- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#676
Jilid 19 [Part 437]
Spoiler for :
SEBENARNYA Karebet sama sekali tidak sayang pada beberapa lembar pakaiannya. Tetapi yang memaksanya untuk pulang lebih dahulu adalah sebilah pusaka yang dahsyat, Kyai Sangkelat.
Demikianlah setelah Karebet itu menyembunyikan Kyai Sangkelat di bawah bajunya, maka ia pun segera keluar dari biliknya, dengan sebuah bungkusan kecil berisi beberapa lembar pakaian.
Tetapi Prabasemi itu tidak percaya. Diperlukannya menengok bilik Karebet. Dan dilihatnya pakaian itu tersangkut di sana.
Namun ketika mereka meninggalkan pondok itu, Karebet berkata,
Karebet tidak berkata apa-apa lagi. Dan mereka pun kemudian berjalan menelusuri jalan-jalan kota ke selatan.
Tetapi karena sikap Prabasemi itu, maka Karebet justru menjadi curiga. Sikap itu terlalu ramah. Jauh berbeda dengan sikapnya, pada saat mereka masih berada di Kasatrian. Meskipun demikian Karebet masih tetap berdiam diri. Ia masih saja berjalan dengan kepala tunduk.
Malam semakin lama semakin dalam menjelang fajar. Embun telah mulai menetes dari dedaunan, menitik di rerumputan yang tumbuh liar di tepi jalan. Angin malam yang sejuk lembut bertiup perlahan-lahan mengusap wajah-wajah mereka dengan sejuknya. Namun hati Karebet tidak sesejuk angin malam.
Prabasemi dan Karebet masih saja berjalan dengan langkah yang semakin lama semakin cepat. Seakan-akan mereka takut kesiangan. Dan sebenarnya bahwa malam memang hampir sampai ke akhirnya. Bintang-bintang telah jauh berkisar ke arah barat. Namun di timur belum muncul bintang fajar yang cemerlang.
“Hem,” desis Prabasemi kemudian,
“Hampir fajar.”
Karebet tidak menjawab. Tetapi diangkatnya wajahnya dan dipandangnya langit yang kelam.
“Masih cukup lama,” katanya di dalam hati.
Perjalanan mereka yang cepat itu tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk mencapai perbatasan. Segera mereka sampai ke tepi kota. Di hadapan mereka terbentang daerah-daerah persawahan yang tidak begitu luas. Dan di sebelah Barat, tampaklah seleret hutan yang memanjang ke selatan. Meskipun hutan itu tidak terlalu besar, namun di dalamnya bersembunyi juga beberapa jenis binatang liar. Serigala, anjing hutan dan beberapa jenis harimau kecil.
Prabasemi melihat hutan itu pula. Kemudian sekali lagi ia tersenyum. Kemudian katanya kepada Karebet,
Sekali lagi terasa sesuatu berdesir di dalam dada Karebet. Namun ia tidak menjawab. Dibiarkannya Tumenggung Prabasemi itu berjalan di sampingnya.
Sesaat kemudian mereka berdua saling berdiam diri. Prabasemi tenggelam dalam angan-angannya, sedang Karebet mencoba menebak, apakah sebabnya maka Tumenggung Prabasemi membuang-buang waktu untuk mengantarkannya sehingga sampai ke hutan itu.
Namun tiba-tiba Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam dan berkata,
Karebet mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu mereka masih berjalan terus menunju batang-batang padi muda yang tampaknya hijau segar, sesegar udara pagi yang tertiup angin basah dari pegunungan.
KINI Karebet berpaling. Ketika terpandang wajah Tumenggung itu, tiba-tiba bangkitlah kembali muaknya. Tetapi ia masih berdiam diri.
Kini Karebet mengangkat wajahnya. Ia terkejut mendengar kata-kata itu. Namun dicobanya untuk menyembunyikan perasaan itu.
Tumenggung Prabasemi yang menunggu jawaban Karebet itu menjadi heran. Kenapa Karebet diam saja mendengar pengakuannya itu. Karena itu maka diteruskannya,
Dada Karebet pun menjadi berdebar-debar karenanya. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk berdiam diri. Dibiarkannya Tumenggung itu berkata terus.
Debar dijantung Karebet itu menjadi semakin cepat. Tetapi ia berusaha untuk menguasainya sekuat-kuat tenaganya. Dibiarkannya Tumenggung itu mengatakan apa saja yang tersimpan didalam dadanya. Dan Tumenggung itu berkata terus
Karebet menggigit bibirnya. Ia menunggu Tumenggung itu mengatakan apakah yang telah dilakukannya selama ini. Tetapi Tumenggung itu hanya berkata,
Tumenggung itu berhenti berbicara. Dengan tersenyum-senyum ia menengadahkan wajahnya. Sedang Karebet menjadi semakin muak kepadanya.
Sementara itu kaki-kaki mereka terayun terus menuju ke hutan yang semakin lama semakin dekat. Malam masih sedemikian gelapnya dan bintang-bintang masih berhamburan di langit yang pekat. Sekali-kali kelelawar tampak beterbangan merajai langit di malam hari.
Semakin dekat mereka dengan hutan itu, semakin tegang wajah Tumenggung yang masih muda itu. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir dan darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat berdenyut. Sehingga demikian mereka sampai di tepi hutan itu berkatalah Tumenggung Prabasemi,
Karebet semakin tidak tahu maksud orang itu. Dan yang kemudian didengarnya adalah benar-benar menggelegar ditelinganya seakan-akan memecahkan selaput telinga itu. Berkata Tumenggung Prabasemi.
Terasa jantung Karebet berdentang keras-keras. Kata-kata itu hampir tak dipercayanya. Namun Tumenggung itu berkata terus.
Jantung Karebet tiba-tiba terguncang keras sekali. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa itulah yang dikehendaki oleh Tumenggung Prabasemi itu. Karena itu maka tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar.
Dan masih didengarnya Tumenggung itu berkata,
Demikianlah setelah Karebet itu menyembunyikan Kyai Sangkelat di bawah bajunya, maka ia pun segera keluar dari biliknya, dengan sebuah bungkusan kecil berisi beberapa lembar pakaian.
Quote:
“Kau bukan Wira Tamtama lagi. Jangan kau bawa pakaian keprajuritan.”
“Tidak, Kiai,” jawab Karebet.
“Pakaianku aku tinggal di sangkutan pada dinding bilikku.”
“Tidak, Kiai,” jawab Karebet.
“Pakaianku aku tinggal di sangkutan pada dinding bilikku.”
Tetapi Prabasemi itu tidak percaya. Diperlukannya menengok bilik Karebet. Dan dilihatnya pakaian itu tersangkut di sana.
Namun ketika mereka meninggalkan pondok itu, Karebet berkata,
Quote:
“Aku telah diusir dari Demak. Karena itu aku tidak sempat menyelesaikan persoalan pondokku dengan pemiliknya. Karena itu aku serahkan semua itu kepada Kiai.”
Prabasemi tersenyum.
“Itu bukan persoalan sulit. Biarlah itu aku selesaikan.”
Prabasemi tersenyum.
“Itu bukan persoalan sulit. Biarlah itu aku selesaikan.”
Karebet tidak berkata apa-apa lagi. Dan mereka pun kemudian berjalan menelusuri jalan-jalan kota ke selatan.
Quote:
“Aku akan menuju ke arah selatan,” kata Karebet kemudian.
“Baik. Baik. Kemana kau inginkan, biarlah aku menuruti,” jawab Prabasemi sambil tertawa.
“Baik. Baik. Kemana kau inginkan, biarlah aku menuruti,” jawab Prabasemi sambil tertawa.
Tetapi karena sikap Prabasemi itu, maka Karebet justru menjadi curiga. Sikap itu terlalu ramah. Jauh berbeda dengan sikapnya, pada saat mereka masih berada di Kasatrian. Meskipun demikian Karebet masih tetap berdiam diri. Ia masih saja berjalan dengan kepala tunduk.
Malam semakin lama semakin dalam menjelang fajar. Embun telah mulai menetes dari dedaunan, menitik di rerumputan yang tumbuh liar di tepi jalan. Angin malam yang sejuk lembut bertiup perlahan-lahan mengusap wajah-wajah mereka dengan sejuknya. Namun hati Karebet tidak sesejuk angin malam.
Prabasemi dan Karebet masih saja berjalan dengan langkah yang semakin lama semakin cepat. Seakan-akan mereka takut kesiangan. Dan sebenarnya bahwa malam memang hampir sampai ke akhirnya. Bintang-bintang telah jauh berkisar ke arah barat. Namun di timur belum muncul bintang fajar yang cemerlang.
“Hem,” desis Prabasemi kemudian,
“Hampir fajar.”
Karebet tidak menjawab. Tetapi diangkatnya wajahnya dan dipandangnya langit yang kelam.
“Masih cukup lama,” katanya di dalam hati.
Perjalanan mereka yang cepat itu tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk mencapai perbatasan. Segera mereka sampai ke tepi kota. Di hadapan mereka terbentang daerah-daerah persawahan yang tidak begitu luas. Dan di sebelah Barat, tampaklah seleret hutan yang memanjang ke selatan. Meskipun hutan itu tidak terlalu besar, namun di dalamnya bersembunyi juga beberapa jenis binatang liar. Serigala, anjing hutan dan beberapa jenis harimau kecil.
Prabasemi melihat hutan itu pula. Kemudian sekali lagi ia tersenyum. Kemudian katanya kepada Karebet,
Quote:
“Marilah aku antar kau sampai ke hutan itu.”
Mendengar kata-kata Prabasemi itu, Karebet benar-benar menjadi terkejut, sehingga dengan serta merta ia berkata,
“Kenapa sampai ke hutan itu?”
“Sampai ke hutan itu, atau melampauinya,” jawab Prabasemi, “Supaya kau selamat dari terkaman binatang-binatang buas.”
“Ah,” desah Karebet.
“Tak ada binatang buas yang berbahaya di hutan itu.”
“Biarlah aku mengantarmu untuk yang terakhir kali” sahut Prabasemi sambil tertawa.
Mendengar kata-kata Prabasemi itu, Karebet benar-benar menjadi terkejut, sehingga dengan serta merta ia berkata,
“Kenapa sampai ke hutan itu?”
“Sampai ke hutan itu, atau melampauinya,” jawab Prabasemi, “Supaya kau selamat dari terkaman binatang-binatang buas.”
“Ah,” desah Karebet.
“Tak ada binatang buas yang berbahaya di hutan itu.”
“Biarlah aku mengantarmu untuk yang terakhir kali” sahut Prabasemi sambil tertawa.
Sekali lagi terasa sesuatu berdesir di dalam dada Karebet. Namun ia tidak menjawab. Dibiarkannya Tumenggung Prabasemi itu berjalan di sampingnya.
Sesaat kemudian mereka berdua saling berdiam diri. Prabasemi tenggelam dalam angan-angannya, sedang Karebet mencoba menebak, apakah sebabnya maka Tumenggung Prabasemi membuang-buang waktu untuk mengantarkannya sehingga sampai ke hutan itu.
Namun tiba-tiba Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam dan berkata,
Quote:
“Hem. Karebet. Sekarang akhirnya tahu, kenapa kau pernah menunjukkan layon kembang kepadaku dahulu.”
Karebet mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu mereka masih berjalan terus menunju batang-batang padi muda yang tampaknya hijau segar, sesegar udara pagi yang tertiup angin basah dari pegunungan.
Quote:
“Beberapa hari aku mencoba memecahkan teka-teki itu, Karebet,” kata Prabasemi.
Karebet masih berdiam diri.
“Ternyata kaulah yang telah berhasil lebih dahulu daripadaku.”
Karebet masih berdiam diri.
“Ternyata kaulah yang telah berhasil lebih dahulu daripadaku.”
KINI Karebet berpaling. Ketika terpandang wajah Tumenggung itu, tiba-tiba bangkitlah kembali muaknya. Tetapi ia masih berdiam diri.
Quote:
“Sebenarnya aku akan mengucapkan selamat kepadamu seandainya kau berhasil mempersunting bunga dari istana itu.”
“Sudahlah Kiai,” sahut Karebet dengan nada yang rendah.
Tumenggung Prabasemi tertawa. Jawabnya,
“Pahit, memang pahit. Bukankah begitu? Seperti hatiku menjadi pahit juga ketika aku melihat layon kembang ditanganmu? Tetapi ketahuilah Karebet, bahwa sebenarnya tidak baru sekarang aku tahu apa yang telah terjadi di Kaputren.”
“Sudahlah Kiai,” sahut Karebet dengan nada yang rendah.
Tumenggung Prabasemi tertawa. Jawabnya,
“Pahit, memang pahit. Bukankah begitu? Seperti hatiku menjadi pahit juga ketika aku melihat layon kembang ditanganmu? Tetapi ketahuilah Karebet, bahwa sebenarnya tidak baru sekarang aku tahu apa yang telah terjadi di Kaputren.”
Kini Karebet mengangkat wajahnya. Ia terkejut mendengar kata-kata itu. Namun dicobanya untuk menyembunyikan perasaan itu.
Tumenggung Prabasemi yang menunggu jawaban Karebet itu menjadi heran. Kenapa Karebet diam saja mendengar pengakuannya itu. Karena itu maka diteruskannya,
Quote:
“Aku telah lama mendengar peristiwa yang memuakkan itu terjadi. Dan aku sedang menunggu kesempatan untuk berbuat seperti sekarang ini.”
Dada Karebet pun menjadi berdebar-debar karenanya. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk berdiam diri. Dibiarkannya Tumenggung itu berkata terus.
Quote:
“Dan sekarang kasempatan itu datang juga.”
“Kesempatan apa Tumenggung?” bertanya Karebet.
“Karebet” berkata Tumenggung itu,
“Sejak aku mengetahui hubungan yang kau lakukan dengan Tuanku Putri itu, maka sejak itu aku mengalami kepahitan hidup. Seakan-akan aku menjadi putus asa dan kehilangan gairah untuk menjelang masa-masa depanku. Namun aku tidak kehilangan akal. Aku cari cara yang sebaik-baiknya untuk menyingkirkan kau dari daerah istana.”
“Kesempatan apa Tumenggung?” bertanya Karebet.
“Karebet” berkata Tumenggung itu,
“Sejak aku mengetahui hubungan yang kau lakukan dengan Tuanku Putri itu, maka sejak itu aku mengalami kepahitan hidup. Seakan-akan aku menjadi putus asa dan kehilangan gairah untuk menjelang masa-masa depanku. Namun aku tidak kehilangan akal. Aku cari cara yang sebaik-baiknya untuk menyingkirkan kau dari daerah istana.”
Debar dijantung Karebet itu menjadi semakin cepat. Tetapi ia berusaha untuk menguasainya sekuat-kuat tenaganya. Dibiarkannya Tumenggung itu mengatakan apa saja yang tersimpan didalam dadanya. Dan Tumenggung itu berkata terus
Quote:
“Karebet, selama ini aku telah berjuang untuk mengalahkanmu. Aku telah berusaha dengan susah payah untuk menebus kepahitan yang pernah aku alami. Dan sekarang, datanglah giliranku untuk menikmati keindahan wajah putri itu setelah berbulan-bulan aku hampir menjadi gila karenanya”.
Karebet menggigit bibirnya. Ia menunggu Tumenggung itu mengatakan apakah yang telah dilakukannya selama ini. Tetapi Tumenggung itu hanya berkata,
Quote:
“Sekarang kau harus menerima kekalahan itu. Kekalahan mutlak. Karena itu jangan mencoba melawan kehendak Tumenggung Prabasemi.”
Tumenggung itu berhenti berbicara. Dengan tersenyum-senyum ia menengadahkan wajahnya. Sedang Karebet menjadi semakin muak kepadanya.
Sementara itu kaki-kaki mereka terayun terus menuju ke hutan yang semakin lama semakin dekat. Malam masih sedemikian gelapnya dan bintang-bintang masih berhamburan di langit yang pekat. Sekali-kali kelelawar tampak beterbangan merajai langit di malam hari.
Semakin dekat mereka dengan hutan itu, semakin tegang wajah Tumenggung yang masih muda itu. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir dan darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat berdenyut. Sehingga demikian mereka sampai di tepi hutan itu berkatalah Tumenggung Prabasemi,
Quote:
“Karebet, apakah tidak kau ketahui bahwa di dalam hutan ini terdapat beberapa jenis binatang buas.”
Karebet tidak tahu arah pembicaraan Tumenggung Prabasemi, sehingga ia menjawab.
“Ya Tumenggung, aku tahu”.
“Tetapi Karebet,” berkata Tumenggung itu.
“Sebuas-buasnya binatang yang tinggal di dalam hutan ini, bagiku tidak ada yang berbahaya sama sekali”.
Karebet tidak tahu arah pembicaraan Tumenggung Prabasemi, sehingga ia menjawab.
“Ya Tumenggung, aku tahu”.
“Tetapi Karebet,” berkata Tumenggung itu.
“Sebuas-buasnya binatang yang tinggal di dalam hutan ini, bagiku tidak ada yang berbahaya sama sekali”.
Karebet semakin tidak tahu maksud orang itu. Dan yang kemudian didengarnya adalah benar-benar menggelegar ditelinganya seakan-akan memecahkan selaput telinga itu. Berkata Tumenggung Prabasemi.
Quote:
“Sebuas-buasnya binatang di dalam hutan kecil ini Karebet, bagiku kau akan jauh lebih berbahaya lagi daripada mereka itu”.
Terasa jantung Karebet berdentang keras-keras. Kata-kata itu hampir tak dipercayanya. Namun Tumenggung itu berkata terus.
Quote:
“Bagiku Karebet, meskipun kau telah diusir dari istana dan bahkan dari Demak, namun selagi kau telah diusir dari istana kesempatanmu untuk kembali ke istana masih selalu terbuka. Nah, ketahuilah bahwa maksudku kali ini, adalah melenyapkan kesempatan itu sama sekali. Kau dengar?”
Jantung Karebet tiba-tiba terguncang keras sekali. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa itulah yang dikehendaki oleh Tumenggung Prabasemi itu. Karena itu maka tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar.
Dan masih didengarnya Tumenggung itu berkata,
Quote:
“Karebet, kau adalah orang satu-satunya yang telah mengetahui rahasia perasaanku di- samping seorang emban yang telah aku suap untuk memata-matai putri. Dari emban itu pula aku mengetahui segala-galanya, dan pasti emban itu pula yang telah melaporkan hubunganmu dengan putri itu kepada Baginda”.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas