- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#665
Jilid 19 [Part 433]
Spoiler for :
Quote:
“ALANGKAH malangnya nasibku,” kata emban Permaisuri,
“Kalau aku tadi tidak berjumpa dengan kau, maka aku tidak akan mengalami bencana ini. Coba, apabila laki-laki itu atau Putri sendiri yang berceritera tentang peristiwa itu, maka apabila ada orang lain yang mendengarnya, kamilah yang akan dipancung. Hi, mengerikan.”
“Kalau aku tadi tidak berjumpa dengan kau, maka aku tidak akan mengalami bencana ini. Coba, apabila laki-laki itu atau Putri sendiri yang berceritera tentang peristiwa itu, maka apabila ada orang lain yang mendengarnya, kamilah yang akan dipancung. Hi, mengerikan.”
Emban yang lain tidak menjawab. Terbesit pula penyesalan didalam dirinya. Tetapi apabila dibayangkannya rumah yang megah dari Tumenggung Prabasemi serta segala macam penghormatan yang akan didapatnya, maka emban itu sersenyum didalam hati. Putri itu pasti akan mendapat hukumannya. Setidak-tidaknya akan mengalami pingitan yang lebih ketat. Sehingga dengan demikian, maka Prabasemi itu pasti akan melupakannya.
Demikian kedua emban itu meninggalkan bilik Baginda, maka segera Baginda mengatakan apa yang telah dialaminya serta apa yang telah terjadi.
Ketika Permaisuri mendengar, bahwa berita yang dibawa oleh emban itu benar-benar terjadi, maka dengan serta merta, pecahlah tangisnya. Alangkah hinanya. Apabila Putri itu adalah putri seorang raja yang namanya ditakuti oleh lawan dan disegani oleh kawan. Tetapi putrinya sendiri, sama sekali telah mengabaikannya.
Quote:
“Kenapa hal ini terjadi, Baginda?” tanya Permaisuri.
“Padahal menurut hemat hamba, maka tidak kuranglah cara hamba untuk menjadikannya seorang putri yang berbudi. Justru dalam masa pingitan, serta masa-masa perkembangan jasmaniah dan rohaniah, bencana itu terjadi.”
“Padahal menurut hemat hamba, maka tidak kuranglah cara hamba untuk menjadikannya seorang putri yang berbudi. Justru dalam masa pingitan, serta masa-masa perkembangan jasmaniah dan rohaniah, bencana itu terjadi.”
Baginda tidak menjawab. Bahkan wajahnya ditundukkannya, seakan-akan sedang menghitung jari-jari kakinya. Sebagai seorang ayah, maka hampir-hampir Baginda tak dapat menahan kemarahannya terhadap Karebet. Tetapi, sebagai seorang Senapati Perang, maka Baginda dapat melihat kekuatan yang tersembunyi didalam tubuh Karebet yang telah berani melangkahi pagar kaputren itu. Bahkan sebagai seorang raja, Baginda melihat masa depan dari kerajaannya, Demak, yang sampai kini masih belum diketemukannya seorang sakti yang mempunyai kemungkinan yang tak terbatas dimasa depannya. Pernah juga Baginda mendengar nama-nama, diantaranya Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tahhjaya. Namun orang itu telah lama membuang diri dalam satu pengabdian yang luhur. Berusaha menemukan pusaka-pusaka Keraton yang lolos dari perbendaharaan Istana.
Quote:
“Tetapi orang itu sama sekali bukan keluarga istana,” desis Baginda didalam hatinya.
“Ah!” Tiba-tiba Baginda terkejut sendiri oleh angan-angannya. Kemudian katanya di dalam hati,
“Apakah Karebet itu juga keluarga istana?”
“Ah!” Tiba-tiba Baginda terkejut sendiri oleh angan-angannya. Kemudian katanya di dalam hati,
“Apakah Karebet itu juga keluarga istana?”
Baginda tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya. Sesuatu bergolak di dalam dadanya. Dicobanya berkali-kali untuk mengusir perasaan yang mengetuk-ngetuk jantungnya. Karebet itu adalah anak yang diketemukan di pinggir jalan. Tidak lebih. Bukan kadang, bukan sentana.
Quote:
“Tetapi ia putra Ki Kebo Kenanga.” Kembali terdengar kata-kata jauh di dasar hatinya.
“Kebo Kenanga adalah putra Pangeran Handayaningrat. Apakah dengan demikian tidak ada saluran darah Majapahit di dalam tubuhnya?”
“Hem.”
“Kebo Kenanga adalah putra Pangeran Handayaningrat. Apakah dengan demikian tidak ada saluran darah Majapahit di dalam tubuhnya?”
“Hem.”
Baginda menarik nafas dalam-dalam. Ketika Baginda itu berpaling, dilihatnya Permaisuri masih menyeka kedua belah matanya yang basah.
Quote:
“Sudahlah,” hibur Baginda,
“Aku akan mencoba mencari cara sebaik-baiknya untuk menolong keadaan.”
“Apakah cara itu?” tanya Permaisuri.
“Aku belum tahu,” sahut Baginda,
“Tetapi mula-mula adalah menutup setiap kemungkinan, Putrimu itu dapat bertemu dengan Karebet.”
Permaisuri menganggukkan kepalanya.
“Besok, Putriku akan aku bawa masuk ke dalam bilikku. Biarlah ia mengalami pingitan yang lebih seksama.”
“Aku sependapat,” sahut Baginda,
“Dan biarlah anak muda yang bernama Karebet itu aku singkirkan pula dari Demak.”
“Akan diapakan?”
“Biarlah anak itu aku ambil dari Prabasemi, dan aku serahkan kepada Palindih di Bergota.”
“Hanya itu?”
“Aku akan mencoba mencari cara sebaik-baiknya untuk menolong keadaan.”
“Apakah cara itu?” tanya Permaisuri.
“Aku belum tahu,” sahut Baginda,
“Tetapi mula-mula adalah menutup setiap kemungkinan, Putrimu itu dapat bertemu dengan Karebet.”
Permaisuri menganggukkan kepalanya.
“Besok, Putriku akan aku bawa masuk ke dalam bilikku. Biarlah ia mengalami pingitan yang lebih seksama.”
“Aku sependapat,” sahut Baginda,
“Dan biarlah anak muda yang bernama Karebet itu aku singkirkan pula dari Demak.”
“Akan diapakan?”
“Biarlah anak itu aku ambil dari Prabasemi, dan aku serahkan kepada Palindih di Bergota.”
“Hanya itu?”
Baginda terdiam. Disadarinya, bahwa Pemaisuri itu benar-benar merasa terhina. Namun Baginda tidak akan dapat mengatakan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh Permaisuri secara keseluruhan. Sebab Permaisuri tidak merasakan kedahsyatan ajian anak muda itu, tidak merasakan bahwa di dalam diri anak itu tersimpan Aji Lembu Sekilan dan dari matanya memancarkan cahaya biru kehijauan seperti mata seekor harimau yang garang di malam hari. Permaisuri tidak dapat mengerti bahwa Demak memerlukan orang yang demikian itu. Orang yang mempunyai kemungkinan yang tidak terbatas.
Meskipun di seluruh wilayah Demak, banyak terdapat orang-orang sakti, namun tidak seorang pun dari mereka yang pernah mempengaruhi perasaan Baginda sebegitu dalam seperti Karebet, putra Ki Kebo Kenanga.
Sebelum Sultan Trenggana menemukan jawaban atas pertanyaan Permaisuri itu, maka kembali Permaisuri bertanya,
Quote:
“hukuman apa yang akan baginda berikan terhadap Karebet. Apakah hukuman itu cukup seimbang dengan kesalahannya?.”
Baginda menarik nafas, kemudian jawabnya,
“Hukuman itu adalah hukuman sementara. Mungkin aku akan membuat pertimbangan lain. Namun hukuman itu harus sesuai dengan keduanya. Sebab kesalahan itu tidak saja terletak pada Karebet, tetapi pada Puteri juga.”
Tiba-tiba Permaisuri mengangkat wajahnya. Sebagai seorang puteri, terasa kata-kata baginda agak janggal. Karena itu katanya,
“Baginda, apakah yang akan dilakukan puteri kalau Karebet tidak memulainya? Aku yakin bahwa anak muda itu memanfaatkan kesempatan. Apabila Baginda memanggilnya, maka dimanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Puteri adalah anak pingitan. Jarang-jarang ia melihat anak muda didalam biliknya yang sempit. Maka ketika dilihatnya Karebet itu maka langsung mempengaruhi hatinya.”
Baginda menarik nafas, kemudian jawabnya,
“Hukuman itu adalah hukuman sementara. Mungkin aku akan membuat pertimbangan lain. Namun hukuman itu harus sesuai dengan keduanya. Sebab kesalahan itu tidak saja terletak pada Karebet, tetapi pada Puteri juga.”
Tiba-tiba Permaisuri mengangkat wajahnya. Sebagai seorang puteri, terasa kata-kata baginda agak janggal. Karena itu katanya,
“Baginda, apakah yang akan dilakukan puteri kalau Karebet tidak memulainya? Aku yakin bahwa anak muda itu memanfaatkan kesempatan. Apabila Baginda memanggilnya, maka dimanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Puteri adalah anak pingitan. Jarang-jarang ia melihat anak muda didalam biliknya yang sempit. Maka ketika dilihatnya Karebet itu maka langsung mempengaruhi hatinya.”
Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah baginda yang tunduk. Kali ini mereka tidak berbicara sebagai Raja terhadap Permaisuri tetapi sebagai ayah dan seorang ibu. Seorang ibu yang merasa tersinggung karena perbuatan seorang anak muda atas puterinya dan seorang ayah yang melihatnya dari cakupan yang luas.
Maka dengan hati-hati Bgainda berkata,
Quote:
“Tetapi apabila puterimu tidak memanggapinya, maka tidak terjadi sesuatu diantara mereka berdua. Setiap hubungan antara anak muda dan gadis-gadis, pasti dimulai dari kedua ujung hati masing-masing. Apabila tidak, maka hubungan itu tidak akan terjadi.”
“Oh,” sahut permaisuri.
“Baginda telah berbicara tentang hati laki-laki, yang melihat perempuan dari sudut seperti Karebet. Tetapi baginda tidak mau mendalami hati perempuan.”
“Mungkin puteri mula-mula sama sekali tidak menanggapi sikap Karebet. tetapi lambat laun, apabila Karebet mulai menyentuh hatinya, maka hati itu pasti cair. Mungkin sikap itu mula-mula tidak lebih dari sikap gadis yang merasa kasihan terhadap seorang anak muda yang terbakar hatinya.”
“Atau mungkin Karebet sengaja membuat dirinya seakan-akan tidak mampu hidup tanpa puteri. Atau apapun yang dilakukannya sebagai suatu cara meruntuhkan hati seorang gadis. Meratap, mengancam, membangkitkan cemburu, bermanja-manja atau merayu.” sahut Permaisuri.
Sekali lagi Baginda menarik nafas.
“Kalau gadis itu teguh hati, maka ia akan tetap dalam pendiriannya.”
“Betapapun keras batu karang, namun titik-titik air akan dapat membuat lubang padanya.” Sahut permaisuri.
“Oh,” sahut permaisuri.
“Baginda telah berbicara tentang hati laki-laki, yang melihat perempuan dari sudut seperti Karebet. Tetapi baginda tidak mau mendalami hati perempuan.”
“Mungkin puteri mula-mula sama sekali tidak menanggapi sikap Karebet. tetapi lambat laun, apabila Karebet mulai menyentuh hatinya, maka hati itu pasti cair. Mungkin sikap itu mula-mula tidak lebih dari sikap gadis yang merasa kasihan terhadap seorang anak muda yang terbakar hatinya.”
“Atau mungkin Karebet sengaja membuat dirinya seakan-akan tidak mampu hidup tanpa puteri. Atau apapun yang dilakukannya sebagai suatu cara meruntuhkan hati seorang gadis. Meratap, mengancam, membangkitkan cemburu, bermanja-manja atau merayu.” sahut Permaisuri.
Sekali lagi Baginda menarik nafas.
“Kalau gadis itu teguh hati, maka ia akan tetap dalam pendiriannya.”
“Betapapun keras batu karang, namun titik-titik air akan dapat membuat lubang padanya.” Sahut permaisuri.
Kali ini Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Belum pernah Permaisuri bersikap keras kepadanya. Sebagai seorang permaisuri, setiap kali yang dilakukan adalah menghambakan perintah Baginda. Mendengarkan kata-kata baginda dengan wajah tunduk, kemudian tersenyum kalau baginda tersenyum, dan berduka kalau baginda berduka. Namun Baginda bukanlah seorang laki-laki berhati batu.
Baginda dapat mengetahui sepenuhnya perasaan Permaisurinya, dan bahkan berterimakasih pula kepada permaisurinya itu. Namun kali ini Baginda menjumpai sikap yang jauh berbeda. Permaisuri itu menjawab kata dengan kata, kalimat dengan kalimat. Karena itu, maka baginda dapat mengerti, betapa pedih luka dihari permaisurinya sehingga dilupakannya suba sita.
Meskipun demikian, Baginda masih ingin untuk dapat menerangkan apakah sebabnya, maka Karebet itu masih diberinya kesempatan, meskipun dijauhkan dari Demak. Tetapi tidak saat ini, sebab apabila perempuan itu telah dikuasai oleh perasaannya, maka setiap pertimbangan akan tersisihkan. Demikian juga Permaisuri kali ini.
Karena itulah maka dengan tersenyum Baginda berkata,
Quote:
“Baiklah. Biarlah aku pertimbangkan sekali lagi. Tetapi janganlah aku yang dipersalahkan.”
Kata-kata itu tiba-tiba menyadarkan Permaisuri akan dirinya. Ia sedang ebrhadapan dengan seorang raja yang memiliki segala kekuasaan ditangannya. Tiba-tiba Permaisuri menyembah sambil berkata,
Quote:
“Ampun Baginda. Aku telah berpendapat terlalu jauh. Namun aku hanya sekedar menuangkan perasaan ibu atas bencana yang menimpa puterinya.”
Baginda mengangguk-anggukan kepalanya,
“Aku mengerti. Sebab aku bukan saja seorang Raja, Senapati Perang dan segala macam jabatan pemerintahan, tetapi aku adalah seorang ayah pula.”
Baginda mengangguk-anggukan kepalanya,
“Aku mengerti. Sebab aku bukan saja seorang Raja, Senapati Perang dan segala macam jabatan pemerintahan, tetapi aku adalah seorang ayah pula.”
Permaisuri itupun kemudian berdiam diri. Namun dikedua belah matana masih tampak, betapa ia tidak rela mengalami peristiwa yang sama sekali tidak didangka-sangkanya. Bencana yang menimpa puterinya. Namun kini segala sesuatu telah diserahkannya kepada Baginda. Permaisuri itu dapat mengerti kata-kata Baginda, bahwa Baginda tidak saja seorang Raja tetapi juga seorang ayah, sekaligus seorang Raja yang harus memandang segala persoalan dari berbagai segi.
“
Quote:
Kenapa hal ini terjadi dengan Puteriku, puteri Baginda. Kalau saja itu terjadi atas orang-orang yang tinggal dipondokan kecil maka tidaklah banyak persoalan yang timbul karenanya. Tetapi puteri itu adalah anak seorang Raja yang akan disoroti oleh setiap mata dari seluruh negeri.”
Betapapun Permaisuri masih saja meratap dalam hatinya. Namun tidak sepatah katapun diucapkannya.
Yang kemudian berkata adalah Baginda,
Quote:
“Marilah, aku antar kembali ke bilikmu. Aku harus segera ke Kesatrian. Ambilah puterimu besok pagi, dan biarkan ia tinggal dalam istana untuk smentara.”
Permaisuri menyembah, kemudian meninggalkan Baginda dan kembali ke biliknya sendiri. Dimuka pintu Permaisuri melihat emban tadi duduk bersimpuh menungguinya.
Quote:
“Kau masih disini?” bertanya Permaisuri.
Emban menjawab,
“Ampun Gusti”
Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah emban itu,
“kenapa kau menangis?.”
“Hamba Takut”
“Apa yang kau takutkan?”
Emban tidak menjawab. tetapi sesekali ia menyembah dan kepalanya semakin tunduk.
“Jangan takut, kau tidak bersalah. dan kau tidak berbuat apa-apa,” kata permaisuri.
Emban menjawab,
“Ampun Gusti”
Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah emban itu,
“kenapa kau menangis?.”
“Hamba Takut”
“Apa yang kau takutkan?”
Emban tidak menjawab. tetapi sesekali ia menyembah dan kepalanya semakin tunduk.
“Jangan takut, kau tidak bersalah. dan kau tidak berbuat apa-apa,” kata permaisuri.
Tetapi emban tidak berani mengangkat wajahnya. Hanya sekali-kali dipandangnya kaki Baginda dan Permaisuri berganti ganti. bagindapun kasihan juga melihatnya.
Setelah permaisuri kembali ke biliknya, baginda segera meninggalkan bilik itu. Kepada emban yang masih bersimpuh,
Quote:
“Kawani Gustimu itu.”
“Hamba Baginda,” sahut emban itu.
“Hamba Baginda,” sahut emban itu.
Tetapi ia tidak berani masuk kedalam bilik karena permaisuri tidak memanggilnya. Karena itu ia masih duduk dimuka pintu. Baru ketika ia terbatuk karena sedannya, maka terdengar Permaisuri memanggilnya,
Quote:
“apakah kau masih dimuka pintu?”
“Ampun gusti, Baginda memerintahkan hamba untuk menemani Gusti.”
“Tidurlah, aku ingin tinggal seorang diri”
“Ampun gusti, Baginda memerintahkan hamba untuk menemani Gusti.”
“Tidurlah, aku ingin tinggal seorang diri”
Barulah emban itu berdiri dan kembali ke biliknya. teapi begitu ia merebahkan dirinya, ia menangis sejadi-jadinya. Berkali-kali dirabanya lehernya seolah olah sebuah goresan telah melukainya.
Quote:
“Kenapa kau?,” tanya seorang temannya
Emban itu menggeleng.
“Apakah jajar yang berkumis kecil ingkar janji?”
“Ah,” desah emban yang sedang menangis itu.
Emban itu menggeleng.
“Apakah jajar yang berkumis kecil ingkar janji?”
“Ah,” desah emban yang sedang menangis itu.
Namun lehernya menjadi semakin pedih dan napasnya sesak…..
Kawan-kawannya kemudian tidak bertanya apapun lagi. Dibiarkannya ia menangis dan menelungkup. Bahkan beberapa kawan-kawannya saling berbisik dan tertawa tertahan-tahan. Mereka menyangka bahwa emban itu sedang berselisih dengan calon suaminya yang jauh lebih muda daripadanya.
Dalam pada itu Baginda telah berjalan menunju ke Kasatrian. Namun sebelum Baginda sampai, maka Baginda melihat dua orang Nara Manggala membawa Prabasemi menunju ke Kasatrian itu pula. Karena itu segera Baginda berjalan mendahuluinya.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas