- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#685
Jilid 20 [Part 441]
Spoiler for :
KAREBET menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar menjadi cemas. Kalau ditinggalkannya tubuh ini, maka mungkin sekali akan menjadi hidangan pesta bagi serigala-serigala lapar. Atau kalau seorang pencari kayu melihatnya, dan melihat timang itu, ada kemungkinan pula Tumenggung yang pingsan itu dibunuhnya, hanya karena timang dan permata-permatanya.
Karebet semakin lama semakin gelisah. Akhirnya ia tidak dapat menemukan suatu cara yang lain daripada membiarkannya sampai sadar. Tetapi dengan demikian, ia terpaksa menunggunya. Dengan dada yang berdebar-debar, Karebet kemudian berjalan hilir-mudik di samping tubuh Prabasemi. Setiap kali ia mendengar gemersik daun-daun kering, ia menjadi terkejut. Betapa marahnya ketika tiba-tiba dari balik rimbunnya dedaunan perdu, Karebet melihat seekor serigala mengintai tubuh yang terbaring itu. Dengan lidah yang terjulur panjang dan air liur yang menetes satu-satu.
Namun ia tidak peduli. Diraihnya sebuah batu dan dengan sekuat tenaga, tenaga Mas Karebet yang sedang marah dilemparinya serigala itu. Terdengar serigala itu melengking tinggi. Kemudian diam. Dari kepalanya mengalir darah yang merah segar. Sesaat kemudian terdengarlah beberapa ekor serigala yang lain, mengaum-aum dengan ributnya. Namun semakin lama semakin jauh.
Kini kembali Karebet merenungi wajah Prabasemi yang pucat itu. Anak muda itu hampir berteriak kegirangan ketika dilihatnya Prabasemi bergerak-gerak. Seperti anak-anak mendapat mainan, Karebet segera meloncat mendekatinya. Sambil mengguncang-guncangkan tubuh itu, dipanggilnya nama Tumenggung itu,
Tetapi Prabasemi belum mendengar suara itu. Namun sekali lagi tampak ia menggerakkan kepalanya.
Sebenarnya tubuh Tumenggung itu adalah tubuh yang luar biasa. Kekuatan yang tersimpan didalamnya telah menolongnya, menghindarinya dari kematian. Karena itu, ketika angin fajar mengusap wajahnya maka perlahan-lahan terasa darahnya seakan-akan mengalir kembali.
Namun ketika sekali lagi Karebet melihat Tumenggung itu bergerak, maka timbullah pikirannya untuk tidak menampakkan dirinya lagi. Kalau Tumenggung itu kemudian menjadi sadar, dan memaki-makinya, maka Karebet akan takut kalau ia justru sekali lagi menjadi lupa diri.
Maka ketika dilihatnya Tumenggung itu menggeliat, Karebet segera meloncat ke balik-balik gerumbul, tidak begitu jauh dari tempat Prabasemi itu berbaring. Tumenggung yang malang itu perlahan-lahan menggeliat. Kemudian terdengar ia mengeluh pendek.
Karebet yang bersembunyi di balik gerumbul mengawasinya dengan tegang. Apakah Tumenggung itu masih mampu untuk berjalan kembali ke Demak? Ketegangan wajah Karebet itu semakin lama menjadi semakin kendor. Prabasemi betapapun terasa seakan-akan segenap tulang belulangnya tidak bersambung lagi, namun ia berusaha menggerak-gerakkan tangannya. Kemudian kakinya.
Prabasemi kembali mengeluh pendek. Mulutnya yang lebar tampak menyeringai menahan sakit. Namun kini, kesadarannya telah berangsur-angsur pulih kembali. Kemudian dicobanya menggerakkan kepalanya, memandang tempat-tempat di sekitarnya. Dengan geramnya ia menggeram.
Tetapi kembali ia menyeringai. Punggungnya benar-benar serasa patah. Karena itu, dibiarkannya tubuhnya terbaring untuk beberapa lama. Di langit bintang-gemintang menjadi semakin lama semakin pudar. Dari timur telah membayang cahaya kemerah-merahan, dan sayup-sayup terdengar suara ayam hutan berkokok bersahut-sahutan. Prabasemi menarik nafas.
Dan kini dicobanya perlahan-lahan untuk menggerakkan seluruh tubuhnya. Dengan hati-hati ia memiringkan dirinya untuk kemudian bertelekan pada sebelah tangannya. Prabasemi berusaha untuk duduk.
Tetapi kembali dengan lemahnya ia terkulai di tanah.
Karebet yang melihat kesulitan itu, menjadi kasihan juga kepadanya. Namun ia sudah bertekad untuk tidak menemuinya lagi. Karena itu, betapapun keinginannya untuk menolongnya, keinginan itu ditahannya kuat-kuat. Akhirnya, betapapun Prabasemi mengalami kesulitan, akhirnya ia mampu untuk duduk dan tertelekan kedua tangannya. Sekali-sekali terdengar ia berdesis. Namun kemudian menggeram penuh kemarahan. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Bahkan kemudian ia berteriak
NAFAS Prabasemi menjadi terengah-engah. Dan kepalanya ditundukkannya. Tetapi tubuh Prabasemi itu benar-benar tubuh yang mempunyai daya tahan mengagumkan. Beberapa saat kemudian, maka telah dicobanya untuk menggerak-gerakkan kakinya. Sekali-kali dicobanya untuk berjongkok dan kemudian dengan tertatih-tatih dan berpegangan pada batang-batang pohon
Tumenggung itu mencoba untuk berdiri.
Sekali lagi Tumenggung itu memandang berkeliling. Ia benar-benar sedang mencari Mas Karebet. Namun anak itu tidak dilihatnya. Karena itu dengan geramnya ia berteriak,
Karebet mengumpat di dalam hatinya. ?Benar-benar orang ini keras hati. Setelah nyawanya singgah di ujung ubun-ubun, masih juga ia berteriak-teriak.?
“Gila!” Hampir-hampir Karebet menjawab kata-kata itu. Untunglah segera disadarinya, bahwa sebenarnya, ia tidak dapat melangkahi limpahan kemurahan hati Sultan Trenggana. Dengan penuh kemarahan, terdengar Tumenggung itu bergumam,
Sekali lagi Karebet mengumpat di dalam hati. Namun dibiarkannya Tumenggung itu berjalan terhuyung-huyung. Dengan tangan yang gemetar, ia berpegangan dari satu pohon ke pohon berikutnya.
Ketika ia menengadahkan wajahnya, dan dilihatnya seberkas cahaya terlempar di atas pepohonan, ia berdesis,
Dan karena itulah maka langkahnya terhenti. Tumenggung itu menjadi ragu-ragu. Apakah katanya nanti, kalau ia bertemu dengan seseorang di perjalanan pulang? Diamat-amati pakaiannya. Kemudian dengan tergesa-gesa dilihatnya timangnya.
Dengan hati-hati dicobanya untuk memperbaiki letak pakaiannya, dan sejenak kemudian, kembali ia terhuyung-huyung berjalan meninggalkan tempat yang terkutuk itu.
Sepeninggal Tumenggung Prabasemi, Karebet keluar dari persembunyiannya. Sekali ia menarik nafas panjang. Kemudian gumannya,
Kemudian ia menjenguk dari balik dedaunan. Prabasemi benar-benar telah berjalan dengan baik, walaupun sekali-kali masih harus berhenti, menekan punggungnya dengan kedua tangannya. Kini Karebet tinggal melihat kedalam dirinya. Setelah Prabasemi hilang di antara pepohonan, kembali ia menjadi bingung. Apakah yang akan dilakukannya, dan akan kemanakah ia? Beberapa saat Karebet diam termenung. Bahkan kemudian ia pun duduk di tanah yang seakan-akan baru saja dibajak oleh kaki-kakinya dan kaki Tumenggung Prabasemi.
Tiba-tiba Karebet pun tersenyum, gumamnya seorang diri,
Sebenarnya Tumenggung Prabasemi mendendam Karebet sampai tujuh turunan. Sepanjang jalan tak habis-habisnya ia mengumpat-umpat. Meskipun demikian, Tumenggung Prabasemi itu terpaksa mengakui, bahwa anak itu mempunyai beberapa kelebihan daripadanya. Ketika Tumenggung Prabasemi sampai di pinggir hutan, dan melihat sawah yang terbentang di hadapannya, ia menjadi ragu-ragu.
Dalam keadaannya itu, pasti semua orang yang bertemu di sepanjang jalan akan menertawakannya.
Meskipun ia tidak melihat wajahnya sendiri, tetapi ia dapat membayangkan, betapa noda-noda merah biru telah memenuhi wajahnya. Apalagi ketika ia melihat beberapa noda darah yang meleleh dari mulutnya, mengotori baju beludrunya.
Akhirnya Tumenggung Prabasemi terpaksa menunggu di tepi hutan itu sampai malam datang kembali. Ia tidak mau seorang pun yang melihatnya dalam keadaan itu. Apalagi bila seorang Wira Tamtama melihatnya. Maka ia tidak akan dapat menjawab, apabila mereka bertanya, apakah sebabnya.
Sekali lagi Prabasemi mengumpati Karebet. Terpaksa ia mencari setetes air untuk minum hari itu. Untunglah, bahwa di bawah sebatang pohon benda, diketemukannya mata air kecil yang segar. Namun kemudian dihabiskannya waktunya dengan mereka-reka, apakah yang dapat dilakukannya untuk membalas dendam.
Kemudian Prabasemi mengangguk angguk dan tersenyum sendiri dengan puasnya. Sembada adalah seorang yang dapat membantunya. Tetapi ketika disadarinya keadaannya kini, kembali Prabasemi mengumpat. Terpaksa ia menunggu sampai malam.
Karebet semakin lama semakin gelisah. Akhirnya ia tidak dapat menemukan suatu cara yang lain daripada membiarkannya sampai sadar. Tetapi dengan demikian, ia terpaksa menunggunya. Dengan dada yang berdebar-debar, Karebet kemudian berjalan hilir-mudik di samping tubuh Prabasemi. Setiap kali ia mendengar gemersik daun-daun kering, ia menjadi terkejut. Betapa marahnya ketika tiba-tiba dari balik rimbunnya dedaunan perdu, Karebet melihat seekor serigala mengintai tubuh yang terbaring itu. Dengan lidah yang terjulur panjang dan air liur yang menetes satu-satu.
Quote:
“Biasanya serigala liar berjalan beriring-iring,” desisnya.
Namun ia tidak peduli. Diraihnya sebuah batu dan dengan sekuat tenaga, tenaga Mas Karebet yang sedang marah dilemparinya serigala itu. Terdengar serigala itu melengking tinggi. Kemudian diam. Dari kepalanya mengalir darah yang merah segar. Sesaat kemudian terdengarlah beberapa ekor serigala yang lain, mengaum-aum dengan ributnya. Namun semakin lama semakin jauh.
Quote:
“Hem,” gumam Karebet,
“Benar juga mereka datang berbondong-bondong.”
“Benar juga mereka datang berbondong-bondong.”
Kini kembali Karebet merenungi wajah Prabasemi yang pucat itu. Anak muda itu hampir berteriak kegirangan ketika dilihatnya Prabasemi bergerak-gerak. Seperti anak-anak mendapat mainan, Karebet segera meloncat mendekatinya. Sambil mengguncang-guncangkan tubuh itu, dipanggilnya nama Tumenggung itu,
Quote:
“Kiai, Kiai Tumenggung.”
Tetapi Prabasemi belum mendengar suara itu. Namun sekali lagi tampak ia menggerakkan kepalanya.
Sebenarnya tubuh Tumenggung itu adalah tubuh yang luar biasa. Kekuatan yang tersimpan didalamnya telah menolongnya, menghindarinya dari kematian. Karena itu, ketika angin fajar mengusap wajahnya maka perlahan-lahan terasa darahnya seakan-akan mengalir kembali.
Namun ketika sekali lagi Karebet melihat Tumenggung itu bergerak, maka timbullah pikirannya untuk tidak menampakkan dirinya lagi. Kalau Tumenggung itu kemudian menjadi sadar, dan memaki-makinya, maka Karebet akan takut kalau ia justru sekali lagi menjadi lupa diri.
Maka ketika dilihatnya Tumenggung itu menggeliat, Karebet segera meloncat ke balik-balik gerumbul, tidak begitu jauh dari tempat Prabasemi itu berbaring. Tumenggung yang malang itu perlahan-lahan menggeliat. Kemudian terdengar ia mengeluh pendek.
Karebet yang bersembunyi di balik gerumbul mengawasinya dengan tegang. Apakah Tumenggung itu masih mampu untuk berjalan kembali ke Demak? Ketegangan wajah Karebet itu semakin lama menjadi semakin kendor. Prabasemi betapapun terasa seakan-akan segenap tulang belulangnya tidak bersambung lagi, namun ia berusaha menggerak-gerakkan tangannya. Kemudian kakinya.
Quote:
“Hem….”
Prabasemi kembali mengeluh pendek. Mulutnya yang lebar tampak menyeringai menahan sakit. Namun kini, kesadarannya telah berangsur-angsur pulih kembali. Kemudian dicobanya menggerakkan kepalanya, memandang tempat-tempat di sekitarnya. Dengan geramnya ia menggeram.
Quote:
“Di mana setan itu?”
Tetapi kembali ia menyeringai. Punggungnya benar-benar serasa patah. Karena itu, dibiarkannya tubuhnya terbaring untuk beberapa lama. Di langit bintang-gemintang menjadi semakin lama semakin pudar. Dari timur telah membayang cahaya kemerah-merahan, dan sayup-sayup terdengar suara ayam hutan berkokok bersahut-sahutan. Prabasemi menarik nafas.
Quote:
“Ternyata aku masih hidup,” desahnya.
Dan kini dicobanya perlahan-lahan untuk menggerakkan seluruh tubuhnya. Dengan hati-hati ia memiringkan dirinya untuk kemudian bertelekan pada sebelah tangannya. Prabasemi berusaha untuk duduk.
Tetapi kembali dengan lemahnya ia terkulai di tanah.
Quote:
“Gila!” geramnya.
Karebet yang melihat kesulitan itu, menjadi kasihan juga kepadanya. Namun ia sudah bertekad untuk tidak menemuinya lagi. Karena itu, betapapun keinginannya untuk menolongnya, keinginan itu ditahannya kuat-kuat. Akhirnya, betapapun Prabasemi mengalami kesulitan, akhirnya ia mampu untuk duduk dan tertelekan kedua tangannya. Sekali-sekali terdengar ia berdesis. Namun kemudian menggeram penuh kemarahan. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Bahkan kemudian ia berteriak
Quote:
“He, di mana kau?”
NAFAS Prabasemi menjadi terengah-engah. Dan kepalanya ditundukkannya. Tetapi tubuh Prabasemi itu benar-benar tubuh yang mempunyai daya tahan mengagumkan. Beberapa saat kemudian, maka telah dicobanya untuk menggerak-gerakkan kakinya. Sekali-kali dicobanya untuk berjongkok dan kemudian dengan tertatih-tatih dan berpegangan pada batang-batang pohon
Tumenggung itu mencoba untuk berdiri.
Quote:
“Luar biasa,” kata Karebet di dalam hatinya.
“Baru beberapa saat ia terkapar hampir mati. Namun kini ia telah mampu untuk berdiri.”
“Baru beberapa saat ia terkapar hampir mati. Namun kini ia telah mampu untuk berdiri.”
Sekali lagi Tumenggung itu memandang berkeliling. Ia benar-benar sedang mencari Mas Karebet. Namun anak itu tidak dilihatnya. Karena itu dengan geramnya ia berteriak,
Quote:
“He Karebet, anak setan. Jangan bersembunyi.”
Karebet mengumpat di dalam hatinya. ?Benar-benar orang ini keras hati. Setelah nyawanya singgah di ujung ubun-ubun, masih juga ia berteriak-teriak.?
Quote:
“He Karebet, pengecut,” katanya.
“Tidak sepantasnya Wira Tamtama melarikan diri.”
“Tidak sepantasnya Wira Tamtama melarikan diri.”
“Gila!” Hampir-hampir Karebet menjawab kata-kata itu. Untunglah segera disadarinya, bahwa sebenarnya, ia tidak dapat melangkahi limpahan kemurahan hati Sultan Trenggana. Dengan penuh kemarahan, terdengar Tumenggung itu bergumam,
Quote:
“Awas kau Karebet. Pada suatu ketika akan datang saatnya, aku mencarimu dan dengan tanganku aku bunuh kau seperti aku membunuh Bahu dari Tunggul.”
Sekali lagi Karebet mengumpat di dalam hati. Namun dibiarkannya Tumenggung itu berjalan terhuyung-huyung. Dengan tangan yang gemetar, ia berpegangan dari satu pohon ke pohon berikutnya.
Ketika ia menengadahkan wajahnya, dan dilihatnya seberkas cahaya terlempar di atas pepohonan, ia berdesis,
Quote:
“Hari telah pagi.”
Dan karena itulah maka langkahnya terhenti. Tumenggung itu menjadi ragu-ragu. Apakah katanya nanti, kalau ia bertemu dengan seseorang di perjalanan pulang? Diamat-amati pakaiannya. Kemudian dengan tergesa-gesa dilihatnya timangnya.
Quote:
“Hem. Masih lengkap,” gumannya.
Dengan hati-hati dicobanya untuk memperbaiki letak pakaiannya, dan sejenak kemudian, kembali ia terhuyung-huyung berjalan meninggalkan tempat yang terkutuk itu.
Sepeninggal Tumenggung Prabasemi, Karebet keluar dari persembunyiannya. Sekali ia menarik nafas panjang. Kemudian gumannya,
Quote:
“Luar biasa. Luar biasa. Ia masih mampu berjalan.”
Kemudian ia menjenguk dari balik dedaunan. Prabasemi benar-benar telah berjalan dengan baik, walaupun sekali-kali masih harus berhenti, menekan punggungnya dengan kedua tangannya. Kini Karebet tinggal melihat kedalam dirinya. Setelah Prabasemi hilang di antara pepohonan, kembali ia menjadi bingung. Apakah yang akan dilakukannya, dan akan kemanakah ia? Beberapa saat Karebet diam termenung. Bahkan kemudian ia pun duduk di tanah yang seakan-akan baru saja dibajak oleh kaki-kakinya dan kaki Tumenggung Prabasemi.
Tiba-tiba Karebet pun tersenyum, gumamnya seorang diri,
Quote:
“Kasihan Tumenggung itu. Untunglah aku menyadari keadaannku, sebelum aku membunuhnya.”
Sebenarnya Tumenggung Prabasemi mendendam Karebet sampai tujuh turunan. Sepanjang jalan tak habis-habisnya ia mengumpat-umpat. Meskipun demikian, Tumenggung Prabasemi itu terpaksa mengakui, bahwa anak itu mempunyai beberapa kelebihan daripadanya. Ketika Tumenggung Prabasemi sampai di pinggir hutan, dan melihat sawah yang terbentang di hadapannya, ia menjadi ragu-ragu.
Dalam keadaannya itu, pasti semua orang yang bertemu di sepanjang jalan akan menertawakannya.
Meskipun ia tidak melihat wajahnya sendiri, tetapi ia dapat membayangkan, betapa noda-noda merah biru telah memenuhi wajahnya. Apalagi ketika ia melihat beberapa noda darah yang meleleh dari mulutnya, mengotori baju beludrunya.
Quote:
“Setan. Anak setan,” umpatnya tak habis-habisnya .
Akhirnya Tumenggung Prabasemi terpaksa menunggu di tepi hutan itu sampai malam datang kembali. Ia tidak mau seorang pun yang melihatnya dalam keadaan itu. Apalagi bila seorang Wira Tamtama melihatnya. Maka ia tidak akan dapat menjawab, apabila mereka bertanya, apakah sebabnya.
Sekali lagi Prabasemi mengumpati Karebet. Terpaksa ia mencari setetes air untuk minum hari itu. Untunglah, bahwa di bawah sebatang pohon benda, diketemukannya mata air kecil yang segar. Namun kemudian dihabiskannya waktunya dengan mereka-reka, apakah yang dapat dilakukannya untuk membalas dendam.
Quote:
“Hem,” katanya kemudian,
“Aku tidak akan dapat melakukannya sendiri. Aku tidak takut. Aku tidak takut!” teriaknya, seakan-akan seseorang telah menuduhnya.
“Tetapi Sultan akan mengetahuinya, dan menghukumku.”
Tiba tiba Prabasemi tersenyum,
“bodohnya aku, bukankah aku bisa minta bantuan kakang Sembada?”
“Aku tidak akan dapat melakukannya sendiri. Aku tidak takut. Aku tidak takut!” teriaknya, seakan-akan seseorang telah menuduhnya.
“Tetapi Sultan akan mengetahuinya, dan menghukumku.”
Tiba tiba Prabasemi tersenyum,
“bodohnya aku, bukankah aku bisa minta bantuan kakang Sembada?”
Kemudian Prabasemi mengangguk angguk dan tersenyum sendiri dengan puasnya. Sembada adalah seorang yang dapat membantunya. Tetapi ketika disadarinya keadaannya kini, kembali Prabasemi mengumpat. Terpaksa ia menunggu sampai malam.
Quote:
“Kakang Sembada harus berangkat malam nanti,” desisnya.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas