Kematian Yan telah diketahui oleh Aki serta seluruh anggota keluarga utama. Hari ini, aku harus menghadiri pengangkatan Yan sebagai Eyang Putri generasi kelima.
Sebuah aula di bangunan utama telah disiapkan dengan baik. Lukisan Diyan terpampang besar di sebuah altar, didepannya ada seperangkat sesajen.
Ki Kala berdiri di samping lukisan itu, pakaiannya serba hitam dengan ikat kepala berwarna merah darah. Ki Taruban berdiri di sampingnya dengan pakaian serba putih memegang tongkat. Sari, Rima, Arga berdiri berbaris di samping kanan. Citrani, Paman Wikar berdiri berseberangan dengan anak-anaknya. Tempatku kini berada di samping Paman Wikar, tempat milik Praga seharusnya berdiri, berseberangan dengan Rima, saudari tiriku.
"Semua sudah hadir, mari kita mulai."
Ki Taruban membuka upacara pengkatan.
Lalu Ki Kala berjalan menempatkan dirinya di tengah-tengah. Dia lalu mengahadap lukisan Diyan, berlutut dan memulai upacara.
"Wulan opat welas nyangcang leuweung wetan,
Mega tilu welas ambruk pasir kulon,
Sima dua welas meulah carangka kidul,
Bajura sawelas ngigeul kameumeut kaler.
Sang Hyiang Putri nu kaduga, tarima sembah kawula.
Setiap selesai satu kalimat, kami akan mengikuti mantra yang ki Kala baca. Hingga pengulangan berakhir di lima kali, sesuai dengan gelar yang disandang. Eyang Putri Kelima.
Bau kemenyan menari di seluruh ruangan, disusul wangi melati yang kental.
Lukisan Diyan mulai bergerak hidup, sosoknya melangkah keluar dari dalam lukisan dengan perlahan.
Kami yang menyaksikan itu berlutut seketika.
Ia berjalan mengenakan kebaya putih yang terang, wajahnya anggun terlihat sangat cantik, mahkota emas yang dia kenakan menghiasi rambutnya yang tergerai, ia berjalan ke arahku.
Aku tak ingin bergerak, yang kulihat hanyalah kain batik dengan aksen hijau sebagai bawahan kebaya yang Diyan kenakan, yang kurasakan hanyalah sosok itu mengecup ubun-ubun kepalaku sebelum berubah menjadi ribuan kelopak bunga mawar dan terbang ke luar.
Hening sebentar, lalu suara Ki Kala menyudahi semuanya.
"Selesai, pengangkatan Eyang Putri Kelima telah rampung. Tersisa Sang Bakul. Kusuma, kau harus menyelesaikannya sebelum kau punya cucu. Mengerti?"
Ki Kala menatapku.
"Jangan memerintahku kakek sial."
Aku berjalan keluar setelah mendengarnya.
Mengacuhkan pandangan dan kata-kata sinis dari semua anggota keluarga Han yang lain. Seberapa besar kontribusiku pada keluarga ini, statusku sebagai orang luar tak pernah sekalipun dicabut atau berubah.
~oOo~
Kupandangi bulan purnama diatas sana, entah telah berapa kali ia sempurna hingga malam ini akhirnya tiba. Banyak hal yang harus dilakukan, bukan hal mudah untuk memenuhi sumpahku. Karena apa yang harus dikejar, selalu harus ada yang ditinggalkan.
Aku berjalan menuju bangunan Katilu, tempatku dulu tinggal. Sepuluh orang telah tergeletak tanpa nyawa di ruangan utamanya. Sebelum upacara dimulai aku membawa banyak makanan yang telah sebelumnya diracuni. Tak lupa ibuku ada diantara mereka.
Aku menghampirinya, membelai pipinya yang telah dingin dan busa keluar dari mulut bercampur darah yang juga mengalir dari hidungnya.
"Mengertilah bu, sebab aku sungguh menyayangimu dan tak ingin dirimu lebih menderita lebih dari ini. Tolong istirahat, aku kirim semua orang untuk menemanimu."
Kututup matanya, lalu berjalan keluar.
Semoga yang selanjutnya berjalan lebih mudah.
Aku duduk bersimpuh didepan pintu bangunan utama.
"Sang Hyang Regarandara,
Kawula Kusuma Han ngadeg pati,
Masrah diri.
Sudah saatnya mengganti kepalamu."
Sosok ular sebesar pohon kelapa dengan kepala seorang nenek merayap keluar dari belakang bangunan utama. Cahaya purnama membuat sosoknya lebih jelas terlihat, ia mendesis dan mengelilingi dengan tubuhnya.
"hiss...shakk.."
"Ayo, kita punya banyak pekerjaan."
Aku menjulurkan tanganku padanya. Dan membiarkannya merobek nadiku, menjilati darahku yang keluar dari situ.
Aku berjalan didepan Rega menuju bangunan utama.
Saat aku tiba disana, Ki Taruban masih bersila didepan lukisan Diyan, ia menutup matanya. Bersemedi.
"Apa kau yakin melakukan ini? Padahal rasanya baru kemarin dirimu kupungut dari tempat pramuriaan."
Ki Taruban berkata tanpa menoleh.
"Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Anggap saja malam ini adalah bagian dari karma yang telah menunggumu."
Balasku.
Ki Taruban berbalik,
"Baik jika tekadmu telah bulat. Mari kita uji, seberapa siapnya kau menanggung semua hal tentang nama Han."
Ia memasang kuda-kuda, merendahkan tubuhnya.
Kedua tangannya terkepal, dengan tangan kiri ditaruh dipunggung.
"Semoga istirahatmu tenang, kakek. Dan terimakasih."
Aku memasang kuda-kuda pula, telapak tanganku terbuka dengan hawa panas membuatnya merah seperti bara api.
Helaan nafas kami yang ketiga menjadi ancang-ancang pertarungan dimulai.
Aku maupun Ki Taruban saling berlari mendekat. Rega merayap cepat menyusulku dan menyerang Ki Taruban dengan taringnya.
Ki Taruban mengelak, lalu menyambutku dengan tendangan yang diarahkan ke leherku. Aku mengelak, dan membalasnya dengan ayunan telapak tangan ke perutnya.
Ia menepuk dengan keras punggung tanganku membuatnya meleset, memukul kedua lenganku dan meninju dadaku dengan cepat.
Aku terpukul mundur.
Rega tak tinggal diam, ia mengibaskan ekornya ke arah Ki Taruban, kakek melompat memutar tubuhnya menghindar setelah mendarat, ia menendang kepala Rega hingga sedikit terpental.
Aku kembali maju, menghunuskan jariku yang panas mengarahkan pada jantungnya. Kakek menepis dengan tangannya, bergerak ke kiri dan menendang rusukku.
Aku menahan dengan melipat tanganku, memegang betisnya agar terbakar dengan ajianku. Menyadari itu, kakek melompat ke atas kepalaku, dengan cengkraman tanganku sebagai pijakan dan melepas tendangan ke kepalaku.
Kulepaskan cengkramanku, dan menggunakan lenganku untuk menahan tendangannya. Setelah melepas tendangan, ia memutar diudara dan melepaskan tendangannya sekali lagi. Aku merendahkan tubuhku dan mengangkat kakiku dengan cepat, kami beradu tendangan di udara.
Kakek mendarat, dan mengarahkan tendangan lainnya ke betisku sementara kakiku masih terangkat.
Ia berhasil mendarat tendangannya dengan sempurna, tubuhku kehilangan keseimbangan. Sebelum jatuh, aku menaruh berat badanku pada kakiku yang terangkat, berusaha membalas tendangan kakek yang masih merunduk. Ia menahannya dengan tepisan tangan cepat, memukul tepat di bagian belakang lututku. Aku kehilangan rantai serangan karenanya, sebelum tubuhku benar-benar jatuh, kakek berbalik dan melakukan tendangan tepat ke arah ulu hatiku. Aku ambruk terlempar menjauh.
"Kau puas?"
Tanyanya.
Aku berusaha bangkit. Leherku perih, saat kusentuh darahku mengalir dari situ. Rega segera menghampiriku dan menjilatinya.
Baru aku sadar, setiap serangan yang aku terima dari kakek ternyata meninggalkan luka seperti sayatan benda tajam.
"Aku senang kakek tidak kehilangan kemampuan kakek setelah berhenti berlatih dari ki Kala. Tapi sepertinya kakek tidak mengenalku dengan baik."
Ujarku membalasnya.
Kakek kaget, ia ambruk kemudian menyadari kaki dan kedua tangannya telah terbakar hangus hingga tak bisa digerakkan, bahkan hampir putus.
"Ajian banaspati, sedari awal Ki Kala mengajarkanku ini. Tepatnya saat kau menghukumku di hutan Wetan. Jangan bersedih kakek."
Aku menjelaskan.
"Kemarilah, aku terima karmaku."
Setelah ia mengucapkan itu, Rega melahap kepala Kakek, mengigitnya hingga terlepas. Ia terpenggal.
Rega lalu mengejang kesana-kemari, ia membenturkan kepalanya ke dinding maupun lantai. Lalu dengan cepat ia melilit lehernya sendiri dengan ekornya dan menariknya hingga terlepas. Kepala nenek-nenek itu kini menggelinding menjauh. Ular tanpa kepala itu mencari kepala kakek, saat menemukannya ia menyambungkan kepala kakek ke tubuhnya. Kini Rega memiliki wajah Ki Taruban. Ia menegakkan tubuhnya, saat tegak. Ia membuka mata maupun mulutnya. Pergantian kepala telah sempurna.
Gelindingan kepala nenek-nenek itu sampai di bawah kaki Citrani.
Ia melihatku dengan tatapan kebencian yang besar.
"LAKNAT KAU KUSUMA!!"
Ia berteriak, membuka sarung tangannya dan menyerangku.
Sayangnya Rega menghadangnya. Ia lalu menancapkan taringnya tepat di tubuh Citrani, lalu mengangkat ke udara dan membanting dengan melepaskannya dengan keras.
"Heughk."
Citrani tersedak saat tubuhnya terbanting ke lantai. Aku dengan cepat mendekat dan menghunuskan tanganku menembus tepat di kerongkongannya.
"Seperti ini aku membunuh Praga."
Aku memutar tanganku yang menembus lehernya dan mencabutnya kemudian. Mengibaskan tanganku yang berlumuran darah.
"Rega, bantai semua anggota keluarga Han. Tanpa terkecuali."
Aku berjalan pergi keluar bangunan utama.
Saat diluar aku bisa mendengar semua teriakan-teriakan dari Arga, Sari, Rima dan orangtua mereka.
Paman Wikar lolos dan mendatangiku dengan tubuhnya yang terkoyak.
"Rupanya..kau..berhasil."
Ia lalu jatuh ke depan, ambruk, paman wikar mati dengan tersenyum. Entah apa, tapi selama ini hanya paman Wikar yang tak pernah menindasku.
Aku mengangkat kedua tanganku, api mulai menjalar di semua bangunan di kediaman Han.
"Den Kusuma, bukan hal seperti ini yang kami harapkan darimu."
Aku menoleh ke arah suara itu berasal, dia ibu dari Yuyun.
"Aku menyuruhmu untuk pergi agar tak menjadi saksi."
Aku mengibaskan tanganku dan bara api terlempar mengarah pada lehernya.
"Arghh!!"
Ibu itu mengerang dengan leher terbakar. Aku membiarkannya untuk mati.
"Ibu!!"
Tak kuduga, Yuyun berlari menghampiri dan memeluk ibunya sambil menangis.
"Sungguh disayangkan."
Ujarku melihat pemandangan itu, seandainya mereka tidak kemari, maka mereka masih hidup.
Aku mengibaskan tanganku dan mengarahkan bara api ke leher Yuyun.
Sebelum bara itu menyentuh lehernya, sebuah tangan menepis dan mengembalikan bara yang kulempar.
Aku menepis membuangnya dan melihat siapa yang melakukan itu.
Seorang kakek dengan pakaian serba putih tanpa alas kaki berdiri melindungi Yuyun.
"Aku tidak ada urusan denganmu!"
Aku mengusirnya.
"Tapi aku punya urusan dengan anak ini."
Kakek itu menunjuk Yuyun.
"Apa kau menginginkan kematian tua bangka?!"
Aku mengancam.
"Lakukan! Mari kita lihat siapa yang menginginkan kematian malam ini."
Ia membalas dan berjalan mendekat.
"Kau yakin?"
Ki Kala tiba entah darimana dan menjawab kata-kata kakek itu.
Kakek itu berhenti mendekat.
"Ternyata kau."
Ujarnya.
"Siapa lagi? Sepanjang wilayah Hyang Agung hanya ada kita berdua yang setara."
Ki Kala berkata sambil membuka kedua lengannya.
"Untuk makhluk seperti kita, bukankah sia-sia jika saling bertarung lagi? Biarkan masalah ini diselesaikan oleh siapa yang terlibat. Kau dengan anak perempuan itu, aku dengan anak laki-laki ini."
Ki Kala menepuk pundakku.
"Aku meragukan janjimu, Kala."
Ucap kakek itu.
"Salahmu yang mengikat diri di pegunungan itu. Seandainya haus darahmu dapat ditekan, kita bisa bertarung dimanapun."
Ki Kala seperti menantang kakek itu.
"Ck.. Kupastikan kematianmu suatu saat nanti, Kala."
Kakek itu berbalik, memegang tangan Yuyun.
"Ingin pergi Lawuh?"
Ki Kala mengangkat tangannya dan disambut oleh makhluk besar berbulu yang memegang sabit.
"Urus dia Ludra."
Makhluk itu mengayun sabitnya mengarah pada kakek yang dipanggil Lawuh.
Lalu sesuatu menahannya, sesuatu itu seperti asap hitam yang membentuk tubuh manusia.
"Tinggalkan mereka, Ayi."
Ki Lawuh memerintahkan makhluk tadi untuk mundur.
"Kau yakin?"
Makhluk itu menjawab, lalu perlahan ia mengubah tubuh dan wajahnya. Ia mirip denganku? Aku perhatikan makhluk itu, perasaan ini, aku seperti bercermin.
Ki Kala mengusap wajahku, membuatku tersadar. Tanpa mengatakan apapun.
"Sampai jumpa!"
Ucapnya sambil tersenyum lebar. Aku sedikit mundur, itu bukan senyuman tapi sayatan yang melintang dari ujung telinga kanan ke ujung telinga kiri.
Lalu tanpa kusadari, sebuah kereta kencana yang ditarik oleh belasan anjing hitam besar tiba dan membawa Yuyun pergi.
Sementara Ki Lawuh dan makhluk yang dipanggil Ayi juga mundur menghilang begitu saja.
Tanya istriku saat melihatku termenung.
"Tidak, tak apa. Hanya teringat sesuatu."
Jawabku sambil mengambil secangkir teh yang ia bawa.
Ia menyelidik.
"Hahaha.. berhenti bercanda, kau bisa membunuhku dengan candaanmu."
Sungguh menggelikan, mana mungkin aku merindukan wanita yang telah aku tumbalkan sendiri?
Ah wanita memang suka sekali membandingkan.
"Tapi hanya kau yang mempunyai tatapan mata yang sama denganku, kau hidup sepertiku, kau adalah aku, aku adalah kamu. Apalagi?"
Aku menjawabnya.
Ia tersenyum.
Katanya sambil berlalu pergi.
Aku bergumam agar ia tak mendengarnya.
Memang, jika dibanding dengan Ria, Sri jauh kalah telak. Tapi sebagai sesama anak yang lahir dari pramuria, aku maupun Sri saling memahami. Apalagi tradisi keluarga Han dapat ia terima dengan mudah.
Aku berjalan keluar kamar, malam ini terlalu tenang. Binatang malam bahkan membisu.
Aku membuka kamar Kara.
Dan melihatnya telanjang diatas seorang laki-laki.
"Ah.. bu..kan..kah ah..yah bi..sa me..nge..thuk?"
Ia bertanya dengan nafas tersengal, pinggulnya masih bergerak maju-mundur diatas tubuh kaku laki-laki yang sama-sama telanjang bersamanya.
"Kau harus lebih berhati-hati. Dan jangan lupa buang mayat itu dengan rapi."
Aku menunjuk laki-laki telanjang kering yang sedang ia nikmati.
"Ah? Sialan. Aku kelepasan."
Kara berhenti saat melihat laki-laki itu.
Sebelum selesai, ia memotong.
".. manusia terlalu berharga dan harus digunakan dengan baik. Aku tau ayah, aku tau."
Ia turun dari ranjang dan menyalakan sebatang rokok.
Aku berbalik dan memperingatkannya.
"Kikikikik...Jika dia ingin menikmati tubuhku, dengan senang hati aku akan memberikan kenikmatan untuknya."
Jawabnya dengan tawa yang tertahan.
Aku tak menjawab dan turun, aku perlu memeriksa sang bakul. Namun baru saja aku menginjak tangga pertama.
Aku melihatnya sedang berjongkok makan sesuatu di lorong.
Setelah aku perhatikan, aku mengambil sesuatu di mulutnya.
"Jangan makan lagi anjing penjaga, ini sudah kelima kalinya ayah mengingatkanmu."
Dia menunduk terdiam, lalu mengusap perutnya yang buncit.
Tanyaku.
Ia mengangguk.
Tawarku.
Ia menunjuk seekor anjing penjaga diluar.
Aku pergi meninggalkannya yang menangis.
Aku turun menuju ke belakang rumah.
Duduk di kursi panjang, dan menyalakan rokokku.
Aku banyak berpikir, aku tak meragukan apa yang sudah aku bangun selama ini, aku sama sekali tak menyesal tentang apa yang telah aku mulai, hanya menyayangkan bahwa mungkin orang yang paling keras menentang adalah bocah perempuan yang dulu menyambutku saat keluar dari hutan wetan.
Ki Kala muncul dari samping.
Tanyaku tanpa menoleh padanya.
"Hahaha.. Tentu saja mencari keluarga lain. Memang apa urusanku? Jika aku marah, seharusnya aku marah 40 tahun lalu saat kau membantai anggota keluargamu sendiri."
Ia tertawa sambil memegangi perutnya.
Aku penasaran dan menatap matanya.
"Jangan naif bocah tengil, untuk makhluk abadi sepertiku, kebosanan adalah hal yang tak bisa dikalahkan."
Jawabnya sambil masuk ke dalam rumah.
Umpatku.
Lanjutku.
Ia terbahak-bahak sambil terus berjalan menjauh.
Seorang perempuan muda menemuiku tiba-tiba.
Setelah kami saling berbicara selama beberapa saat.
"Tidak semua yang ada di keluarga Han sejahat yang kamu pikir, Re."
Kata-katanya sulit dipercaya.