- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#688
Jilid 20 [Part 444]
Spoiler for :
“GILA.”Prabasemi mengumpat di dalam hati. Tetapi sebenarnya dirinya pun telah hampir gila pula. Dengan bersungut-sungut ia berjalan masuk ke dalam biliknya.
Karena itu betapapun ia mengumpat-umpat di dalam hati, namun diambilnya juga satu ikat pinggang yang lain, bertimang emas pula, namun tidak tidak bertretes berlian.
Setelah menerima ikat pinggang itu beserta timangnya, maka Sembada pun minta diri untuk pergi ke Sambirata.
Sembada mengerutkan keningnya. Ia kenal betul sifat-sifat adik seperguruannya. Ia dapat menjadi seorang pemurah yang tidak kepalang tanggung, namun ia dapat menjadi pelit sekeras batu akik. Karena itu ia tidak dapat menjawab, selain menganggukkan kepalanya. Ketika ia telah keluar dari pagar halaman, masih didengarkannya suara Tumenggung Prabasemi,
Namun ia bertekad untuk memiliki timang berteretes berlian itu. Sudah beberapa tahun ia menginginkan benda serupa itu. Namun pekerjaannnya sebagai jagal tidak memberinya kemungkinan.
Sampai di rumahnya, diajaknya seorang pembantunya yang juga menjadi satu-satunya muridnya yang sangat disayanginya. Dengan perbekalan yang cukup, mereka meninggalkan rumah itu. Sebuah pedang pendek terselip di ikat pinggang masing-masing.
Muridnya mencoba untuk menanyakan, apakah yang akan mereka lakukan. Tetapi Sembada tidak memberitahukannya.
Kiai Sambirata mendengar permintaan sahabatnya dengan ragu-ragu. Sebenarnya Kiai Sambirata memiliki beberapa kelebihan dari Sembada. Apalagi, sudah menjadi kebiasaan Sambirata untuk menerima beberapa permintaan orang-orang lain, mengantarkan mereka ke tempat-tempat yang dianggap berbahaya. Bahkan sekali-kali pernah juga dilakukannya untuk memaksakan beberapa kehendak seseorang atas orang lain. Melamar anak orang dengan sedikit tekanan, dan bermacam-macam lagi. Karena itu nama Sambirata agak tidak disukai oleh beberapa orang. Namun belum dapat dibuktikan, bahwa ia pernah melakukan kejahatan.
Kali ini permintaan Sembada adalah terlalu langsung. Pembunuhan. Meskipun demikian, ketika Sembada menjanjikan timang emas itu kepada Sambirata apabila pekerjaan mereka berhasil, terpercik pula keinginannya untuk menerima barang berharga itu. Karena itu, maka kali ini, permintaan itu betapapun beratnya, namun diterimanya pula. Apalagi Kiai Sambirata itu merasa bahwa ia memiliki beberapa kemampuan yang dapat dibanggakannya. Melampaui Sembada itu sendiri. Tetapi sebenarnyalah bahwa Sambirata masih belum melampaui Prabasemi.
Namun otaknya yang tidak begitu cerdik menjadikannya tidak lebih dari seorang pesuruh yang garang. Tetapi mereka kini tidak bekerja seorang demi seorang. Mereka bersama-sama telah bergabung dalam satu kekuatan untuk melenyapkan anak muda yang bernama Karebet.
Sambirata pun kemudian membawa beberapa orang muridnya yang dipercaya, sehingga mereka menjadi berjumlah tujuh orang. Rombongan itu sebenarnya menjadi sebuah rombongan yang cukup besar. Namun mereka tidak berjalan bersama-sama. Mereka telah mengadakan persepakatan untuk berjalan sendiri-sendiri. Namun akhirnya mereka akan bertemu di tempat yang telah ditentukan, di sekitar Tingkir. Mereka akan mengawasi jalan dari Demak yang masuk ke pedukuhan itu.
Sementara itu Jaka Tingkir pun masih dalam keragu-raguan. Ia belum tahu pasti, ke mana ia akan pergi. Namun akhirnya sampailah ia kepada keputusan yang sama sekali tidak diketahuinya, bahwa bahaya telah menunggunya di setiap saat. Yang mula-mula akan dilakukan oleh Tingkir itu sebenarnyalah kembali ke Tingkir untuk sementara. Ia ingin tinggal di rumah ibu angkatnya untuk sesaat menenangkan pikirannya.
