Kaskus

Story

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:



Quote:



Quote:


Quote:


PROLOG

i.


Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.



Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis. 



ii.

 

Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.



Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.



Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.



Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu. 



Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.



“Toilet,” balasku singkat.



“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.



“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”



“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya



“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“Untuk melamar kerja?”



“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudmu dengan kita?”



“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”



“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”



“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.



“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.



“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



“Sialan kau mengerjaiku.”



“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.



Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
pintokowindardiAvatar border
pulaukapokAvatar border
aripinastiko612Avatar border
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#53
BAB XVI part 1 - Getaran


i.


Tidak banyak berpikir tentang sesuatu adalah hal yang tetap ku usahakan sampai i sekarang, dan aku masih terus berusaha melakukan hal tersebut, tapi dunia ini tidak ada habisnya membuatku terus berpikir mengapa dan kenapa semua ini terjadi. Begitu lah keadaanku saat ini, tepatnya kami.


Setelah perbincangan yang seperti sebuah gelombang radio yang jatuh lalu naik. Kali ini kami berada di dalam rumah, dengan tamu kami satu lagi yang tiba tiba datang dan duduk santai seperti seakan lupa kalau dialah yang telah menghilangkan benang panas yang ditarik pak raden tadi.

Tangan yang berlindung kan plat besi serta sarung tangan baja yang menutupi kepalannya, serta baju hitam biasanya yang kali ini dibalut rompi seperti kami. Semangat membara bisa terlihat dari wajahnya dan matanya yang menyala. Entah aku kira dia sudah sangat siap, namun tidak kah lebih baik jika ia tidak mengenakan pakaian itu di saat seperti ini.

Setelah Nadya yang menjadi narasumber yang tepat telah tiba dan menceritakan semua detilnya dengan jelas kepada Rina yang hampir mengamuk pada kami, ia kemudian menjadi semakin panik dibuat cerita tersebut dan memegang tangan ayahnya dengan cengkraman yang menekan kulit kerut ayahnya itu.


“Apa gak ada cara lain, kenapa gak panggil polisi,” kejar Rani.

“Awalnya kami berpikir begitu, tapi saat di rumah pertama kami, sepertinya tentara bayaran juga tidak sanggup melawan mahluk ini,” ucapku tertunduk.

“Kalau mereka saja tidak bisa, apalagi kalian,” tegas Rani.

“Jujur saja kami juga ragu-”

Ardi memberhentikan, memegang lenganku sejenak dan mengambilnya kembali lalu suara benturan muncul saat ia mengangkat tas milik kami ke atas meja kayu tebal ini, sedikit mengagetkanku, namun apa gunanya ia menunjukan tas yang isinya berbahaya seperti itu pada mereka. Yang kulihat hanyalah wajah Rani yang terus meremas tangan ayahnya dan alis yang tertunduk, perasaan gelisah yang tidak tertahankan dan bingung bercampur aduk pada dirinya sekarang.

“Aku tidak begitu tahu akan lawan kami yang masih misterius, tidak ada banyak harapan yang bisa kita dapatkan, namun tidak banyak bukan berarti tidak ada. Kami telah menemukan titik kelemahan pembunuh ini dan dengan seluruh kemampuan yang ada, kami siap melindungi bukan Rani saja, tapi pak Raden juga,” ucap Ardi lantang dengan yakin, berusaha memasukan keyakinan itu kedalam mereka berdua.

Aku yang mendengar kata kata semangat itu tidak tinggal diam setelahnya dan mata membaraku menyerbu mereka berdua. “Ya, kami sudah mendapatkan kelemahan si topeng, maksudku pembunuh ini, masih ada harapan untuk kita melawannya,” sambut aku dengan semangat yang Ardi bawa.

Namun tentu saja Nadya yang dengan bingungnya memperhatikan kami dengan tatapan aneh, merasa asing dengan pernyataan kami yang tentu saja masih belum terbukti jelas. Tapi aku yakin jika Ardi dalam masalah bertarung tidak perlu dipertanyakan lagi, ia pasti sudah menganalisa lawannya saat itu juga dan mendapatkan sepercik info adalah senjata yang sangat tepat melawan musuh kami.

Benar saja, suntikan yang diberikan Ardi bisa terasa oleh mereka berdua, perasaan suram dari ayah dan anak itu bisa terasa hilang dari ruangan ini, kuharap rasa suram itu bisa keluar dari diriku yang dengan lantang mengucapkan hal itu dengan keraguan yang menempel di lidahku saat ini. Tapi senyuman mereka berdua membayar dan menghapus hal itu saat Rani menatap ayahnya dengan mata berkaca kaca.

Aku kembali tenang, seakan lupa dengan segala yang kukatakan barusan dan mataku langsung melirik ke arah Ardi dan Nadya yang duduk disampingnya. Dengan sedikit seringai di bibirku, aku berusaha mayakinkan diri sendiri kalau Ardi benar benar mengetahui apa yang ia katakan barusan adalah sama saja menambah beban yang akan ia pikul nantinya, namun tentu saja dia bukan orang yang akan berpikir banyak tentang hal itu dan sebisa mungkin ia berkata jujur kalau ia bisa.

“Saya hargai usaha kalian, tapi tetap saja, umur tidak ada yang tahu dan kemungkinan masih tetap ada. Jadi, tolong prioritaskan putri saya dulu, itu satu satunya harta berharga yang kami miliki sekarang,” pinta pak Raden dengan lembut menatap Rani yang memeluk tangan ayahnya itu.

“Jangan putus asa dong Pak, aku yakin mereka bisa mengatasinya,” lempar Nadya melupakan tujuan ia kemari yang ingin membantu kami.

“Kenapa Nadya bisa yakin?” tanya pak Raden.

“Ya … karena kalau dipikir pikir, kalau mereka bukan orang kuat, kan sudah pasti sekarang tidak berada disini,” jelas Nadya. Kemudian ia tertunduk. “Kak Dito percaya sama mereka.”

Ekspresi mereka tidak berubah saat penjelasan masuk akal yang diberikan, namun hal itu berubah saat nama Dito terucap, aku yakin pak Raden tahu betul dengan mempercayai Dito, sama seperti mempercayai hartanya sendiri pada orang yang tepat.

“Baiklah, kuharap aku bisa percaya pada kalian berdua, sama Nadya juga,” ujarnya berdiri memandangi kami. Tidak ada senyum lagi yang keluar, namun aku bisa merasakan semangat yang ada dalam dirinya bangkit, entah apa itu yang merasukinya namun itu adalah suatu hal yang bagus.

Ardi berdiri, alisnya menukin serius, tanpa senyum dan wajah datar yang ada di dirinya. “Kalau begitu kita sudah siap kapanpun. nadya, kau aka mengawasi rani sepenuhnya, aku dan-”

“Tunggu,” potong pak Raden dengan tangan terbuka. “Kau yang akan menjaga Rani,” tunjuk pak Raden ke Ardi.

Ia kemudian termenung sejenak. “Baiklah kalau begitu, akan kujaga sampai semua ini selesai,” jawab Ardi menuruti permintaan pak Raden.

Aku dan Nadya saling bertatapan, mata kami menyipit mengetahui kalau kami tidak ada apa apanya tanpa bantuan Ardi. Terlebih lagi aku tidak pernah tahu cara Nadya bertarung berpasangan. Ia kemudian mengeluarkan jempolnya lagi ke arahku dengan seringai kecilnya, bermaksud mengandalkanku kali ini. Tentu saja kepalaku hanya bisa menggeleng mengetahui hal buruk akan terjadi.


ii.


Malam telah datang, kali ini lebih cepat dari perkiraan kami, terasa waktu semakin memburu demi melihat bagaimana kami akan megatasi ini. Persiapan kami telah terpasang semua di tubuh, menutupi segala serangan yang masuk, tentu saja tidak semuanya bisa dicegahnya. Jaring jaring benang yang terasa menutupi kulit dengan erat, sangat kuat menahan serangan namun tidak dengan hawa dingin yang datang. Pintu tertutup dengan rapat, jendela terkunci dengan teralis, namun hawa dingin itu tetap bisa masuk datang dan menyerang kami dari manapun.

“Apa kau merasa dingin?” tanya Nadya dengan mengangkat kepalan tinju besi di tangannya.

“Ya … itu tandanya dia akan datang,” cetusku.

Sontak Nadya kaget mendengar jawabanku. “Benarkah? apa bukan karena AC pak Raden?”

“Bukan Nadya, kau lupa? tidak ada AC di rumah ini,” jawab pak Raden dari belakang, duduk di kursinya yang bersandar di tembok berjarak sekitar tiga meter dari kami. Disampingnya ada pintu untuk melarikan diri ke kamar tengah, setidaknya disana lebih aman karena tidak ada jendela, dan pintu ini satu satunya jalan yang lawan kami harus lewati.

Aku menarik tanganku ke telingaku dan menyalakan earphone, berusaha menghubungi Ardi yang bersama Rani di dekat kamar tidurnya, satu lorong dari sini. “Tes, apa disana aman?” tanyaku cepat.

“Ya, semua baik baik saja, tapi angin itu sudah datang, waspada!”

Aku mengiyakannya dan menutup kembali komunikasi kami.

“Gimana disana?” tanya Nadya.

“Baik baik saja, tapi sebentar lagi ia datang katanya,” jawabku mengingat pesan Ardi tadi. Kemudian aku teringat sesuatu. “Tadi apa yang kau kasih ke Ardi?”

“Yang ma- Oh… itu pin kamera, untuk merekam pertarungan ini.”

“Kenapa aku tidak dapat?” tanyaku heran.

“Katanya kak Jaya gak butuh itu,” jawab Nadya mengisyaratkan perintah Dito.

Perasaan itu seketika datang kembali, hawa dingin yang kuat berhembus dari pintu, aku bisa merasakannya, melihat hembusan udara dan cahaya itu lewat dari sela sela bawah pintu putih besar itu. Bukan hanya aku saja, Nadya pun dengan pakaian dengan kemeja lengan pendeknya pasti merasakan udara dingin ini.

“Kenapa semakin dingin ya? apa mau hujan?” tanya Nadya yang keheranan, lengannya mulai gemetaran, seluruh tenaga di tangannya disedot habis oleh hembusan angin.

Tidak lama kemudian suara dari luar mengiyakan ucapannya barusan, suara gemuruh dari luar datang melewati rumah ini, membuat seluruh ruangan sepi ini menggema dan sedikit bergetar. Namun aku salah duga, getaran itu datang dari telingaku, Ardi menelponku.

“Ada apa?”

“Kau merasakannya, jangan terkecoh dengan guntur, dia sudah tiba,” pukas Ardi mengakhiri sambungan kami.

Kemudian aku kembali fokus, mataku terbuka lebar terasa menjadi masuk ke dalam, golok di genggamanku yang erat menjadi sedikit longgar. Mataku menoleh ke arah sekeliling, ke setiap koridor secara perlahan dan seksama, memandangi setiap lukisan besar hingga yang kecil yang terpajang di tembok hijau muda itu. hingga akhirnya mataku sampai, kembali ke pintu besar itu, memandangi sela sela itu lagi, sekali lagi dengan seksama.

Ada yang hilang, sesuatu yang awalnya ada disitu, tapi sekarang lenyap dan aku lupa apa itu yang lenyap dari bagian depan itu. Sampai cahaya kilat datang kembali dan menggetarkan bumi. Cahaya itu, ia datang lagi, tidak, bukan, Mataku melebar memelototi sela sela itu, yang hilang adalah cahaya lampu depan. Kemudian kilat datang kembali, kali ini bukan cahaya hanya cahaya yang datang dari situ, namun sebuah bayangan yang tidak besar yang kemudian lenyap dalam kegelapan, kilatan kembali lagi dan kali ini aku bisa dengan jelas melihat ada empat bayangan disana.

Sigap aku mengangkat senjataku, menaikannya lagi dan kali ini aku sudah siap. Nadya yang memperhatikan kemudian juga ikut masuk ke dalam mode siap tempurnya dengan kuda kuda yang erat dari sepatu bootsnya yang tebal, berusaha mengungguli tinggi lawan kami.

Kemudian aku kembali melihat kilatan itu lagi, kali ini semua bayangan itu lenyap. Mataku melotot, cepat menoleh ke segala arah yang mungkin ia datang, jendela di samping kanan, dan lorong di kiri kami menuju ke arah Ardi, jendela di atas rumah, hingga kursi belakang untuk memastikan pak Raden yang tetap masih duduk disana, dengan herannya kebingungan melihat kami.

Kemudian angin datang, tapi kali ini bukan dari sela sela pintu itu, tapi dari arah kiri kami, lorong dari arahnya Ardi. Sosok hitam datang, berjalan dengan perlahan keluar dari bayang bayang itu, hentakannya hampir tidak terdengar sama sekali. Ia terhenti, saat sepetunya tersiram cahaya yang meninggalkan siluet tubuhnya di dalam kegelapan. Dia terhenti, dan kali ini yang aneh buakan karena ia berhenti disana, tapi karena tidak ada cahaya merah disitu.

Sontak aku berpikir kalau mungkin itu adalah Ardi, tapi tidak mungkin ia meninggalkan postnya, sudah pasti itu adalah dia. Seringaiku mencuat, alisku menukik memberikan ucapan selamat padanya, kali ini kita akan menang, itu adalah hal yang langsung terpikir saat ini juga.

“Hei Nad-”

Panggilanku terhenti saat sebuah ketukan terasa dari punggungku. Kemudian aku berusaha sekuat mungkin, menarik mataku ke arah Nadya tanpa kehilangan lawan di depanku. Yang kulihat kali ini adalah telunjuknya bergemericik, bergetar hebat mengarah pada jendela. Dia, Makhluk itu ada di situ padahal. sontak kepalaku kembali menoleh ke lorong tadi, dan siluet itu masih disana, mematung dan tidak bergerak sejengkalpun dari posisinya tadi.

Kemudian panggilan datang, dengan sekuat tenaga aku mengangkat telepon yang mungkin terakhir bagiku. “Dia ada di tempatku.”

“Berapa?”

“Satu.”

“Disini, dua,” jawabku singkat langsung menutup telepon kami.

Mataku terpejam, dalam dalam menyadarkan diri, namun aku tidak kuat lagi melawannya, kembali datang ke pikiranku dan merusak perasaan yang telah kubuat awal tadi, rasa akan kematian itu datang lagi.

“Nadya, jujur saja, kita tamat.”
banditos69
ariefdias
aripinastiko612
aripinastiko612 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.