- Beranda
- Stories from the Heart
Keris Telutas Jaja Laknat
...
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
PROLOG
i.
Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.
Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil.
Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis.
ii.
Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.
Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.
Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.
Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.
Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu.
Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.
Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.
Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya.
“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.
“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.
Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.
“Toilet,” balasku singkat.
“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.
“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.
“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.
“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”
“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.
“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya
“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”
“Untuk melamar kerja?”
“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.
“Apa maksudmu dengan kita?”
“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”
“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”
Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan.
“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.
“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.
Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”
“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.
“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.
“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.
“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”
Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.
Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.
“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.
“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.
Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.
“Sialan kau mengerjaiku.”
“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.
Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi. Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amriakhsan
#57
BAB XVII part 2 - Kesalahan Fatal
ii.
Aku sama sekali tidak pernah merasakan perasaan tertekan seperti ini sebelumnya, bahkan mungkin ini adalah yang pertama bagiku bisa merasakan aura kemarahan, kegelisahan dan kebingungan yang teramat besar dari Dito. Suara suara tulang yang mengelutuk dari masing masing jarinya yang mengepal, mata menyala yang mengarah ke layar itu dan menahan sebisa mungkin untuk tidak menghajarnya seperti orang yang kehilangan akal, tapi kami tahu kalau kesabarannya ada batasnya.
“Bajingan, siapa kau sebenarnya?”
Tidak ada satupun dari kami yang berani berbicara. Bahkan Nadya terlihat kaku, ketakutan sampai tidak bisa memejamkan matanya melihat kakaknya yang sedang murka tanpa kami tahu sebabnya.
“BRENGSEK, CEPAT KATAKAN!”
Suara tawa malah muncul setelah melihat amarah yang akhirnya meledak, dan kali ini orang itu malah menambahkan bensin ke dalam api, mencoba sekali lagi membuat Dito meledak.
“Santai saja, aku tidak akan bicara kalau kau tidak tenang Dito.”
Dito sama sekali tidak menuruti perintah orang itu dan tetap berdiri tegap sambil menatap tajam dengan mata merahnya itu.
“Baiklah kalau begitu,” ucap pria itu dengan lembut, kemudian suara hentikan beling keluar dari speaker, sepertinya ia habis minum dari gelasnya. “Begini saja, karena waktu kita tidak banyak dan aku kira sudah cukup bermain mainnya, maka-” Kemudian layar berubah, menampilkan beberapa foto orang orang, bisa kulihat sekitar ada enam foto orang berbaris dengan rapi dalam bingkai persegi dan dua kotak kosong di bagian bawahnya.
“Seperti yang kalian lihat, disini tinggal dua orang lagi yang kosong. Jadi sudah jelas kan kalau memang rencana ini sudah mendekati deadline. Aku harus bertindak profesional kalau untuk menang.”
Tangan Dito kali ini bergetar, memerah, bukan karena rasa takut namun karena tangan besar itu berusaha menahan kegilaan pada dirinya. Bibirnya terbuka namun gigi giginya menutup rapat. “Apa tujuanmu sebenarnya?”
“Bukan seorang professional kalau membocorkan info, bahkan ke tumpukan mayat yang tidak berbicara.”
Suara tawa memenuhi ruangan, kami semua kaget melihat Dito kali ini malah tertawa lebar setelah sebelumnya ia seperti orang kesurupan dan kali ini malah benar benar seperti orang kerasukan setan. “Jadi kau ingin menghabisi kami berdua? kau tidak bisa membunuh saya dengan mainanmu,” ejek Dito berusaha memancing musuh kami.
“Ah … mungkin kau sedikit benar. Namun kau lupa Dito, dalam perang, kuantitas adalah kunci mengalahkan kualitas.”
“Oh ya? apa kau masih yakin dengan hal itu?”
Suara seruputan kali ini muncul dari speaker. Tapi kami sama sekali tidak melihat orang di layar itu meminum sesuatu, hanya mematung dengan mata terlukainya. “Tentu saja aku sangat yakin, karena kuantitas ku bukan berarti tidak berkualitas.”
Kami bertiga kemudian teralihkan oleh sesuatu, kami merasakan suatu hal yang aneh kali ini dari arah luar rumah. Mataku sempat berusaha mencari darimana sumbernya namun aku merasa sesuatu itu sedang mengitari rumah ini.
“Apa kau yakin dengan kekuatanmu Dito? bisa kulihat dari sini kalau kau sendiri juga ragu,” lanjut orang itu.
Dito kembali menaruh matanya pada layar, berusaha fokus kembali pada musuhnya. “Ragu? coba kau kirim kembali mahluk itu kemari dan kita lihat siapa yang meragukan.”
Hembusan nafas keluar, memenuhi ruangan ini disambung dengan hentakan gelas lagi. “Baiklah kalau begitu.”
Suara hentakan kaki kali ini muncul dari arah lorong rumah, dari sana suara itu tidak datang sendiri. Hentakan kayu, rumput, lantai teras hingga suara dari atap mengelilingi rumah ini. Tubuhku bergetar hebat hanya dengan dihantui suara suara ini, aku bisa dengan sangat jelas mengingat ritme langkah kaki itu, mereka telah mengepung rumah ini.
“Maaf saja Dito, mungkin tidak biasa kalau di siang bolong begini. Tapi akan kucoba membiasakannya mulai sekarang,” tutup orang itu mengakhiri pesannya.
Layar itu kemudian mati, bersamaan dengan padamnya listrik di rumah ini. Lorong terang berubah menjadi gelap, suara baling baling kipas yang kemudian perlahan berhenti berputar. Hanya ada keheningan yang sekarang tersisa dari rumah ini. Hingga kami semua berdiri, perlahan berusaha tidak mengusik keheningan. Sepi dan sunyi mengitari kami, namun itu semua hanya ilusi kematian yang datang secara diam diam berusaha merebut nyawa kami sekaligus.
Waktu itu tidak terbuang begitu saja. Tinju besi Nadya yang sudah terpasang, Ardi yang sudah melepaskan pedangnya dari sarungnya sementara Dito dan aku hanya berbekal tangan kosong. Jemari Ardi bergerak, memberikan kode pada pak Raden dan Rani untuk berjalan perlahan ke tengah ruangan. Dengan berpegangan pada ayahnya, perlahan mereka berdua menyeret langkah mereka ke tengah tengah kami yang setelah itu membuat lingkarang untuk melindungi mereka berdua.
Aku bisa mendengar bisikan Rani mengucapkan doa dengan cepat dan sangat berantakan saking cepatnya. Bibir yang tidak bisa seimbang dan mata yang banjir dengan rasa takut, hanya dengan melihatnya aku bisa tahu kalau ini pasti mimpi terburuk yang ia pernah alami, namun sedihnya ini bukan mimpi.
Tetesan air mata jatuh ke atas lantai, percikan itu menggema menandai dimulainya pertempuran. Retakan kayu datang dari lorong, dorongan yang sangat kuat datang dari arah pintu berusaha masuk, suara langkah berubah menjadi lari, tangis yang disambut jeritan kini tiba.
Gemericik rantai datang dari arah lorong, dengan suara langkah beberapa orang dari sana. Ardi dan Dito langsung lari mengejar arah suara itu, membuat lingkaran kami terpecah dan dengan cepat aku dan Nadya mendorong mundur ayah dan anak ini menjauh dari pintu. mengetahui pintu itu hanya gertakan, perlahan aku berputar menggantikan posisi mereka berdua. Pertarungan mematikan berada di depan wajahku, lima lawan dua bukanlah hal yang sama sekali bisa ditoleransi.
Dengan tangan kosong Dito menangkap rantai dari salah satu lawannya dengan hanya satu tangan. Mengabaikan sengatan listrik yang pernah menyenai Ardi, ia memasang kuda kuda, menariknya kuat kuat dan membuat lawannya terjatuh, melepaskan rantai itu dari genggamannya. Lalu dengan cepat Dito menggulungkan rantai itu ke tangannya, dan lari menyerbu lawan yang masih berdiri di sebelah rekannya.
Tidak tinggal diam, ia melontarkan rantainya dengan sebuah bandul bermata pisau besar di depannya. Dito yang sudah menjadi gila sama sekali tidak gentar dan bukannya menghindar, kali ini ia menangkap sekali lagi trik yang sama untuk kedua kalinya. Dengan cepat ia berhenti dan menghentaknya kuat kuat, menerbangkannya dan sebuah pukulan bertenaga raksasa masuk tepat mengenai topeng baja itu. Suara jendela kayu yang hancur bersamaan dengan tubuh si topeng yang terpental keluar dari jendela.
Berusaha bangkit dari tidurnya, topeng yang terjatuh tadi mencoba kali ini mengangkat tubuh besarnya itu. Tapi bukannya naik, wajahnya kali ini malah tenggelam masuk ke lantai kayu, Dito yang tidak memberi sedikit ampun menghajarnya bulat bulat dengan satu serangan ke bagian belakang kepalanya. Aku tidak bisa memastikannya tapi aku yakin dia pasti mati.
Di sisi lain, Ardi dengan kedua lawannya yang menggunakan pedang berusaha mengajak menari mereka berdua. Salah satu topeng memberikan tebasan ke wajahnya yang ia tangkis dengan mengangkat lengannya dan memposisikan mata pedang ke bawah, lalu melontarkan senjata lawannya dengan kuat ke langit langit yang ia lanjutkan dengan putaran kebelakang, melewati Dito yang bertarung dengan satu orang lagi, kemudian melepaskan sabetan tepat ke ulu hati lawannya, walau sama sekali tidak tembus namun cukup kuat untuk menjatuhkannya. Tapi dengan pedangnya yang kali ini terpental karena energi besar yang ia lepaskan tadi, namun Ardi tidak menyia nyiakan energi kinetik itu dan berputar sekali lagi, menari bersama pedangnya melawan arah jarum jam. Tangannya melepaskan cengkramannya ,menaruh tapaknya di pangkal pedangnya, dan langsung mendorongnya tepat kembali ke ulu hatinya.
Aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini, baju zirah itu tertembus oleh pedangnya itu hingga melewati isi tubuhnya dan keluar di belakang zira baja itu. Gagang pedang yang masih tersisa di tangannya ia tarik, tidak sampai selesai dan ujungnya mata pedangnya berhenti di tengah tengah tubuh lawannya yang terduduk itu, lalu ia tikam kembali, mendorongnya ke atas kuat kuat sampai membuat lawannya berdiri. Sama sekali tidak memberikan waktu untuk sekarat baginya dan mencoba memberikan kematian yang cepat.
Tidak tinggal diam, kawan di sebelahnya yang melihat betapa cepatnya Ardi menjatuhkan rekannya itu berusaha menebas punggung Ardi dari belakang. Tanpa melihat serangan itu, ia melindungi tubuhnya dengan sarung pedangnya, mementalkan tebasan kuat itu yang bisa saja mengirisnya dan memotongnya menjadi dua. Ia lalu menarik pedangnya dari dalam lawan tubuhnya, menyisakan mayat yang sudah ia pastikan mati dan menyerbu lawannya yang satu lagi bernasib sama.
Mataku terlalu fokus melihat gerakan cepat mereka berdua yang membuat lawan mereka seperti sebuah sampah. Sampai gertakan yang kuabaikan tadi muncul dan berhasil mendobrak pintu depan. Nadya yang sudah siap lalu menyambutnya dengan pukulan mantap dan cepat, lawannya bahkan tidak sempat memberikan tikaman padanya dengan pedang besarnya itu dihajar habis habisan, bunyi dentingan besi memantul di tembok menggema mengalahkan ributnya teriakan Rani yang histeris.
Hanya tinggal aku yang tersisa dan dengan seksama menunggu datangnya lawan. Suara patahan kayu datang sangat jelas dari atas, membuatku melebarkan tangan dan berusaha mundur melindungi Rani dan ayahnya. Sampai akhirnya suara retakan itu semakin kencang, debu berterbangan di depan wajahku dan dari dalam situ siluet dua tubuh yang tinggi berusaha bangun dari lututnya.
Aku sama yang sekali tidak mempunyai senjata di saat seperti ini bukanlah menunggu untuk ditusuk tidak menyia nyiakan kesempatan ini. Kedua tanganku kubuka, menaruhnya ke samping pinggang dan membuat kuda kuda cepat dan meluncurkannya ke wajah mereka berdua sebelum sempat melihat. Tidak terpental begitu jauh namun cukup kuat untuk membuat tubuh mereka tidak seimbang dan terjatuh tergeletak di lantai.
Bagai emas di depan mata, dua buah belati mereka terjatuh tepat di hadapanku yang dalam sekejap lenyap dan sudah berpindah di kedua genggamanku. Kuputar salah satu belati tersebut dan tanpa ragu mencoba menikam salah satu lawanku yang berusaha bangkit. Mataku yang kali ini perih terkena debu langsung mengabaikan rasa sakit itu saat aku bisa merasakan sesuatu yang lunak dan tidak keras seperti seharusnya sangat terasa di pisau besarku ini. Bagian bawah ketiak tertembus pisau, tanpa ada satupun pelindung atau penghalang dan masuk begitu saja tanpa kusadari, menusuk jantung lawanku.
Saking terkejutnya, aku tidak sengaja menarik belatiku dan melepaskan kesempatan tersebut dan malah menoleh ke arah lawanku di sebelah. Mereka berdua sama sama terbuka dan hanya memiliki pelindung di bagian dadanya. Sebuah tinju kuat kulontarkan dalam posisi tertunduk ini dan membuatnya kembali terjatuh, kali ini tidak ada kesalahan untuk kedua kalinya. Kutanam kembali pisau mereka ke jantung mereka masing masing dan tanpa mencabutnya sama sekali. Hingga akhirnya aku menjadi sama gilanya seperti mereka berdua, layaknya menaruh asam pada luka. Kubuka kembali kedua tanganku dan memberikan tinju ke masing masing kenop belati itu dan memasukkannya ke dalam tubuh mereka hingga tidak terlihat.
Aku pun akhirnya berdiri dan berusaha menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan cepat dan mengulanginya lagi. mencoba melihat kembali ke sekelilingku dan melihat mereka semua telah menghabisi lawan mereka. Nadya dengan kakinya yang menginjak lawanny, lalu Dito dan Ardi yang terlihat sedang bertengkar kali ini.
“IDIOT,” bentak Dito.
“Maaf maaf, yang penting kan tidak kena,” jawab Ardi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dadanya.
“Jangan jangan kau mata mata.” terus Dito mengomel.
“Oy-oy, jangan sampai sejauh itu,” jawab Ardi kali ini ikut kesal.
Aku datang berjalan menghampiri mereka berdua. “Bertengkarnya nanti saja, sangat berbahaya kalau kita tetap disini,” ucapku berusaha mengakhiri pertengkaran mereka.
“Jaya benar, kalian semua segera ke garasi sekarang juga!” perintah Dito.
Mendengar itu, aku langsung berusaha lari ke garasi, namun sebelum aku sempat melakukannya Dito menepuk pundakku. Aku menoleh ke arahnya dan bisa dengan jelas melihat tangannya yang berlumuran sayatan dan darah menyentuh bajuku.
“Bisa kau lihat, sepertinya aku tidak bisa menyetir dengan baik kalau tangan saya seperti ini, tidak mungkin Nadya bisa menyetir dengan cepat, jadi … ” keluh Dito.
“Baiklah, tapi tujuan kita kemana?”
“Nanti saja di dalam mobil, yang penting kita harus keluar dulu dari sini.”
Dito lalu berlari mendahuluiku menuju garasi bersama mereka semua yang sudah keluar rumah terlebih dahulu. Aku menoleh kebelakang dan melihat lorong tadi yang sekarang dengan batang kayu dimana mana berserakan dan tembok yang tersiram darah. Kemudian aku menatap ke depan, melihat kedua lawanku yang terbaring dengan sisa belati besar mereka masih di dalam kepalan tangannya. Tanpa pikir panjang aku mengambil dari mayat mereka dan membawa dua belati berlari keluar dari tempat ini.
Sampai aku berada di teras, aku melihat mobil SUV hitam legam terparkir di depan, menungguku disana. Nadya keluar dari pintu depan dan ia segera berpindah ke kursi tengah beserta Rani dan ayahnya. Sementara Ardi yang tidak tahu kemana asala membuka pintu dan masuk duduk di bagian belakang mobil, sementara Dito sudah berada di kursi depan.
Sebuah suara dari arah belakang mengejutkanku, mataku terbelalak melihat salah satu dari mereka bangkit dan berusaha berdiri. Kakiku yang tidak perlu kuperintah langsung lari secepat mungkin sampai tanganku akhirnya sudah berada di setir. Tanpa memanaskan mesin sekalipun, tanganku menarik tuas rem, memasukan gigi dan langsung menekan gas.
“Pakai sabuk pengaman kalian!” perintahku.
Suara klik memenuhi mobil. Sambil menunggu gerbang terbuka penuh aku menggeser kaca depan untuk melihat mereka semua yang sudah dalam posisinya, sampai akhirnya mataku tertuju pada sebuah objek kecil berlari dari belakang. Mataku beralih ke spion untuk melihat lebih jelas apa itu dan benar saja, topeng itu berlari mengejar kami. Namun sayangnya ia telat dan gerbang sudah terbuka penuh. Suara mesin menggeram dan roda bergulir dengan cepat meninggalkan rumah ini.
ii.
Aku sama sekali tidak pernah merasakan perasaan tertekan seperti ini sebelumnya, bahkan mungkin ini adalah yang pertama bagiku bisa merasakan aura kemarahan, kegelisahan dan kebingungan yang teramat besar dari Dito. Suara suara tulang yang mengelutuk dari masing masing jarinya yang mengepal, mata menyala yang mengarah ke layar itu dan menahan sebisa mungkin untuk tidak menghajarnya seperti orang yang kehilangan akal, tapi kami tahu kalau kesabarannya ada batasnya.
“Bajingan, siapa kau sebenarnya?”
Tidak ada satupun dari kami yang berani berbicara. Bahkan Nadya terlihat kaku, ketakutan sampai tidak bisa memejamkan matanya melihat kakaknya yang sedang murka tanpa kami tahu sebabnya.
“BRENGSEK, CEPAT KATAKAN!”
Suara tawa malah muncul setelah melihat amarah yang akhirnya meledak, dan kali ini orang itu malah menambahkan bensin ke dalam api, mencoba sekali lagi membuat Dito meledak.
“Santai saja, aku tidak akan bicara kalau kau tidak tenang Dito.”
Dito sama sekali tidak menuruti perintah orang itu dan tetap berdiri tegap sambil menatap tajam dengan mata merahnya itu.
“Baiklah kalau begitu,” ucap pria itu dengan lembut, kemudian suara hentikan beling keluar dari speaker, sepertinya ia habis minum dari gelasnya. “Begini saja, karena waktu kita tidak banyak dan aku kira sudah cukup bermain mainnya, maka-” Kemudian layar berubah, menampilkan beberapa foto orang orang, bisa kulihat sekitar ada enam foto orang berbaris dengan rapi dalam bingkai persegi dan dua kotak kosong di bagian bawahnya.
“Seperti yang kalian lihat, disini tinggal dua orang lagi yang kosong. Jadi sudah jelas kan kalau memang rencana ini sudah mendekati deadline. Aku harus bertindak profesional kalau untuk menang.”
Tangan Dito kali ini bergetar, memerah, bukan karena rasa takut namun karena tangan besar itu berusaha menahan kegilaan pada dirinya. Bibirnya terbuka namun gigi giginya menutup rapat. “Apa tujuanmu sebenarnya?”
“Bukan seorang professional kalau membocorkan info, bahkan ke tumpukan mayat yang tidak berbicara.”
Suara tawa memenuhi ruangan, kami semua kaget melihat Dito kali ini malah tertawa lebar setelah sebelumnya ia seperti orang kesurupan dan kali ini malah benar benar seperti orang kerasukan setan. “Jadi kau ingin menghabisi kami berdua? kau tidak bisa membunuh saya dengan mainanmu,” ejek Dito berusaha memancing musuh kami.
“Ah … mungkin kau sedikit benar. Namun kau lupa Dito, dalam perang, kuantitas adalah kunci mengalahkan kualitas.”
“Oh ya? apa kau masih yakin dengan hal itu?”
Suara seruputan kali ini muncul dari speaker. Tapi kami sama sekali tidak melihat orang di layar itu meminum sesuatu, hanya mematung dengan mata terlukainya. “Tentu saja aku sangat yakin, karena kuantitas ku bukan berarti tidak berkualitas.”
Kami bertiga kemudian teralihkan oleh sesuatu, kami merasakan suatu hal yang aneh kali ini dari arah luar rumah. Mataku sempat berusaha mencari darimana sumbernya namun aku merasa sesuatu itu sedang mengitari rumah ini.
“Apa kau yakin dengan kekuatanmu Dito? bisa kulihat dari sini kalau kau sendiri juga ragu,” lanjut orang itu.
Dito kembali menaruh matanya pada layar, berusaha fokus kembali pada musuhnya. “Ragu? coba kau kirim kembali mahluk itu kemari dan kita lihat siapa yang meragukan.”
Hembusan nafas keluar, memenuhi ruangan ini disambung dengan hentakan gelas lagi. “Baiklah kalau begitu.”
Suara hentakan kaki kali ini muncul dari arah lorong rumah, dari sana suara itu tidak datang sendiri. Hentakan kayu, rumput, lantai teras hingga suara dari atap mengelilingi rumah ini. Tubuhku bergetar hebat hanya dengan dihantui suara suara ini, aku bisa dengan sangat jelas mengingat ritme langkah kaki itu, mereka telah mengepung rumah ini.
“Maaf saja Dito, mungkin tidak biasa kalau di siang bolong begini. Tapi akan kucoba membiasakannya mulai sekarang,” tutup orang itu mengakhiri pesannya.
Layar itu kemudian mati, bersamaan dengan padamnya listrik di rumah ini. Lorong terang berubah menjadi gelap, suara baling baling kipas yang kemudian perlahan berhenti berputar. Hanya ada keheningan yang sekarang tersisa dari rumah ini. Hingga kami semua berdiri, perlahan berusaha tidak mengusik keheningan. Sepi dan sunyi mengitari kami, namun itu semua hanya ilusi kematian yang datang secara diam diam berusaha merebut nyawa kami sekaligus.
Waktu itu tidak terbuang begitu saja. Tinju besi Nadya yang sudah terpasang, Ardi yang sudah melepaskan pedangnya dari sarungnya sementara Dito dan aku hanya berbekal tangan kosong. Jemari Ardi bergerak, memberikan kode pada pak Raden dan Rani untuk berjalan perlahan ke tengah ruangan. Dengan berpegangan pada ayahnya, perlahan mereka berdua menyeret langkah mereka ke tengah tengah kami yang setelah itu membuat lingkarang untuk melindungi mereka berdua.
Aku bisa mendengar bisikan Rani mengucapkan doa dengan cepat dan sangat berantakan saking cepatnya. Bibir yang tidak bisa seimbang dan mata yang banjir dengan rasa takut, hanya dengan melihatnya aku bisa tahu kalau ini pasti mimpi terburuk yang ia pernah alami, namun sedihnya ini bukan mimpi.
Tetesan air mata jatuh ke atas lantai, percikan itu menggema menandai dimulainya pertempuran. Retakan kayu datang dari lorong, dorongan yang sangat kuat datang dari arah pintu berusaha masuk, suara langkah berubah menjadi lari, tangis yang disambut jeritan kini tiba.
Gemericik rantai datang dari arah lorong, dengan suara langkah beberapa orang dari sana. Ardi dan Dito langsung lari mengejar arah suara itu, membuat lingkaran kami terpecah dan dengan cepat aku dan Nadya mendorong mundur ayah dan anak ini menjauh dari pintu. mengetahui pintu itu hanya gertakan, perlahan aku berputar menggantikan posisi mereka berdua. Pertarungan mematikan berada di depan wajahku, lima lawan dua bukanlah hal yang sama sekali bisa ditoleransi.
Dengan tangan kosong Dito menangkap rantai dari salah satu lawannya dengan hanya satu tangan. Mengabaikan sengatan listrik yang pernah menyenai Ardi, ia memasang kuda kuda, menariknya kuat kuat dan membuat lawannya terjatuh, melepaskan rantai itu dari genggamannya. Lalu dengan cepat Dito menggulungkan rantai itu ke tangannya, dan lari menyerbu lawan yang masih berdiri di sebelah rekannya.
Tidak tinggal diam, ia melontarkan rantainya dengan sebuah bandul bermata pisau besar di depannya. Dito yang sudah menjadi gila sama sekali tidak gentar dan bukannya menghindar, kali ini ia menangkap sekali lagi trik yang sama untuk kedua kalinya. Dengan cepat ia berhenti dan menghentaknya kuat kuat, menerbangkannya dan sebuah pukulan bertenaga raksasa masuk tepat mengenai topeng baja itu. Suara jendela kayu yang hancur bersamaan dengan tubuh si topeng yang terpental keluar dari jendela.
Berusaha bangkit dari tidurnya, topeng yang terjatuh tadi mencoba kali ini mengangkat tubuh besarnya itu. Tapi bukannya naik, wajahnya kali ini malah tenggelam masuk ke lantai kayu, Dito yang tidak memberi sedikit ampun menghajarnya bulat bulat dengan satu serangan ke bagian belakang kepalanya. Aku tidak bisa memastikannya tapi aku yakin dia pasti mati.
Di sisi lain, Ardi dengan kedua lawannya yang menggunakan pedang berusaha mengajak menari mereka berdua. Salah satu topeng memberikan tebasan ke wajahnya yang ia tangkis dengan mengangkat lengannya dan memposisikan mata pedang ke bawah, lalu melontarkan senjata lawannya dengan kuat ke langit langit yang ia lanjutkan dengan putaran kebelakang, melewati Dito yang bertarung dengan satu orang lagi, kemudian melepaskan sabetan tepat ke ulu hati lawannya, walau sama sekali tidak tembus namun cukup kuat untuk menjatuhkannya. Tapi dengan pedangnya yang kali ini terpental karena energi besar yang ia lepaskan tadi, namun Ardi tidak menyia nyiakan energi kinetik itu dan berputar sekali lagi, menari bersama pedangnya melawan arah jarum jam. Tangannya melepaskan cengkramannya ,menaruh tapaknya di pangkal pedangnya, dan langsung mendorongnya tepat kembali ke ulu hatinya.
Aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini, baju zirah itu tertembus oleh pedangnya itu hingga melewati isi tubuhnya dan keluar di belakang zira baja itu. Gagang pedang yang masih tersisa di tangannya ia tarik, tidak sampai selesai dan ujungnya mata pedangnya berhenti di tengah tengah tubuh lawannya yang terduduk itu, lalu ia tikam kembali, mendorongnya ke atas kuat kuat sampai membuat lawannya berdiri. Sama sekali tidak memberikan waktu untuk sekarat baginya dan mencoba memberikan kematian yang cepat.
Tidak tinggal diam, kawan di sebelahnya yang melihat betapa cepatnya Ardi menjatuhkan rekannya itu berusaha menebas punggung Ardi dari belakang. Tanpa melihat serangan itu, ia melindungi tubuhnya dengan sarung pedangnya, mementalkan tebasan kuat itu yang bisa saja mengirisnya dan memotongnya menjadi dua. Ia lalu menarik pedangnya dari dalam lawan tubuhnya, menyisakan mayat yang sudah ia pastikan mati dan menyerbu lawannya yang satu lagi bernasib sama.
Mataku terlalu fokus melihat gerakan cepat mereka berdua yang membuat lawan mereka seperti sebuah sampah. Sampai gertakan yang kuabaikan tadi muncul dan berhasil mendobrak pintu depan. Nadya yang sudah siap lalu menyambutnya dengan pukulan mantap dan cepat, lawannya bahkan tidak sempat memberikan tikaman padanya dengan pedang besarnya itu dihajar habis habisan, bunyi dentingan besi memantul di tembok menggema mengalahkan ributnya teriakan Rani yang histeris.
Hanya tinggal aku yang tersisa dan dengan seksama menunggu datangnya lawan. Suara patahan kayu datang sangat jelas dari atas, membuatku melebarkan tangan dan berusaha mundur melindungi Rani dan ayahnya. Sampai akhirnya suara retakan itu semakin kencang, debu berterbangan di depan wajahku dan dari dalam situ siluet dua tubuh yang tinggi berusaha bangun dari lututnya.
Aku sama yang sekali tidak mempunyai senjata di saat seperti ini bukanlah menunggu untuk ditusuk tidak menyia nyiakan kesempatan ini. Kedua tanganku kubuka, menaruhnya ke samping pinggang dan membuat kuda kuda cepat dan meluncurkannya ke wajah mereka berdua sebelum sempat melihat. Tidak terpental begitu jauh namun cukup kuat untuk membuat tubuh mereka tidak seimbang dan terjatuh tergeletak di lantai.
Bagai emas di depan mata, dua buah belati mereka terjatuh tepat di hadapanku yang dalam sekejap lenyap dan sudah berpindah di kedua genggamanku. Kuputar salah satu belati tersebut dan tanpa ragu mencoba menikam salah satu lawanku yang berusaha bangkit. Mataku yang kali ini perih terkena debu langsung mengabaikan rasa sakit itu saat aku bisa merasakan sesuatu yang lunak dan tidak keras seperti seharusnya sangat terasa di pisau besarku ini. Bagian bawah ketiak tertembus pisau, tanpa ada satupun pelindung atau penghalang dan masuk begitu saja tanpa kusadari, menusuk jantung lawanku.
Saking terkejutnya, aku tidak sengaja menarik belatiku dan melepaskan kesempatan tersebut dan malah menoleh ke arah lawanku di sebelah. Mereka berdua sama sama terbuka dan hanya memiliki pelindung di bagian dadanya. Sebuah tinju kuat kulontarkan dalam posisi tertunduk ini dan membuatnya kembali terjatuh, kali ini tidak ada kesalahan untuk kedua kalinya. Kutanam kembali pisau mereka ke jantung mereka masing masing dan tanpa mencabutnya sama sekali. Hingga akhirnya aku menjadi sama gilanya seperti mereka berdua, layaknya menaruh asam pada luka. Kubuka kembali kedua tanganku dan memberikan tinju ke masing masing kenop belati itu dan memasukkannya ke dalam tubuh mereka hingga tidak terlihat.
Aku pun akhirnya berdiri dan berusaha menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan cepat dan mengulanginya lagi. mencoba melihat kembali ke sekelilingku dan melihat mereka semua telah menghabisi lawan mereka. Nadya dengan kakinya yang menginjak lawanny, lalu Dito dan Ardi yang terlihat sedang bertengkar kali ini.
“IDIOT,” bentak Dito.
“Maaf maaf, yang penting kan tidak kena,” jawab Ardi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dadanya.
“Jangan jangan kau mata mata.” terus Dito mengomel.
“Oy-oy, jangan sampai sejauh itu,” jawab Ardi kali ini ikut kesal.
Aku datang berjalan menghampiri mereka berdua. “Bertengkarnya nanti saja, sangat berbahaya kalau kita tetap disini,” ucapku berusaha mengakhiri pertengkaran mereka.
“Jaya benar, kalian semua segera ke garasi sekarang juga!” perintah Dito.
Mendengar itu, aku langsung berusaha lari ke garasi, namun sebelum aku sempat melakukannya Dito menepuk pundakku. Aku menoleh ke arahnya dan bisa dengan jelas melihat tangannya yang berlumuran sayatan dan darah menyentuh bajuku.
“Bisa kau lihat, sepertinya aku tidak bisa menyetir dengan baik kalau tangan saya seperti ini, tidak mungkin Nadya bisa menyetir dengan cepat, jadi … ” keluh Dito.
“Baiklah, tapi tujuan kita kemana?”
“Nanti saja di dalam mobil, yang penting kita harus keluar dulu dari sini.”
Dito lalu berlari mendahuluiku menuju garasi bersama mereka semua yang sudah keluar rumah terlebih dahulu. Aku menoleh kebelakang dan melihat lorong tadi yang sekarang dengan batang kayu dimana mana berserakan dan tembok yang tersiram darah. Kemudian aku menatap ke depan, melihat kedua lawanku yang terbaring dengan sisa belati besar mereka masih di dalam kepalan tangannya. Tanpa pikir panjang aku mengambil dari mayat mereka dan membawa dua belati berlari keluar dari tempat ini.
Sampai aku berada di teras, aku melihat mobil SUV hitam legam terparkir di depan, menungguku disana. Nadya keluar dari pintu depan dan ia segera berpindah ke kursi tengah beserta Rani dan ayahnya. Sementara Ardi yang tidak tahu kemana asala membuka pintu dan masuk duduk di bagian belakang mobil, sementara Dito sudah berada di kursi depan.
Sebuah suara dari arah belakang mengejutkanku, mataku terbelalak melihat salah satu dari mereka bangkit dan berusaha berdiri. Kakiku yang tidak perlu kuperintah langsung lari secepat mungkin sampai tanganku akhirnya sudah berada di setir. Tanpa memanaskan mesin sekalipun, tanganku menarik tuas rem, memasukan gigi dan langsung menekan gas.
“Pakai sabuk pengaman kalian!” perintahku.
Suara klik memenuhi mobil. Sambil menunggu gerbang terbuka penuh aku menggeser kaca depan untuk melihat mereka semua yang sudah dalam posisinya, sampai akhirnya mataku tertuju pada sebuah objek kecil berlari dari belakang. Mataku beralih ke spion untuk melihat lebih jelas apa itu dan benar saja, topeng itu berlari mengejar kami. Namun sayangnya ia telat dan gerbang sudah terbuka penuh. Suara mesin menggeram dan roda bergulir dengan cepat meninggalkan rumah ini.
aripinastiko612 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup
