang hilang perlahan menguap.
Hari ini, adalah pertandingan akhirku melawan teman seperjuanganku, Dimar. Untuk memperebutkan posisi Patih di kerajaan Calagra. Patih sebelumnya terbunuh saat pengawalan Nyiageng Ratu Calagra, dan pertandingan sayembara pun diadakan untuk menggantikannya.
"Siap kalah kang?"
Dimar tiba-tiba datang dan menyapaku di gerbang masuk aula pertarungan.
"Itu kata-kataku harusnya."
Balasku sambil tersenyum kepadanya.
"Hahaha... Siapa yang menyangka teman sepermainanku hari ini melawanku dengan serius pada akhirnya?"
Ia merangkul pundakku.
"Jangan menangis seperti saat kupukul pantatmu di bawah pohon tempo hari."
Aku terkekeh mengingat kenangan semasa kecil kami.
"Wah masih inget aja."
Ia melepaskan rangkulannya.
"Ayolah itu hal yang lucu."
Kini aku yang merangkul pundaknya dan berjalan menuju aula pertandingan.
Lahan seluas 20 tombak persegi dengan ubin terbentang di hadapan kami. Sekelilingnya ada para prajurit yang menonton pertandingan kami, mereka semua berdiri dan bersorak.
Diatas sana, Raja dan Ratu Calagra, Penasihat kerajaan dan bahkan Mahapatih melihat kami yang akan bertanding.
Lalu sang penasihat berdiri.
"Satu minggu lalu, Patih terbunuh saat mengawal Ratu, Mahapatih terluka dalam penyerangan itu. Maka, dalam tradisi kita sebagai prajurit Calagra mengangkat Patih dalam sayembara. Patih baru akan menemani Mahapatih untuk membalas dendam pada kerajaan Sudragi!!"
Kata-katanya dibalas oleh teriakan semangat para prajurit.
"Ambil tongkat dan perisai kalian, menjauh dalam 10 langkah!"
Sang penasihat memberi aba-aba.
Kami menuruti setelah saling memberi salam.
"Sayembara Patih Calagra, mulai!"
Saat aba-aba itu terucap, aku dan Dimar menghunuskan tombak saling berjalan mendekat.
Sebetulnya jika dalam peperangan, kami menggunakan tombak bukan tongkat seperti dalam sayembara.
Namun demi keamanan, hanya tongkat yang boleh digunakan. Kalah atau menang akan terlihat jika salahsatu dari kami tidak dapat melanjutkan pertarungan.
Kami saling serang dan bertahan. Serangan Dimar cenderung cepat dan beruntun.
Sementara aku lebih kuat namun lambat.
Aku maupun Dimar saling mengahadang serangan menggunakan perisai dengan imbang. Wajar karena kami sering berlatihlah bersama. Kami sama-sama mengetahui gerakan satu sama lain.
Suara-suara tongkat yang beradu terdengar nyaring dan kuat. Sorak-sorai para prajurit membuatnya lebih tegang.
Serangan ke bagian vital sama-sama dapat kami hadang, pertandingan ini menjadi pertarungan stamina.
Saat satu pukulan akhir yang sama-sama kami terima, kami mundur mengatur nafas.
"Mari akhiri."
Kataku padanya.
"Aku setuju."
Balasnya.
Kami menyiapkan ajian terakhir. Dimar mengkhususkan diri pada serangan yang tajam dan cepat seperti sifat angin.
Aku lebih pada pertahanan yang kuat namun serangan lambat, seperti batu karang.
Gerakan Dimar sangat cepat hingga ia dapat langsung berada di sampingku dan menyerang tepat di rusuk.
"Kau tahu hal ini tak berguna."
Ucapku yang langsung membalasnya dengan pukulan tongkat keras tepat di dadanya.
Dimar menahan seranganku dengan tangannya dan melompat menjauh, dia mengurangi dampak serangan dengan gerakan itu.
Tepat saat ia mundur, rusuk yang ia serang seperti terpukul dengan keras, membuatku jatuh terlutut.
Apa ini?
Seharusnya serangan tadi kuredam dengan ajian yang kugunakan di tubuhku.
"Itu teknik baruku kang. Dampaknya terlihat lambat seperti teknik gagal, tapi sebenarnya dampak hantaman tersimpan sebentar dan akan meledak saat lawan bergerak."
Ujarnya sambil berdiri.
"Kerja bagus."
Aku memegang bagian rusukku dan menepuk lantai aula tiga kali tanda menyerah.
"Patih Calagra baru adalah Dimar!"
Sang penasihat meneriakkan hasilnya.
Dimar disambut sorakan yang sangat keras dari seluruh prajurit. Ia mengangkat tangannya sambil tersenyum puas.
Aku melihatnya bahagia, setidaknya yang menjabat menjadi patih adalah sahabatku sendiri.
Dimar menghampiriku dan membantuku berdiri, saat tubuhku dirangkulnya, ia juga mengangkat tanganku ke udara.
"Terimakasih telah mengalah kang. Saya tahu akang menyimpan sesuatu kan?"
Ucapnya di sela-sela semua pujian yang mengarah padanya.
"Hahaha... Benar-benar mudah ditebak ya? Ajian ini belum sempurna, aku belum menguasainya dengan penuh."
Aku memberi alasan.
"Ceritakan padaku nanti."
Pintanya sambil membopongku keluar arena.
Aku mengangguk pelan, tulang rusukku masih sakit.
Aku duduk di sebuah bangku panjang, prajurit yang bertugas mengobati luka segera memeriksaku.
Sementara Dimar, tubuhnya diangkat dan di lempar ke udara oleh para prajurit yang lain. Suara tawa menghiasi arena.
Momen ini, momen yang takkan aku lupakan.
Lalu suara sang ratu Calagra memecah kegembiraan.
"Aaaaaakkkhhhh!!!!!!"
Saat ku tengok, Mahapatih telah menusuk Sang Raja Calagra dengan Kujang, juga menyayat leher sang penasihat dan membawa sang Ratu pergi.
Setelahnya, para prajurit dari kerajaan Sudragi mengepung tempat ini.
Di luar juga terdengar teriakan semua orang.
Orang buta juga akan tahu dengan keadaan ini.
Mahapatih Calagra berkhianat!
Ia membuka akses gerbang kemari, sialan!
Sepertinya akan terjadi pembantaian.
Kami segera melawan penyerbuan ini, para prajurit Calagra dan Sudragi beradu pedang dan tombak.
Aku mengambil tombak di belakangku, dan merangsek maju. Saling serang, saling balas, saling hadang. Keadaan ini benar-benar kacau. Darah dari kedua pihak tertumpah di tanah, banjir darah mulai menggenang.
"Prawiga Kiyar! Sebagai Patihmu, aku memberimu perintah untuk pulang dan lindungi Nyai Asih dan Cayiksa!"
Dimar memberiku perintah.
"Maaf Patih, tapi disini lebih membutuhkanku! Patih dilarang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri!!"
Jawabku di sela-sela tusukan tombak pada prajurit Sudragi.
"Kau terluka Kiyar! Kau beban di pasukan! Pulang lindungi keluargamu! Jika kau mengabaikan perintahku lagi, kau bukanlah prawiga Calagra!"
Dimar mengancam.
"Pangestu nun!"
("Saya mengerti tuan.")
Aku tak ingin lebih menentangnya, sulit mengakui bahwa apa yang ia katakan memang benar.
Sementara Calagra adalah segalanya untukku, tapi keluargaku membutuhkanku saat ini.
Aku berlari sambil menahan lukaku, setiap kutemui prajurit Sudragi, kutusuk perut atau dadanya dan terus berlari.
Seharusnya jarak antara arena dan rumahku hanya seribu langkah. Namun rasanya waktu berjalan sangat lambat hingga aku kesal karenanya.
Didepan ternyata Mahapatih membawa nyiageng Ratu dengan kuda.
Antara melindungi keluargaku atau membalas pengkhianatannya, aku harus memilih.
Dan saat seorang prajurit sudragi membawa anakku keluar rumah, ia menebas lehernya.
"BAJINGAAANNN!!!!"
Lariku semakin cepat saat melihat itu, amarah didadaku sesak tak tertampung.
Sesaat sebelum aku mencapai anakku yang telah tergeletak, istriku keluar dari rumah dengan baju yang robek sambil dikejar oleh prajurit Sudragi yang lain.
Istriku panik dan berlari tanpa arah, hingga saat kuda Mahapatih berdiri karena kaget terhadang istriku, Mahapatih menusuk tepat di hati istriku.
"REGAAANDDRAAAA!!!!"