- Beranda
- Stories from the Heart
Keris Telutas Jaja Laknat
...
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
PROLOG
i.
Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.
Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil.
Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis.
ii.
Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.
Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.
Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.
Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.
Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu.
Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.
Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.
Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya.
“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.
“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.
Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.
“Toilet,” balasku singkat.
“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.
“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.
“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.
“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”
“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.
“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya
“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”
“Untuk melamar kerja?”
“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.
“Apa maksudmu dengan kita?”
“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”
“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”
Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan.
“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.
“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.
Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”
“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.
“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.
“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.
“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”
Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.
Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.
“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.
“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.
Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.
“Sialan kau mengerjaiku.”
“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.
Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi. Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amriakhsan
#55
BAB XVII part 1 - Kesalahan Fatal
i.
Jumlah berat dalam tangan yang tiba tiba meningkat, getaran yang masih belum berhenti selama semalaman hingga terbawa lelapnya tidur yang lelah. Langkah kaki yang berat saat ke ranjang tidurku pun adalah hal yang paling nikmat setelah beberapa hari ini tubuh ini kurang istirahat. Uap nafas beradu dengan dinginnya udara berdeburan di hadapan wajahku, teringat akan kemarin malam, malam itu adalah malam yang membuatku hidup, walau tujuannya masih misteri, namun perasaan yang kudapat membuat hidupku terasa sangatlah berarti.
Mungkin karena ini orang orang dahulu selalu berperang tanpa alasan, bertarung, membunuh dan mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat dari dirimu sendiri. Hidup adalah sebuah cara menembus tantangan dan berusaha mencarinya lagi. Langkah ini terus maju bukan karena aku yang mau, tapi karena mereka berusaha menantangku, maka tidak ada lagi yang lain selain melawan.
Kepalan yang berusaha kudapatkan di dinginnya udara lembab kamar mandi bersama setiap tetesan air yang bagaikan sebuah detik yang memburuku, masih ada lagi yang harus kulawan setelah ini, masih belum selesai.
Aku sudah biasa mengenakan pakaian di dalam kamar mandi, membawanya sebelum membersihkan diri dan berusaha tidak bertelanjang dada di luar meskipun rumah ini sudah seperti rumah sendiri.
Melihat mereka semua berkumpul di ruang keluarga, duduk dan berbincang bincang dengan matahari hangat yang menembus sela sela jendela kayu. Nadya yang sibuk dengan lap di tangannya yang membersihkan sarung tinju bajanya itu, Pak Raden yang menghirup tehnya, berbincang bincang dengan putrinya yang mungkin semalam mendapatkan kejutan entah kenapa dia menjadi sangat lengket dengan keberadaan Ardi disebelahnya, aku yakin di isi kepalanya hanyalah tugas untuk melindungi sang tuan putri dan sama sekali tidak menyadari ada “perasaan” di sekitar situ.
Aku jadi kepikiran, apa beginikah yang dimaksud dengan keluarga oleh Dito, kumpulan orang orang yang berbeda beda, entah sudah kenal lama atau bahkan baru kemarin sore. Tidak ada bedanya bagi mereka, yang penting sebuah kebersamaan akan sebuah titik terang dari akhir sebuah musibah yang telah dilalui bersama.
Mataku terlukai melihat hal hal yang jarang kulihat seperti ini, mungkin bukan jarang, hanya saja sudah lama sekali aku tidak merasakan kehangatan seperti ini. Aku kali ini mungkin sudah gila atau bodoh, namun keluarga ini tetap saja kurang tanpa Dito disini.
Sebuah tepukan kencang datang merauk kedua bahuku, punggung terdorong kedepan, menggeram kesakitan dibuatnya. Mataku menyala mendapatkan rasa tidak enak seperti ini sampai aku dibuat heran saat melihat ekspresi mereka yang berubah, melotot ke arahku dengan dagu menganga, bahkan aku malah kaget melihat wajah pak Raden yang kaku itu bisa berubah demikian. Kecuali Ardi, dia memang pengecualian dari semuanya.
Aku berusaha menoleh kebelakang sekuat tenaga, namun ketika akhirnya aku hampir berhasil melihat pelakunya, ia mendorongku kuat kuat. Kakiku yang masih goyah berusaha mengambil keseimbangan setelah beberapa langkah terlontar dan hampir menubruk meja. Kali ini aku mendapat pandangan penuh orang itu.
“Bagaimana besok kau mau melawan orang itu?” ejek Dito.
Pak Raden berdiri dari kursinya, masih tidak percaya dengan pandangan yang ia lihat sendiri, ia kemudian menoleh ke arah putrinya yang kebingungan dan kemudian beralih ke arah kami yang sama sekali tidak peduli dengan kedatangannya.
Dahi Nadya mengkerut, kesal melihat kedatangan kakaknya itu, ia segera menjatuhkan alatnya dan berjalan langsung ke arah Dito seperti bersiap menghajarnya. “KAKAK NGAPAIN KESINI?!” bisik Nadya yang geram.
“Lah bukannya … Oh ... “ wajah Dito yang bersemangat berubah menjadi datar mengetahui kesalahan fatal yang ia lakukan saat ini.
Pak Raden mengangkat tangannya, berusaha menggenggam udara kosong. “Bukannya Dito, terus siapa yang di-”
“Oke oke pak, tenang dulu, biar adik saya yang cerita sekali lagi kali ini dengan detil, silahkan!” ucap Dito menyodorkan tangannya ke Nadya.
Sesaat setelah itu Nadya menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit untuk bercerita, walau aku sudah tahu apa yang akan keluar dari mulutnya tapi aku tetap memperhatikan kisah ini dari perspektifnya yang menarik.
“Apa perlu diceritakan ulang?” tawar Dito saat adiknya itu mengucapkan akhir kalimatnya.
Pak Raden temenggung, dengan bibir yang sedikit terbuka menunjukan gigi giginya kemudian menelan ludah dalam tatapan kosongnya yang sekarang penuh dengan narasi itu. “Sepertinya tidak perlu.”
Dito terduduk dengan seringainya. “Baiklah ka-”
“Tunggu, lalu siapa dalang semua ini?” potong pak Raden.
Matanya melebar, menatap ke arah pak Raden dengan perasaan geram sampai sampai ia menggigit bibirnya terangkat dengan alis menukik. “Saya juga tidak tahu, tapi kalau kita menemukan orang ini. Saya bersumpah akan menghajarnya sampai semua tulangnya menjadi lunak.”
“Tapi- terus apakah kita akan menunggu sampai orang ini membunuh kita satu persatu?” kejar pak Raden.
“Tentu saja tidak, mereka berdua akan melakukan ini sampai enam orang lagi selamat, itu juga kalau mereka lebih dulu sampai.”
“Lalu dari mana kau dapat info selanjutnya?”
“Nah, itu yang ingin saya ingin beritahu ke kalian hari ini, tidak ada waktu untuk menyembunyikannya lagi, karena kita punya orang kepercayaan yang harus diperkenalkan.”
Kemudian ia menjentikan jarinya ke arah Nadya yang kemudian layar kaca menyembul keluar dari dalam meja. Melihat seringai Dito yang belum jatuh sama sekali menandakan kalau ini menjadi hal yang baik. Aku tidak tahu kenapa ia memberitahu alasan itu pada kami, namun mungkin a tahu tentang rasa kurang percaya kepadanya dan kal ini ia akan membuktikannya pada kami semua.
Tangan besarnya yang sibuk menekan tombol di layarnya dikejutkan dengan suara telpon berdering. Wajahnya terlihat makin senang saat mengetahui penelponnya itu. Beberapa menit kami memperhatikannya berbincang bincang dengan tatapan kosong melihat sang bos sedang berbisnis dengan riangnya.
“Kabar baik semua, temanku dari kepolisian telah menggeledah mayat yang kemarin. Chip yang berada pada tengkuk leher makhluk itu adalah pengontrol segala gerak tubuhnya, lebih tepatnya perintah untuk menggerakkannya. Karena kau tahu otaknya itu kosong, jadi butuh perintah,” jelas Dito sambil mengetuk ngetuk kepalanya sendiri.
“Lalu koordinat pengirim perintahnya dari mana?” tanyaku.
“Itu dia, ada semacam … apa itu namanya ya …”
“Enkripsi?”
“Ya, itu dia, lokasinya katanya di enkripsi dan butuh beberapa hari atau minggu untuk memecahkannya.”
“Tidak ada yang lain, kelemahan seperti tulang pembunuh itu atau getaran dan semacamnya?” tanya Ardi.
“Sama sekali tidak.”
Ardi sampai menoleh ke Dito, tidak percaya mendengar jawabannya itu. “Apa maksudnya, apa selama ini kita salah duga?”
“Memangnya kau tahu kelemahannya ya?”
Ardi tertunduk, ia mengerutkan bibirnya, ragu akan apa yang berada di pikirannya selama ini. “Aku kira begitu, mahluk ini tidak bisa bergerak saat mereka terkena getaran yang kencang.”
Dito terkekeh mendengar jawaban Ardi. “Kalau begitu coba kau jelaskan bagaimana dia bisa bergerak setelah mobilku terguling, apa itu bukan getaran yang besar?” ucap Dito sambil kembali fokus ke layarnya. Sepertinya ia sesegera mungkin ingin menghubungi seseorang.
Ardi kemudian semakin terlihat kebingungan, dahinya mengkerut, menggigit bibirnya sampai ia semakin tertunduk.
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirin. Mungkin belum ada bukti medis, tapi setidaknya cara itu berhasil kan,” cetus ku berusaha mendinginkan Ardi.
Tapi hal itu tidak mengubah apapun, ia tetap terdiam dalam pikirannya. Setelah itu aku mencoba untuk tidak mengusiknya lagi. Sampai Rani membantuku dengan memegang bahu Ardi, mencoba menenangkannya. Entah kenapa sekarang aku sangat geli melihat betapa kasihannya melihat ia berfikir sampai sekeras itu.
Layar pun bersinar terang, menyala dan menampilkan apa yang ada di telepon Dito yang sedang menghubungi seseorang. Kemudian layar kembali terlihat gelap, namun aku tahu dari interfacenya itu kalau Dito sudah masuk ke sambungan dengan orang yang ditujunya.
“Mungkin kau menghayal kalau sebuah getaran membuat tulang makhluk itu jadi lunak atau apapun, tapi kalau begitu harusnya dia sama sekali tidak bisa berkendara atau bahkan melompat kalau begitu jadinya,” jelas Dito menatap Ardi yang masih tidak bangun.
Tapi perkiraanku berkata lain, Ardi kali ini tebangun dan mengarahkan pandangannya ke Dito dengan wajah yang heran. “Kalau begitu bagaimana kau bisa menjelaskan cara kami mengalahkan pembunuh iu dengan menggetarkan anggota tubuhnya.”
“Sebenarnya kata katamu tidak salah.”
Kami semua terkejut, dengan suara besar dan berat muncul dari speaker, mata kami tertuju pada layar gelap itu, hanya sebuah siluet orang yang muncul dari sana.
“Oh … jadi kau mendengarkan ya? silahkan memperkenalkan diri bos,”
Layar itu kemudian menjadi terang, menampilkan sosok dengan wajah kotak lebar bersudut keras, hidungnya lancip dan dengan mata yang sedikit meredup, perawakannya tidak jauh beda atau bahkan mirip dengan Dito.
Dito memicingkan matanya. “Ada apa bos? kurang sehat?”
Orang itu kemudian sama sekali tidak membalas, terdiam namun bola matanya berpindah dengan cepat memperhatikan layar dengan seksama satu persatu.
“Hei jawab buruan,” tegur Dito.
Mata pria itu berhenti dan mengarah ke Dito. “Apa seperti ini kau pada temanmu sendiri?” jawab orang itu santai.
“Apa apa-” kemudian matanya molotot, terbuka lebar, kaget tidak percaya melihat dan mendengar sendiri jawaban temannya itu yang barusan terucap dari mulutnya. “Brengsek.”
Orang itu terkekeh. “ternyata tidak bohong kalau kau orang cerdas Dito, kau cepat sekali tahu situasi.”
“Ada apa ini Dito?” tanya Ardi yang menyadari sesuatu yang janggal pada Dito.
Suara desisan muncul dari mulutnya, menghirup udara dengan kencang dan berusaha mendinginkan kepalanya. Alisnya menukik tajam, gigi giginya terlihat dengan sebelah pipinya terangkat. “Diam saja, Ardi.”
i.
Jumlah berat dalam tangan yang tiba tiba meningkat, getaran yang masih belum berhenti selama semalaman hingga terbawa lelapnya tidur yang lelah. Langkah kaki yang berat saat ke ranjang tidurku pun adalah hal yang paling nikmat setelah beberapa hari ini tubuh ini kurang istirahat. Uap nafas beradu dengan dinginnya udara berdeburan di hadapan wajahku, teringat akan kemarin malam, malam itu adalah malam yang membuatku hidup, walau tujuannya masih misteri, namun perasaan yang kudapat membuat hidupku terasa sangatlah berarti.
Mungkin karena ini orang orang dahulu selalu berperang tanpa alasan, bertarung, membunuh dan mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat dari dirimu sendiri. Hidup adalah sebuah cara menembus tantangan dan berusaha mencarinya lagi. Langkah ini terus maju bukan karena aku yang mau, tapi karena mereka berusaha menantangku, maka tidak ada lagi yang lain selain melawan.
Kepalan yang berusaha kudapatkan di dinginnya udara lembab kamar mandi bersama setiap tetesan air yang bagaikan sebuah detik yang memburuku, masih ada lagi yang harus kulawan setelah ini, masih belum selesai.
Aku sudah biasa mengenakan pakaian di dalam kamar mandi, membawanya sebelum membersihkan diri dan berusaha tidak bertelanjang dada di luar meskipun rumah ini sudah seperti rumah sendiri.
Melihat mereka semua berkumpul di ruang keluarga, duduk dan berbincang bincang dengan matahari hangat yang menembus sela sela jendela kayu. Nadya yang sibuk dengan lap di tangannya yang membersihkan sarung tinju bajanya itu, Pak Raden yang menghirup tehnya, berbincang bincang dengan putrinya yang mungkin semalam mendapatkan kejutan entah kenapa dia menjadi sangat lengket dengan keberadaan Ardi disebelahnya, aku yakin di isi kepalanya hanyalah tugas untuk melindungi sang tuan putri dan sama sekali tidak menyadari ada “perasaan” di sekitar situ.
Aku jadi kepikiran, apa beginikah yang dimaksud dengan keluarga oleh Dito, kumpulan orang orang yang berbeda beda, entah sudah kenal lama atau bahkan baru kemarin sore. Tidak ada bedanya bagi mereka, yang penting sebuah kebersamaan akan sebuah titik terang dari akhir sebuah musibah yang telah dilalui bersama.
Mataku terlukai melihat hal hal yang jarang kulihat seperti ini, mungkin bukan jarang, hanya saja sudah lama sekali aku tidak merasakan kehangatan seperti ini. Aku kali ini mungkin sudah gila atau bodoh, namun keluarga ini tetap saja kurang tanpa Dito disini.
Sebuah tepukan kencang datang merauk kedua bahuku, punggung terdorong kedepan, menggeram kesakitan dibuatnya. Mataku menyala mendapatkan rasa tidak enak seperti ini sampai aku dibuat heran saat melihat ekspresi mereka yang berubah, melotot ke arahku dengan dagu menganga, bahkan aku malah kaget melihat wajah pak Raden yang kaku itu bisa berubah demikian. Kecuali Ardi, dia memang pengecualian dari semuanya.
Aku berusaha menoleh kebelakang sekuat tenaga, namun ketika akhirnya aku hampir berhasil melihat pelakunya, ia mendorongku kuat kuat. Kakiku yang masih goyah berusaha mengambil keseimbangan setelah beberapa langkah terlontar dan hampir menubruk meja. Kali ini aku mendapat pandangan penuh orang itu.
“Bagaimana besok kau mau melawan orang itu?” ejek Dito.
Pak Raden berdiri dari kursinya, masih tidak percaya dengan pandangan yang ia lihat sendiri, ia kemudian menoleh ke arah putrinya yang kebingungan dan kemudian beralih ke arah kami yang sama sekali tidak peduli dengan kedatangannya.
Dahi Nadya mengkerut, kesal melihat kedatangan kakaknya itu, ia segera menjatuhkan alatnya dan berjalan langsung ke arah Dito seperti bersiap menghajarnya. “KAKAK NGAPAIN KESINI?!” bisik Nadya yang geram.
“Lah bukannya … Oh ... “ wajah Dito yang bersemangat berubah menjadi datar mengetahui kesalahan fatal yang ia lakukan saat ini.
Pak Raden mengangkat tangannya, berusaha menggenggam udara kosong. “Bukannya Dito, terus siapa yang di-”
“Oke oke pak, tenang dulu, biar adik saya yang cerita sekali lagi kali ini dengan detil, silahkan!” ucap Dito menyodorkan tangannya ke Nadya.
Sesaat setelah itu Nadya menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit untuk bercerita, walau aku sudah tahu apa yang akan keluar dari mulutnya tapi aku tetap memperhatikan kisah ini dari perspektifnya yang menarik.
“Apa perlu diceritakan ulang?” tawar Dito saat adiknya itu mengucapkan akhir kalimatnya.
Pak Raden temenggung, dengan bibir yang sedikit terbuka menunjukan gigi giginya kemudian menelan ludah dalam tatapan kosongnya yang sekarang penuh dengan narasi itu. “Sepertinya tidak perlu.”
Dito terduduk dengan seringainya. “Baiklah ka-”
“Tunggu, lalu siapa dalang semua ini?” potong pak Raden.
Matanya melebar, menatap ke arah pak Raden dengan perasaan geram sampai sampai ia menggigit bibirnya terangkat dengan alis menukik. “Saya juga tidak tahu, tapi kalau kita menemukan orang ini. Saya bersumpah akan menghajarnya sampai semua tulangnya menjadi lunak.”
“Tapi- terus apakah kita akan menunggu sampai orang ini membunuh kita satu persatu?” kejar pak Raden.
“Tentu saja tidak, mereka berdua akan melakukan ini sampai enam orang lagi selamat, itu juga kalau mereka lebih dulu sampai.”
“Lalu dari mana kau dapat info selanjutnya?”
“Nah, itu yang ingin saya ingin beritahu ke kalian hari ini, tidak ada waktu untuk menyembunyikannya lagi, karena kita punya orang kepercayaan yang harus diperkenalkan.”
Kemudian ia menjentikan jarinya ke arah Nadya yang kemudian layar kaca menyembul keluar dari dalam meja. Melihat seringai Dito yang belum jatuh sama sekali menandakan kalau ini menjadi hal yang baik. Aku tidak tahu kenapa ia memberitahu alasan itu pada kami, namun mungkin a tahu tentang rasa kurang percaya kepadanya dan kal ini ia akan membuktikannya pada kami semua.
Tangan besarnya yang sibuk menekan tombol di layarnya dikejutkan dengan suara telpon berdering. Wajahnya terlihat makin senang saat mengetahui penelponnya itu. Beberapa menit kami memperhatikannya berbincang bincang dengan tatapan kosong melihat sang bos sedang berbisnis dengan riangnya.
“Kabar baik semua, temanku dari kepolisian telah menggeledah mayat yang kemarin. Chip yang berada pada tengkuk leher makhluk itu adalah pengontrol segala gerak tubuhnya, lebih tepatnya perintah untuk menggerakkannya. Karena kau tahu otaknya itu kosong, jadi butuh perintah,” jelas Dito sambil mengetuk ngetuk kepalanya sendiri.
“Lalu koordinat pengirim perintahnya dari mana?” tanyaku.
“Itu dia, ada semacam … apa itu namanya ya …”
“Enkripsi?”
“Ya, itu dia, lokasinya katanya di enkripsi dan butuh beberapa hari atau minggu untuk memecahkannya.”
“Tidak ada yang lain, kelemahan seperti tulang pembunuh itu atau getaran dan semacamnya?” tanya Ardi.
“Sama sekali tidak.”
Ardi sampai menoleh ke Dito, tidak percaya mendengar jawabannya itu. “Apa maksudnya, apa selama ini kita salah duga?”
“Memangnya kau tahu kelemahannya ya?”
Ardi tertunduk, ia mengerutkan bibirnya, ragu akan apa yang berada di pikirannya selama ini. “Aku kira begitu, mahluk ini tidak bisa bergerak saat mereka terkena getaran yang kencang.”
Dito terkekeh mendengar jawaban Ardi. “Kalau begitu coba kau jelaskan bagaimana dia bisa bergerak setelah mobilku terguling, apa itu bukan getaran yang besar?” ucap Dito sambil kembali fokus ke layarnya. Sepertinya ia sesegera mungkin ingin menghubungi seseorang.
Ardi kemudian semakin terlihat kebingungan, dahinya mengkerut, menggigit bibirnya sampai ia semakin tertunduk.
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirin. Mungkin belum ada bukti medis, tapi setidaknya cara itu berhasil kan,” cetus ku berusaha mendinginkan Ardi.
Tapi hal itu tidak mengubah apapun, ia tetap terdiam dalam pikirannya. Setelah itu aku mencoba untuk tidak mengusiknya lagi. Sampai Rani membantuku dengan memegang bahu Ardi, mencoba menenangkannya. Entah kenapa sekarang aku sangat geli melihat betapa kasihannya melihat ia berfikir sampai sekeras itu.
Layar pun bersinar terang, menyala dan menampilkan apa yang ada di telepon Dito yang sedang menghubungi seseorang. Kemudian layar kembali terlihat gelap, namun aku tahu dari interfacenya itu kalau Dito sudah masuk ke sambungan dengan orang yang ditujunya.
“Mungkin kau menghayal kalau sebuah getaran membuat tulang makhluk itu jadi lunak atau apapun, tapi kalau begitu harusnya dia sama sekali tidak bisa berkendara atau bahkan melompat kalau begitu jadinya,” jelas Dito menatap Ardi yang masih tidak bangun.
Tapi perkiraanku berkata lain, Ardi kali ini tebangun dan mengarahkan pandangannya ke Dito dengan wajah yang heran. “Kalau begitu bagaimana kau bisa menjelaskan cara kami mengalahkan pembunuh iu dengan menggetarkan anggota tubuhnya.”
“Sebenarnya kata katamu tidak salah.”
Kami semua terkejut, dengan suara besar dan berat muncul dari speaker, mata kami tertuju pada layar gelap itu, hanya sebuah siluet orang yang muncul dari sana.
“Oh … jadi kau mendengarkan ya? silahkan memperkenalkan diri bos,”
Layar itu kemudian menjadi terang, menampilkan sosok dengan wajah kotak lebar bersudut keras, hidungnya lancip dan dengan mata yang sedikit meredup, perawakannya tidak jauh beda atau bahkan mirip dengan Dito.
Dito memicingkan matanya. “Ada apa bos? kurang sehat?”
Orang itu kemudian sama sekali tidak membalas, terdiam namun bola matanya berpindah dengan cepat memperhatikan layar dengan seksama satu persatu.
“Hei jawab buruan,” tegur Dito.
Mata pria itu berhenti dan mengarah ke Dito. “Apa seperti ini kau pada temanmu sendiri?” jawab orang itu santai.
“Apa apa-” kemudian matanya molotot, terbuka lebar, kaget tidak percaya melihat dan mendengar sendiri jawaban temannya itu yang barusan terucap dari mulutnya. “Brengsek.”
Orang itu terkekeh. “ternyata tidak bohong kalau kau orang cerdas Dito, kau cepat sekali tahu situasi.”
“Ada apa ini Dito?” tanya Ardi yang menyadari sesuatu yang janggal pada Dito.
Suara desisan muncul dari mulutnya, menghirup udara dengan kencang dan berusaha mendinginkan kepalanya. Alisnya menukik tajam, gigi giginya terlihat dengan sebelah pipinya terangkat. “Diam saja, Ardi.”
aripinastiko612 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
