- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#675
Jilid 19 [Part 436]
Spoiler for :
MENDENGAR keputusan Baginda, kembali Prabasemi tersenyum di dalam hati. Tetapi ia tetap menundukkan wajahnya, seakan-akan keputusan itu tidak berpengaruh apapun di dalam perasaannya.
Baginda mengerutkan keningnya.
“Alangkah dalam dendam Tumenggung Prabasemi itu kepada Karebet,” pikir Baginda.
“Mungkin Prabasemi ingin membersihkan dirinya dari setiap kemungkinan, bahwa iapun akan ikut bertanggungjawab atas kesalahan anak buahnya. Karena itu justru ia bersikap sangat keras.”
Namun Baginda menjawab,
“Setan,” desis Karebet di dalam hatinya. Kepalanya kini benar-benar menjadi pening. Kenapa persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya itu dibicarakan justru di hadapannya? Hal inipun telah merupakan hukuman tersendiri baginya. Ditambah dengan hasutan-hasutan Tumenggung yang licik itu.
Kembali bilik itu menjadi sepi sesaat. Terasa betapa Baginda menjadi bimbang atas keputusannya sendiri. Sekali-kali ditatapnya wajah Tumenggung Prabasemi, dan sekali-kali ditatapnya kepala Karebet yang tunduk. Baginda sendiri menjadi heran, kenapa ia seakan-akan merasakan sesuatu yang mengetuk-ngetuk hatinya, ketika terasa pada Baginda, bahwa sebentar lagi anak itu akan dijauhkan darinya. Meskipun anak itu telah menumbuhkan kemarahan padanya, pada Permaisuri dan Tumenggung Prabasemi, namun Baginda tidak dapat melepaskan harapan, bahwa anak itu pada suatu masa pasti akan menjadi seorang yang berharga bagi Demak.
Tetapi Baginda tidak akan dapat mencabut keputusan yang telah dijatuhkan. Karena itu sebelum perasaan Baginda menjadi semakin kalut, maka berkatalah Baginda,
BAGINDA tidak segera menjawab. Bahkan Baginda itu menjadi semakin heran. Kenapa kemarahan Prabasemi itu menjadi sedemikian jauhnya, melampaui kemarahan Baginda sendiri, yang langsung mendapat cela karena putrinya. Tetapi sekali lagi Baginda menyangka bahwa sikap itu hanyalah untuk menunjukkan bahwa ia tidak tersangkut kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh Karebet itu. Karena itu maka berkata Baginda.
Karebet sama sekali tidak menjawab. Tetapi kemudian mereka bersama-sama meninggalkan bilik Kasatrian itu. Prabasemi berjalan dengan wajah tengadah, dan senyum yang mengulas bibirnya. Sedang Karebet berjalan dengan wajah yang tunduk. Bukan karena ia takut kepada Prabasemi, namun betapa ia menyesali dirinya. Sesaat teringatlah ia akan pamannya, Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar, dan sahabatnya Arya Salaka. Karena itu, tiba-tiba ia pun tersenyum. Di tempat itu ia akan menemukan ketentraman. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang akan dikatakannya kepada pamannya kelak. Apakah pamannya tidak akan marah kepadanya? Dan senyum di bibir Karebet itu seperti tersapu angin malam. Kini kembali ia berjalan sambil menundukkan wajahnya.
Ketika mereka sampai di pintu gerbang, lewat di muka gardu penjaga, maka terdengarlah seorang Nara Manggala bertanya,
Tumenggung Prabasemi pun menjadi heran. Karebet baru saja mendengar keputusan tentang dirinya. Tetapi tiba-tiba ia sudah dapat berkelakar. Gila benar anak ini. Namun Prabasemi menjadi tidak senang karenanya. Ia ingin Karebet menjadi bersusah hati. Ia ingin Karebet minta ampun kepadanya dan merengek-rengek seperti orang banci.
Karena itu ketika Karebet masih ingin berbicara lagi, maka Tumenggung itu membentak,
Karebet menganggukkan kepalanya. Tanpa berbicara lagi, maka keduanya segera pergi meninggalkan gerbang halaman dalam istana itu.
Sampai di luar gerbang, maka berkatalah Prabasemi dengan angkuhnya,
Karebet tidak dapat menolak. Karena itu dibiarkannya Prabasemi ikut masuk ke dalam pondoknya, namun tidak ke dalam biliknya.
Quote:
“Karebet…” kata Baginda kemudian,
“Keputusan itu berlaku sejak malam ini. Karena itu, kau harus segera meninggalkan istana ini dan langsung meninggalkan lingkungan kota Demak.”
“Ampun Baginda,” sela Prabasemi,
“Keputusan Baginda itu berarti bahwa tidak ada kesempatan lagi bagi Karebet untuk berada di sekitar Demak? Dengan demikian, maka akan lebih baik jika kelak Baginda mengeluarkan perintah, bahwa setiap Prajurit yang melihat Karebet, harus mengusirnya.”
“Keputusan itu berlaku sejak malam ini. Karena itu, kau harus segera meninggalkan istana ini dan langsung meninggalkan lingkungan kota Demak.”
“Ampun Baginda,” sela Prabasemi,
“Keputusan Baginda itu berarti bahwa tidak ada kesempatan lagi bagi Karebet untuk berada di sekitar Demak? Dengan demikian, maka akan lebih baik jika kelak Baginda mengeluarkan perintah, bahwa setiap Prajurit yang melihat Karebet, harus mengusirnya.”
Baginda mengerutkan keningnya.
“Alangkah dalam dendam Tumenggung Prabasemi itu kepada Karebet,” pikir Baginda.
“Mungkin Prabasemi ingin membersihkan dirinya dari setiap kemungkinan, bahwa iapun akan ikut bertanggungjawab atas kesalahan anak buahnya. Karena itu justru ia bersikap sangat keras.”
Namun Baginda menjawab,
Quote:
“Apakah alasan yang dapat aku berikan untuk perintah itu?”
Prabasemi merenung sejenak. Kemudian katanya,
“Ampun Baginda. Biarlah nama Karebet agak menjadi lebih baik. Biarlah aku membuat alasan. Karebet telah dengan lancang membunuh seorang yang menyatakan keinginannya masuk Wira Tamtama. Dan lurah Tamtama yang muda itu telah menjadi panas hatinya, ketika orang ingin menunjukkan kesaktiannya, sehingga karenanya orang baru itu terbunuh.”
Prabasemi merenung sejenak. Kemudian katanya,
“Ampun Baginda. Biarlah nama Karebet agak menjadi lebih baik. Biarlah aku membuat alasan. Karebet telah dengan lancang membunuh seorang yang menyatakan keinginannya masuk Wira Tamtama. Dan lurah Tamtama yang muda itu telah menjadi panas hatinya, ketika orang ingin menunjukkan kesaktiannya, sehingga karenanya orang baru itu terbunuh.”
“Setan,” desis Karebet di dalam hatinya. Kepalanya kini benar-benar menjadi pening. Kenapa persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya itu dibicarakan justru di hadapannya? Hal inipun telah merupakan hukuman tersendiri baginya. Ditambah dengan hasutan-hasutan Tumenggung yang licik itu.
Kembali bilik itu menjadi sepi sesaat. Terasa betapa Baginda menjadi bimbang atas keputusannya sendiri. Sekali-kali ditatapnya wajah Tumenggung Prabasemi, dan sekali-kali ditatapnya kepala Karebet yang tunduk. Baginda sendiri menjadi heran, kenapa ia seakan-akan merasakan sesuatu yang mengetuk-ngetuk hatinya, ketika terasa pada Baginda, bahwa sebentar lagi anak itu akan dijauhkan darinya. Meskipun anak itu telah menumbuhkan kemarahan padanya, pada Permaisuri dan Tumenggung Prabasemi, namun Baginda tidak dapat melepaskan harapan, bahwa anak itu pada suatu masa pasti akan menjadi seorang yang berharga bagi Demak.
Tetapi Baginda tidak akan dapat mencabut keputusan yang telah dijatuhkan. Karena itu sebelum perasaan Baginda menjadi semakin kalut, maka berkatalah Baginda,
Quote:
“Nah, Karebet. Saat ini pula kau harus mulai menjalani hukuman sebelum orang lain mengetahui keadaanmu. Kepadamu pun aku berpesan, apabila masih ada tanda kesetiaanmu kepadaku, jangan kau katakan apapun yang terjadi, kepada siapapun. Supaya aku tidak usah berusaha menanggkapmu dan memberi hukuman kepadamu yang jauh lebih berat dari hukuman mati.”
Karebet itu pun menyembah di kaki Baginda, dan bahkan kemudian diciuminya kaki itu. Dengan terbata-bata, anak muda itu berkata,
“Ampun Baginda. Tiada titah Baginda yang tidak akan hamba lakukan. Apapun yang akan aku jalani, apabila itulah keputusan Baginda, maka pasti akan hamba junjung tinggi.”
Baginda terharu juga melihat anak muda itu. Tetapi kembali Baginda menindas perasaannya. Maka kata Baginda,
“Baik. Aku harap kau tidak ingkar. Sekarang pergilah dari Kasatrian. Tidak saja dari Kasatrian, tetapi dari Demak. Jangan dekati lagi istana ini. Sebab besok setiap prajurit akan mendengar, bahwa Karebet diusir dari istana. Dan setiap prajurit akan mengusirmu pula.”
Alangkah pedihnya perintah itu. Tetapi Karebet harus melakukannya. Karena itu sekali lagi ia menyembah dan berkata,
“Titah Baginda akan hamba lakukan. Sebab hukuman ini ternyata masih dilimpahi oleh kemurahan hati Baginda.”
Setelah Karebet itu menyembah sekali lagi, maka mulailah ia bergeser mundur. Namun tiba-tiba Prabasemi berkata,
“Ampun Baginda. Biarlah aku mengantarkan anak itu sampai di perbatasan.”
Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Jangan seorangpun tahu apa yang telah terjadi.”
“Tidak Baginda,” sahut Prabasemi.
“Hamba sendiri akan mengantarkannya sampai ke perbatasan, malam ini.”
Karebet itu pun menyembah di kaki Baginda, dan bahkan kemudian diciuminya kaki itu. Dengan terbata-bata, anak muda itu berkata,
“Ampun Baginda. Tiada titah Baginda yang tidak akan hamba lakukan. Apapun yang akan aku jalani, apabila itulah keputusan Baginda, maka pasti akan hamba junjung tinggi.”
Baginda terharu juga melihat anak muda itu. Tetapi kembali Baginda menindas perasaannya. Maka kata Baginda,
“Baik. Aku harap kau tidak ingkar. Sekarang pergilah dari Kasatrian. Tidak saja dari Kasatrian, tetapi dari Demak. Jangan dekati lagi istana ini. Sebab besok setiap prajurit akan mendengar, bahwa Karebet diusir dari istana. Dan setiap prajurit akan mengusirmu pula.”
Alangkah pedihnya perintah itu. Tetapi Karebet harus melakukannya. Karena itu sekali lagi ia menyembah dan berkata,
“Titah Baginda akan hamba lakukan. Sebab hukuman ini ternyata masih dilimpahi oleh kemurahan hati Baginda.”
Setelah Karebet itu menyembah sekali lagi, maka mulailah ia bergeser mundur. Namun tiba-tiba Prabasemi berkata,
“Ampun Baginda. Biarlah aku mengantarkan anak itu sampai di perbatasan.”
Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Jangan seorangpun tahu apa yang telah terjadi.”
“Tidak Baginda,” sahut Prabasemi.
“Hamba sendiri akan mengantarkannya sampai ke perbatasan, malam ini.”
BAGINDA tidak segera menjawab. Bahkan Baginda itu menjadi semakin heran. Kenapa kemarahan Prabasemi itu menjadi sedemikian jauhnya, melampaui kemarahan Baginda sendiri, yang langsung mendapat cela karena putrinya. Tetapi sekali lagi Baginda menyangka bahwa sikap itu hanyalah untuk menunjukkan bahwa ia tidak tersangkut kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh Karebet itu. Karena itu maka berkata Baginda.
Quote:
“Apakah hal itu kau anggap perlu Prabasemi?”
“Hamba Baginda,” jawab Prabasemi.
“Sebab apabila tidak demikian, maka anak muda itu akan dapat bersembunyi di rumah kawan-kawannya di dalam kota.”
Baginda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kata Baginda,
“Terserahlah kepadamu Prabasemi.”
Kembali Prabasemi tertawa di dalam hati. Dengan menyembah sekali lagi ia berkata,
“Ampun Baginda, biarlah hamba berangkat sekarang sebelum fajar.”
“Pergilah,” sahut Baginda.
Kemudian kepada Karebet, Prabasemi berkata,
“Ayolah Karebet. Jangan menyesali diri. Hukuman ini masih terlalu ringan bagimu.”
“Hamba Baginda,” jawab Prabasemi.
“Sebab apabila tidak demikian, maka anak muda itu akan dapat bersembunyi di rumah kawan-kawannya di dalam kota.”
Baginda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kata Baginda,
“Terserahlah kepadamu Prabasemi.”
Kembali Prabasemi tertawa di dalam hati. Dengan menyembah sekali lagi ia berkata,
“Ampun Baginda, biarlah hamba berangkat sekarang sebelum fajar.”
“Pergilah,” sahut Baginda.
Kemudian kepada Karebet, Prabasemi berkata,
“Ayolah Karebet. Jangan menyesali diri. Hukuman ini masih terlalu ringan bagimu.”
Karebet sama sekali tidak menjawab. Tetapi kemudian mereka bersama-sama meninggalkan bilik Kasatrian itu. Prabasemi berjalan dengan wajah tengadah, dan senyum yang mengulas bibirnya. Sedang Karebet berjalan dengan wajah yang tunduk. Bukan karena ia takut kepada Prabasemi, namun betapa ia menyesali dirinya. Sesaat teringatlah ia akan pamannya, Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar, dan sahabatnya Arya Salaka. Karena itu, tiba-tiba ia pun tersenyum. Di tempat itu ia akan menemukan ketentraman. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang akan dikatakannya kepada pamannya kelak. Apakah pamannya tidak akan marah kepadanya? Dan senyum di bibir Karebet itu seperti tersapu angin malam. Kini kembali ia berjalan sambil menundukkan wajahnya.
Ketika mereka sampai di pintu gerbang, lewat di muka gardu penjaga, maka terdengarlah seorang Nara Manggala bertanya,
Quote:
“Apakah persoalannya sudah selesai Kiai Tumenggung?”
Prabasemi berhenti sejenak. Dengan bangga ia menjawab singkat,
“Sudah.”
“Apakah yang terjadi?”
“Tidak apa-apa,” jawab Prabasemi.
Namun di luar dugaan Tumenggung itu, Karebet berkata,
“Kaki Baginda terkilir.”
Prabasemi mengerutkan keningnya. Dan didengarnya penjaga itu berkata,
“Sudah kau katakan sore tadi. Tetapi Baginda itu tidak apa-apa. Baginda berjalan dengan tegap dan cepat.”
“Baginda sudah sembuh setelah aku pijit,” sahut Karebet,
“Memanggil Kiai Tumenggung dan bertanya kepadanya apakah Baginda timpang.”
Prabasemi berhenti sejenak. Dengan bangga ia menjawab singkat,
“Sudah.”
“Apakah yang terjadi?”
“Tidak apa-apa,” jawab Prabasemi.
Namun di luar dugaan Tumenggung itu, Karebet berkata,
“Kaki Baginda terkilir.”
Prabasemi mengerutkan keningnya. Dan didengarnya penjaga itu berkata,
“Sudah kau katakan sore tadi. Tetapi Baginda itu tidak apa-apa. Baginda berjalan dengan tegap dan cepat.”
“Baginda sudah sembuh setelah aku pijit,” sahut Karebet,
“Memanggil Kiai Tumenggung dan bertanya kepadanya apakah Baginda timpang.”
Tumenggung Prabasemi pun menjadi heran. Karebet baru saja mendengar keputusan tentang dirinya. Tetapi tiba-tiba ia sudah dapat berkelakar. Gila benar anak ini. Namun Prabasemi menjadi tidak senang karenanya. Ia ingin Karebet menjadi bersusah hati. Ia ingin Karebet minta ampun kepadanya dan merengek-rengek seperti orang banci.
Karena itu ketika Karebet masih ingin berbicara lagi, maka Tumenggung itu membentak,
Quote:
“Ikut aku!”
Karebet menganggukkan kepalanya. Tanpa berbicara lagi, maka keduanya segera pergi meninggalkan gerbang halaman dalam istana itu.
Sampai di luar gerbang, maka berkatalah Prabasemi dengan angkuhnya,
Quote:
“Karebet, arah manakah yang akan kau pilih?”
Karebet berpikir sejenak. Kemudian jawabnya,
“Kiai, apakah aku tidak akan singgah dahulu untuk mengambil pakaianku?”
Prabasemi berpikir sejenak. Kemudian katanya,
“Apa sajakah milikmu itu?”
“Pakaian, Kiai.”
“Itu saja?”
“Ya.”
“Biarlah aku tukar dengan uang.”
“Jangan Kiai. Pakaian itu adalah pakaian yang aku terima dari almarhum ayahku. Jangan ditukar dengan apapun.”
Prabasemi yang yakin rencananya akan terjadi itu berkata,
“Baiklah, marilah aku antarkan ke pondokmu. Tetapi jangan berbuat gila, supaya lehermu tidak aku penggal malam ini.”
Karebet tidak menyahut. Tetapi mereka berdua segera berjalan ke pondok Karebet. Ketika Karebet masuk ke dalam pondoknya Prabasemi berkata,
“Aku ikut. Dan jangan berkata kepada siapapun apa yang akan kau lakukan.”
Karebet berpikir sejenak. Kemudian jawabnya,
“Kiai, apakah aku tidak akan singgah dahulu untuk mengambil pakaianku?”
Prabasemi berpikir sejenak. Kemudian katanya,
“Apa sajakah milikmu itu?”
“Pakaian, Kiai.”
“Itu saja?”
“Ya.”
“Biarlah aku tukar dengan uang.”
“Jangan Kiai. Pakaian itu adalah pakaian yang aku terima dari almarhum ayahku. Jangan ditukar dengan apapun.”
Prabasemi yang yakin rencananya akan terjadi itu berkata,
“Baiklah, marilah aku antarkan ke pondokmu. Tetapi jangan berbuat gila, supaya lehermu tidak aku penggal malam ini.”
Karebet tidak menyahut. Tetapi mereka berdua segera berjalan ke pondok Karebet. Ketika Karebet masuk ke dalam pondoknya Prabasemi berkata,
“Aku ikut. Dan jangan berkata kepada siapapun apa yang akan kau lakukan.”
Karebet tidak dapat menolak. Karena itu dibiarkannya Prabasemi ikut masuk ke dalam pondoknya, namun tidak ke dalam biliknya.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas