- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#702
Jilid 20 [Part 454]
Spoiler for :
Quote:
“DUA puluh orang kira-kira”, gumam Bantaran.
“Apakah maksud mereka?” bertanya anak petani itu.
Bantaran menggelang. Jawabnya,
“Apapun maksud mereka, tetapi mereka aku kira tidak akan berbuat kerusuhan disini. Mereka datang disiang hari, lewat jalan yang sewajarnya dan hanya dua puluh orang. Meskipun demikian, datanglah ke gardu penjagaan pertama. Beritahukan bahwa ada serombongan orang berkuda akan lewat. Sebentar lagi aku akan datang ke gardu itu.”
“Apakah maksud mereka?” bertanya anak petani itu.
Bantaran menggelang. Jawabnya,
“Apapun maksud mereka, tetapi mereka aku kira tidak akan berbuat kerusuhan disini. Mereka datang disiang hari, lewat jalan yang sewajarnya dan hanya dua puluh orang. Meskipun demikian, datanglah ke gardu penjagaan pertama. Beritahukan bahwa ada serombongan orang berkuda akan lewat. Sebentar lagi aku akan datang ke gardu itu.”
Anak petani itu tidak menjawab. Segera ia melarikan kudanya ke gardu pertama memberitahukan apa yang telah dilihatnya.
Pemimpin gardu itu menghela nafasnya. Kemudian kata-katanya,
Quote:
“Kedatangan kakang Bantaran kami tunggu.”
Anak petani itupun kemudian kembali ke tempat Bantaran mengawasi orang-orang berkuda itu. Mereka sudah tampak lebih jelas lagi. Tetapi karena jalan melingkar-lingkar, maka jarak yang harus dilaluinya masih cukup panjang.
Kemudian Bantaran itupun berkata kepada anak petani itu.
Quote:
“Kembalilah, sampaikan pesan ini kepada kakang Penjawi, bahwa berita tentang kedatangan orang-orang berkuda itu supaya dilaporkan kepada paman Wanamerta.”
Sepeninggalan anak petani itu, segera Bantaran pergi ke gardu pertama. Gardu yang masih ditempati oleh beberapa orang penjaga. Meskipun Banyubiru seakan-akan sudah tenang, namun peperangan yang baru saja terjadi masih mengharuskan mereka berhati-hati.
Di gardu penjagaan itu, Bantaran melihat beberapa orang telah bersiaga. Namun kemudian Bantaran berkata
Quote:
“Jangan terlalu berprasangka. Orang-orang itu pasti tidak akan berbuat jahat.”
Meskipun demikian, beberapa orang di gardu itu telah menggantungkan pedang-pedang mereka dilambung, dan yang lain menyandarkan tombak-tombak mereka disamping mereka berdiri.
Sesaat kemudian gemeretak kaki kuda itu telah terdengar.
Quote:
“Ha, itulah mereka” gumam Bantaran.
Tetapi mereka masih menunggu cukup lama. Jalan yang melingkar dan berbelit-belit itu agaknya telah memperpanjang jarak perjalanan orang-orang berkuda itu.
Meskipun demikian, akhirnya muncullah dari tikungan beberapa orang berkuda. Sebenarnyalah bahwa yang paling depan dari mereka adalah seorang yang berpakaian sangat bagus. Baju beludru, kain lurik yang berwarna kemerah-merahan. Sebuah pedang yang bagus berjuntai disisi kudanya.
Orang itu terkejut ketika dilihatnya beberapa orang yang berdiri dipinggir jalan berseberangan. Segera orang itu menyadari, bahwa kedatangannya telah mengejutkan beberapa orang penjaga. Karena itu maka segera orang-orang berkuda itu memperlambat kuda-kuda mereka, dan berhenti beberapa langkah dari Bantaran.
Wanamerta yang telah mendengar laporan Penjawi, menjadi gelisah juga. Segera ia pergi ke rumah Ki Ageng Gajah Sora, dan memberitahukan tentang apa yang didengarnya dari Penjawi. Namun seperti apa yang didengarnya, maka katanya,
Quote:
“Tetapi menurut Bantaran, orang-orang itu pasti tidak akan berbuat huru-hara disini, sebab mereka hanya kira-kira duapuluh orang.”
Meskipun demikian berita itu telah menimbulkan berbagai pertanyaan di hati mereka yang sedang duduk dipendapa itu. Ki Ageng dan Nyai Ageng Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri. Mereka mencoba menerka, siapakah kira-kira yang datang dalam rombongan itu. Namun mereka tidak dapat menemukan jawaban.
Kemudian terdengar Ki Ageng Gajah Sora bertanya,
Quote:
“Dimanakah Penjawi sekarang?”
“Penjawi sedang pergi menyusul Bantaran. Anak itu tidak dapat membiarkan seandainya orang-orang itu berbuat sesuatu. Namun mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa diantara mereka.”
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafasnya. Dan sebelum mereka dapat berbuat apapun, maka terdengarlah seseorang penjaga berkata
“Sebuah rombongan berkuda.”
Salah seorang dari mereka segera memberitahukannya kepada Ki Ageng Gajah Sora, dan sambil mengangguk-angguk Ki Ageng berkata,
“Baik. Kembalilah ketempatmu.”
“Penjawi sedang pergi menyusul Bantaran. Anak itu tidak dapat membiarkan seandainya orang-orang itu berbuat sesuatu. Namun mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa diantara mereka.”
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafasnya. Dan sebelum mereka dapat berbuat apapun, maka terdengarlah seseorang penjaga berkata
“Sebuah rombongan berkuda.”
Salah seorang dari mereka segera memberitahukannya kepada Ki Ageng Gajah Sora, dan sambil mengangguk-angguk Ki Ageng berkata,
“Baik. Kembalilah ketempatmu.”
Orang itu pun segera berjalan ke gardunya, sedang beberapa orang yang lain, segera berdiri pula sambil berjaga-jaga.
Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wilis,Arya Salaka dan Endang Widuri segera turun ke halaman. Mereka berusaha menjemput orang-orang berkuda itu sebelum mereka memasuki regol halaman.
Tetapi langkah mereka segera tertegun. Yang mula-mula masuk ke halaman justru adalah Bantaran dan Penjawi. Karena itu maka Ki Ageng Gajah Sora itu segera bertanya.
Quote:
“Siapakah mereka?”
Sebelum Bantaran menjawab, maka muncullah orang yang pertama. Seorang yang gagah tampan dengan baju beludru dan sebuah pedang yang indah di lambungnya. Demikian orang itu melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera ia berseru.
Quote:
“Mahesa Jenar, aku datang menjemputmu.”
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Arya Salaka dan Endang Widuri terkejut melihat orang itu. Lebih-lebih adalah Rara Wilis. Karena itu sesaat mereka diam mematung. Sehingga terdengar kembali orang itu berkata.
Quote:
“Apakah kau lupa kepadaku?”
Mahesa Jenar seakan-akan tersadar dari mimpinya yang aneh. Karena cepat-cepat ia menjawab.
“Tidak. Aku tidak melupakan kau, Sarayuda.”
Sarayuda, orang yang baru datang itu tertawa, wajahnya cerah secerah warna pakaiannya. Sambil meloncat turun dari kudanya ia berkata.
“Aku datang atas perintah Ki Ageng Pandan Alas untuk menjemput kalian berdua.”
Mahesa Jenar seakan-akan tersadar dari mimpinya yang aneh. Karena cepat-cepat ia menjawab.
“Tidak. Aku tidak melupakan kau, Sarayuda.”
Sarayuda, orang yang baru datang itu tertawa, wajahnya cerah secerah warna pakaiannya. Sambil meloncat turun dari kudanya ia berkata.
“Aku datang atas perintah Ki Ageng Pandan Alas untuk menjemput kalian berdua.”
Wajah Rara Wilis segera menjadi kemerah-merahan. Ia tidak dapat melupakan, apakah yang telah terjadi antara mereka bertiga, Mahesa Jenar, Sarayuda dan dirinya. Karena itu, maka segera ditundukkannya wajahnya dalam-dalam.
Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar,
Quote:
“Terima kasih Sarayuda. Tetapi marilah, perkenalkanlah dahulu dengan Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyubiru, Ki Ageng Gajah Sora.”
Sarayuda tersadar akan kehadirannya di Banyubiru. Karena itu maka segera ia berkata.
“O, maafkan. Aku terlalu bernafsu untuk menyampaikan maksud kedatanganku, sehingga aku lupa suba-sita.”
“Marilah Ki Sanak”, Ki Ageng Gajah Sora mempersilakan,
“Marilah, aku mempersilakan kalian untuk naik kependapa.”
Sarayuda tersadar akan kehadirannya di Banyubiru. Karena itu maka segera ia berkata.
“O, maafkan. Aku terlalu bernafsu untuk menyampaikan maksud kedatanganku, sehingga aku lupa suba-sita.”
“Marilah Ki Sanak”, Ki Ageng Gajah Sora mempersilakan,
“Marilah, aku mempersilakan kalian untuk naik kependapa.”
Maka seluruh rombongan itu pun kemudian memperkenalkan diri. Sarayuda adalah Demang yang kaya raya, yang menguasai suatu daerah yang luas di daerah Pegunungan Kidul. Sedang Ki Ageng Gajah Sora adalah seorang Kepala Daerah Tanah Perdikan yang kuat dan subur dilereng bukit Telamaya. Keduanya adalah orang-orang yang bertanggungjawab atas wilayahnya dan akan rakyatnya. Karena itu, maka segera mereka dapat menyesuaikan dirinya dalam perkenalan yang akrab, meskipun ada beberapa perbedaan sifat diantara mereka. Sarayuda adalah seorang yang menyadari kekayaannya, meskipun tidak berlebih-lebihan, sehingga caranya berpakaian pun telah menunjukkan keadaannya, sedang Ki Ageng Gajah Sora adalah seorang yang sederhana.
Segera pembicaraan mereka berkisar kepada maksud kedatangan Sarayuda. Berkata Demang itu kemudian, “Kakang Gajah Sora, kedatanganku kemari adalah karena perintah guruku, Ki Ageng Pandan Alas untuk menjemput Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Setiap orang di Gunungkidul telah mendengar berita itu. Berita tentang akan kehadiran Rangga Tohjaya didaerah mereka. Karena itu, maka Gunungkidul sedang dihinggapi oleh perasaan yang melonjak-lonjak, mengharap agar orang yang ditunggu-tunggu itu segera datang. Rara Wilis adalah seorang gadis yang cukup mereka kenal, karena daerah itu adalah daerah masa kanak-kanaknya. Banyak kawan-kawannya bermain ingin melihat mereka, seorang anak gadis dari daerah mereka yang pernah memakai nama Pudak Wangi dan telah berhasil membinasakan seorang perempuan yang dahulu pernah menggemparkan daerah itu, yang kemudian bernama Nyai Sima Rodra.
Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu, sedang Rara Wilis semakin menundukkan wajahnya. Pipinya menjadi kemerah-merahan dan karena itulah maka sepatah kata pun dapat diucapkan. Widuri yang mendengar kata-kata itu dengan seksama, tersenyum-senyum kecil. Dengan nakalnya ia berkata.
Quote:
“Ah. Apakah paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi tamu paman Demang Sarayuda?”
“Ya tentu”jawab Sarayuda,
“Aku dan rakyatku akan menyambutnya.”
“Bukan main. Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi tamu Agung.” sahut Widuri.
“Apakah aku boleh ikut serta?”
“Tentu” jawab Sarayuda.
“Aku dan setiap orang yang hadir di dalam pendapa ini untuk pergi ke Gunungkidul. Menyaksikan bukit-bukit gundul dan bukit-bukit kapur diantara lembah-lembah hijau. Sangat berbeda dengan pemandangan di Bukit Telamaya ini.”
Wajah Endang Widuri itu pun kemudian menjadi cerah. Dengan serta merta ia berkata,
“Bagus sekali. Aku akan ikut dengan Bibi Wilis. Boleh bukan bibi?”
“Ya tentu”jawab Sarayuda,
“Aku dan rakyatku akan menyambutnya.”
“Bukan main. Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi tamu Agung.” sahut Widuri.
“Apakah aku boleh ikut serta?”
“Tentu” jawab Sarayuda.
“Aku dan setiap orang yang hadir di dalam pendapa ini untuk pergi ke Gunungkidul. Menyaksikan bukit-bukit gundul dan bukit-bukit kapur diantara lembah-lembah hijau. Sangat berbeda dengan pemandangan di Bukit Telamaya ini.”
Wajah Endang Widuri itu pun kemudian menjadi cerah. Dengan serta merta ia berkata,
“Bagus sekali. Aku akan ikut dengan Bibi Wilis. Boleh bukan bibi?”
Rara Wilis tidak segera dapat menjawab. Sekali dipandangnya wajah Kebo Kanigara. Ia tidak dapat berkata apapun tentang gadis itu sebelum ayahnya memberikan persetujuan.
Widuri melihat keragu-raguan Rara Wilis. Karena itu segera ia berkata kepada ayahnya.
Quote:
“Ayah, bukankah kita akan ikut ke Gunungkidul."
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata perlahan-lahan.
“Sayang Widuri kita tidak dapat ikut serta.”
Kecerahan wajah Widuri segera larut, seperti bulan disaput awan yang sedemikian kelam.
“Kenapa?”
“Ada sesuatu yang harus kita kerjakan disini.”
“Apakah yang harus dikerjakan?”
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata perlahan-lahan.
“Sayang Widuri kita tidak dapat ikut serta.”
Kecerahan wajah Widuri segera larut, seperti bulan disaput awan yang sedemikian kelam.
“Kenapa?”
“Ada sesuatu yang harus kita kerjakan disini.”
“Apakah yang harus dikerjakan?”
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas