- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#703
Jilid 20 [Part 455]
Spoiler for :
Quote:
"Aku Widuri. Aku mempunyai banyak pekerjaan di sini. Dan agaknya kita telah terlalu lama tidak kembali ke Karang Tumaritis."
“Aku tidak mau. Aku tidak mau.” berkata Widuri itu.
Kebo Kanigara tersenyum. Kemudian kepada Sarayuda itu berkata.
“Sayang adi. Sungguh sayang. Sebenarnya aku juga ingin mengantarkan Widuri ikut serta mengunjungi daerah adi. Namun ternyata ada persoalan-persoalan yang harus aku selesaikan. Dan aku harus segera kembali ke Karang Tumaritis.”
Sarayuda menarik nafas.
“Ya sayang.”
Yang menyahut kemudian adalah Endang Widuri,
“Kalau ayah mempunyai pekerjaan di sini atau di Karang Tumaritis, biarlah aku ikut bersama Bibi Wilis. Nanti kalau ayah sudah selesai, biarlah ayah menjemput aku.”
Kebo Kanigara itu tersenyum pula. Namun senyumnya membayangkan sesuatu yang tak dapat diraba. Katanya,
“Tidak Widuri. Jangan pergi sekarang. Besok apabila sampai waktunya, biarlah kau aku antarkan kesana. Kalau sampai saatnya Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan mengarungi hidup baru mereka.”
“Emoh” seru gadis itu.
“Aku akan pergi bersama bibi Wilis.”
“Bukankah sama saja bagimu Widuri”, berkata ayahnya.
“Besok atau sekarang.”
“Tidak” sahut Widuri.
“Aku ingin melihat, bagaimana rakyat Gunungkidul menyambut paman Mahesa Jenar.”
“Tetapi kau tidak akan melihat, bagaimana pamanmu dan bibi Wilis dipersandingan.”
“Biar. Aku akan ikut bersama bibi Wilis.”
“Aku tidak mau. Aku tidak mau.” berkata Widuri itu.
Kebo Kanigara tersenyum. Kemudian kepada Sarayuda itu berkata.
“Sayang adi. Sungguh sayang. Sebenarnya aku juga ingin mengantarkan Widuri ikut serta mengunjungi daerah adi. Namun ternyata ada persoalan-persoalan yang harus aku selesaikan. Dan aku harus segera kembali ke Karang Tumaritis.”
Sarayuda menarik nafas.
“Ya sayang.”
Yang menyahut kemudian adalah Endang Widuri,
“Kalau ayah mempunyai pekerjaan di sini atau di Karang Tumaritis, biarlah aku ikut bersama Bibi Wilis. Nanti kalau ayah sudah selesai, biarlah ayah menjemput aku.”
Kebo Kanigara itu tersenyum pula. Namun senyumnya membayangkan sesuatu yang tak dapat diraba. Katanya,
“Tidak Widuri. Jangan pergi sekarang. Besok apabila sampai waktunya, biarlah kau aku antarkan kesana. Kalau sampai saatnya Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan mengarungi hidup baru mereka.”
“Emoh” seru gadis itu.
“Aku akan pergi bersama bibi Wilis.”
“Bukankah sama saja bagimu Widuri”, berkata ayahnya.
“Besok atau sekarang.”
“Tidak” sahut Widuri.
“Aku ingin melihat, bagaimana rakyat Gunungkidul menyambut paman Mahesa Jenar.”
“Tetapi kau tidak akan melihat, bagaimana pamanmu dan bibi Wilis dipersandingan.”
“Biar. Aku akan ikut bersama bibi Wilis.”
Rara Wilis menjadi iba melihat Endang Widuri. Tetapi ia tidak berani berkata apapun. Itu sepenuhnya adalah wewenang ayahnya. Karena itu, Rara Wilis hanya dapat memandangnya dengan senyum yang hambar.
Sarayuda agaknya dapat menempatkan dirinya. Ia tidak mau mengecewakan Kebo Kanigara. Maka katanya,
Quote:
“Begitulah angger Wilis. Seperti kata ayah angger itu. Biarlah besok aku menyuruh beberapa orang menjemput ke mari apabila sudah tiba waktunya. Kalau angger sudah kembali ke Karang Tumaritis, biarlah kelak di jemput pula ke sana. Bukankah begitu? Kelak angger bisa pergi bersama ayah.”
Widuri kemudian menjadi bersungut-sungut. Bahkan tampaklah matanya menjadi basah. Ia menjadi sangat kecewa. Katanya kemudian,
Quote:
“Aku tidak mau dijemput oleh sembarang orang.”
