- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#69
16 Desember 2018
Deja vu
Pagi-pagi Hanggara sudah menjemputku, dari kostan kami meluncur ke rumah Ardi untuk menjemput Lisa. Kemudian kami menuju bandara menghantar Lisa yang akan kembali ke Jakarta pagi ini.
“Dah nempel terus nih ye...,” bisik Lisa pelan di teligaku ketika kami berdua duduk di kursi belakang dalam perjalanan ke bandara.
Aku tidak menyahut hanya tersenyum kecil.
“Udah jadian?” tanyanya lagi masih berbisik
Lagi-lagi aku tidak menyahut hanya menggeleng.
Lisa menggerutkan dahinya. “Pak Bos, makasi banyak lho ya udah mau nyopirin saya ke erpot,” ujar Lisa tiba-tiba kepada Hanggara yang sedang menyetir.
Kulihat sekilas dari kaca tengah mobil Hanggara hanya tersenyum dan tidak menyahut.
“Saya tunggu lho undangannya nanti di Jakarta, kalau bisa acaranya di Jakarta aja ya,” lanjut Lisa lagi
“Undangan apa ya?” kali ini Hanggara meresponnya.
“Yah... undangan apa aja boleh, tunangan boleh atau langsung nikahan juga lebih bagus lagi, tapi nikahnya sama temen di samping saya ini ya, pak jangan sama cewek lain.”
Selesai mengucapkan kalimatnya itu Lisa tertawa cekikikan dan di sambut dengan senyum lebar dari Hanggara.
Dan aku dengan cekatan mencubit lengan temanku itu yang membuat dia mengaduh kesakitan tapi masih bisa tertawa-tawa puas.
Aku hanya diam dan melemparkan pandangan ke sepanjang jalanan yang kami lewati.
Pagi ini bandara tidak terlalu ramai. Kami mengantarkan Lisa sampai di loby terminal keberangkatan domestik.
“Lo baik-baik ya,” ujar Lisa ketika kami berpelukan sebelum dia masuk ke ruang check in
“Lo juga, bulan depan gw udah balik Jakarta kok,” sahutku ketika dia melepaskan pelukannya.
“Lo ngga mau cari kerja di sini aja?” tanyanya
“ngga kepikiran gw,” ujarku tersenyum.
“Trus lo sama Angga gimana?”
Aku hanya tersenyum, jujur tidak tahu harus menjawab apa.
“Ngga ada hubungannya sama dia,” sahutku.
Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku, ada perasaaan aneh yang kurasakan ketika berasa di sini saat ini. Perasaan yang sama ketika dulu pertama kali aku menginjakkan kaki di bandara ini sewaktu pertama kali datang ke Bali. Entahlah, aku merasa pernah berada di sini, pernah ke tempat ini sebelumnya, entah kapan.
Bersamaan dengan itu Hanggara tampak berjalan mendekati kami, entah dia dari mana tadi.
“Kita bisa masuk lho, tapi sampai tempat check in aja, aku udah dapet ijin dari security nya,” ujarnya kepada kami.
“Emang bisa gitu masuk begitu aja?” tanya Ardi, pertanyaan yang sama juga muncul di kepalaku.
Setahuku orang yang tidak memiliki tiket tidak akan diijinkan masuk oleh petugas keamanannya dan tidaklah gampang mencari ijin agar di perbolehkan masuk.
“Gw ada kenalan, masih saudara, tapi nanti kita di dampangi sama dia, ngga boleh jalan sendiri-sendiri,” jelas Hanggara
“Kamu yakin ngga apa-apa. Gw ngga apa-apa kok di anter sampe sini aja,” sahut Lisa, rupanya dia sedikit ragu untuk melanggar.
Aku berusaha melihat ke dalam ruang check in dari balik dinding kaca.
Deg. Degupan jantungku yang tidak biasa ini membuat diriku sendiri tidak mengerti dengan rasa yang kurasakan sekarang.
“Gw anterin lo ke dalam,” ujarku pada Lisa.
Dan akhirnya kami berempat masuk ke ruangan check in dengan di temani oleh kenalannya Hanggara, Bapak Hadi, seorang kepala security yang sangat ramah.
Sambil menunggu Lisa check in, kami berdiri di depan konter check in sambil berbincang dengan Pak Hadi. Aku masih belum bisa menghilangkan perasaan aneh yang menyelusup di hatiku. Sepertinya, dulu, entah kapan aku pernah ke tempat ini.
“Ini bangunan baru ya pak?” tanyaku kepada Pak Hadi, “Kemarin dulu saya cuma sampai di arrival hall aja, belum lihat-lihat ke sini,” lanjutku.
“Iya, ini bangunan baru, dulu ini terminal keberangkatan International, terminal domestiknya ada di timur sana, lebih kecil,tapi karena penerbangan domestik terus nambah, gedung ini yang di rombak jadi domestik dan terminal international dibuatkan gedung yang baru,” jelasnya.
“Ini papanya Angga dulu kerjanya ya di sini, makanya dia sering main ke sini waktu kecilnya,” lanjut pak Hadi sambil menepuk bahu Hanggara, “sekarang udah segede ini tempat mainnya udah beda hahaha.”
Mereka bertiga melanjutkan obrolan dan aku sibuk dengan perasaan aneh yang menyerangku.
“Vio!” suara Lisa memanggilku ketika aku sibuk memperhatikan suasana di sekitarku
“Udah selesai?” tanyaku padanya
“He eh, udah...gw langsung ke gate aja ya, udah mau boarding ini,” ujar Lisa
“Iya, lo hati-hati, see you next month,” ujarku memeluk Lisa dan mencium pipinya silih berganti.
Ardi mendekati kami. Dia memeluk dan mencium kening Lisa sebelum Lisa berlalu menuju gate.
***
Dari bandara kami menghantar Ardi balik ke rumahnya, dan setelah itu Hanggara mengajakku pergi ke Denpasar mencari tanaman untuk kebunnya.
Sebenarnya aku masih merasakan rasa yang aneh di hati dan pikiranku yang tidak henti-hentinya berusaha mengingat apa dulu, sewaktu aku kecil pernah ke bandara itu.
Tapi tidak ada satu pun ingatan tentang masa kecilku yang tersisa di memori kepalaku.
Mungkin dulu aku pernah ke sana, akhirnya aku menyimpulkan sendiri.
“Kamu kenapa, kok diem aja?” pertanyaan dari Hanggara membuatku menoleh padanya yang sedang menyetir yang sebentar-sebentar menoleh ke arahku.
“Waktu kamu kecil, sering main ke bandara ya?” tanyaku padanya
“Ngga sering sih, tapi pernah sesekali papa ngajakin main ke sana, kenapa?”
“Bisa ngga di setiap kalimat pernyataan jangan diakhiri dengan pertanyaan,” ujarku memandangnya sekilas dan dia tertawa mendengar permintaanku.
“Ya aku kan pengen tahu kenapa kamu nanya begituan,” ujarnya di sela-sela tawanya
“Aku tadi ngerasa aneh waktu di bandara.”
“Aneh kenapa?”
“Sepertinya aku pernah ke sana sebelumnya, padahal seingatku ini pertama kali aku ke sana.”
“Mungkin dulu, waktu kamu kecil, tapi kamu ngga inget,” ujar Hanggara
“Mungkin...”
“Mungkin kita pernah ketemu di sana waktu kecil, makanya wajah kamu ngga asing buatku,” ujarnya lagi sembari memberikan senyumnya
“Mungkin...”
***
Hanggara memarkirkan mobilnya di tepi jalan di mana di sepanjang tepi jalanan ini berderet-deret kebun-kebun yang memperjualbelikan tanaman.
Dia mengajakku melihat-lihat di beberapa tempat sampai akhirnya dia memutuskan berhenti di satu tempat yang memiliki koleksi tanaman yang cukup bervariasi.
“Ada yang kamu suka?” tanyanya padaku yang masih melihat-lihat beberapa jenis tanaman.
“Ini bagus, kamu ngga mau ini?” tanyaku pada Hanggara sambil memperlihatkan sebuah tanaman berdaun putih seperti bersalju
“Ini namanya apa ya pak?” tanya Hanggara pada pemilik kebun yang dengan sabar menemani dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.
“Itu namanya silver dust, jenis daunnya banyak, cuma ada yang model ini aja sekarang,” jawab si bapak
“Ini daunnya emang putiih gini ya pak? Ngga berubah warnanya?” tanyaku
“Iya putih terus, tapi kalau kena air jadi hijau, nanti kalau sudah kering jadi putih lagi,” jelasnya.
“Lucu,” ujarku
“Ambil ini ya,” sahut Hanggara, “mau?” tanyanya lagi yang aku iyakan dengan anggukkan.
Aku berjalan berkeliling lagi dan mataku menangkap sesuatu yang membuatku tertarik untuk mendekatinya, sebuah anggrek, anggrek bulan kuning.
Bunganya sudah mekar sempurna, ada sekitar lima bunga yang sudah mekar dan sisanya masih kuncup dalam satu tangkai. Aku menyentuh kelopak bunganya dengan hati-hati.
Dulu, aku sering membantu Abrar menyirami dan merawat bunga ini di rumahnya. Ibunya penggemar anggrek dan anggrek bulan adalah favorite beliau. kalau libur kuliah biasanya ibunya memintaku membantunya merawat koleksi-koleksinya, karena Abrar sama sekali tidak suka berkebun.
Melihat bunga ini aku jadi ingat dengan beliau.
Ah, aku ingat ketika aku datang ke rumahnya menanyakan tentang Abrar, jelas terlihat dari raut wajahnya dia sedang bersedih, bahkan ketika terakhir kalinya aku ke sana, beliau memelukku erat sebelum aku pamit pulang.
Aku selalu bertanya padanya mengenai Abrar tapi tidak pernah kudapatkan jawaban. Hanya nasehat yang tidak ingin kudengar sebagai sebuah pengalihan yang kudapatkan. Aku tahu ada sesuatu yang ingin dikatakannya tapi beliau cukup kuat menahan diri untuk tetap tutup mulut.
“Vio?” panggilan lembut Hanggara di sampingku membuyarkan lamunanku.
Aku menolehnya yang sedang memandangku lekat.
“Kenapa?” tanyanya
“Ngga apa-apa,” sahutku tersenyum menyembunyikan rasa sedih yang tiba-tiba menyelusup datang, “Kamu udah dapet yang mau dibeli?” tanyaku secepat mungkin membuang pandangan dari matanya.
“Emm... baru dua itu aja,” sahutnya menunjuk ke arah dua tanaman yang di tempatkan terpisah.
Ada si tanaman bersalju dan sebuah tanaman bunga mawar berwarna ungu pastel.
“Ini warnanya ungu ya?” tanyaku memastikan lagi
“Iya, bagus ngga?” tanyanya padaku
“Bagus, unik,” sahutku. Aku melihat berkelilling banyak sekali ada tanaman yang cantik-cantik.
“Angga, beli pohon mangga, biar ngga usah beli mangga, tinggal petik,” ujarku asal saja padanya ketika mataku menangkap tanaman mangga tak jauh dari tempatku berdiri.
“Udah ada, tinggal ambil dari kantor aja,” sahutnya cuek tanpa melihat ke arahku.
Aku kembali berkeliling melihat-lihat.
“Pak ini apa?” tanyaku menunjuk deretan pohon muda berdaun agak lancip
“Durian, itu yang jenis unggul yang ngga sampai tinggi pohonnya udah bisa berbuah,” jelas bapak si pemilik kebun
Durian adalah salah satu buah favoriteku. Bergegas aku menghampiri Hanggara yang sedang melihat-lihat bunga teratai.
“Ga, beli durian ya,” ujarku padanya. Dia menoleh dan raut wajahnya tampak keheranan
“Durian? Lagi ngga musim durian, nyari di mana?”
“Bukan buah durian, tapi pohonnya, kamu tanem ya?” sahutku bersemangat
Dia tersenyum padaku, “Mana bisa nanem durian di halaman rumah, mau kamu tiba-tiba ketimpa durian? Nanem durian itu di kebun, tau,” ujarnya tersenyum
“Tapi kata bapaknya itu durian unggul ngga sampe tinggi pohonnya udah berbuah,” sahutku
“Kalau aku sih ngga mau, buat kamu aja ntar bawa ke Jakarta,” ujarnya tersenyum jahil, lalu kembali melihat-lihat tanaman yang lain.
Akhirnya Hanggara membeli 4 macam tanaman, silver dust, mawar ungu, teratai putih dan kuning.
Sebelum meninggalkan tempat itu, aku kembali menoleh ke arah kebun itu, aku ingin melihat anggrek kuning itu sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya.

Aku berada di bandara, tapi kenapa berbeda dengan bandara yang tadi aku datangi.
Ada suara seperti suara mesin yang berdengung halus di telingaku. Heh, ini aku sewaktu masih kecil?!
Seseorang menggandeng tangan kecilku, aku mendongak ke atas ingin melihat wajahnya, tapi tidak bisa, dia berjalan di depanku manarik lembut tanganku mengikutinya yang berjalan pelan. Aku hanya bisa melihatnya dari belakang seorang wanita dengan rambut dikuncir kuda, memakai baju lengan panjang berwarna coklat muda dipadukan dengan rompi coklat tua, bercelana panjang berwarna senada dengan warna rompinya, dan memakai sepatu berhak tinggi. Suara sepatunya terdengar berisik ketika dia berjalan menggema di ruangan yang remang-remang ini, melangkah menuju sebuah pintu berwarna merah.
Dia mendorong pintu itu dan menarikku lembut mengikutinya masuk ke sebuah ruangan yang sangat besar dan terang.
Ada banyak orang hilir mudik dan suara-suara riuh rendah menggema di telingaku. Kuperhatikan senyum wanita itu selalu menggembang di bibirnya sepanjang dia berjalan dan sesekali bertegur sapa dengan orang-orang yang berpakain sama sepertinya.
Tiba-tiba dia berhenti ketika berpapasan dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu berkemeja putih dan berdasi coklat muda selaras dengan warna celana yang dipakainya.
Aku menunduk dan menyembunyikan tubuh kecilku di balik kaki wanita yang masih menggenggam jemari tanganku.
Aku mengencangkan genggaman tanganku pada tangan wanita itu ketika laki-laki itu berjongkok di depanku dan dengan halus menarik tubuhku mendekat ke arahnya.
Aku diam dan menunduk ketika dia bertanya padaku. Dia seperti mengucapkan sesuatu tapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas hanya terdengar gumaman-gumaman yang tidak aku mengerti. Aku mendongak melihat wajahnya yang samar di mataku, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi aku mendengar dia memanggil namaku.
Tangan lelaki itu menarik tubuhku lebih mendekat lagi padanya kemudian memelukku dengan erat. Hangat dan nyaman itu yang aku rasakan ketika berada dalam pelukannya. Dia melepaskan pelukannya dan mencium kedua pipiku silih berganti dan juga mencium keningku. Dia memelukku sekali lagi sebelum berdiri dan berlalu pergi.
Aku sempat menoleh ke arahnya dan begitu pun denganya menoleh ke belakang dan melihatku tapi aku masih belum bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Aku merasa tanganku kembali di tarik lembut dan berjalan pelan menjauhi laki-laki itu. Aku kembali menoleh ke belakang, melihat punggung laki-laki itu bergerak menjauh menuju pintu merah tempat aku masuk tadi dan kemudian menghilang di baliknya.
Tanganku masih digandeng wanita itu, mengikutinya berjalan. Aku ingin berhenti dan kembali ke pintu merah itu mencari laki-laki tadi, tapi aku tidak bisa, wanita itu terus saja menggandeng tanganku dan aku memaksakan kaki-kaki kecilku melangkah mengikutinya.
Aku mendongak ke atas melihat ke mana wanita ini membawaku. Ini masih di tempat yang sama, ruangan besar yang sangat terang. Banyak orang berlalu lalang dan di antaranya aku melihat sosok yang sepertinya aku kenal.
Mama.
Iya mamaku berdiri di sana, tersenyum padaku.

Deja vu
Pagi-pagi Hanggara sudah menjemputku, dari kostan kami meluncur ke rumah Ardi untuk menjemput Lisa. Kemudian kami menuju bandara menghantar Lisa yang akan kembali ke Jakarta pagi ini.
“Dah nempel terus nih ye...,” bisik Lisa pelan di teligaku ketika kami berdua duduk di kursi belakang dalam perjalanan ke bandara.
Aku tidak menyahut hanya tersenyum kecil.
“Udah jadian?” tanyanya lagi masih berbisik
Lagi-lagi aku tidak menyahut hanya menggeleng.
Lisa menggerutkan dahinya. “Pak Bos, makasi banyak lho ya udah mau nyopirin saya ke erpot,” ujar Lisa tiba-tiba kepada Hanggara yang sedang menyetir.
Kulihat sekilas dari kaca tengah mobil Hanggara hanya tersenyum dan tidak menyahut.
“Saya tunggu lho undangannya nanti di Jakarta, kalau bisa acaranya di Jakarta aja ya,” lanjut Lisa lagi
“Undangan apa ya?” kali ini Hanggara meresponnya.
“Yah... undangan apa aja boleh, tunangan boleh atau langsung nikahan juga lebih bagus lagi, tapi nikahnya sama temen di samping saya ini ya, pak jangan sama cewek lain.”
Selesai mengucapkan kalimatnya itu Lisa tertawa cekikikan dan di sambut dengan senyum lebar dari Hanggara.
Dan aku dengan cekatan mencubit lengan temanku itu yang membuat dia mengaduh kesakitan tapi masih bisa tertawa-tawa puas.
Aku hanya diam dan melemparkan pandangan ke sepanjang jalanan yang kami lewati.
Pagi ini bandara tidak terlalu ramai. Kami mengantarkan Lisa sampai di loby terminal keberangkatan domestik.
“Lo baik-baik ya,” ujar Lisa ketika kami berpelukan sebelum dia masuk ke ruang check in
“Lo juga, bulan depan gw udah balik Jakarta kok,” sahutku ketika dia melepaskan pelukannya.
“Lo ngga mau cari kerja di sini aja?” tanyanya
“ngga kepikiran gw,” ujarku tersenyum.
“Trus lo sama Angga gimana?”
Aku hanya tersenyum, jujur tidak tahu harus menjawab apa.
“Ngga ada hubungannya sama dia,” sahutku.
Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku, ada perasaaan aneh yang kurasakan ketika berasa di sini saat ini. Perasaan yang sama ketika dulu pertama kali aku menginjakkan kaki di bandara ini sewaktu pertama kali datang ke Bali. Entahlah, aku merasa pernah berada di sini, pernah ke tempat ini sebelumnya, entah kapan.
Bersamaan dengan itu Hanggara tampak berjalan mendekati kami, entah dia dari mana tadi.
“Kita bisa masuk lho, tapi sampai tempat check in aja, aku udah dapet ijin dari security nya,” ujarnya kepada kami.
“Emang bisa gitu masuk begitu aja?” tanya Ardi, pertanyaan yang sama juga muncul di kepalaku.
Setahuku orang yang tidak memiliki tiket tidak akan diijinkan masuk oleh petugas keamanannya dan tidaklah gampang mencari ijin agar di perbolehkan masuk.
“Gw ada kenalan, masih saudara, tapi nanti kita di dampangi sama dia, ngga boleh jalan sendiri-sendiri,” jelas Hanggara
“Kamu yakin ngga apa-apa. Gw ngga apa-apa kok di anter sampe sini aja,” sahut Lisa, rupanya dia sedikit ragu untuk melanggar.
Aku berusaha melihat ke dalam ruang check in dari balik dinding kaca.
Deg. Degupan jantungku yang tidak biasa ini membuat diriku sendiri tidak mengerti dengan rasa yang kurasakan sekarang.
“Gw anterin lo ke dalam,” ujarku pada Lisa.
Dan akhirnya kami berempat masuk ke ruangan check in dengan di temani oleh kenalannya Hanggara, Bapak Hadi, seorang kepala security yang sangat ramah.
Sambil menunggu Lisa check in, kami berdiri di depan konter check in sambil berbincang dengan Pak Hadi. Aku masih belum bisa menghilangkan perasaan aneh yang menyelusup di hatiku. Sepertinya, dulu, entah kapan aku pernah ke tempat ini.
“Ini bangunan baru ya pak?” tanyaku kepada Pak Hadi, “Kemarin dulu saya cuma sampai di arrival hall aja, belum lihat-lihat ke sini,” lanjutku.
“Iya, ini bangunan baru, dulu ini terminal keberangkatan International, terminal domestiknya ada di timur sana, lebih kecil,tapi karena penerbangan domestik terus nambah, gedung ini yang di rombak jadi domestik dan terminal international dibuatkan gedung yang baru,” jelasnya.
“Ini papanya Angga dulu kerjanya ya di sini, makanya dia sering main ke sini waktu kecilnya,” lanjut pak Hadi sambil menepuk bahu Hanggara, “sekarang udah segede ini tempat mainnya udah beda hahaha.”
Mereka bertiga melanjutkan obrolan dan aku sibuk dengan perasaan aneh yang menyerangku.
“Vio!” suara Lisa memanggilku ketika aku sibuk memperhatikan suasana di sekitarku
“Udah selesai?” tanyaku padanya
“He eh, udah...gw langsung ke gate aja ya, udah mau boarding ini,” ujar Lisa
“Iya, lo hati-hati, see you next month,” ujarku memeluk Lisa dan mencium pipinya silih berganti.
Ardi mendekati kami. Dia memeluk dan mencium kening Lisa sebelum Lisa berlalu menuju gate.
***
Dari bandara kami menghantar Ardi balik ke rumahnya, dan setelah itu Hanggara mengajakku pergi ke Denpasar mencari tanaman untuk kebunnya.
Sebenarnya aku masih merasakan rasa yang aneh di hati dan pikiranku yang tidak henti-hentinya berusaha mengingat apa dulu, sewaktu aku kecil pernah ke bandara itu.
Tapi tidak ada satu pun ingatan tentang masa kecilku yang tersisa di memori kepalaku.
Mungkin dulu aku pernah ke sana, akhirnya aku menyimpulkan sendiri.
“Kamu kenapa, kok diem aja?” pertanyaan dari Hanggara membuatku menoleh padanya yang sedang menyetir yang sebentar-sebentar menoleh ke arahku.
“Waktu kamu kecil, sering main ke bandara ya?” tanyaku padanya
“Ngga sering sih, tapi pernah sesekali papa ngajakin main ke sana, kenapa?”
“Bisa ngga di setiap kalimat pernyataan jangan diakhiri dengan pertanyaan,” ujarku memandangnya sekilas dan dia tertawa mendengar permintaanku.
“Ya aku kan pengen tahu kenapa kamu nanya begituan,” ujarnya di sela-sela tawanya
“Aku tadi ngerasa aneh waktu di bandara.”
“Aneh kenapa?”
“Sepertinya aku pernah ke sana sebelumnya, padahal seingatku ini pertama kali aku ke sana.”
“Mungkin dulu, waktu kamu kecil, tapi kamu ngga inget,” ujar Hanggara
“Mungkin...”
“Mungkin kita pernah ketemu di sana waktu kecil, makanya wajah kamu ngga asing buatku,” ujarnya lagi sembari memberikan senyumnya
“Mungkin...”
***
Hanggara memarkirkan mobilnya di tepi jalan di mana di sepanjang tepi jalanan ini berderet-deret kebun-kebun yang memperjualbelikan tanaman.
Dia mengajakku melihat-lihat di beberapa tempat sampai akhirnya dia memutuskan berhenti di satu tempat yang memiliki koleksi tanaman yang cukup bervariasi.
“Ada yang kamu suka?” tanyanya padaku yang masih melihat-lihat beberapa jenis tanaman.
“Ini bagus, kamu ngga mau ini?” tanyaku pada Hanggara sambil memperlihatkan sebuah tanaman berdaun putih seperti bersalju
“Ini namanya apa ya pak?” tanya Hanggara pada pemilik kebun yang dengan sabar menemani dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.
“Itu namanya silver dust, jenis daunnya banyak, cuma ada yang model ini aja sekarang,” jawab si bapak
“Ini daunnya emang putiih gini ya pak? Ngga berubah warnanya?” tanyaku
“Iya putih terus, tapi kalau kena air jadi hijau, nanti kalau sudah kering jadi putih lagi,” jelasnya.
“Lucu,” ujarku
“Ambil ini ya,” sahut Hanggara, “mau?” tanyanya lagi yang aku iyakan dengan anggukkan.
Aku berjalan berkeliling lagi dan mataku menangkap sesuatu yang membuatku tertarik untuk mendekatinya, sebuah anggrek, anggrek bulan kuning.
Bunganya sudah mekar sempurna, ada sekitar lima bunga yang sudah mekar dan sisanya masih kuncup dalam satu tangkai. Aku menyentuh kelopak bunganya dengan hati-hati.
Dulu, aku sering membantu Abrar menyirami dan merawat bunga ini di rumahnya. Ibunya penggemar anggrek dan anggrek bulan adalah favorite beliau. kalau libur kuliah biasanya ibunya memintaku membantunya merawat koleksi-koleksinya, karena Abrar sama sekali tidak suka berkebun.
Melihat bunga ini aku jadi ingat dengan beliau.
Ah, aku ingat ketika aku datang ke rumahnya menanyakan tentang Abrar, jelas terlihat dari raut wajahnya dia sedang bersedih, bahkan ketika terakhir kalinya aku ke sana, beliau memelukku erat sebelum aku pamit pulang.
Aku selalu bertanya padanya mengenai Abrar tapi tidak pernah kudapatkan jawaban. Hanya nasehat yang tidak ingin kudengar sebagai sebuah pengalihan yang kudapatkan. Aku tahu ada sesuatu yang ingin dikatakannya tapi beliau cukup kuat menahan diri untuk tetap tutup mulut.
“Vio?” panggilan lembut Hanggara di sampingku membuyarkan lamunanku.
Aku menolehnya yang sedang memandangku lekat.
“Kenapa?” tanyanya
“Ngga apa-apa,” sahutku tersenyum menyembunyikan rasa sedih yang tiba-tiba menyelusup datang, “Kamu udah dapet yang mau dibeli?” tanyaku secepat mungkin membuang pandangan dari matanya.
“Emm... baru dua itu aja,” sahutnya menunjuk ke arah dua tanaman yang di tempatkan terpisah.
Ada si tanaman bersalju dan sebuah tanaman bunga mawar berwarna ungu pastel.
“Ini warnanya ungu ya?” tanyaku memastikan lagi
“Iya, bagus ngga?” tanyanya padaku
“Bagus, unik,” sahutku. Aku melihat berkelilling banyak sekali ada tanaman yang cantik-cantik.
“Angga, beli pohon mangga, biar ngga usah beli mangga, tinggal petik,” ujarku asal saja padanya ketika mataku menangkap tanaman mangga tak jauh dari tempatku berdiri.
“Udah ada, tinggal ambil dari kantor aja,” sahutnya cuek tanpa melihat ke arahku.
Aku kembali berkeliling melihat-lihat.
“Pak ini apa?” tanyaku menunjuk deretan pohon muda berdaun agak lancip
“Durian, itu yang jenis unggul yang ngga sampai tinggi pohonnya udah bisa berbuah,” jelas bapak si pemilik kebun
Durian adalah salah satu buah favoriteku. Bergegas aku menghampiri Hanggara yang sedang melihat-lihat bunga teratai.
“Ga, beli durian ya,” ujarku padanya. Dia menoleh dan raut wajahnya tampak keheranan
“Durian? Lagi ngga musim durian, nyari di mana?”
“Bukan buah durian, tapi pohonnya, kamu tanem ya?” sahutku bersemangat
Dia tersenyum padaku, “Mana bisa nanem durian di halaman rumah, mau kamu tiba-tiba ketimpa durian? Nanem durian itu di kebun, tau,” ujarnya tersenyum
“Tapi kata bapaknya itu durian unggul ngga sampe tinggi pohonnya udah berbuah,” sahutku
“Kalau aku sih ngga mau, buat kamu aja ntar bawa ke Jakarta,” ujarnya tersenyum jahil, lalu kembali melihat-lihat tanaman yang lain.
Akhirnya Hanggara membeli 4 macam tanaman, silver dust, mawar ungu, teratai putih dan kuning.
Sebelum meninggalkan tempat itu, aku kembali menoleh ke arah kebun itu, aku ingin melihat anggrek kuning itu sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya.

Aku berada di bandara, tapi kenapa berbeda dengan bandara yang tadi aku datangi.
Ada suara seperti suara mesin yang berdengung halus di telingaku. Heh, ini aku sewaktu masih kecil?!
Seseorang menggandeng tangan kecilku, aku mendongak ke atas ingin melihat wajahnya, tapi tidak bisa, dia berjalan di depanku manarik lembut tanganku mengikutinya yang berjalan pelan. Aku hanya bisa melihatnya dari belakang seorang wanita dengan rambut dikuncir kuda, memakai baju lengan panjang berwarna coklat muda dipadukan dengan rompi coklat tua, bercelana panjang berwarna senada dengan warna rompinya, dan memakai sepatu berhak tinggi. Suara sepatunya terdengar berisik ketika dia berjalan menggema di ruangan yang remang-remang ini, melangkah menuju sebuah pintu berwarna merah.
Dia mendorong pintu itu dan menarikku lembut mengikutinya masuk ke sebuah ruangan yang sangat besar dan terang.
Ada banyak orang hilir mudik dan suara-suara riuh rendah menggema di telingaku. Kuperhatikan senyum wanita itu selalu menggembang di bibirnya sepanjang dia berjalan dan sesekali bertegur sapa dengan orang-orang yang berpakain sama sepertinya.
Tiba-tiba dia berhenti ketika berpapasan dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu berkemeja putih dan berdasi coklat muda selaras dengan warna celana yang dipakainya.
Aku menunduk dan menyembunyikan tubuh kecilku di balik kaki wanita yang masih menggenggam jemari tanganku.
Aku mengencangkan genggaman tanganku pada tangan wanita itu ketika laki-laki itu berjongkok di depanku dan dengan halus menarik tubuhku mendekat ke arahnya.
Aku diam dan menunduk ketika dia bertanya padaku. Dia seperti mengucapkan sesuatu tapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas hanya terdengar gumaman-gumaman yang tidak aku mengerti. Aku mendongak melihat wajahnya yang samar di mataku, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi aku mendengar dia memanggil namaku.
Tangan lelaki itu menarik tubuhku lebih mendekat lagi padanya kemudian memelukku dengan erat. Hangat dan nyaman itu yang aku rasakan ketika berada dalam pelukannya. Dia melepaskan pelukannya dan mencium kedua pipiku silih berganti dan juga mencium keningku. Dia memelukku sekali lagi sebelum berdiri dan berlalu pergi.
Aku sempat menoleh ke arahnya dan begitu pun denganya menoleh ke belakang dan melihatku tapi aku masih belum bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Aku merasa tanganku kembali di tarik lembut dan berjalan pelan menjauhi laki-laki itu. Aku kembali menoleh ke belakang, melihat punggung laki-laki itu bergerak menjauh menuju pintu merah tempat aku masuk tadi dan kemudian menghilang di baliknya.
Tanganku masih digandeng wanita itu, mengikutinya berjalan. Aku ingin berhenti dan kembali ke pintu merah itu mencari laki-laki tadi, tapi aku tidak bisa, wanita itu terus saja menggandeng tanganku dan aku memaksakan kaki-kaki kecilku melangkah mengikutinya.
Aku mendongak ke atas melihat ke mana wanita ini membawaku. Ini masih di tempat yang sama, ruangan besar yang sangat terang. Banyak orang berlalu lalang dan di antaranya aku melihat sosok yang sepertinya aku kenal.
Mama.
Iya mamaku berdiri di sana, tersenyum padaku.

JabLai cOY dan 2 lainnya memberi reputasi
3