Kaskus

Story

drupadi5Avatar border
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.

Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu




Kota Kenangan1

Kota Kenangan 2

Ardi Priambudi

Satrya Hanggara Yudha

Melisa Aryanthi

Made Brahmastra Purusathama

Altaffandra Nauzan

Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden

Altaffandra Nauzan : Patah Hati

Altaffandra Nauzan : the man next door

Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah

Expired

Adisty Putri Maharani

November Rain

Before Sunset

After Sunrise

Pencundang, pengecut, pencinta

Pencundang, pengecut, pencinta 2

Time to forget

Sebuah Hadiah

Jimbaran, 21 November 2018

Lagi, sebuah kebaikan

Lagi, sebuah kebaikan 2

Perkenalan

Temanku Malam Ini

Keluarga

03 Desember 2018

Jimbaran, 07 Desember 2018

Looking for a star

Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin

Pertemuan

BERTAHAN

Hamparan Keraguan

Dan semua berakhir

Fix you

One chapter closed, let's open the next one

Deja Vu

Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun

Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...

Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...

Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...

Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...

Damar Yudha

I Love You

Perjanjian...

Perjanjian (2)

Christmas Eve

That Day on The Christmas Eve

That Day on The Christmas Eve (2)

That Day on The Christmas Eve (3)

Di antara

William Oscar Hadinata

Tentang sebuah persahabatan...

Waiting for me...

Kebohongan, kebencian, kemarahan...

Oh Mama Oh Papa

Showing me another story...

Menjelajah ruang dan waktu

Keterikatan

Haruskah kembali?

Kematian dan keberuntungan

The ambience of confusing love

The ambience of love

Kenangan yang tak teringat...

Full of pressure

Persahabatan tidak seperti kepompong

Menunggu, sampai nanti...

Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji

Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak

Menjaga jarak, menjaga hati

First lady, second lady...

Teman

Teman?

Saudara

Mantan

Mantan (2)

Pacar?

Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
lengzhaiiiAvatar border
manik.01Avatar border
JabLai cOYAvatar border
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
drupadi5Avatar border
TS
drupadi5
#75
17 December 2018

Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...

kaskus-image

Aku menutup mataku kembali ketika cahaya terang menerobos ke ruang penglihatanku.

Aku menggeliat malas dan membalikkan badan. Agak tebal kurasakan di seputar mataku, aku memaksakan membuka mata lebih lebar, kurasakan memang agak aneh pada kedua mataku.

Aku bangun dan mengambil kaca kecil yang ada di dalam tasku. Oh shit, kedua mataku bengkak. Pasti karena semalam, pikirku.

Kemarin malam, sepulang dari tempat Hanggara, aku langsung mandi dan menangis sepuasnya di kamar mandi mengeluarkan rasa sesak dalam dadaku, rasa panas dan marah dalam hati dan kepalaku. Dan acara menangis terus berlanjut sampai aku ketiduran.

Dan sekarang beginilah hasilnya, mataku bengkak parah. Masih ada sedikit waktu, aku mengambil kapas dan membasahinya dengan air dan meletakkannya di kedua mataku sambil kembali baringan di tempat tidur. Mudah-mudah ini bisa mengurangi bengkaknya.

***

Aku memakai kacamata untuk menyamarkan bengkak yang masih sedikit tersisa di mataku. Sebenarnya mataku memang minus, hanya saja aku malas memakai kaca mata.

Aku membuka pintu kamar dan langsung di sambut dengan cengiran Fandra yang sudah nongkrong di depan kamarku.

Buru-buru aku menundukkan kepala menyembunyikan mataku, menghindari pandangannya.

“Pagi Vio!” sapanya

“Pagi,” sahutku singkat memunggunginya sambil mengunci pintu kamarku.

“Udah mau jalan kerja?” tanyanya lagi

“Iya,” sahutku, “duluan ya.” Aku hendak langsung pergi tanpa menoleh lagi padanya

“Ups, tunggu dulu!” tiba-tiba dia sudah berdiri di depanku menghalangi jalanku. Aku masih menghindari memandang wajahnya langsung.

Dia masih berdiri di depanku dan aku tahu dia mencoba melihat wajahku.

“Kamu kenapa?” tanyanya

“Ngga apa-apa.”

“Vio!” panggilnya, “Udah, percuma nyembunyiin wajah kamu, aku udah liat dari tadi,” ujarnya kemudian.

Aku mengangkat wajahku dan memandangnya dengan ragu.

“Ada apa?” tanyanya memandangku

“Ngga ada apa-apa, pengen nangis aja,” sahutku pelan

“Karena Hanggara?”

Aku tersenyum kecil kemudian menggeleng.

Aku menghela nafas sebentar, “Ngga tahu kenapa, tiba-tiba saja dada aku nyesek banget, pengen nangis. PMS mungkin akunya.”

Aku memandang Fandra, menantang matanya, dan tersenyum.

“Parah ya aku, ngga jelas banget,” sahutku, “udah ah, minggir.”

Aku mendorong pelan badannya ke samping supaya aku memiliki ruang untuk melewatinya.

Dia menarik lenganku dan sebelum aku jatuh di pelukannya aku menahan badanku dengan tangan kiriku dan sontak aku meringis kesakitan, aku lupa tanganku masih sakit.

“Gimana sih udah tahu tangan masih sakit!” ujar Fandra sepertinya dia kaget

“Kamu juga main tarik-tarik aja,” balasku tak kalah sengit, sambil menahan tanganku yang terasa nyut-nyutan.

“Trus, itu ngga apa-apa? Cek ke dokter aja ya.”

“Aku memang mau control tapi ntar sore jadwalnya,” sahutku, “Entar aja sekalian.”

“Tapi tangan kamu ngga apa-apa? Masih sakit ngga?”

“Ngga apa-apa sih kayaknya, ntar juga sakitnya hilang. Aku kerja dulu.”

“Sebentar,” lagi-lagi Fandra menahanku dengan menarik tangan kananku.

“Apa lagi sih, Fan?!”

“Aku anterin, tunggu.” Dia buru-buru masuk ke dalam kamarnya dan dalam waktu singkat udah keluar lagi, kemudian mengunci pintu kamarnya.

“Katanya ngga mau cari masalah, mau nurutin Hanggara, ngga boleh deket-deket aku, ntar kamu ketemu dia gimana?” pancingku setengah berguyon

“Biar aja, bodo amat, ayo!” Dia meraih tanganku dan menggandengku yang hanya tersenyum kecil melihatnya.

Fandra mengantarkanku sampai di depan kantor.

“Makasi ya,” ujarku padanya ketika sudah turun dan menyerahkan helm yang kupakai tadi kepadanya.

“Mau aku jemput ntar sore, mumpung aku lagi free,” ujarnya.

Aku tersenyum, “Ngga usah.”

Dia pun tersenyum, “Aku lupa, udah ada Hanggara ya…”

“Bukan itu maksudku…”

“Aku balik ya, met kerja, jangan over kerjanya nanti kepala kamu sakit lagi,” ujarnya memotong kalimatku.

Setelah berkata begitu dia langsung pergi tanpa memberikanku kesempatan bicara lagi.

Aku hanya bisa menghela nafas, kemudian masuk ke dalam.

****

Aku melihat Hanggara sudah ada di dalam ruangannya padahal jam baru menunjukkan pukul setengah delapan pagi.

Aku tidak menuju mejaku tapi berlalu ke taman belakang dan mencari tempat yang nyaman untuk duduk.

Aku memilih duduk di sebuah bangku kayu dengan sebuah meja batu di depannya untuk tempatku bekerja selama delapan jam ke depan.

Belakangan aku sedikit ketinggalan dalam mengolah data dan mengirimkan laporan ke kantorku di Jakarta. Ke depannya aku menargetkan, sebelum akhir Januari aku sudah menyelesaikan pekerjaanku dan segera kembali ke Jakarta.

“Lo ngapain kerja di sini?” tiba-tiba Ardi sudah ada di depanku, berdiri sambil memegang gelas yang dari aromanya dapat kutebak itu kopi.

“Cari udara segar,” sahutku tanpa menoleh ke wajahnya.

Dia meletakkan geleasnya di meja dan duduk di depanku. Aku merasa dia sedang memperhatikanku saat ini. Aku meliriknya dan benar saja, mataku bertemu dengan matanya yang sedang mengamatiku.

“Lo kenapa?” tanyanya kemudian ketika aku mengalihkan pandanganku darinya

“Ngga apa-apa,” sahutku masih kembali menekuri layar laptopku

“Aku sudah denger semua dari Angga tentang lo dan Abrar dan juga tentang lo dan dia,” ujarnya

“Trus?”

“Kalau menurut gw, lebih baik lo jangan terburu-buru, lo perlu space buat diri lo sendiri dulu,” ujarnya lalu meraih gelasnya dan meneguknya. Kemudian dia berdiri.

“Makasi ya, kalau bukan karena lo yang minta gw ke sini, gw mungkin ngga akan pernah ketemu Abrar lagi dan ngga pernah tahu apa yang terjadi sama dia. Sekarang… gw bisa ngelanjutin hidup gw dengan tenang,” ujarku menatapnya sekilas dan kemudian kembali menatap layar laptopku.

“Jangan dipikirin lagi, muka lo jelek banget kalau abis nangis.”

Usai berkata begitu dia berlalu pergi. Aku memandangi punggungnya yang menjauh dan kemudian masuk ke dalam ruangan.

***

Kalau pekerjaan sedang menumpuk seperti ini waktu terasa berjalan lebih cepat. Tanpa aku sadari sudah jam makan siang dan beberapa staf sudah mengisi tempat masing-masing untuk santap siang di taman belakang ini.

Aroma makanan mampir melintas di ruang penciumanku tapi tidak membuat aku berselera makan. Semenjak semalam selera makanku tiba-tiba menghilang, hanya air putih yang kuminum dari kemarin malam.

Sedang khusuk-khusuknya aku dengan laptopku. Wulan, resepsionis staf, gadis mungil berwajah hitam manis datang menghampiriku.

“Mbak Vio,” panggilnya pelan.

Aku mengangkat wajahku dan menyapanya dengan senyuman

“Ini pesenannya,” ujarnya sambil meletakkan sebuah bungkusan di sampingku.
Aku memandanganya dan bungkusan itu silih berganti. Bingung.

“Pesanan apa? Aku ngga ada pesan apa-apa,” ujarku.

“Lho, ini tadi kata ojolnya pesenan atas nama Violetta, namanya mbak Violetta kan ya? Perasaan ngga ada yg namanya sama di sini,” ujarnya, dia pun tampak sama bingungnya denganku.

Aku melihat ke dalam bungkusan itu, ada segelas minuman, entah minuman apa, dan ada kotak seperti kotak makanan.

“Aku ngga ada pesen lho, trus tadi yang bayar siapa?” tanyaku lagi

“udah di bayar katanya,” sahutnya.

“Ya udah, ini buat kamu aja,” kataku kemudian kehilangan cara mencari tahu siapa yang memesan makanan ini atas namaku

“Lho kok buat saya, mbak?”

“Ya… aku juga ngga tahu ini yg pesen siapa, karena kamu yang terima jadi buat kamu aja. Atau kamu simpen aja siapa tahu ntar abang ojolnya balik lagi, ternyata salah kirim.” Aku tersenyum dan menyerahkan bungkusan itu padanya.

Wulan menerima bungkusan itu dan berjalan masuk ke dalam lagi. Sedangkan aku kembali melanjutkan pekerjaanku.

***
Aku sedikit terkejut ketika bungkusan yang tadi aku berikan ke Wulan, diletakkan lagi di depanku, tapi kali ini Hanggara yang membawanya.

“Ini buat kamu, aku yang pesenin,” ujarnya lalu duduk di depanku.

Aku menatapnya sekilas dan kembali melihat ke layar di depanku.

“Makasi, tapi aku lagi ngga selera makan,” sahutku.

“Okay, kamu boleh ngebales nyuekin aku, tapi cuma untuk hari ini aja.”

Aku mengangkat wajahku dan menatapnya, ngga peduli dia melihat mataku yang bengkak.

“Aku ngga bermaksud membalas apa pun. Aku bilang aku ngga selera makan, that’s it!”

“Kamu habis nangis?”

“Iya,” sahutku acuh, “kenapa? Ngga boleh aku nangis?”

“Karena aku, sikapku kemarin itu? Maaf, aku benar-benar ngga bermaksud seperti itu,” ujarnya menatapku lekat.

Aku menatap dan menantang matanya.

“Kamu inget waktu kamu pulang dari rumah sakit, trus ngamuk-ngamuk ke aku, dan akhirnya aku nangis, dan kamu ngira aku nangis karena sikap kamu. Padahal ngga, ngga sama sekali. Dan sekarang kamu juga berpikir sama seperti itu, padahal ngga.”

Aku memberi jeda.

“Dan sikap acuh kamu kemarin, pasti karena sesuatu, tapi kamu ngga perlu jelasin karena aku ngga ingin tahu. Sama seperti aku sekarang.”

Dia menghela nafas dan mengalihkan pandangannya dari tatapanku

“Kamu itu udah sangat baik sama aku, ngga mungkin kamu bisa buat aku nangis, untuk saat ini,” ujarku kemudian membuang pandanganku darinya, beralih ke layar laptopku dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana.

Fokusku hilang.

“At least, kamu minum jusnya ya,” ujarnya kemudian mengeluarkan segelas besar minuman dari bungkusan plastik itu dan meletakkannya di dekatku.

Kemudian dia beranjak pergi, berjalan menuju ruangannya.

***

Mendekati jam pulang kantor, aku masih bertahan. Sebenarnya perutku mulai lapar dan kepalaku sedikit berat. Tapi aku sudah menargetkan, laporan untuk awal bulan December harus bisa kukirimkan besok, jadi harus kelar hari ini.

Aku melihat Hanggara keluar dari pintu belakang dan berjalan menuju tempatku sambil menenteng tas punggung dan mengamit laptopnya.

Aku tidak banyak bertanya ketika dia duduk di depanku dan mulai membuka laptopnya. Kami berdua terdiam dan sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing.

Sudah lewat setengah jam dari jam pulang, tapi aku masih memerlukan setidaknya 10 menit lagi.

“Kamu ngga pulang?” tanyaku tanpa melihat padanya

“Kalau kamu pulang, aku pulang,” sahutnya terdengar acuh.

Aku tidak membalasnya lagi. Berusaha secepatnya menyelesaikan pekerjaanku karena satu jam lagi aku sudah buat janji dengan dokter untuk check up tanganku.

Aku ingin ada spare waktu juga buat isi perut dan sedikit bersantai.

Tepat jam enam sore aku selesai.

“Aku pulang sekarang,” ujarku mematikan laptop dan membereskan alat-alat kerjaku. Perlahan aku menegakkan punggungku yang terasa sakit karena terlalu lama duduk.

Hanggara pun kulihat sudah menutup laptopnya, memasukkannya ke dalam tas punggungnya.

Kami adalah orang terakhir yang keluar dari ruangan. Biasanya setelah jam kerja, Pak Wayan bersih-bersih di dalam ruangan, jadi kami membiarkan ruangan tetap terbuka.

“Aku antar pulang,” ujarnya ketika kami melewati tempat parkir motor. Rupanya hari ini dia bawa motor.

“Boleh mampir cari makan dulu?” tanyaku padanya

“Sure,” sahutnya sambil tersenyum.

***

Dari tempat makan aku minta Hanggara langsung mengantarku ke kostan.

“Boleh aku mampir?” tanyanya ketika kami sudah sampai di depan rumah kostku

“Udah gelap, kamu pulang aja, istirahat,” sahutku menolak permintaannya.

“Ok, tapi besok pagi biar aku jemput, jadi kamu ngga usah ngerepotin Fandra buat anter kamu kerja.”

Setelah berkata begitu dia langsung memakai kembali helmnya dan berlalu pergi.

Aku menghela nafas dan kemudian berjalan masuk ke dalam rumah.

Aku pulang ke kostan hanya untuk mandi dan berganti pakaian, setelah itu aku memesan ojol untuk pergi ke dokter.

Sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Fandra.

emoticon-mail Udah di kostan? Jadi ke dokter?

Aku membalasnya

emoticon-mail Udah. Jadi, ini mau jalan

Aku keluar dari kamar dan bersamaan dengan itu Fandra pun muncul dari dalam kamarnya.

“Aku anter ya?” tawarnya

“Ngga usah!” tolakku

“Dianter Hanggara?” tanyanya ketika aku sudah ada di depan kamarnya

“Ngga. Naik ojol,” sahutku

“Sama aku aja..”

“Ngga!!Aku mau jalan sendiri.”

“Tunggu..”

“Ngga usah Fan, denger kan kataku apa?!” ujarku menahannya masuk ke dalam kamarnya. “Tolong, bisa kan dengerin aku kali ini aja. Please….”

“Kenapa?”

“No reason…,” tegasku.

Kemudian aku melangkah menjauhinya

***

Cukup lama aku harus mengantri di dokter, rupanya dokter ini termasuk dokter favorit, hampir 2 jam aku harus menunggu sampai giliranku masuk tiba.

Dokternya sudah berumur dan…galak!

Beberapa kali dia dengan terang-terangan menyalahkanku dengan nada yang cukup keras karena aku beberapa kali salah menyebutkan cara yang sudah kulakukan selama mentreatment tanganku setelah keluar dari rumah sakit.

Heran, kalau dokternya segalak ini kenapa banyak sekali pasien yang datang bahkan rela antri berjam-jam demi untuk di marahi seperti ini. Aku kesal sekali. Sudah sakit, malah di omelin. Kalau saja rumah sakit tidak merekomendasikan aku ke sini lebih baik aku cari dokter yang lain saja.

“Udah tahu tangan patah ya dijaga baik-baik, mau tangannya ngga bisa di pakai lagi?” ujarnya ketika aku mengatakan kejadian tadi siang yang membuat tanganku terasa semakin ngilu.

“Kan ngga sengaja, dok,” lawanku, “saya juga ngga mau tangan saya kenapa-kenapa.”

“Makanya hati-hati, cewek kok semborono!”

What the…!!! Aku di bilang sembrono!!!

Aku mendelik tak percaya menemukan dokter seperti ini. Asistennya yang berdiri tak jauh di sampingnya, seorang lelaki, entah perawat atau apa, tampak mengulum senyum mendengar percakapanku dengan dokter ajaib ini.

“Os!” teriak dokter ajaib ini dari tempatnya duduk sambil menuliskan sesuatu di lembaran rekam medisku.

Si asisten mendekati si dokter dan berdiri di sampingnya, dengan sikap berdiri yang sangat santun.

“Gipsnya bisa kamu lepas, di bagian yang ini kamu tambahin penopang, ini belum terlalu stabil selama masih terasa nyeri, selanjutnya semua ada di sini,” ujar si dokter lebih melembut sambil menunjukkan catatan yang tadi dia buat di rekam medisku.

Sama asistennya bisa berbahasa halus, eh sama pasien yang bayar dia, galaknya bukan main, sungutku dalam hati.

Si asisten yang dia panggil dengan kata ‘Os’ tadi mendekati aku yang masih duduk di tepi tempat tidur perawatan. Dia meletakkan catatan rekam medisku di sampingku duduk.

Aku melihat catatan itu dan sama sekali tidak bisa membaca apa yang dituliskan di sana. Tulisan dokter itu mirip dengan pendeteksi denyut jantung yang terekam dimonitor seperti yang kulihat di filem-filem. Nyaris tidak berbentuk huruf!

Gila tulisannya, bisa kebaca ngga sama si asisten? Gimana kalau dia salah baca? Mampus gw! Pikirku dalam hati.

“Maaf,” kata asistennya padaku, kemudian meletakkan tanganku pada sebuah tiang penyangga dan mulai membuka gips yang sudah beberapa minggu ini melilit di lenganku.

“Kamu bisa baca tulisannya?” tanyaku berbisik pada laki-laki itu

Dia tersenyum, “Bisa,” sahutnya

“Itu tulisan ya? Emang kebaca ya?”

Lagi-lagi dia tersenyum.
Hanya tersenyum tanpa menjawab.

“Ga apa-apa gipsnya dilepas?” tanyaku lagi sambil memandangnya yang tampak serius

“Udah bisa di lepas kok, di ganti sama perban, nanti di setiap sisi tangan diisi tambahan penopang supaya mengurangi resiko bergeser,” ujarnya sambil tangannya terus bekerja.

Aku memperhatikan wajah laki-laki ini. Wajahnya tipe-tipe serius, mungkin karena dia sedang bekerja, cukup putih untuk ukuran orang lokal, atau mungkin dia bukan penduduk lokal. Berkacamata, rambut agak gondrong yang di tata rapi, dan postur tubuhnya tinggi tegap.

“Kamu perawat?” tanyaku penasaran

Dia mengangkat wajahnya melihat ke mataku dan tersenyum.

Dia cukup murah senyum, pikirku, dibandingkan dengan si dokter ajaib yang sama sekali tidak kulihat tersenyum dari pertama kali aku masuk ruangannya.

“Saya dokter,” sahutnya kini dia meraih perban lebar berwarna coklat dan mulai melilitkannya di tanganku.

“Oh ya, asisten dokter berarti, atau dokter junior?” aku masih kepo tingkat tinggi

“Beliau guru saya. Saya juga lulus spesialis bedah ortopedi, sekarang mau cari ilmu lebih banyak dulu di sini,” sahutnya kemudian.

“Oh jadi, si dokter ajaib dapet asisten gratisan ya,” ujarku berbisik pelan padanya.

Dia melihatku dan tertawa kecil sambil geleng-gelang kepala.

“Tabiatnya emang gitu ya, marah-marah sama pasien, tapi pasiennya banyak banget antri di luar,” sungutku memuntahkan uneg-unegku padanya.

Dia masih tersenyum dalam diam, sambil tangannya terus bekerja. Mungkin dia juga takut sama si dokter ajaib itu.

“Ok ini sudah,” ujarnya setelah selesai dengan perban di tanganku dan kemudian melihat lagi pada rekam medisku.

“Violetta?” ujarnya menyebut namaku.

“Panggil Vio aja, kalau dokter namanya siapa?”

Yup, aku suka ini. Di saat-saat tertentu melakukan hal yang tidak pernah aku bayangkan bisa kulakukan. Menguji nyali. Ini salah satunya menanyakan nama cowok itu dan sedikit menggodanya.

Ah, Vio, kewarasanmu lama-lama bisa hilang, sungutku dalam hati.

“Oscar,” sahutnya tersenyum.

Mungkin dia sadar kalau senyumnya manis atau mungkin dia pun tertarik berkenalan denganku.

“Baik, setelah ini ada beberapa obat yang harus diminum rutin dan terapi yang harus dilakukan di rumah,” ujarnya memberikan penjelasan.

“Lakukan yang benar, jangan sembarangan nanti tangan kamu malah lumpuh!” si dokter ajaib tiba-tiba menyela tanpa permisi dengan suara tegas.

Dokter Oscar tersenyum padaku dan kemudian menjelaskan terapi apa saja yang harus aku lakukan.

“Tangannya digerakkan pelan-pelan saja, sedikit demi sedikit setiap harinya, jangan langsung semua gerakan di lakukan, kalau tangannya terasa sakit, langsung stop. Dan usahakan jangan berada di ruangan ber ac terlalu lama atau tempat yang bercuaca dingin kalau ngga nanti akan terasa ngilu di tulangnya. Dan itu ngga bagus dan memperlama proses penyembuhan,” jelasnya.

Kalau dokternya kayak gini kan enak.

Aku mengangguk mengerti.

Si dokter ajaib tiba-tiba berdiri dari duduknya dan keluar dari ruangan rawat.

“Minggu depan kontrol lagi, saya buatkan surat penghantarnya, usahakan daftar ulang sehari sebelumnya karena yang bawa ini akan diutamakan, kalau tidak bisa ke sini bisa ke rumah sakit tempat dokternya praktek,” lanjutnya.

“Boleh ngga dokter aja yang periksa, ngga usah si dokter ajaib itu,” ujarku.

Dia tersenyum, “Beliau itu udah professor di bidang bedah ortopedi jadi lebih baik beliau yang periksa dulu.”

“Tapi customer servicenya kurang banget,” tambahku, “nanti kalau dokter udah mahir dan jadi professor jangan kaya gitu ya,” ujarku tersenyum padanya.

Dia tersenyum lagi dan menyerahkan resep obat padaku.

“Makasi banyak ya, dok,” sahutku berdiri dari dudukku

“Jangan kapok ya,” balasnya sambil tertawa kecil.

***

Setelah menunggu cukup lama di apotik, akhirnya aku bisa mendapatkan beberapa obat yang harus kuhabiskan dalam jangka waktu seminggu.

Sengaja aku memesan taksi mengingat pesan dari Dokter Oscar tadi dan jarak Denpasar – Jimbaran yang lumayan jauh ditambah malam ini angin bertiup cukup kencang dan diiringi dengan gerimis.

Ketika di dalam taksi aku menerima sebuah pesan dari Hanggara.

emoticon-mail Ada di kost?

Aku mengetik membalas pesannya

emoticon-mail lagi di luar.

emoticon-mail Di mana?

emoticon-mail Dokter, kontrol tanganku.

Dan tiba-tiba panggilan masuk dari Hanggara membuat ponselku berteriak-teriak nyaring.

“Halo,” sapaku

“Kenapa ngga bilang mau ke dokter. Sama siapa?” tanyanya

“Sendiri.”

“Naik ojol?”

“Ngga, naik taksi, ini udah mau pulang, ada apa?”

“Ngga apa-apa, maunya ke kost kamu, pengen ngobrol.”

“Besok-besok aja.”

“Ya udah kalau gitu, kalau udah sampai kost kabari aku.”

“Iya.”

“Hati-hati ya.”

“Iya.”
disya1628
pintokowindardi
JabLai cOY
JabLai cOY dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.