- Beranda
- Stories from the Heart
The Second Session 2 - The Killing Rain . Mystic - Love - Humanity
...
TS
abangruli
The Second Session 2 - The Killing Rain . Mystic - Love - Humanity

Note from Author
Salam! Gue ucapin banyak terima kasih buat yang masih melanjutkan baca kisah tentang Danang dan Rhea. Sorry banget untuk dua chapter awal sempat gue masukin di The Second yang pertama. Soalnya waktu itu gue belum sempat bikin cover dll, hehe...
Nah berhubung sekarang dah sempat bikin cover, akhirnya gue bisa secara resmi memboyong The Second – Session 2 ke trit baru. Session kedua ini gue cukup lama nyari inspirasinya. Soalnya gue gak mau terjebak kembali menyamai alur cerita lama, jadi terpaksa nyari sesuatu yang rada-rada shocking. Harus cukup heboh untuk bisa membawa nuansa baru ke cerita Danang dan Rhea ini.
Apa itu?
Ya dengan ada Killing Rain.
Apa itu Killing Rain?
Ah ente kebanyakan nanya nih.. hehe.. Baca aja di tiga chapter awal. Yang jelas di cerita kali ini, tetap ada nuansa magis dengan adanya sosok Wulan (ternyata dulu pernah jadi pacarnya Danang lhooo... Haaaa?! Kok bisaaa.....).
Tetap ada romansa full of love dengan hadirnya Rhea.
Tetap ada unsur horror karena adanya Emon. Lho? Maaf salah. Maksudnya ada unsur komed dengan adanya Emon. Yaa.. kalau ente bisa liat mukanya Emon, emang jadi komedi seram sih.. wkwkwkw..
Dan ditambah lagi ada tokoh baru yang kemaren hanya cameo sekarang jadi bakal sering muncul. Siapakah dia??
Jeng jeng..
Upin Ipin!
Haaaaa???
Ya bukanlah!
Tapii... Yoga! Si anak indigo!
Tau lah kalo indigo gini senengnya apa.. liat demit dan kawan-kawannya! Hehehe..
So! Siap-siap ngerasain manis asem asin di cerita ini!
Akhirul kalam,
Selamat ‘menyaksikan’ yaa!
Ruli Amirullah
Bagi yang belum baca The Second Session 1.. klik dibawah ini yaa
The Second Session 1 - Jadikan Aku yang Kedua
The Second
Session 2 – The Killing Rain
Spoiler for Chapter 1 - Back to the Past:
Index
Chapter 2 - Live From New York
Chapter 3 - The Killing Rain
Chapter 4 - Death Experience
Chapter 5 - Kesurupan
Chapter 6 - Mata dibalas Mata
Chapter 7 - Chaos
Chapter 8 - Contingency Plan
Chapter 9 - Kemelut di Tengah Kemelut
Chapter 10 - Please Welcome, Khamaya!
Chapter 11 - Mengundi Nasib
Chapter 12 - Vision
Chapter 13 - First Rain
Chapter 14 - Between Dream and Rhea
Chapter 15 - Dilema
Chapter 16 - Ready to Take Off
Chapter 17 - Melayang di Tengah Maut
Chapter 18 - Walking in Dream
Chapter 19 - In The Middle of The War
Chapter 20 - Missing
Chapter 21 - Yoga
Chapter 22 - Sleeping with The Enemy
Chapter 23 - Who is Mya?
Chapter 24 – I Miss You Rhea
Chapter 25 - Telepati
Chapter 26 - Next Level of Telephaty
Announcement New Index & Format
Diubah oleh abangruli 02-06-2021 20:27
fblackid dan 36 lainnya memberi reputasi
33
24.1K
1.1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
abangruli
#34
Chapter 12 – Vision
Gedubrak!
Kembali terdengar suara dentuman dari arah Emon duduk. Mendengar namanya tak disebut, giliran Emon yang kini pingsan.
“Kita harus memperjuangkan Emon...” bisik Rhea.
“Oke.. tapi untuk sekarang, ijinkan aku membuatnya siuman dulu..” kataku sambil mengambil sebotol air mineral. Ada sedikit tanduk keluar dari sisi kiri dan kanan kepalaku. Sambil tersenyum aku membuka tutup botolnya dan mulai mereguk.
Mata dibalas mata. Hidung dibalas hidung. Semburan di balas semburan. Ini pembalasan yang indah sekali, pikirku. Namun baru saja aku hendak menyemburkan air ketika tiba-tiba tubuh Emon melonjak dan menerjangku.
Glek! Air yang terkumpul di rongga mulutku tergelincir masuk ke tenggorokan. Aku gelagapan karena tubuhku tak siap untuk mimum air. Hasilnya sekumpulan air tadi malah masuk ke saluran pernafasan. Aku tersedak. Namun terjangan Emon terasa lebih mengagetkan lagi, wajahnya sangat menyeramkan. Kedua tangannya menggenggam erat kerah bajuku. Tubuhku didorong hingga membentur tembok dibelakangku. Anjrit. Jangan-jangan Emon kerasukan lagi! Jangan-jangan Khamaya kembali merebut raga Emon dan hendak memenggalku. Waduh...
“Sa...sadar Mon.... nye..but..” ujarku sambil mati-matian memperbaiki sistem pernafasanku yang terganggu akibat air tadi. Lagi keselek sekarang dicekik pula. Aku berupaya mendorong tubuh Emon, tapi terasa sungguh berat. Rhea sejenak membeku akibat terkejut, “Rhea... E,, Emon.. ke... kesuru.. pan lagi...”
“Danang....” desis Emon dengan suara berat. Eh suara berat? Bukan suara cewek? Siapa pula ini yang merasuki Emon?
“Ka.. kamu siapa??!” tanyaku tersenggal. Aku melihat Rhea sedang siaga untuk mengeluarkan jurus-jurus taekwondo yang ia miliki.
“Pokoknya.. jangan pernah elu.. sampai ninggalin gue! Jangan pernah terpikir oleh otak elu, walau sejenak, untuk pergi dari Maroko tanpa ngajak gue... Inget, dulu elu yang ngajak gue kesini berarti elu pula yang harus tanggung jawab membawa gue balik ke Indonesia...” geram Emon dengan mata nyalang. Terlihat marah penuh ancaman tapi juga sekaligus takut yang amat sangat.
Ealah.... itu Emon bener toh! Emon bukan kerasukan, tapi ketakutan. Takut aku tinggal. Aku lega. Namun dalam hitungan seperkian detik, aku melihat Rhea telah mengangkat tangan dan melesatkan pukulan ke arah Emon.... waduh.., “Rheaaa...... jaaa....”
Buuuk! Sebuah pukulan telak menghantam tengkuk Emon. Dalam sekejap cengkraman Emon melemah. Matanya mendelik sesaat, setelah itu perlahan terpejam
“.....ngaaaaaan.....” lanjutku pelan. Pemberitahuanku sepertinya kalah cepat dengan jurus Rhea.
Gedubrak. Emon jatuh melunglai..
“Jangan apa mas?” tanya Rhea dengan wajah polos
“Jangan dipukul.. Emon gak kesurupan..” kataku pelan sambil bengong.
“Owh... gak perlu ya?” tanya Rhea sambil melihat seonggok tubuh di lantai
“Iya..”
“Telat mas..”
Kami berdua saling terdiam untuk beberapa saat
“Iya... ya udah gak apa-apa..” kataku memecah keheningan. Aku kemudian berlutut dan menatap iba pada Emon, melihat kencangnya pukulan Rhea tadi aku jadi khawatir akan keadaan Emon. Bagaimana bila ia lupa ingatan? Niatku untuk menyembur Emon pupus seiring kondisi Emon yang cukup memprihatinkan. Lagipula aku tak mau maen sembur-semburan dengan Emon, menimbulkan makna yang buruk. Aku menggoyang-goyangkan tubuh Emon sambil bertanya, “Mon.. lu baik-baik aja kah...?”
Emon membuka matanya sedikiit sambil bergumam..”Itu tadi ada badak ya dibelakang Emon?” matanya terlihat tak fokus seperti sedang diputari oleh banyak bintang.
Plong rasanya melihat Emon bersuara. Malah ingin tersenyum mendengar pertanyaan Emon tentang Badak.
“Maaf ya Mon.. Mya pikir kamu tadi kesurupan lagi..” ujar Rhea dengan tingkat penyesalan yang cukup tinggi. Sore ini sudah dua kali dia menghajar Emon. Kalau Emon mau, ia bisa saja melaporkan Rhea ke Pak Wahyu agar Rhea juga mendapat sanksi atas perlakuan kasar tadi.
“Bisa gak kamu bersikap sebagaimana layaknya cewek yang manis, manja dan lembut....” tanya Emon dengan pandangan mata yang sebal ke arah Rhea, “liat eike nih, lembut dan manja...”
“Iya Mon.. Mya minta maaf ya.. abis waktu terakhir Emon kesurupan kan katanya setan yang merasuki Emon pengen bunuh Mas Danang... jadi Mya khawatir pas tadi liat Emon mau nyekek Mas Danang....”
Hey, ternyata Rhea sudah tahu kisah Emon yang kesurupan. Padahal aku belum cerita.
“Tapi itu bukan berarti eike harus dibunuh! Huuuh.. sebeeeel” rajuk Emon, “Gak mau tau, pokoknya jatah kursi Mya buat Emon aja! Emon harus pergi bareng mas Danang...”
Waduh. Kok jadi begini. Aku harus memutar otak agar Emon bisa melunak, “Mon.. gimana kalo kita selundupin elu aja?” kataku melontarkan sebuah ide gila. Aku sendiri gak tahu kenapa ide itu yang terlintas. Detail dari rencana itu pun belum terpikir olehku. Mungkin itu bukan ide gila, mungkin lebih tepatnya itu adalah ide bego.
“Maksudnya gimana?” tanya Emon
Tuh kan. Aku ditanya detail rencana, “Yaa.. walau nama lu gak ada di list 50 WNI, elu tetep aja ikut ke bandara...”
“Trus...? Sampe sana eike angkat-angkat koper.. gitu?!? Abis urusan koper beres, Emon melambai-lambaikan tangan mengucapkan selamat jalan ke yey berdua, gitu?! Cakeeeep....”
“Jangan sinis gitu Mon... Feeling gue mengatakan, situasi di bandara esok akan crowded. Kemasukan satu orang bukan perkara yang mustahil...” terangku dengan menjual harapan mustahil pada Emon. Andai tubuh Emon mungil mungkin bisa aja diselundupkan, tapi dengan ukuran yang cukup gempal agak sulit memang. Huff... Aku harus lebih keras memutar otakku, “atau lu mau nyamar jadi koper?”
Rhea sedikit tersedak mendengar usulku tapi ia tahan demi menjaga perasaan Emon. Rhea tak ingin setelah dua kali ia menyakiti tubuh Emon dan sekarang berlanjut menyakiti perasaan Emon. Dari sudut mata aku bisa melihat Rhea susah payah menahan tawa. Rhea pasti sedang membayangkan Emon menyamar jadi koper.
“Gak mau! Emon mau kepastian!” jerit Emon, “pokoknya berangkat satu berangkat semua! Gak berangkat satu gak berangkat semuaaa!!”
“Ya sudah ayo kita ke pak Wahyu. Kita rayu dia aja, mumpung masih ada waktu dua jam lagi. Dia pasti ada di ruang registrasi..” usulku lagi. Akhirnya ada juga ide yang lebih masuk akal yang bisa aku lontarkan. Emon mengangguk cepat mendengarnya.
“Ayo ikut aku,” kata Rhea, “aku tahu ruangannya....”
Kami bertiga bergegas menuju ruang registrasi
***
Sudah hampir 20 menit Emon merayu, menangis, mengiba dan memohon pada Pak Wahyu untuk diikut sertakan dalam rombongan kloter pertama yang terbang ke Dubai. Tapi ternyata Pak Wahyu tipe orang yang tegas dengan tutur yang santun. Ditengah puluhan orang yang sedang registrasi ulang, pak Wahyu sepertinya terganggu dengan tingkah Emon
“Maaf Mas Emon, kalau dari kami tak bisa mengubah seenaknya daftar nama yang sudah ditetapkan. Hal ini menyangkut kepentingan hidup banyak orang. Kalau Mas Emon mau mencoba, coba saja rayu orang yang namanya sudah masuk dalam daftar. Siapa tahu ada yang mau memberikan jatah kursinya pada Mas Emon..” kata pak Wahyu pada Emon, “Nah sekarang mohon maaf, apa bisa beri saya waktu untuk mengurusi keberangkatan saudara-saudara kita malam ini?”
Pertanyaan tadi disertai dengan tekanan suara yang terdenga jelas bahwa itu adalah pengusiran. Akhirnya Emon hanya bisa mengangguk lemah. Sambil melangkah keluar ruangan Emon kembali menuntut kesetiakawanan dari kami, “ya udah berarti yey berdua gak jadi berangkat juga ya..”
Aku memandang Rhea.
Rhea memandang aku.
Tanpa bersuara pun aku bisa membaca tatapan Rhea, sinar matanya komunikatif sekali. Aku seperti sedang mendengar Rhea berkata, “We stand with Emon no matter what..”
“Iya Emon, tenang aja...” ucap Rhea dengan tulus, “Sekarang ayo kita ke ruangan registrasi lagi, kita harus batalkan nama kita berdua, agar bisa diberikan kepada orang lain...”
Aku mengangguk pasrah sementara Emon melonjak kegirangan, “Makasiih Mya.. beruntung banget cowok yang bisa dapetin cinta kamu. Kamu orangnya care banget!”
“Gue cowoknya!” sentakku pada Emon, “calon suaminya!”
Emon terkekeh mendengarnya, “tenang aja.. eike bukan seperti Firdaus yang mau merebut Mya. Eike mah punya etika. Yey yang mau eike rebut dari Mya.. waahaha...”
Di titik ini aku menyesali kenapa pukulan Rhea tadi tidak maksimal tenaganya.
***
Sungguh ajaib. Setibanya di ruangan registrasi, pak Wahyu ternyata punya kabar gembira. Ia mengatakan barusan ada WNI yang membatalkan terbang ke Dubai. Tak cuma satu bahkan dua seat. Emon senang bukan kepalang mendengarnya. Akhirya ia mendapat seat special dari Pak Wahyu. Sementara satu lagi sisanya diberikan ke orang lain dengan pengundian. Setelah urusan registrasi kelar, aku pamit pada Rhea dan Emon untuk ke kamar mandi. Tak lama lagi kami akan diberangkatkan ke bandara. Entah berapa jam waktu yang kami tempuh untuk mencapai bandara ditengah aksi rusuh di luar sana. Jadi lebih baik aku puas-puasin buang hajat. Sambil duduk termenung di salah satu bilik toilet, aku mendengar langkah orang masuk ke bilik sebelahku. Suara anak kecil terdengar sedang menangis.
“Sudah sudah... jangan menangis terus... kan tadi kamu lihat ayah udah batalkan kita pergi ke Dubai...” terdengar suara berat seorang lelaki. Berarti di bilik sebelah ada dua orang. Satu ayahnya dan satu lagi anaknya.
“I.. iya... ja..jadi kita gak ter..terbang kan besok..” kali ini suara seorang anak perempuan. Ia masih menangis di tengah ucapannya. Aku menduga, dari suaranya mungkin berusia sekitar 7 hingga 10 tahun. Aku yang tengah buang hajat jadi kepo ingin tahu pembicaraan mereka. Tanpa sadar aku menaikkan tingkat pendengaranku agar semakin jelas obrolan mereka.
“Iya kita gak jadi terbang.. emang kenapa sih sampe kamu nangis gitu?” tanya lelaki itu lagi
“Bener kita gak jadi terbang?”
“Bener. Kan udah ayah batalin. Emang kenapa sih harus batal?”
“Gak tau kenapa, tapi aku tiba-tiba aja dapet vision pak..”
“Vision apa?”
“Telk*m vision” celetukku dalam hati. Aku hendak terkekeh atas candaanku sendiri sebelum akhirnya jawaban anak tadi kembali terdengar.
“Pesawatnya akan celaka pak...” jawab anak perempuan itu terdengar jelas.
Aku tercekat mendengarnya.
Tawaku yang hendak keluar kembali tertelan.
Gelagapan jadinya.
Celaka? Duh Gusti...
[Bersambung]
Gedubrak!
Kembali terdengar suara dentuman dari arah Emon duduk. Mendengar namanya tak disebut, giliran Emon yang kini pingsan.
“Kita harus memperjuangkan Emon...” bisik Rhea.
“Oke.. tapi untuk sekarang, ijinkan aku membuatnya siuman dulu..” kataku sambil mengambil sebotol air mineral. Ada sedikit tanduk keluar dari sisi kiri dan kanan kepalaku. Sambil tersenyum aku membuka tutup botolnya dan mulai mereguk.
Mata dibalas mata. Hidung dibalas hidung. Semburan di balas semburan. Ini pembalasan yang indah sekali, pikirku. Namun baru saja aku hendak menyemburkan air ketika tiba-tiba tubuh Emon melonjak dan menerjangku.
Glek! Air yang terkumpul di rongga mulutku tergelincir masuk ke tenggorokan. Aku gelagapan karena tubuhku tak siap untuk mimum air. Hasilnya sekumpulan air tadi malah masuk ke saluran pernafasan. Aku tersedak. Namun terjangan Emon terasa lebih mengagetkan lagi, wajahnya sangat menyeramkan. Kedua tangannya menggenggam erat kerah bajuku. Tubuhku didorong hingga membentur tembok dibelakangku. Anjrit. Jangan-jangan Emon kerasukan lagi! Jangan-jangan Khamaya kembali merebut raga Emon dan hendak memenggalku. Waduh...
“Sa...sadar Mon.... nye..but..” ujarku sambil mati-matian memperbaiki sistem pernafasanku yang terganggu akibat air tadi. Lagi keselek sekarang dicekik pula. Aku berupaya mendorong tubuh Emon, tapi terasa sungguh berat. Rhea sejenak membeku akibat terkejut, “Rhea... E,, Emon.. ke... kesuru.. pan lagi...”
“Danang....” desis Emon dengan suara berat. Eh suara berat? Bukan suara cewek? Siapa pula ini yang merasuki Emon?
“Ka.. kamu siapa??!” tanyaku tersenggal. Aku melihat Rhea sedang siaga untuk mengeluarkan jurus-jurus taekwondo yang ia miliki.
“Pokoknya.. jangan pernah elu.. sampai ninggalin gue! Jangan pernah terpikir oleh otak elu, walau sejenak, untuk pergi dari Maroko tanpa ngajak gue... Inget, dulu elu yang ngajak gue kesini berarti elu pula yang harus tanggung jawab membawa gue balik ke Indonesia...” geram Emon dengan mata nyalang. Terlihat marah penuh ancaman tapi juga sekaligus takut yang amat sangat.
Ealah.... itu Emon bener toh! Emon bukan kerasukan, tapi ketakutan. Takut aku tinggal. Aku lega. Namun dalam hitungan seperkian detik, aku melihat Rhea telah mengangkat tangan dan melesatkan pukulan ke arah Emon.... waduh.., “Rheaaa...... jaaa....”
Buuuk! Sebuah pukulan telak menghantam tengkuk Emon. Dalam sekejap cengkraman Emon melemah. Matanya mendelik sesaat, setelah itu perlahan terpejam
“.....ngaaaaaan.....” lanjutku pelan. Pemberitahuanku sepertinya kalah cepat dengan jurus Rhea.
Gedubrak. Emon jatuh melunglai..
“Jangan apa mas?” tanya Rhea dengan wajah polos
“Jangan dipukul.. Emon gak kesurupan..” kataku pelan sambil bengong.
“Owh... gak perlu ya?” tanya Rhea sambil melihat seonggok tubuh di lantai
“Iya..”
“Telat mas..”
Kami berdua saling terdiam untuk beberapa saat
“Iya... ya udah gak apa-apa..” kataku memecah keheningan. Aku kemudian berlutut dan menatap iba pada Emon, melihat kencangnya pukulan Rhea tadi aku jadi khawatir akan keadaan Emon. Bagaimana bila ia lupa ingatan? Niatku untuk menyembur Emon pupus seiring kondisi Emon yang cukup memprihatinkan. Lagipula aku tak mau maen sembur-semburan dengan Emon, menimbulkan makna yang buruk. Aku menggoyang-goyangkan tubuh Emon sambil bertanya, “Mon.. lu baik-baik aja kah...?”
Emon membuka matanya sedikiit sambil bergumam..”Itu tadi ada badak ya dibelakang Emon?” matanya terlihat tak fokus seperti sedang diputari oleh banyak bintang.
Plong rasanya melihat Emon bersuara. Malah ingin tersenyum mendengar pertanyaan Emon tentang Badak.
“Maaf ya Mon.. Mya pikir kamu tadi kesurupan lagi..” ujar Rhea dengan tingkat penyesalan yang cukup tinggi. Sore ini sudah dua kali dia menghajar Emon. Kalau Emon mau, ia bisa saja melaporkan Rhea ke Pak Wahyu agar Rhea juga mendapat sanksi atas perlakuan kasar tadi.
“Bisa gak kamu bersikap sebagaimana layaknya cewek yang manis, manja dan lembut....” tanya Emon dengan pandangan mata yang sebal ke arah Rhea, “liat eike nih, lembut dan manja...”
“Iya Mon.. Mya minta maaf ya.. abis waktu terakhir Emon kesurupan kan katanya setan yang merasuki Emon pengen bunuh Mas Danang... jadi Mya khawatir pas tadi liat Emon mau nyekek Mas Danang....”
Hey, ternyata Rhea sudah tahu kisah Emon yang kesurupan. Padahal aku belum cerita.
“Tapi itu bukan berarti eike harus dibunuh! Huuuh.. sebeeeel” rajuk Emon, “Gak mau tau, pokoknya jatah kursi Mya buat Emon aja! Emon harus pergi bareng mas Danang...”
Waduh. Kok jadi begini. Aku harus memutar otak agar Emon bisa melunak, “Mon.. gimana kalo kita selundupin elu aja?” kataku melontarkan sebuah ide gila. Aku sendiri gak tahu kenapa ide itu yang terlintas. Detail dari rencana itu pun belum terpikir olehku. Mungkin itu bukan ide gila, mungkin lebih tepatnya itu adalah ide bego.
“Maksudnya gimana?” tanya Emon
Tuh kan. Aku ditanya detail rencana, “Yaa.. walau nama lu gak ada di list 50 WNI, elu tetep aja ikut ke bandara...”
“Trus...? Sampe sana eike angkat-angkat koper.. gitu?!? Abis urusan koper beres, Emon melambai-lambaikan tangan mengucapkan selamat jalan ke yey berdua, gitu?! Cakeeeep....”
“Jangan sinis gitu Mon... Feeling gue mengatakan, situasi di bandara esok akan crowded. Kemasukan satu orang bukan perkara yang mustahil...” terangku dengan menjual harapan mustahil pada Emon. Andai tubuh Emon mungil mungkin bisa aja diselundupkan, tapi dengan ukuran yang cukup gempal agak sulit memang. Huff... Aku harus lebih keras memutar otakku, “atau lu mau nyamar jadi koper?”
Rhea sedikit tersedak mendengar usulku tapi ia tahan demi menjaga perasaan Emon. Rhea tak ingin setelah dua kali ia menyakiti tubuh Emon dan sekarang berlanjut menyakiti perasaan Emon. Dari sudut mata aku bisa melihat Rhea susah payah menahan tawa. Rhea pasti sedang membayangkan Emon menyamar jadi koper.
“Gak mau! Emon mau kepastian!” jerit Emon, “pokoknya berangkat satu berangkat semua! Gak berangkat satu gak berangkat semuaaa!!”
“Ya sudah ayo kita ke pak Wahyu. Kita rayu dia aja, mumpung masih ada waktu dua jam lagi. Dia pasti ada di ruang registrasi..” usulku lagi. Akhirnya ada juga ide yang lebih masuk akal yang bisa aku lontarkan. Emon mengangguk cepat mendengarnya.
“Ayo ikut aku,” kata Rhea, “aku tahu ruangannya....”
Kami bertiga bergegas menuju ruang registrasi
***
Sudah hampir 20 menit Emon merayu, menangis, mengiba dan memohon pada Pak Wahyu untuk diikut sertakan dalam rombongan kloter pertama yang terbang ke Dubai. Tapi ternyata Pak Wahyu tipe orang yang tegas dengan tutur yang santun. Ditengah puluhan orang yang sedang registrasi ulang, pak Wahyu sepertinya terganggu dengan tingkah Emon
“Maaf Mas Emon, kalau dari kami tak bisa mengubah seenaknya daftar nama yang sudah ditetapkan. Hal ini menyangkut kepentingan hidup banyak orang. Kalau Mas Emon mau mencoba, coba saja rayu orang yang namanya sudah masuk dalam daftar. Siapa tahu ada yang mau memberikan jatah kursinya pada Mas Emon..” kata pak Wahyu pada Emon, “Nah sekarang mohon maaf, apa bisa beri saya waktu untuk mengurusi keberangkatan saudara-saudara kita malam ini?”
Pertanyaan tadi disertai dengan tekanan suara yang terdenga jelas bahwa itu adalah pengusiran. Akhirnya Emon hanya bisa mengangguk lemah. Sambil melangkah keluar ruangan Emon kembali menuntut kesetiakawanan dari kami, “ya udah berarti yey berdua gak jadi berangkat juga ya..”
Aku memandang Rhea.
Rhea memandang aku.
Tanpa bersuara pun aku bisa membaca tatapan Rhea, sinar matanya komunikatif sekali. Aku seperti sedang mendengar Rhea berkata, “We stand with Emon no matter what..”
“Iya Emon, tenang aja...” ucap Rhea dengan tulus, “Sekarang ayo kita ke ruangan registrasi lagi, kita harus batalkan nama kita berdua, agar bisa diberikan kepada orang lain...”
Aku mengangguk pasrah sementara Emon melonjak kegirangan, “Makasiih Mya.. beruntung banget cowok yang bisa dapetin cinta kamu. Kamu orangnya care banget!”
“Gue cowoknya!” sentakku pada Emon, “calon suaminya!”
Emon terkekeh mendengarnya, “tenang aja.. eike bukan seperti Firdaus yang mau merebut Mya. Eike mah punya etika. Yey yang mau eike rebut dari Mya.. waahaha...”
Di titik ini aku menyesali kenapa pukulan Rhea tadi tidak maksimal tenaganya.
***
Sungguh ajaib. Setibanya di ruangan registrasi, pak Wahyu ternyata punya kabar gembira. Ia mengatakan barusan ada WNI yang membatalkan terbang ke Dubai. Tak cuma satu bahkan dua seat. Emon senang bukan kepalang mendengarnya. Akhirya ia mendapat seat special dari Pak Wahyu. Sementara satu lagi sisanya diberikan ke orang lain dengan pengundian. Setelah urusan registrasi kelar, aku pamit pada Rhea dan Emon untuk ke kamar mandi. Tak lama lagi kami akan diberangkatkan ke bandara. Entah berapa jam waktu yang kami tempuh untuk mencapai bandara ditengah aksi rusuh di luar sana. Jadi lebih baik aku puas-puasin buang hajat. Sambil duduk termenung di salah satu bilik toilet, aku mendengar langkah orang masuk ke bilik sebelahku. Suara anak kecil terdengar sedang menangis.
“Sudah sudah... jangan menangis terus... kan tadi kamu lihat ayah udah batalkan kita pergi ke Dubai...” terdengar suara berat seorang lelaki. Berarti di bilik sebelah ada dua orang. Satu ayahnya dan satu lagi anaknya.
“I.. iya... ja..jadi kita gak ter..terbang kan besok..” kali ini suara seorang anak perempuan. Ia masih menangis di tengah ucapannya. Aku menduga, dari suaranya mungkin berusia sekitar 7 hingga 10 tahun. Aku yang tengah buang hajat jadi kepo ingin tahu pembicaraan mereka. Tanpa sadar aku menaikkan tingkat pendengaranku agar semakin jelas obrolan mereka.
“Iya kita gak jadi terbang.. emang kenapa sih sampe kamu nangis gitu?” tanya lelaki itu lagi
“Bener kita gak jadi terbang?”
“Bener. Kan udah ayah batalin. Emang kenapa sih harus batal?”
“Gak tau kenapa, tapi aku tiba-tiba aja dapet vision pak..”
“Vision apa?”
“Telk*m vision” celetukku dalam hati. Aku hendak terkekeh atas candaanku sendiri sebelum akhirnya jawaban anak tadi kembali terdengar.
“Pesawatnya akan celaka pak...” jawab anak perempuan itu terdengar jelas.
Aku tercekat mendengarnya.
Tawaku yang hendak keluar kembali tertelan.
Gelagapan jadinya.
Celaka? Duh Gusti...
[Bersambung]
namakuve dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup