Aku tinggal di sebuah desa dengan pekerjaan utama para penduduknya adalah bertani. Pun dengan keluargaku, bapak dan ibu menggarap empat petak sawah milik kami sendiri.

Aku hanya punya satu saudari, dia lahir di hari yang sama denganku. Kami kembar. Meski wajah kami mirip, tapi tidak dengan pola pikir kami berdua yang saling berseberangan.

Ratna entah bagaimana ia memimpikan hidup di kota, dengan segala kemajuan teknologi dan modernitas yang pesat.

Sementara aku, lebih nyaman dengan kehidupan tenang di desa.

Untuk itu, Ratna mengejar keinginannya dan berakhir bekerja di sebuah pabrik sepatu di kota.

Jangan kira kami melepaskannya tanpa syarat.
Aku, ibu, bapak, tidak diantara kami setuju dengan langkah yang dia ambil. Bukan hanya karena dia adalah perempuan, tapi karena juga tak ada saudara di kota.
Maka dari itu setelah perdebatan panjang yang alot, Ratna diizinkan dengan syarat harus selalu pulang setiap satu bulan sekali.

Bulan pertama saat dia pulang, sikapnya masih sama seperti Ratna yang kukenal. Dia banyak bercerita tentang bagaimana roda ekonomi di kota berputar dengan cepat, bagaimana kemudahan-kemudahan yang bisa ia dapatkan, dengan segala hal yang ia ceritakan dengan antusias,

"Naha teteh teu ngiring sareng abi ka kota? Meungpeung aya keneh lowongan di pabrik teh."
("Kenapa kakak gak ikut sama saya ke kota? Mumpung masih ada lowongan di pabrik kak.")
Ia mengajakku.

Aku tersenyum sebelum menjawabnya.
"Henteu ah de. Teteh kapalang betah di kampung. Mun barudakna marangkat sadayana, saha atuh nu bakal ngurus kolot arurang ari lain teteh mah?"
("Ngga ah de. Kakak terlanjur betah di kampung. Kalo anak-anaknya pergi semua, siapa yang bakal ngurus orangtua kita kalo bukan kakak?")
Jawabku.

Ia mengerti terdiam.

"Teteh hoyong naon atuh ti abi?Gaji Ratna kan lumayan ageung teh."
("Kakak mau apa dari saya? Gaji Ratna kan lumayan besar loh teh.")
Tawarnya saat itu.

"Meser hp we, kangge dede oge kangge teteh oge, beh tiasa sering ngabaran. Emih karunya meulang wae tuda."
("Beli hp aja, buat dede juga buat teteh juga, supaya bisa sering ngabarin. Ibu kasian khawatir terus soalnya.")
Jawabku.

"Gampang."
Balasnya dengan acungan jempol dan senyuman.

Singkat cerita, di bulan berikutnya.
Ratna pulang dengan membawa hp untukku. Orangtua kami juga senang, ibu tak lagi terlalu khawatir, karena ia akan selalu menanyakan kabar setiap malam.

Hingga beberapa bulan setelahnya, semua komunikasi kami berjalan lancar. Ratna nyaman dengan kehidupan barunya, ia pun tak segan untuk bertukar cerita denganku.

Setahun berlalu dengan kehidupan kami yang baru.

Sikap Ratna perlahan berubah, ia tak segan untuk mulai membentak ibu yang meneleponnya, ia mulai tertutup denganku. Tak ada lagi cerita sebelum tidur tentang kehidupannya di kota.

Penampilannya juga berubah, ia tak segan untuk memakai pakaian lebih terbuka saat di kampung. Mode katanya, alhasil ia menuai cibiran dari tetangga seluruh desa.

Kemudian di suatu hari, ia pulang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Waktu itu juga bukan jadwalnya ia pulang.

"Dede sakit teh, gak enak badan. Kalo maksain disana, mau siapa yang nolong kan?"
Ia memberi alasan.

"Yaudah libur dulu aja gak apa-apa kan? Senggaknya sampe kamu bener-bener sembuh baru balik lagi aja. Ya?"
Tawarku.

Ia mengangguk.

Selama cuti dadakan itu, ia menghabiskan waktunya di rumah. Ia masih bisa melakukan kegiatan ringan, sekedar bersih-bersih rumah ia masih sanggup.

Keanehan mulai terjadi, aku memang tidur dengannya satu kamar. Bau badannya entah bagaimana mulai menganggu.

"Kamu gak mandi de?"
Tuduhku.

"Enak aja, mandi ya gue!"
Dia menjawabnya kasar dan membalik badan dengan kesal.

Dari situ, kami sering bertengkar dengan hal-hal sepele. Bau badannya juga semakin parah.

Ibu yang mengetahui hal itu, memberikan beberapa herbal untuknya diminum, dipakai mandi bahkan diusapkan di badannya.

Sampai hal yang mengerikan terjadi, saat kami makan malam bersama. Seekor belatung jatuh dari rambut Ratna. Sedangkan Ratna tidak merasa sakit sama sekali.

"Na!! Ada yang jatuh dari kepalamu!"
Aku berteriak sambil berdiri menjauh.

"Apa sih lo?"
Ratna meraba kepalanya, ternyata ada lubang kecil disana dan menjadi sarang belatung.

"Apaan nih?!!"
Ratna berteriak saat ia memegang dan mengeluarkan ulat dari lubang itu.

"Sini ibu liat."
Ibu bergerak dan memperhatikan kepala Ratna.

Ibu kaget dan memberitahu bapak.
"Pak, ini.."
Ibu enggan meneruskan kata-katanya.

Saat bapak melihat hal itu, wajahnya menegang. Ia menyentuh kepala Ratna dan entah apa yang terjadi, bau yang teramat busuk seketika menguar dari situ.

Aku tak tahan dan segera keluar rumah untuk memuntahkan apa yang sudah aku makan barusan.

Ratna hanya diam dengan heran, ia tak merasa sakit atau apapun yang membuatnya khawatir.

"Bu, beresin makannya cepet. Bapak mau pergi coba nanya sama yang ngerti."
Bapak pergi dengan tergesa.

Baru saja bapak pergi beberapa meter, seorang kakek tua memakai celana putih, ikat kepala batik, telanjang dada dan tanpa sandal menghadang bapak. Mereka berbincang disana, aku tak tahu apa yang mereka bicarakan tapi bapak sepertinya khawatir. Mereka lalu berbalik dan menuju kemari.

Saat mereka tiba didepan pintu, kakek tadi bertanya padaku.
"Kumaha?"
("Gimana?")

"Bau ki, asalna ngan sakedik, ngan ieu janten bau pisan."
("Bau Ki, awalnya cuma sedikit, cuman ini jadi bau banget.")
Jawabku.

Kakek itu langsung masuk setelah mendengar penjelasanku tanpa bertanya lebih lanjut.

Ratna yang sedang duduk di sofa ruang tengah terlihat tengah meraba-raba kepalanya dan membersihkan belatung dari situ.

Aku melihat kakek itu melotot marah tepat saat melihat Ratna.

Ia berjalan cepat mendekati Ratna, seperti menangkap sesuatu diatas kepala Ratna, ia berbalik keluar.

Saat melewatiku, hembusan angin panas terasa. Kakek itu seperti membawa sesuatu yang panas.

Tangannya terjulur, terkepal, seperti memegang sesuatu yang tidak bisa aku lihat. Ia berdiri, mulutnya seperti membaca sesuatu. Lalu api tiba-tiba berkobar dari kepalan tangannya.

Saat tangannya sedang terbakar seperti itu, aku merasa merinding, bukan karena melihat pemandangan barusan. Tapi seolah ada ratusan pasang mata yang sedang menatapku.

"Asup ka imah, jagaan si Ratna!"
("Masuk ke rumah, jagain si Ratna!")
Kakek itu memerintahkan aku dan bapak dengan tegas.

Kami masuk dengan terburu menurutinya.

Aku mengintip dari jendela apa yang kakek itu lakukan.
Perlahan aku menyadari, firasatku tentang ratusan pasang mata itu benar.