Baru dari sana ia akan menentukan apakah yang akan dilakukannya untuk seterusnya.
DENGAN penuh penyesalan, Jaka Tingkir yang juga bernama Mas Karebet itu berjalan menyusur hutan-hutan kecil, kembali ke kampung halamannya, Tingkir. Betapa pun penyesalan itu menghentak-hentak dadanya, namun semuanya itu telah berlalu. Keputusan Baginda telah dijatuhkan atasnya. Dan ia tidak akan dapat mengubahnya. Namun betapapun juga, masih tersimpan harapan di dalam hatinya, bahwa suatu ketika Baginda akan mengampuninya. Bukankah Baginda berkata bahwa ia dibuang dari Demak sampai keputusan itu dicabut? Bukankah dengan demikian, ia masih dapat mengharap Baginda mencabut keputusannya? Tetapi seandainya tidak pun, maka ia tidak akan bersakit hati kepada Baginda. Baginda telah cukup melimpahkan kasih sayangnya kepadanya.
Tetapi apabila dikenangnya Tumenggung Prabasemi, maka dadanya seakan-akan meledak karenanya. Kadang-kadang timbul juga penyesalannya, kenapa Tumenggung yang gila itu tidak dibunuhnya?
Bagaimanakah kelak, apabila maksud Tumenggung itu, karena kelicikannya dapat tercapai?
Terdengar Karebet menggeretakkan giginya. Ia tidak akan dapat melihat putri itu dipersandingkan dengan Tumenggung yang gila itu.
Karebet berjalan terus siang dan malam. Hanya kadang-kadang saja ia berhenti. Menikmati sejuknya udara di hutan-hutan yang rindang. Mendengarkan burung bernyanyi. Namun kalau didengarnya suara angin berdesir lembut, maka hatinya pun berdesir pula. Sekali-kali dikenangnya suara putri Baginda yang lembut di telinganya.
Namun betapa pedih hati anak muda itu. Pedih sebagaimana anak muda yang dipisahkan dari seorang gadis yang telah menambat hatinya, pedih sebagai seorang prajurit yang diusir dari keprajuritannya.
Karebet pun kemudian berjalan terus. Ia ingin cepat-cepat sampai ke Tingkir untuk mencium tangan ibu angkatnya. Akan diciumnya tangan itu sebagai pelepas pedih hatinya yang selama ini seakan-akan menjadi semakin parah.
Namun ketika Karebet itu sudah semakin dekat dengan Tingkir, terasa ada sesuatu yang menyentuh-nyentuh hatinya. Firasatnya sebagai seorang yang selalu berkeliaran di tempat-tempat yang berbahaya telah memperingatkannya untuk berhati-hati. Dan sebenarnyalah, sesaat kemudian terasa bahwa jalan di hadapannya yang melintas hutan yang tidak begitu lebat itu, tampak tidak sewajarnya.
Jalan itu terlalu sepi. Ia tidak melihat seekor burungpun yang terbang melintas, atau seekor bintang kecil lainnya yang berlari-lari menyeberangi jalan. Karena itu, Karebet menghentikan langkahnya. Kemudian terdengar ia bergumam,
Maka Karebet pun kemudian bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan. Harimau, ular atau apa saja. Tetapi untuk beberapa lama tak ada apapun yang dilihatnya. Meskipun demikian, kesepian itu masih meragukannya. Dengan demikian, maka Karebet tidak mau berjalan maju lebih jauh lagi.
Bahkan kemudian dengan tenangnya ia duduk bersandar pada sebuah pohon. Namun segenap panca indranya telah dipasangnya baik-baik. Setiap desir angin yang betapa pun lirihnya, pasti akan didengarnya, dan setiap gerak yang betapa pun lembutnya, pasti dilihatnya.
Tetapi alangkah terkejutnya anak muda itu. Ia mendengar suara berdesir di belakangnya. Didengarnya pula dengus nafas perlahan-lahan. Namun sama sekali bukan nafas harimau atau pun dengus ular.
Nafas itu adalah nafas seseorang.
Karena kesimpulannya itulah maka kemudian Karebet menjadi lebih berhati-hati. Manusia, apalagi lebih dari satu, baginya akan lebih berbahaya daripada harimau atau binatang-binatang lain. Dan apa yang diduganya itu segera terjadi. Ketika Karebet mendengar langkah seseorang meloncat di belakangnya, maka segera ia pun melenting tegak pada kedua kakinya yang kokoh kuat. Kini di hadapannya berdiri seseorang yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang. Dari sela-sela bajunya tampak rambut yang lebat tumbuh di dadanya.
Quote:
“Hem, alangkah mahalnya putri itu.”
Namun ia bersungut pula,
“Aku telah banyak kehilangan, belum tentu aku berhasil.”
Tetapi kata-kata itu dijawabnya sendiri,
“Tetapi aku harus berusaha. Yang pertama, melenyapkan Karebet, supaya Putri itu tidak selalu mengharapkannya kembali.”
Namun ia bersungut pula,
“Aku telah banyak kehilangan, belum tentu aku berhasil.”
Tetapi kata-kata itu dijawabnya sendiri,
“Tetapi aku harus berusaha. Yang pertama, melenyapkan Karebet, supaya Putri itu tidak selalu mengharapkannya kembali.”
Karena itu betapapun ia mengumpat-umpat di dalam hati, namun diambilnya juga satu ikat pinggang yang lain, bertimang emas pula, namun tidak tidak bertretes berlian.
Setelah menerima ikat pinggang itu beserta timangnya, maka Sembada pun minta diri untuk pergi ke Sambirata.
Quote:
“Kakang, “ kata Prabasemi kemudian,
“Ikat pinggang itu hanyalah Kakang pinjam untuk menyangkutkan pedang. Tetapi kalau pedang itu kemudian sama sekali tak berguna, maka ikat pinggang itupun tak akan berguna pula bagi Kakang, dan biarlah orang lain yang lebih memerlukan memakainya.”
“Ikat pinggang itu hanyalah Kakang pinjam untuk menyangkutkan pedang. Tetapi kalau pedang itu kemudian sama sekali tak berguna, maka ikat pinggang itupun tak akan berguna pula bagi Kakang, dan biarlah orang lain yang lebih memerlukan memakainya.”
Sembada mengerutkan keningnya. Ia kenal betul sifat-sifat adik seperguruannya. Ia dapat menjadi seorang pemurah yang tidak kepalang tanggung, namun ia dapat menjadi pelit sekeras batu akik. Karena itu ia tidak dapat menjawab, selain menganggukkan kepalanya. Ketika ia telah keluar dari pagar halaman, masih didengarkannya suara Tumenggung Prabasemi,
Quote:
“Ingat pesanku itu. Yang memakainya ada yang memerlukannya.”
“Setan,” gumam Sembada.
“Setan,” gumam Sembada.
Namun ia bertekad untuk memiliki timang berteretes berlian itu. Sudah beberapa tahun ia menginginkan benda serupa itu. Namun pekerjaannnya sebagai jagal tidak memberinya kemungkinan.
Sampai di rumahnya, diajaknya seorang pembantunya yang juga menjadi satu-satunya muridnya yang sangat disayanginya. Dengan perbekalan yang cukup, mereka meninggalkan rumah itu. Sebuah pedang pendek terselip di ikat pinggang masing-masing.
Quote:
“Kita pergi ke perguruan Sambirata,” kata Sembada.
Muridnya mencoba untuk menanyakan, apakah yang akan mereka lakukan. Tetapi Sembada tidak memberitahukannya.
Quote:
“Nanti akan kau dengar pula.”
Kiai Sambirata mendengar permintaan sahabatnya dengan ragu-ragu. Sebenarnya Kiai Sambirata memiliki beberapa kelebihan dari Sembada. Apalagi, sudah menjadi kebiasaan Sambirata untuk menerima beberapa permintaan orang-orang lain, mengantarkan mereka ke tempat-tempat yang dianggap berbahaya. Bahkan sekali-kali pernah juga dilakukannya untuk memaksakan beberapa kehendak seseorang atas orang lain. Melamar anak orang dengan sedikit tekanan, dan bermacam-macam lagi. Karena itu nama Sambirata agak tidak disukai oleh beberapa orang. Namun belum dapat dibuktikan, bahwa ia pernah melakukan kejahatan.
Kali ini permintaan Sembada adalah terlalu langsung. Pembunuhan. Meskipun demikian, ketika Sembada menjanjikan timang emas itu kepada Sambirata apabila pekerjaan mereka berhasil, terpercik pula keinginannya untuk menerima barang berharga itu. Karena itu, maka kali ini, permintaan itu betapapun beratnya, namun diterimanya pula. Apalagi Kiai Sambirata itu merasa bahwa ia memiliki beberapa kemampuan yang dapat dibanggakannya. Melampaui Sembada itu sendiri. Tetapi sebenarnyalah bahwa Sambirata masih belum melampaui Prabasemi.
Namun otaknya yang tidak begitu cerdik menjadikannya tidak lebih dari seorang pesuruh yang garang. Tetapi mereka kini tidak bekerja seorang demi seorang. Mereka bersama-sama telah bergabung dalam satu kekuatan untuk melenyapkan anak muda yang bernama Karebet.
Sambirata pun kemudian membawa beberapa orang muridnya yang dipercaya, sehingga mereka menjadi berjumlah tujuh orang. Rombongan itu sebenarnya menjadi sebuah rombongan yang cukup besar. Namun mereka tidak berjalan bersama-sama. Mereka telah mengadakan persepakatan untuk berjalan sendiri-sendiri. Namun akhirnya mereka akan bertemu di tempat yang telah ditentukan, di sekitar Tingkir. Mereka akan mengawasi jalan dari Demak yang masuk ke pedukuhan itu.
Sementara itu Jaka Tingkir pun masih dalam keragu-raguan. Ia belum tahu pasti, ke mana ia akan pergi. Namun akhirnya sampailah ia kepada keputusan yang sama sekali tidak diketahuinya, bahwa bahaya telah menunggunya di setiap saat. Yang mula-mula akan dilakukan oleh Tingkir itu sebenarnyalah kembali ke Tingkir untuk sementara. Ia ingin tinggal di rumah ibu angkatnya untuk sesaat menenangkan pikirannya.
Baru dari sana ia akan menentukan apakah yang akan dilakukannya untuk seterusnya.
DENGAN penuh penyesalan, Jaka Tingkir yang juga bernama Mas Karebet itu berjalan menyusur hutan-hutan kecil, kembali ke kampung halamannya, Tingkir. Betapa pun penyesalan itu menghentak-hentak dadanya, namun semuanya itu telah berlalu. Keputusan Baginda telah dijatuhkan atasnya. Dan ia tidak akan dapat mengubahnya. Namun betapapun juga, masih tersimpan harapan di dalam hatinya, bahwa suatu ketika Baginda akan mengampuninya. Bukankah Baginda berkata bahwa ia dibuang dari Demak sampai keputusan itu dicabut? Bukankah dengan demikian, ia masih dapat mengharap Baginda mencabut keputusannya? Tetapi seandainya tidak pun, maka ia tidak akan bersakit hati kepada Baginda. Baginda telah cukup melimpahkan kasih sayangnya kepadanya.
Tetapi apabila dikenangnya Tumenggung Prabasemi, maka dadanya seakan-akan meledak karenanya. Kadang-kadang timbul juga penyesalannya, kenapa Tumenggung yang gila itu tidak dibunuhnya?
Bagaimanakah kelak, apabila maksud Tumenggung itu, karena kelicikannya dapat tercapai?
Terdengar Karebet menggeretakkan giginya. Ia tidak akan dapat melihat putri itu dipersandingkan dengan Tumenggung yang gila itu.
Quote:
“Akan aku bunuh ia di persandingan,” geramnya.
Karebet berjalan terus siang dan malam. Hanya kadang-kadang saja ia berhenti. Menikmati sejuknya udara di hutan-hutan yang rindang. Mendengarkan burung bernyanyi. Namun kalau didengarnya suara angin berdesir lembut, maka hatinya pun berdesir pula. Sekali-kali dikenangnya suara putri Baginda yang lembut di telinganya.
Quote:
“Hem!” Karebet menarik nafas dalam-dalam.
“Kenapa aku sekarang berpenyakit gila? Bukankah penyakit ini telah hampir sembuh ketika aku berada di Karang Tumaritis?”
“Kenapa aku sekarang berpenyakit gila? Bukankah penyakit ini telah hampir sembuh ketika aku berada di Karang Tumaritis?”
Namun betapa pedih hati anak muda itu. Pedih sebagaimana anak muda yang dipisahkan dari seorang gadis yang telah menambat hatinya, pedih sebagai seorang prajurit yang diusir dari keprajuritannya.
Quote:
“Salahku, salahku sendiri,” gumamnya.
Karebet pun kemudian berjalan terus. Ia ingin cepat-cepat sampai ke Tingkir untuk mencium tangan ibu angkatnya. Akan diciumnya tangan itu sebagai pelepas pedih hatinya yang selama ini seakan-akan menjadi semakin parah.
Namun ketika Karebet itu sudah semakin dekat dengan Tingkir, terasa ada sesuatu yang menyentuh-nyentuh hatinya. Firasatnya sebagai seorang yang selalu berkeliaran di tempat-tempat yang berbahaya telah memperingatkannya untuk berhati-hati. Dan sebenarnyalah, sesaat kemudian terasa bahwa jalan di hadapannya yang melintas hutan yang tidak begitu lebat itu, tampak tidak sewajarnya.
Jalan itu terlalu sepi. Ia tidak melihat seekor burungpun yang terbang melintas, atau seekor bintang kecil lainnya yang berlari-lari menyeberangi jalan. Karena itu, Karebet menghentikan langkahnya. Kemudian terdengar ia bergumam,
Quote:
“Kalau kesepian itu disebabkan karena binatang buas, maka biasanya harimau atau ular besarlah sebabnya. Tetapi kalau ada sebab lain, maka tak tahulah.”
Maka Karebet pun kemudian bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan. Harimau, ular atau apa saja. Tetapi untuk beberapa lama tak ada apapun yang dilihatnya. Meskipun demikian, kesepian itu masih meragukannya. Dengan demikian, maka Karebet tidak mau berjalan maju lebih jauh lagi.
Bahkan kemudian dengan tenangnya ia duduk bersandar pada sebuah pohon. Namun segenap panca indranya telah dipasangnya baik-baik. Setiap desir angin yang betapa pun lirihnya, pasti akan didengarnya, dan setiap gerak yang betapa pun lembutnya, pasti dilihatnya.
Tetapi alangkah terkejutnya anak muda itu. Ia mendengar suara berdesir di belakangnya. Didengarnya pula dengus nafas perlahan-lahan. Namun sama sekali bukan nafas harimau atau pun dengus ular.
Nafas itu adalah nafas seseorang.
Quote:
“Aneh,” kata Karebet di dalam hatinya.
“Kalau sebab daripada kesenyapan itu adalah manusia. Bukankah jalan ini sering dilewati orang dari dan ke Tingkir? Dan bukankah manusia tidak akan menakut-nakuti binatang-binatang kecil itu?”
Namun akhirnya Karebet sampai pada kesimpulannya bahwa,
“Manusia pun mungkin pula. Mereka pasti berada di dalam semak-semak. Pasti lebih dari satu sehingga binatang-binatang menjadi ketakutan.”
“Kalau sebab daripada kesenyapan itu adalah manusia. Bukankah jalan ini sering dilewati orang dari dan ke Tingkir? Dan bukankah manusia tidak akan menakut-nakuti binatang-binatang kecil itu?”
Namun akhirnya Karebet sampai pada kesimpulannya bahwa,
“Manusia pun mungkin pula. Mereka pasti berada di dalam semak-semak. Pasti lebih dari satu sehingga binatang-binatang menjadi ketakutan.”
Karena kesimpulannya itulah maka kemudian Karebet menjadi lebih berhati-hati. Manusia, apalagi lebih dari satu, baginya akan lebih berbahaya daripada harimau atau binatang-binatang lain. Dan apa yang diduganya itu segera terjadi. Ketika Karebet mendengar langkah seseorang meloncat di belakangnya, maka segera ia pun melenting tegak pada kedua kakinya yang kokoh kuat. Kini di hadapannya berdiri seseorang yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang. Dari sela-sela bajunya tampak rambut yang lebat tumbuh di dadanya.
uken276 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas