- Beranda
- Stories from the Heart
Pelet Orang Banten
...
TS
papahmuda099
Pelet Orang Banten

Assalamualaikum wr.wb.
Perkenalkan, aku adalah seorang suami yang saat kisah ini terjadi, tepat berusia 30 tahun. Aku berasal dari Jawa tengah, tepatnya disebuah desa kecil yang dikelilingi oleh perbukitan, yang masih termasuk kedalam wilayah kabupaten Purbalingga.
Aku, bekerja disebuah BUMN sebagai tenaga kerja outsourcing di pinggiran kota Jakarta.
Kemudian istriku, adalah seorang perempuan Sumatra berdarah Banten. Kedua orang tuanya asli Banten. Yang beberapa tahun kemudian, keduanya memutuskan untuk ber-transmigrasi ke tanah Andalas bagian selatan. Disanalah kemudian istriku lahir.
Istriku ini, sebut saja namanya Rara ( daripada sebut saja mawar, malah nantinya jadi cerita kriminal lagi
), bekerja disebuah pabrik kecil, di daerah kabupaten tangerang, sejak akhir tahun 2016. Istriku, karena sudah memiliki pengalaman bekerja disebuah pabrik besar di wilayah Serang banten, maka ia ditawari menduduki jabatan yang lumayan tinggi dipabrik tersebut.Dan alhamdulillah, kami sudah memiliki seorang anak perempuan yang saat ini sudah berusia 8 tahun. Hanya saja, dikarenakan kami berdua sama-sama sibuk dalam bekerja, berangkat pagi pulang malam, jadi semenjak 2016 akhir, anak semata wayang kami ini, kami titipkan ditempat orang tuaku di Jawa sana.
Oya, sewaktu kejadian ini terjadi (dan sampai saat ini), kami tinggal disebuah kontrakan besar dan panjang. Ada sekitar 15 kontrakan disana. Letak kontrakan kami tidak terlalu jauh dari pabrik tempat istriku bekerja. Jadi, bila istriku berangkat, ia cukup berjalan kaki saja. Pun jika istirahat, istriku bisa pulang dan istirahat dirumah.
Oke, aku kira cukup untuk perkenalannya. Kini saatnya aku bercerita akan kejadian NYATA yang aku alami. Sebuah kejadian yang bukan saja hampir membuat rumah tangga kami berantakan, tapi juga nyaris merenggut nyawaku dan istriku !

Aku bukannya ingin mengumbar aib rumah tanggaku, tapi aku berharap, agar para pembaca bisa untuk setidaknya mengambil hikmah dan pelajaran dari kisahku ini

*
Bismillahirrahmanirrahim
Senin pagi, tanggal 10 februari 2020.
Biasanya, jam 7 kurang sedikit, istriku pamit untuk berangkat bekerja. Tapi hari ini, ia mengambil cuti 2 hari ( Senin dan selasa ), dikarenakan ia hendak pergi ke Balaraja untuk melakukan interview kerja. Istriku mendapatkan penawaran kerja dari salah satu pabrik yang ada disana dan dengan gaji yang lebih besar dari gaji yang ia terima sekarang.
Karena hanya ada 1 motor, dan itu aku gunakan untuk kerja, ia memutuskan untuk naik ojek online saja.
Awalnya aku hendak mengantarnya
tapi jam interview dan jam aku berangkat kerja sama. Akhirnya, aku hanya bisa berpesan hati-hati saja kepadanya.Pagi itu, kami sempat mengobrol dan berandai-andi jika nantinya istriku jadi untuk bekerja di balaraja.
"Kalau nanti bunda jadi kerja disana, gimana nanti pulang perginya ?" kataku agak malas. Karena memikirkan bagaimana aku harus antar jemput.
"Nanti bunda bisa bisa ajak 1 anak buah bunda dari pabrik lama, yah," jawab istriku, "nanti dia bunda ajak kerja disana bareng. Kebetulan rumah dia juga deket disini-sini juga."
Wajahku langsung cerah begitu tahu, kalau aku nantinya tidak terlalu repot untuk antar jemput.
"Siapa emang, bun?" tanyaku, "Diki?"
Diki adalah salah satu anak buah istriku dipabrik ini. Diki juga sudah kami anggap sebagai adik sendiri. Selain sesama orang lampung, juga karena kami sudah mengenal sifat anak muda itu.
"Bukan," jawab istriku.
Aku langsung memandang istriku dengan heran.
"Terus siapa?"
"Sukirman, yah. Dia anak buah bunda juga. Kerjanya bagus, makanya mau bunda ajak buat bantu bunda nanti disana."
"Kenapa bukan diki aja, bun?" tanyaku setengah menuntut.
Istriku menggelengkan kepalanya.
"Diki masih diperluin dipabrik bunda yang lama. Gak enak juga main asal ambil aja sama bos. Kalo kirman ini, dia emang anak buah bunda. Kasihan, yah. Dia disini gajinya harian. Mana dia anak udah 2 masih kecil-kecil lagi." Istriku menerangkan panjang lebar.
Aku akhirnya meng-iyakan perkataannya tersebut. Aku berfikir, "ah, yang penting aku gak susah. Gak capek bolak balik antar jemput. Lagian maksud istriku juga baik, membantu anak buahnya yang susah."
"Ya udah, bun. Asalkan jaga kepercayaan ayah ya sayang," aku akhirnya memilih untuk mempercayainya.
Jam 09:00 pas, aku berangkat kerja. Tak lupa aku berpamitan kepada istriku. Setelah itu aku berangkat dengan mengendarai sepeda motor berjenis matic miliku.
Waktu tempuh dari kontrakanku ketempat kerja sekitar 40-50 menit dengan jalan santai. Jadi ya seperti biasa, saat itu aku menarik gas motorku diantara kecepatan 50 km/jam.
Tapi tiba-tiba, saat aku sudah sampai disekitaran daerah Jatiuwung. Motorku tiba-tiba saja mati

"Ya ampun, kenapa nih motor. Kok tau-tau mati," kataku dalam hati.
Aku lalu mendorong motorku kepinggir. Lalu aku coba menekan stater motor, hanya terdengar suara "cekiskiskiskis...," saja

Gagal aku stater, aku coba lagi dengan cara diengkol.
Motor aku standar 2. Lalu aku mulai mengengkol.
Terasa enteng tanpa ada angin balik ( ya pokoknya ngemposlah ) yang keluar dari motor.
"Ya elah, masa kumat lagi sih ini penyakit," ujarku mengetahui penyebab mati mendadaknya motorku ini.
Penyebabnya adalah los kompresi
Penyakit ini, memang dulu sering motorku alami. Tapi itu sudah lama sekali, kalau tidak salah ingat, motorku terakhir mengalami los kompresi adalah sekitar tahun 2017.Lalu, entah mengapa. Aku tiba-tiba saja merasakan perubahan pada moodku.
Yang awalnya baik-baik saja sedari berangkat, langsung berubah menjadi jelek begitu mengalami kejadian los kompresi ini.
Hanya saja, aku mencoba untuk bersabar dengan cara memilih langsung mendorong motorku mencari bengkel terdekat.
Selama mendorong motor ini, aku terus menerus ber-istighfar didalam hati. Soalnya, gak tau kenapa, timbul perasaan was-was dan pikiran-pikiran buruk yang terus melintas dibenak ini.
"Astaghfirullah...Astaghfirullah...semoga ini bukan pertanda buruk," kalimat itu terus kuulang-ulang didalam hati.
Alhamdulillah, tak lama kemudian, aku menemukan sebuah bengkel. Aku langsung menjelaskan permasalahan motorku.
Oleh si lay, aku disarankan untuk ganti busi. Aku sih oke-oke saja. Yang penting cepet beres. Karena aku tidak mau terlambat dalam bekerja.
"Bang, motornya nanti lubang businya aku taruh oli sedikit ya," kata si lay itu padaku. Lalu lanjutnya, "nanti agak ngebul sedikit. Tapi tenang aja, bang. Itu cuman karena olinya aja kok. Nanti juga ilang sendiri."
"Atur aja bang," kataku cepat.
Sekitar 5 menit motorku diperbaiki olehnya. Dan benar saja, motorku memang langsung menyala, tapi kulihat ada asap yang keluar dari knalpot motorku.
"Nanti jangan kau gas kencang dulu, bang," katanya.
"Oke,"
Setelah membayar biaya ganti busi dan lainnya. Aku langsung melanjutkan perjalananku.
Aku sampai dikantor telat 5 menit. Yakni jam 10:05. Jam operasional kantorku sudah buka. Aku langsung menjelaskan penyebab keterlambatanku kepada atasanku. Syukurnya, merek mengerti akan penjelasan ku. Hanya saja, kalau nanti ada apa-apa lagi, aku dimintanya untuk memberikan kabar lewat telepon atau WA.
Aku lalu, mulai bekerja seperti biasa lagi.
Jam menunjukan pukul 12:00 wib.
Itu adalah jam istirahat pabrik istriku. Aku lalu menulis chat untuknya. Contreng 2, tapi tak kunjung dibacanya. Aku lalu berinisiatif untuk menelponnya. Berdering, tapi tak diangkat juga.
"Kemana ini orang....," kataku agak kesal.
"Ya udahlah, nanti juga ngabarin balik," ujarku menghibur diri.
Jam 13:30 siang, disaat aku hendak melaksanak ibadah solat Dzuhur. HPku berdering.
Kulihat disana tidak tertera nama, hanya nomer telpon saja.
"Nomer siapa nih," desisku.
Awalnya aku malas untuk mengangkatnya.
Tapi sekali lagi nomer itu meneleponku.
Dan, entah kenapa jantungku tiba-tiba saja berdetak lebih cepat. Hatiku langsung merasakan ada sesuatu yang tidak menyenangkan akan aku dapatkan, bila aku mengangkat telpon ini.
Dengan berdebar, aku lalu menekan tombol hijau di HPku.
"Halo, Assalamualaikum...," jawabku.
"Halo, waalaikumsalam...," kata si penelpon.
"Maaf, ini siapa ya ?" tanyaku.
"Ini saya, mas. Sumarno," jawabnya.
"Oh, mas Sumarno," kataku.
Sumarno adalah laki-laki yang diserahi tanggung jawab untuk mengawasi dan mengurus kontrakan tempatku tinggal.
"Ada apa ya, mas ?" tanyaku dengan jantung berdebar-debar.
"Maaf mas sebelumnya," jawab mas Sumarno.
Aku menunggu kelanjutan kalimat mas Sumarno ini dengan tidak sabar.
Lalu, penjaga kontrakan kami ini melanjutkan ucapannya. Ucapan yang membuat lututku lemas, tubuhku menggigil hebat. Sebuah ucapan yang rasanya tidak akan terjadi selama aku mengenal istriku. Dari sejak kami berpacaran sampai akhirnya kami menikah.
Mas Sumarno berkata, "Mbak Rara berduaan sama laki-laki didalam kontrakan sekarang. Dan pintu dikunci dari dalam."
***
Part 1
Pelet Orang Banten
Quote:
Part 2
Teror Alam Ghaib
Quote:
Terima kasih kepada agan zafin atas bantuannya, dan terutama kepada para pembaca thread ini yang sudah sudi untuk mampir dilapak saya

*
Silahkan mampir juga dicerita saya yang lainnya
Diubah oleh papahmuda099 05-04-2024 04:27
bebyzha dan 248 lainnya memberi reputasi
235
333.7K
3.1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
papahmuda099
#1002
Santet Tengah Malam
Assalamualaikum sahabat semua, setelah satu minggu ini saya rehat untuk menulis kini saya akan kembali melanjutkan kisah kehidupan saya kembali.
Oh ya, dengan ini saya juga meminta maaf karena ternyata part tentang kisah saya dan guru saya, terpaksa saya skip. Dikarenakan apabila saya ceritakan maka akan terlalu panjang.
Jadi bila ada waktu, kalau inti cerita saya sudah selesai. Saya akan menambahkan cerita saya dan guru saya ini sebagai cerita tambahan nantinya. Karena sungguh banyak kejadian yang menarik yang sayang apabila dilewatkan. yang meskipun hanya satu malam tapi pengalaman itu sangat berkesan bagi saya pribadi.
Jadi, cerita ini akan saya mulai setelah saya kembali dari gunung Ciremai bersama guru saya.
Oh ya, dengan ini saya juga meminta maaf karena ternyata part tentang kisah saya dan guru saya, terpaksa saya skip. Dikarenakan apabila saya ceritakan maka akan terlalu panjang.
Jadi bila ada waktu, kalau inti cerita saya sudah selesai. Saya akan menambahkan cerita saya dan guru saya ini sebagai cerita tambahan nantinya. Karena sungguh banyak kejadian yang menarik yang sayang apabila dilewatkan. yang meskipun hanya satu malam tapi pengalaman itu sangat berkesan bagi saya pribadi.
Jadi, cerita ini akan saya mulai setelah saya kembali dari gunung Ciremai bersama guru saya.
*
Matahari pagi di hari Minggu terasa sangat menyegarkan bagi tubuhku.
Padahal semalaman suntuk, aku telah mendapatkan pengalaman yang menurutku sangat membebani baik tubuh maupun mentalku.
"Hah.... gunung Ciremai,"desahku dalam hati.
Saat ini aku dan Bapak sudah dalam perjalanan pulang kembali ke rumah kakek ke Indramayu dengan menggunakan motor kami

Aku dan Bapak terpaksa harus berpisah jalan dengan mang Ujang yang mengantar kami.
Padahal awalnya mang Ujang ingin sekali agar kami mampir sebentar ke rumahnya. Akan tetapi, karena ternyata di rumah Kakek ada kejadian yang sangat gawat, maka Bapak menolak ajakan mang Ujang.
Aku sendiri sedikit bersyukur di dalam hati karena tidak perlu mampir ke rumah mang Ujang. Ya mungkin kalian masih ingat dengan sosok teman masa kecilku, miyanka.

Sesungguhnya ada keinginan untuk bertemu dengannya walau sebentar. Tetapi aku memaksakan diri untuk tidak mengingat-ingat wajahnya lagi. Aku sungguh takut bila nanti terjadi hal-hal yang tidak aku inginkan.
Meskipun pertemuan kami singkat, tapi bagiku sangat berkesan. Sepasang matanya yang tajam sungguh sangat eksotis bila kuingat kembali. Dan aku menekankan kepada diriku sendiri, bahwa itu sudah lebih dari cukup. Mengingat apa yang sedang aku dan keluargaku alami saat ini.
Meskipun hari itu adalah hari Minggu, jalanan masih cukup ramai dengan berbagai kendaraan yang berlalu lalang.
Aku yang saat itu duduk di belakang bapak, melihat jam di tanganku.
Disana kulihat jam sudah menunjukkan pukul 9.30 pagi.
Sesekali aku menguap.
Di antara aku dan Bapak, ada peti milik bapak.
"Ngantuk, pap," desisku sambil sesekali menguap.
"Tahan dulu, Nang. Nanti kalau udah sampai rumah kamu bisa istirahat sepuasnya. Saat ini kita harus secepatnya sampai rumah, untuk mendengarkan cerita kakek," kata Bapak.
"Iya iya," kataku.
Aku melihat ke kiri dan kanan jalan, lalu percakapanku dengan bapak tadi pagi kembali terngiang.
*
"Nang, tadi istri kamu telepon. Katanya semalam ada kejadian penting di rumah," kata bapak.
Aku, yang saat itu sedang terbaring di sebuah amben di belakang rumah Kyai segera terbangun.
Pikiranku melayang layang berisikan pikiran negatif. Takut bila terjadi sesuatu hal kepada istriku.
"Kenapa emangnya, pap?" Kataku dengan dada sedikit berdebar.
"Semalam katanya ada yang mencoba menyerang rumah kakek. terus kata istri kamu yang menyerangnya itu berbentuk seperti sebuah angin puting beliung," jawab bapak.
"Angin puyuh?" Tanyaku memastikan.
Bapak mengangguk.
"Terus, pap?"
"Menurut penuturan istri kamu, angin itu memang disuruh untuk mengincar istrimu yang saat ini sedang berada di rumah," jawab bapak.
Aku yang mendengar hal itu merasa was-was sekali.
"Terus apa yang terjadi sama istri saya, pap?"
"Katanya sih sempat ketakutan waktu angin itu datang. Tapi kemudian berhasil kakek usir. Makanya nanti kita langsung pulang aja. Mampir ketempat mang Ujangnya, kita batalin aja. Soalnya bapak juga penasaran dengan apa yang terjadi semalem," kata bapak.
"Oke," jawabku.
*
Tepat jam 11 siang, aku dan bapak sampai juga dirumah.
Diteras sudah menunggu istriku.
Setelah aku dan bapak turun dari motor, istriku segera menyalami kami berdua.
Aku yang sudah tak sabar untuk mendengarkan cerita istriku semalam, langsung ingin bertanya saat itu juga.
Tapi istriku malah menarik tanganku agar lekas masuk kedalam.
Diruang tamu, sudah menunggu kakek dan juga nenek. Disana juga ada pamanku, Jum.
Aku lalu menyalami mereka bertiga.
Setelah berganti pakaian, karena selama di Cirebon aku sama sekali belum berganti pakaian, aku kembali berkumpul diruang tamu.
Dan, istriku memulai ceritanya.
*
Denah rumah nenek

Halaman rumah nenek memang lumayan luas.
No.1 : kamar pamanku
No.2 : kamar kakek dan nenek
No.3 : kamar yang aku dan istriku tempati
No.4 : gudang
Dirumah nenek, ada 2 teras. Depan dan samping.
No.1 : kamar pamanku
No.2 : kamar kakek dan nenek
No.3 : kamar yang aku dan istriku tempati
No.4 : gudang
Dirumah nenek, ada 2 teras. Depan dan samping.
Malam itu, sekitar jam 2 dini hari.
Aku terbangun karena ingin buang air kecil.
Aku keluar dari kamar dengan sedikit meraba-raba. Karena seluruh lampu diruang tengah ternyata sudah dimatikan oleh nenek.
Setelah aku bisa membiasakan diri melihat dalam kegelapan, aku mulai berjalan.
"Tap..tap,"
Baru dua langkah aku berjalan, tiba-tiba saja muncul perasaan merinding.

Aku berhenti.
Aku lalu mencoba memperhatikan sekitarku.
Semuanya sama saja.
Aman.
Tapi perasaan merinding itu masih saja kurasakan. Seperti ada sesuatu yang memperhatikanku didalam kegelapan rumah ini.
Ingin sekali aku kembali masuk kedalam kamar. Tapi rasa ingin buang air kecil yang kurasakan saat ini harus memaksaku untuk kekamar mandi.
Setelah meyakinkan diri bahwa tidak ada sesuatu apapun yang aneh disekitarku, aku memutuskan untuk terus berjalan ke kamar mandi.
Langkah kakiku seperti terasa sangat berat. Seolah-olah ada sesuatu yang tak kasat mata yang mengganduli kedua kakiku.
Kembali aku berhenti.
Aku mencoba mengatur nafasku.
Setelah agak tenang, aku kembali melangkah sambil sesekali melihat kesegala arah.
Didalam hatiku, aku berkata bahwa didalam rumah ini juga ada kakek dan nenek.
"Aku tak sendirian,"ujarku dalam hati.
Dirumah nenek suamiku, ada 4 kamar.
Ada 3 deret disisi kiri, dan 1 disisi kanan. Letak kamar mandi berada diluar rumah, tapi masih menempel dengan rumah.
Semenjak aku berada dirumah ini, aku sungguh penasaran dengan sebuah kamar yang berada dipojok belakang rumah.
Tadi sore, hal itu sempat aku tanyakan kepada nenek.
"Oh, itu kamar udah dijadiin gudang. Isinya ya barang-barang lama yang udah gak kepakai lagi. Mau lihat?" Tanya nenek ketika itu.
Aku mengangguk.
Kami berdua berjalan kearah kamar yang sudah dijadikan sebagai gudang itu.
Nenek membuka kunci pintu kamar.
Setelah dibuka, disana memang banyak barang-barang yang sudah tak terpakai. Bahkan dibeberapa bagian, benda-benda itu sudah ada yang diselimuti debu. Pertanda barang itu sudah lama ada disana.
Tapi, ada sesuatu yang membuatku sangat penasaran.
Dipojok kamar, ada sebuah tempat yang sepertinya dipakai untuk menaruh dupa atau kemenyan.
Kenapa aku berpikir seperti itu?
Itu dikarenakan disana aku melihat ada sebuah bubur berwarna putih dan merah, lalu segelas kopi hitam, tiga buah dupa yang sudah habis, dan ada bekas kemenyan yang sudah terbakar, hanya tinggal menyisakan sekitar seperempatnya saja.
mulustrasi

Aku lalu menanyakan hal itu kepada nenek.
"Nek, itu buat apa?"
Nenek melihat kearah dupa tersebut.
"Oh, itu buat arwah nenek moyang kita. Buat leluhur," jawab nenek.
"Oh," aku tak berani bertanya lebih lanjut lagi. Takut membuat nenek tersinggung. Sungguh tak enak rasanya bila membuat suasana yang canggung dipertemuan pertama kami.
Setelah dirasa cukup, aku dan nenek keluar dari kamar. Nenek kemudian kembali mengunci pintu kamar.
Dan kini, ditengah malam ini, pintu kamar itu sedikit terbuka. Karena aku bisa melihat ada sebuah cahaya kemerahan yang keluar dari sebuah celah pintu yang tak tertutup dengan sempurna.
"Lho, sepertinya tadi sore sudah dikunci sama nenek. Kok pintu itu seperti bekas dibuka oleh seseorang," aku merasa heran bercampur was-was.
Sambil berpegangan pada tembok, aku ingin berlalu begitu saja.
Tapi...
Sebuah aroma wangi yang khas tiba-tiba menguar dan masuk ke indra penciumanku.
"Bau kemenyan,"
Jantungku yang tadi sudah kembali normal, kini kembali berdegup kencang lagi.
Hawa aneh semakin kurasakan.
"Ya Allah, cuman pengen ke kamar mandi aja susahnya minta ampun," aku mengeluh dalam hati disela-sela ketakutan yang mulai memenuhi diri.
Ingin rasanya aku menangis. Tak kuat rasanya menghadapi segala cobaan yang datang silih berganti

Tapi, desakan buang air kecil kembali menyadarkanku.
Kuenyahkan segala macam perasaan yang kurasakan. Kubulatkan tekad untuk hanya fokus ke kamar mandi saja.
Aku lalu kembali berjalan dengan terus berpegangan pada tembok.
Setelah melewati ruang makan yang bersebelahan dengan gudang, kini aku sampai di dapur rumah nenek.
Dapur ini sesungguhnya sangat tidak cocok disebut dapur. Ini karena ukurannya yang sangat lebar. Sekitar 7x6 meteran mungkin.
Dan lagi-lagi, lampu disini dimatikan oleh nenek.
"Hemat listrik banget sih, si nenek," gumamku dalam hati.
Saat aku sedang berjalan sambil meraba-raba tembok rumah, aku merasa sedang diawasi oleh sesuatu dari pojok bagian atas.
Ingin aku untuk melihat kearah itu, tapi leherku sangat sulit untuk digerakkan. Jadinya aku hanya bisa memandang lurus saja kedepan.
"Biarin ajalah, yang penting enggak ganggu," ujarku dalam hati.
Aku kembali meraba-raba tembok dan berjalan pelan.
Sesampainya aku diujung dapur, aku membuka pintu yang akan membawaku kesamping rumah.
Segera kubuka kunci pintu.
Dan setelah kubuka, rambut dikepalaku langsung melambai-lambai terkena terpaan angin.
Tubuhku yang terkena terpaan angin itu sedikit sakit. Padahal hanya angin saja. Tapi membuat tubuhku sedikit kesakitan.
Aku mencoba untuk mengacuhkan angin itu dengan sedikit berlari kearah kamar mandi.
Dan setelah aku menyelesaikan hajatku, aku kembali keluar.
Dan lagi-lagi aku merasakan angin yang membuatku sedikit sakit itu.
Aku melongok sedikit kearah halaman rumah.
Terdengar ada sebuah suara angin yang berpusing disana.
Aku yang takut bahwa ada angin puting beliung yang mengarah kerumah ini segera berlari kedepan untuk melihat apakah benar dugaanku.
Dengan sedikit menahan rasa sakit, aku akhirnya bisa melihat sesuatu yang saat ini sedang terjadi dihalaman depan rumah.
Diteras, aku bisa melihat dua sosok tubuh yang sedang berdiri.
Setelah kuamati dengan baik, ternyata kedua sosok itu adalah kakek dan nenek.
Mereka berdua seperti sedang berdiri sambil memperhatikan kedepan. Sehingga aku yang sedang berada dibelakang mereka, tak bisa mereka lihat.
Aku berjalan sambil merapatkan kedua tanganku ketubuh, aku mendekati kakek dan nenek.
Setelah dekat, aku memanggil mereka.
Keduanya sedikit terkejut dengan kedatanganku.
Nenek buru-buru berjalan cepat sambil menahan tubuhku.
"Jangan kesini, Nok. Bahaya. Masuk kedalam rumah saja. Nanti kamu bisa sakit," katanya.
Aku memang merasakan sakit setiap kali ada angin aneh yang menyentuh tubuhku. Tapi rasa ingin tahuku lebih besar dari rasa sakit ini.
Melihat aku yang kekeh untuk melihat apa yang sedang terjadi, akhirnya nenek mengalah.
Aku lalu dibimbingnya untuk maju kedepan.
"Tapi senok berdiri dibelakang kakek sama nenek, ya," ujar nenek.
Aku mengangguk.
Dan aku akhirnya ikut melihat kejadian yang aneh didepan sana.
Pertama kali yang aku lihat, adalah sebuah angin puting beliung berukuran sedang, seukuran pohon pisang saja. Tinggi angin itu kuperkirakan setinggi 8 meteran.
Kemudian, hal kedua yang aku lihat adalah paman suamiku, paman Jum, sedang berdiri menghadap kearah angin itu. Ditangannya tergenggam erat sebuah tombak berwarna kecoklatan.
mulustrasi tombak bree

Aku yang memperhatikan hal itu segera bertanya kepada nenek yang berdiri didepanku. Melindungiku dari terpaan angin puting beliung itu.
"Nek, paman lagi ngapain?" Bisikku.
Nenek tanpa menoleh menjawab.
"Pamanmu itu sedang mencoba membuyarkan angin puting kiriman itu,"
"Angin kiriman?" Tanyaku belum paham.
"Angin itu adalah angin buatan yang dikirimkan kemari untuk mencelakakan kamu, Nok," kata nenek.
Aku yang mendengar hal itu sontak terkejut.
"Apakah mungkin ini adalah ulah orang yang tidak suka kepadaku? Apakah mungkin, orang yang mengirimkan angin ini adalah orang yang sama?" Tanyaku bertubi-tubi.
Nenek mengangguk.
"Iya, Nok. Angin itu ditujukan untuk mencelakakan kamu. Tapi yang paling berbahaya dari angin itu adalah benda yang berada didalamnya," kata nenek sambil menunjuk kebagian atas angin itu.
Aku sedikit menyipitkan mataku agar bisa melihat apa yang nenek katakan.
Samar-samar, aku memang bisa melihat ada sesuatu diujung bagian atas angin puting itu.
Sebuah benda yang sepertinya mengeluarkan cahaya kemerahan. Cahaya itu tersembunyi karena putaran angin yang sangat kencang.
"Benda apa yang berwarna kemerahan itu, nek?"
"Santet," jawab nenek lugas.
"Astaghfirullah... sebegitu bencinya dia kepadaku. Sampai-sampai berniat sekali untuk mencelakakanku sedemikian rupa," gumamku dalam hati.
"Tega banget, nek," kataku lirih.
Aku sedih.
Sangat sedih.
Karena dimana orang yang tidak suka kepadaku itu bisa berbuat seenaknya. Sedangkan aku sendiri, tak bisa membalas perbuatannya. Aku sedih karena aku tak berdaya

Nenek yang sepertinya memahami perasaanku segera berdiri disampingku. Beliau lalu mengusap-usap rambutku.
"Udah, Nok. Tenang aja. Kakek sama nenek juga udah ada rencana. Mudah-mudahan bisa terlaksana," ujarnya sambil tersenyum.
Aku yang melihat senyuman nenek entah kenapa merasa sangat senang. Sebuah kekuatan tiba-tiba muncul dan bisa menopang beratnya cobaan ini.
Nenek menepuk-nepuk pundakku pelan.
Kami lalu kembali melihat kehalaman rumah.
Paman Jum, paman suamiku yang usianya setahun lebih muda dari suamiku masih berdiri tegak dihadapan angin puting itu.
Lagaknya seolah menghalangi agar angin pembawa bencana itu tak boleh melewatinya.
Dan memang benar, menurut nenek, angin itu memang sedari tadi berhenti bergerak. Hanya bisa berputar-putar disitu saja.
Kakek yang sedari tadi komat kamit, tiba-tiba berteriak keras.
"Juuum, sekarang tancapkan tombak itu ketanah!"
Paman Jum langsung secepat kilat menghujamkan tombak ditangannya ketanah.
"Blar!"
Ledakan kecil terdengar di telingaku ketika tombak itu ditancapkan di tanah.
Angin puting beliung itu tiba-tiba buyar. Bubar tak kelihatan lagi.
Dan kini, diatas tanah, mengambang sebuah batu berwarna merah yang masih mengambang.
Batu merah itu seperti bersinar lebih terang ketika angin puting yang membawanya musnah.
Melihat hal itu, kakek juga tidak tinggal diam.
Tangannya tiba-tiba saja diacungkan kearah batu merah dengan posisi tangan yang terbuka.
Lalu, disertai dengan teriakan,
"kembali!"
Kakek mendorong tangannya kedepan.
"Wusss,"
Entah bagaimana caranya, batu merah yang menurut nenek rencananya hendak dikirimkan kepadaku, tiba-tiba melesat keatas dan menghilang begitu saja.
Kakek dan nenek menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya.
Sepertinya, kedua orang tua itu merasa lega. Dibalik wajah tenang yang mereka tunjukkan, ternyata ada ketegangan didalamnya.
Setelah suasana tenang kembali, kakek lalu menyuruh paman Jum agar mencabut kembali tombak itu.
Nenek lalu membawaku kembali masuk kedalam rumah. Kami berempat lalu masuk dan duduk diruang tamu. Lampu nenek nyalakan.
Kakek kudengar berkata kepada paman Jum.
"Nang, masukan lagi tombak itu kegudang. Taruh ditempat asalnya. Jangan lupa kamu ikat lagi,"
"Iya, pak," sahut paman Jum.
Kemudian paman Jum melangkah masuk kedalam kamar yang sudah dijadikan gudang.
"Oh, jadi pintu gudang itu memang sudah dibuka sebelum aku bangun," kataku dalam hati.
Nenek kembali datang sambil membawa teko dan beberapa gelas.
Kami semua minum untuk meredakan suasana yang sempat tegang tadi.
"Kek," kataku.
Kakek menoleh.
"Kakek apakan batu merah tadi?" Tanyaku.
Sesaat kakek terdiam. Kemudian beliau menjawab.
"Batu santet itu kakek kembalikan ke pengirimnya,"
"Ke dukunnya?" Tanyaku lagi.
"Bukan, tapi keorang yang mau mencelakakan cucu kakek," jawabnya.
Aku mengerenyitkan dahi, masih belum mengerti akan maksud kakek.
"Maksud kakek, Rika?"
Bukannya menjawab pertanyaanku, kakek malah balik bertanya.
"Menurut senok, siapakah orang yang ingin mencelakakan kamu?"
Aku terdiam sebentar.
Tiba-tiba sebuah wajah muncul dihadapanku.
Sebuah wajah bulat dengan kacamata minus yang menghiasi wajahnya.
"Rika," kataku tak sadar.
"Ya itu. Kakek mengembalikan lagi santet tadi ke si Rika tadi," kata kakek enteng.
Wajahku menegang.
Entah aku harus berekspresi seperti apa mendengar perkataan kakek. Senangkah? Bahagiakah?
Yang pasti, ada sebagian dalam diriku yang tertawa senang sambil berkata.
"Rasakan perbuatanmu itu,"
Nenek yang duduk disampingku mengelus punggungku.
"Insya Allah, dengan kejadian ini. Si Rika itu akan kapok untuk meneruskan niatnya lagi," kata nenek sambil tersenyum.
"Ingat ingat saja kata-kata pepatah jaman dulu. Siapa yang berbuat, maka ia pula yang merasakannya akibatnya," tambah kakek.
Aku menganggukan kepalaku.
Namun, aku penasaran juga apa akibatnya jika batu santet itu mengenai Rika.
Dan hal itu aku tanyakan kepada kakek.
"Lalu, kira-kira apa yang terjadi dengannya, kek?"
Sambil bersandar pada kursi sofa, kakek menjawab.
"Rika tidak akan lagi memiliki keturunan. Karena khodam batu santet itu mengambil janinnya."
***
ferist123 dan 67 lainnya memberi reputasi
68
Tutup