Demang Sarayuda tersenyum. Jawabnya,
“Baiklah, besok aku sendiri akan menjemput angger. Begitu?”
Demang Sarayuda tersenyum. Jawabnya,
“Baiklah, besok aku sendiri akan menjemput angger. Begitu?”
Widuri tidak menjawab. Namun tiba-tiba ia berdiri dan berlari masuk ke dalam biliknya. Alangkah kecewa hatinya, bahwa ia tidak dapat turut serta dengan Rara Wilis. Meskipun mereka berdua bukan sanak bukan kadang, namun perpisahan di antara mereka benar-benar tidak menyenangkan. Pergaulan mereka yang ditandai dengan berbagai kesulitan, benar-benar telah mengikat mereka dalam suatu ikatan yang sangat erat. Tidak saja Widuri yang menjadi sedih akan perpisahan itu, tetapi Rara Wilis pun merasakan, bahwa ia akan menjadi kesepian tanpa gadis yang nakal itu.
Tetapi Kebo Kanigara benar-benar berhalangan untuk turut serta pergi ke Gunungkidul. Masih ada suatu pekerjaan yang mengikatnya di Banyubiru. Pekerjaan yang ditimbulkan oleh kemenakannya yang nakal.
MAHESA Jenar pun menjadi kecewa. Tetapi ia dapat mengerti keberatan Kebo Kanigara. Meskipun demikian Mahesa Jenar itu berkata,
Quote:
“Kakang. Sebenarnya aku sangat mengharap kakang untuk ikut serta bersama kami.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya katanya.
“Aku juga menyesal sekali Mahesa Jenar. Tetapi barangkali kau dapat mengerti apa yang akan aku lakukan. Karena itu biarlah lain kali aku menyusul ke Gunungkidul bersama Widuri.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya katanya.
“Aku juga menyesal sekali Mahesa Jenar. Tetapi barangkali kau dapat mengerti apa yang akan aku lakukan. Karena itu biarlah lain kali aku menyusul ke Gunungkidul bersama Widuri.”
Sesaat mereka pun berdiam diri. Arya Salaka menundukkan kepalanya. Semula ia ingin juga turut pergi ke Gunungkidul mengantarkan gurunya. Tetapi ketika ia mengetahui, bahwa Endang Widuri tidak diperbolehkan oleh ayahnya ikut dalam rombongan itu, maka ia menjadi bimbang. Keinginannya untuk turut pun terlalu besar, namun terasa sesuatu yang menahannya untuk tinggal di rumah. Karena itu, anak muda itu bahkan menjadi bingung. Sehingga akhirnya Arya pun hanya berdiam diri saja.
Quote:
“Ah, terserah apa yang akan aku lakukan nanti,” desisnya di dalam hati.
“Kalau tiba-tiba aku ingin berangkat biarlah aku berangkat. Kalau aku ingin tinggal, biarlah aku tinggal.”
“Tetapi”, berkata pula hatinya.
“Bagaimana kalau guru mengajakku?”
“Entahlah”, jawabnya sendiri di dalam hati.
“Kalau tiba-tiba aku ingin berangkat biarlah aku berangkat. Kalau aku ingin tinggal, biarlah aku tinggal.”
“Tetapi”, berkata pula hatinya.
“Bagaimana kalau guru mengajakku?”
“Entahlah”, jawabnya sendiri di dalam hati.
Malam itu Sarayuda dan para pengiringnya bermalam di rumah itu pula. Karena tempatnya yang terbatas, maka para tamu itu dipersilakan tidur di pendapa, di atas tikar pandan yang dirangkap supaya tidak terlalu dingin.
Dalam pada itu Mahesa Jenar dan Rara Wilis pun segera mempersiapkan dirinya. Tetapi tidak banyaklah yang mereka punyai. Mereka tidak sempat berbuat untuk diri mereka sendiri selama ini. Karena itu, apa yang dimilikinya pun hampir tidak ada. Hanya beberapa lembar pakaian yang sudah lungset tanpa perhiasan apapun bagi Mahesa Jenar hal itu hampir tak berpengaruh pada perasaannya.
Tetapi bagi Rara Wilis, terasa sekali alangkah miskinnya. Ia sama sekali tidak memiliki perhiasan apapun sebagai seorang gadis. Bahkan yang dimilikinya adalah sebilah pedang. Pedang tipis yang telah dikotori dengan darah.
Mahesa Jenar terkejut ketika tiba-tiba dilihatnya wajah Rara Wilis menjadi suram. Karena itu dengan dada yang berdebar-debar mencoba bertanya.
Quote:
“Wilis. Adakah sesuatu yang mengganggu perasaanmu?”
Rara Wilis terkejut mendengar pertanyaan itu. Segera dicobanya untuk menguasai perasaannya. Dengan sebuah senyuman yang dipaksakan ia menjawab,
Quote:
“Kenapa? Aku tidak apa-apa kakang. Aku sedang berpikir tentang hari-hari yang akan datang.”
“Oh” Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Oh” Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia tidak membantah. Namun ketika dilihatnya sekali lagi Rara Wilis merenungi kainnya yang hampir-hampir sudah kehilangan warnanya, maka hatinya pun berdesir.
Quote:
“Hem“ desahnya di dalam hati.
“Ternyata aku tidak menyadari, bahwa tekanan perasaan Wilis sudah terlampau padat. Agaknya dalam ketegangan kewajiban yang aku hadari, gadis itu tidak sempat memperhatikan keadaan dirinya sendiri. Namun dalam kesempatan seperti ini, barulah disadarinya perasaan itu. Perasaan seorang gadis.”
“Ternyata aku tidak menyadari, bahwa tekanan perasaan Wilis sudah terlampau padat. Agaknya dalam ketegangan kewajiban yang aku hadari, gadis itu tidak sempat memperhatikan keadaan dirinya sendiri. Namun dalam kesempatan seperti ini, barulah disadarinya perasaan itu. Perasaan seorang gadis.”
Tetapi Mahesa Jenar tidak berkata apapun. Ia masih belum tahu, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan kebutuhan-kebutuhan yang wajar bagi sebuah keluarga. Apapun yang dilakukannya, maka apabila sampai saatnya, maka hal itu tidak akan mungkin dapat diabaikan.Ia tidak dapat membutakan matanya, seandainya pada suatu saat ia dikejar-kejar oleh keperluan-keperluan tetek bengek itu.
“Itu merupakan suatu kewajiban”, desahnya.
Mahesa Jenar itu pun kemudian berjalan keluar bilik Rara Wilis, dan ke halaman. Dilihatnya beberapa orang sudah berbaring-baring di pendapa, sedang beberapa orang lagi masih duduk-duduk di antara mereka. Bahkan ada juga yang masih berjalan-jalan di luar regol halaman.
Ketika Mahesa Jenar pergi keluar regol pula, maka orang-orang dari Gunungkidul itu bertanya-tanya tentang beberapa hal kepadanya.
Quote:
“Tanah ini cukup subur” berkata salah seorang dari mereka,
“Tanah yang akan memberikan apa saja yang diharapkan oleh penggarapnya."
“Demikianlah” sahut Mahesa Jenar,
“Tanah yang telah dipertahankan dengan banyak pengorbanan.”
Tamu dari Gunungkidul itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Tanah kami adalah tanah yang bercampur-baur. Ada yang subur sesubur tanah ini. Ada yang menggantungkan airnya dari air hujan melulu. Bahkan ada yang hanya dapat dijadikan padang-padang rumput untuk peternakan. Bahkan ada yang batu melulu.”
“Tanah yang akan memberikan apa saja yang diharapkan oleh penggarapnya."
“Demikianlah” sahut Mahesa Jenar,
“Tanah yang telah dipertahankan dengan banyak pengorbanan.”
Tamu dari Gunungkidul itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Tanah kami adalah tanah yang bercampur-baur. Ada yang subur sesubur tanah ini. Ada yang menggantungkan airnya dari air hujan melulu. Bahkan ada yang hanya dapat dijadikan padang-padang rumput untuk peternakan. Bahkan ada yang batu melulu.”
Mahesa Jenar mengangguk lemah. Tanah ini adalah tanah yang subur, yang telah dipertahankan dengan darah dan air mata. Dirinya sendiri pun telah ikut serta memeras keringat untuk kepentingan tanah ini. Tanah yang subur, yang akan dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat dan penduduknya. Bahkan siapa yang bekerja keras, pasti akan dapat segera menikmati hasil dari jerih payahnya itu.
Quote:
“Tetapi aku tidak dapat ikut serta” desis Mahesa Jenar didalam hati.
Timbullah didalam hatinya sesuatu yang tak pernah dipikirkannya. Kalau ia nanti akan membangun rumah tangga yang kuat, maka ia harus membuat tiang-tiangnya kuat pula. Diantaranya, bagaimana ia harus hidup sekeluarganya. Karena itu, maka sampailah Mahesa Jenar pada suatu kesimpulan.
Quote:
“Bekerja”.
“Ah” kembali ia berdesah di dalam hati,
“Akhirnya aku sampai pada persoalan itu. Persoalan yang sangat pribadi. Persoalan yang hampir tak ada sangkut pautnya dengan pengabdian yang selama ini dilakukannya. Tetapi apakah dengan demikian maka segenap pengabdian harus terhenti?”
“Tidak” pertanyaan itu dijawabnya sendiri.
“Aku akan dapat dan harus dapat melakukan kedua-duanya sekaligus. Mudah-mudahan Wilis akan dapat mengerti pula.”
“Ah” kembali ia berdesah di dalam hati,
“Akhirnya aku sampai pada persoalan itu. Persoalan yang sangat pribadi. Persoalan yang hampir tak ada sangkut pautnya dengan pengabdian yang selama ini dilakukannya. Tetapi apakah dengan demikian maka segenap pengabdian harus terhenti?”
“Tidak” pertanyaan itu dijawabnya sendiri.
“Aku akan dapat dan harus dapat melakukan kedua-duanya sekaligus. Mudah-mudahan Wilis akan dapat mengerti pula.”
Tiba-tiba teringatlah Mahesa Jenar itu kepada masa-masa lampaunya, masa-masa ia tinggal di istana Demak sebagai seorang prajurit. Dikenangnya pula beberapa orang kawan-kawannya yang pada saat itu telah berkeluarga pula. Katanya didalam hati,
Quote:
“Mereka dapat melakukan kedua-duanya. Pengabdian dan keluarga.”
“Tetapi tidak hanya didalam istana, atau didalam bidang-bidang itu kedua-duanya dapat dilakukannya sekaligus”, katanya pula.
“Disini, aku lihat rakyat Banyubiru melakukannya pula. Bekerja untuk keluarganya, namun mereka melakukan pengabdiannya untuk tanahnya. Membangun tanah ini. Tempat-tempat ibadah, banjar-banjar desa dan surau-surau tempat pendidikan lahir dan batin. Bekerja keras untuk kesejahteraan keluarganya dan kesejahteraan bersama.”
“Tetapi tidak hanya didalam istana, atau didalam bidang-bidang itu kedua-duanya dapat dilakukannya sekaligus”, katanya pula.
“Disini, aku lihat rakyat Banyubiru melakukannya pula. Bekerja untuk keluarganya, namun mereka melakukan pengabdiannya untuk tanahnya. Membangun tanah ini. Tempat-tempat ibadah, banjar-banjar desa dan surau-surau tempat pendidikan lahir dan batin. Bekerja keras untuk kesejahteraan keluarganya dan kesejahteraan bersama.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu teringat pada ceritera Wanamerta tentang seorang bahu yang pernah mencoba menyuapnya dengan timang emas bertretes berlian.
Quote:
“Bukan itu”, desah Mahesa Jenar di dalam hatinya,
“Bukan seperti bahu itu. Ia bekerja untuk diri sendiri, tetapi bukan untuk sebuah pengabdian . Justru ia menghisap hidup disekitarnya untuk kepentingannya. Dibiarkannya orang-orang disekitarnya kering, namun dirinya sendiri menimbun kekayaan tanpa batas.”
“Bukan seperti bahu itu. Ia bekerja untuk diri sendiri, tetapi bukan untuk sebuah pengabdian . Justru ia menghisap hidup disekitarnya untuk kepentingannya. Dibiarkannya orang-orang disekitarnya kering, namun dirinya sendiri menimbun kekayaan tanpa batas.”
Namun bagaimana pun juga, Mahesa Jenar dihadapkan pada suatu kewajiban yang baru. Kuwajiban atas sebuah keluarga yang bakal disusunnya. Kuwajiban yang tidak kalah sucinya dari kuwajiban yang telah dilakukannya selama ini. Sebab dengan keluarga yang baik Yang Maha Esa telah mempergunakan untuk menangkar-lipatkan jumlah manusia di dunia untuk memelihara dan memanfaatkan ciptaan-Nya dengan baik.
Demikianlah, rombongan Sarayuda itu tinggal di Banyubiru untuk dua hari lamanya. Selama itu mereka telah melihat-lihat Banyubiru dengan baik. Apa yang dapat dilakukan di daerah Demang yang kaya raya itu, telah mereka pelajari, sedang apa yang baik bagi Banyubiru telah disarankannya pula.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas