- Beranda
- Stories from the Heart
Keris Telutas Jaja Laknat
...
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
PROLOG
i.
Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.
Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil.
Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis.
ii.
Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.
Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.
Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.
Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.
Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu.
Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.
Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.
Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya.
“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.
“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.
Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.
“Toilet,” balasku singkat.
“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.
“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.
“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.
“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”
“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.
“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya
“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”
“Untuk melamar kerja?”
“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.
“Apa maksudmu dengan kita?”
“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”
“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”
Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan.
“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.
“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.
Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”
“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.
“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.
“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.
“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”
Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.
Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.
“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.
“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.
Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.
“Sialan kau mengerjaiku.”
“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.
Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi. Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amriakhsan
#52
BAB XV part 2 - Beta
ii.
“Kira kira berapa lama lagi kita begini?” tanya ku pada Ardi.
“Hah? apanya yang berapa lama.”
“Tugas begini …” balasku dengan mata terlukai, lelah perjalanan yang membuat nafasku menjadi pendek, angin AC yang dingin memenuhi paru paruku bukanlah suatu hal yang menyenangkan dibanding menghirup udara segar yang basah dan lembab.
Di balik kaca itu bergeser pemandangan yang sangat cepat sekali terlewat, namun gunung itu tetap jauh menjulang di sana, tidak berpindah dengan cepat seperti pepohonan dan lahan sawah di depanku.
“Kita baru dua kali berjaga, kata Dito sudah tiga yang duluan,” Ardi kemudian mengangkat jarinya. “berarti sisanya-”
“Tujuh, tujuh kali lagi kita akan berputar putar seperti ini.”
“Ya … segitulah, memangnya kenapa?”
“Kau tahu, ini menjadi permasalahan di pikiranku, kita seperti tidak ada tujuan dan malah menjadi security tidak jelas begini,” geramku.
“Jangan mulai lagi bocah suram-”
“Bukan, bukan itu, kau salah paham,” cegatku sambil merentangkan tanganku ke kursi. “Aku memikirkan kata kata Dito, dan mungkin saja dia benar, kita ini sedang dalam rencana orang yang mengirim si topeng itu,” ujarku menatap Ardi serius.
“Terus … kalau begitu tidak menjadi begitu masalah bukan, kali ini kita tidak akan membiarkan makhluk itu kabur.”
Mataku naik ke langit langit, berputar putar mendengar jawabannya itu. “Tidakkah kau merasa aneh. Bagaimana Dito bisa tahu rencana orang yang mengirim si topeng, dalam waktu dan lokasi yang tepat, apakah itu sangat tidak janggal?’
Ardi terdiam sejenak. “Menurutku tidak ada yang salah, mungkin dia punya orang dalam disana,” jawab Ardi enteng.
Aku melongo melihat dia dengan santainya bilang begitu. “Orang dalam yang mana yang bisa tahu sampai ke masalah seperti itu, kau tahu sendiri kalau orang yang tidak memihak mastermind ini akan lenyap,” seruku.
Ardi merunduk, termenung dan diam, matanya terpejam tapi gerak gerik bola matanya bisa terlihat jelas kalau ada konflik di dalam sana. “Kau tahu, aku tidak suka berpikir terlalu jauh atau rumit, hanya saja yang satu satunya kita bisa lakukan adalah mempercayai Dito, itu saja menurutku,” jelas Ardi.
Punggungku yang tegak akhirnya terbaring lemas di sandaran kursi. Entah apa yang kupikirkan, tapi tetap saja aku bukan orang yang bisa diam tanpa berpikir apapun.
“Aku tahu mungkin kau tidak begitu percaya pada Dito, wajar saja karena kau memang tidak begitu mengenalnya,” Ardi lalu menyandarkan pipinya pada telapak tangannya. “Aku juga tidak begitu akrab, namun saat kami belajar beladiri bersama, aku bisa paham kalau Dito sangat loyal pada temannya, walau dengan kata kata kasarnya dan tingkahnya yang begitu. Makannya saat di pemakaman, temannya banyak sekali yang kehilangan dirinya. Kau tidak akan pernah menemukan teman se-brengsek dan sebaik Dito,” jelas Ardi.
Aku terdiam, memikirkan dan menyesalkan kata kataku yang mencurigainya. Ardi memang benar, tanpa dia, kita tidak mungkin akan bertahan hidup sampai sekarang.
“Tapi bukan berarti aku melarangmu untuk curiga padanya. Kau tahu, orang dengan punggung sebesar itu kadang menyembunyikan sesuatu yang ia sendiri tidak bisa ungkapkan dan tertahan oleh dirinya sendiri,” ungkap Ardi. “Oh iya, sebenarnya kali ini tujuan kita kemana?” cetusnya melupakan arah tujuan kita.
Tidak terkejut sama sekali kalau ia lupa tujuan kami, bahkan mungkin ia tidak tahu karena kami juga tidak pernah tahu apakah ia memperhatikan percakapan kami atau hilang dari situ dan tenggelam di khayalannya.
“Tujuan kita kembali pulang.”
“Pulang, bukannya tadi aku tidak salah dengar kala-”
“Ya, ternyata lokasi rumahnya tidak jauh dari rumah kita juga, sekitar beberapa blok” potongku.
iii.
Hampir delapan jam kaki punggung kami bersandar di kursi, tertidur dan tidak melakukan apapun yang akhirnya membuat kakiku dapat merasakan rasanya di remuk oleh makhluk gaib yang bernama keram. Kemudian memaksanya berjalan semakin menambah siksaan yang teramat baginya, tidak terkecuali bagi wajahku yang berusaha menahannya.
Perasaan asing yang tidak begitu menyenangkan menghantuiku kali ini saat melewati rumah kami, maksudku rumah Dito begitu saja dan langsung mengambil tongkat estafet ke tujuan kami selanjutnya, kami bahkan tidak sempat membersihkan diri. Namun aku teringat kalau pemilik rumah itu kenal dengan Dito dan ia bilang kalau keramahannya mungkin dapat mengurangi beban kita sejenak disana dengan jamuannya.
Benar saja, dengan rumah layaknya istana putih dengan beberapa pilar sintesis tebal dan besar yang menjulang di bagian depannya. Tidak membuat pemilik rumah ini seperti orang kaya yang ada dipikiranku dengan tingkah sombongnya. Pak Raden Somad, begitu ia memperkenalkan dirinya pada kami. Tubuh kurus dengan wajah lonjong tirus dan kumis tebal di bawah hidungnya yang rapi, mata kecilnya terlihat menyeramkan saat pertama kali aku melihatnya, namun tingkahnya pada kami lah yang membuat pemikiran itu berputar 180 derajat.
Duduk di kursi kayu coklat dengan bantalan kecil diatasnya. Kami bertiga duduk berhadapan di teras depan bersama langkah langkah kecil ayam kate miliknya yang sibuk makan di halaman rumahnya yang cukup luas.
Senyum ramah masih ia berikan pada kami sesekali saat kami meliriknya, terasa sangat aneh, namun melihat Ardi yang tidak memberikan sedikitpun sinyal kepadaku membuat senyum itu menjadi sesuatu yang sangat kami harapkan saat ini.
Pak Raden berdehem, kemudian punggungnya terangkat membungkuk dengan membukakan toples toples yang tertutup di depan kami satu persatu.
Aku hanya bisa senyum senyum masam melihatnya begitu. “Udah pak, tidak usah repot repot,” ucapku dengan nada lembut dengan telapakku sedikit terangkat.
“Hus … nda usah malu malu. Silahkan de’ dimakan,” tawarnya sebelum ia kembali duduk lagi di kursinya.
“Ia terimakasih pak,” ucap Ardi yang kemudian jarinya meyolekku. “Heh, ambilin pisang sale dong, kayaknya ada deh,” bisiknya menyuruhku mengambil sasarannya yang tentu saja ada di meja persegi itu.
“Maaf ya pak,” Aku berdiri mengambil toples pesanannya. Pak Raden hanya mengangguk kecil melihatku yang memberikan senyum seperti orang sakit padanya.
“Habis dari mana saja de’?” tanya pak Raden.
“Ah .. habis dari borobudur pak,” jawabku terkekeh.
“Uah … jauh sekali, langsung kesini, nda’ pegel sampeyan?” tanyanya dengan kepala maju sedikit.
“Sedikit sih pak, tapi kayaknya sudah biasa.”
“Pasti capek juga ya,” ungkapnya sambil menyisir kumisnya dengan jari telunjuk dan jempolnya.
“Ya, begitulah pak kerjaan kami,” jawabku dengan senyum masih terangkat.
Kemudian beliau mulai cerita berbagai macam hal, mulai dari hobinya memelihara ayam mungil tersebut hingga tentang bagaimana ia memulai bisnis hingga pensiun saat ini dan cerita alasan kenapa ia menginvestasikan hartanya ke Dito. Perasaan berkah yang ia dengar saat mengetahui ada perusahaan yang fokus dalam bioteknologi membuat ia tidak berpikir panjang dan langsung menyerahkan uangnya.
Namun semua berubah menjadi sedih saat ia mengungkapkan kalau istrinya wafat saat karena gagal ginjal dan menolak transplantasi dengan alasan kemanusiaan. Ia berharap dengan perusahaan yang Dito cetus membuat orang orang mendapatkan kesempatan untuk hidup lebih lama tanpa mengurangi nyawa orang lain.
Setelah itu, ia kembali bangkit semangat saat mendengar kesuksesan yang Dito dapat dan mimpinya menjadi nyata. Rasa senang itu tertuang di dalam wajahnya yang tidak ada habisnya tersenyum, ia seperti sudah menahan perasaan ini sangat lama dan menumpahkan semuanya pada kami layaknya anak sendiri.
“Rani!, sini!” Teriaknya memanggil nama itu.
Tidak lama kemudian, keluar seorang gadis dari dalam pintu depan. Wajahnya cerah tersinar mentari, tirus dan cantik dengan berbibir tipis menawan, wajah ayahnya sedikit tidak begitu nampak di dirinya, namun senyum indah yang ia berikan pasti warisan yang tidak bisa hilang darinya. pakaian tertutup dengan hijab menambah kesan manisnya.
Wajah senyum putihnyanya seketika berubah kemerahan saat melihat ada dua tamu yang tidak terduga di depan ayahnya.
Wajahnya tertunduk sedikit, berusaha memalingkan pandangannya dari kami. “Ada apa ya ayah?”
“Duduk sini, ada dua tamu khusus,” ucapnya sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya.
dengan langkah kecil perlahan ia menghampiri ayahnya dan duduk di sampingnya, masih tertunduk dalam tatapannya yang menatap lantai, sesekali mencuri pandangan melihat kami.
“Ini anak saya semata wayang, tolong kalian jaga ya.”
Ucapanya itu sontak mengagetkan kami, tidak disangka ia telah mengarah ke pembahasan masalah itu. Bukan hanya ekspresi kami saja yang berubah, perempuan itu kemudian dibuat bingung dengan kata kata ayahnya, bahkan matanya sampai melirik seakan lupa dengan rasa malunya yang besar tadi.
“Aku sudah dengar dari adeknya Dito. Jujur saja, prioritaskan anak saya, tidak berguna jika saya hidup dan selamat kalau …” ucapnya dengan wajahan teruntuk, perasaan muram mencuat dari dirinya.
“Apa maksudnya yah?” tanya Rina penuh keheranan dengan semua hal yang tiba tiba berada di depannya.
“Ayah gak bisa jelasin, tapi mereka berdua ini akan menjaga kamu dari orang jahat,” ucapnya dengan mata mengkilat kilat.
Mata Rina menyerbu kami. “Siapa kalian?!” ucapnya geram.
Belum bibirku terangkat, suara gesekan besi dari arah gerbang muncul, mengheningkan suasana panas yang kami rasakan dan menaruh semua mata ke arah itu. Sosok serba hitam datang masuk lewat gerbang begitu saja tanpa memberikan isyarat ia berlari ke arah kami. Aku dan Ardi sigap berdiri, menaruh pandangan kami ke arahnya, tubuh pendek itu membuat kami langsung lega sekaligus heran. Nadya, apa yang ia lakukan disini.
Langkahnya cepatnya akhirnya sampai ke teras. Kami semua masih sepi melihatnya dengan nafas terengah engah berdiri lemas di depan kami. Anehnya si pemilik rumah dan anaknya tidak menyahut atau memarahi kelakuan Nadya yang tidak sopan ini.
“Pak Raden, Rina, Kak Ardi, Kak jaya … maaf gak sopan, bantuan baru saja tiba,” ucapnya sambil mengatur nafas.
“Bantuan? mana?!” kejarku saat mendengar berita baik darinya.
Nadya kemudian berdiri tegap dan langsung menodongkan jempolnya ke dirinya sendiri dengan dagu terangkat.
Rasa kecewa langsung memenuhi tubuhku, lemas hingga mataku tidak sanggup menyerngit seperti biasanya. Ini malah bisa dibilang kerjaan tambahan untuk kami.
ii.
“Kira kira berapa lama lagi kita begini?” tanya ku pada Ardi.
“Hah? apanya yang berapa lama.”
“Tugas begini …” balasku dengan mata terlukai, lelah perjalanan yang membuat nafasku menjadi pendek, angin AC yang dingin memenuhi paru paruku bukanlah suatu hal yang menyenangkan dibanding menghirup udara segar yang basah dan lembab.
Di balik kaca itu bergeser pemandangan yang sangat cepat sekali terlewat, namun gunung itu tetap jauh menjulang di sana, tidak berpindah dengan cepat seperti pepohonan dan lahan sawah di depanku.
“Kita baru dua kali berjaga, kata Dito sudah tiga yang duluan,” Ardi kemudian mengangkat jarinya. “berarti sisanya-”
“Tujuh, tujuh kali lagi kita akan berputar putar seperti ini.”
“Ya … segitulah, memangnya kenapa?”
“Kau tahu, ini menjadi permasalahan di pikiranku, kita seperti tidak ada tujuan dan malah menjadi security tidak jelas begini,” geramku.
“Jangan mulai lagi bocah suram-”
“Bukan, bukan itu, kau salah paham,” cegatku sambil merentangkan tanganku ke kursi. “Aku memikirkan kata kata Dito, dan mungkin saja dia benar, kita ini sedang dalam rencana orang yang mengirim si topeng itu,” ujarku menatap Ardi serius.
“Terus … kalau begitu tidak menjadi begitu masalah bukan, kali ini kita tidak akan membiarkan makhluk itu kabur.”
Mataku naik ke langit langit, berputar putar mendengar jawabannya itu. “Tidakkah kau merasa aneh. Bagaimana Dito bisa tahu rencana orang yang mengirim si topeng, dalam waktu dan lokasi yang tepat, apakah itu sangat tidak janggal?’
Ardi terdiam sejenak. “Menurutku tidak ada yang salah, mungkin dia punya orang dalam disana,” jawab Ardi enteng.
Aku melongo melihat dia dengan santainya bilang begitu. “Orang dalam yang mana yang bisa tahu sampai ke masalah seperti itu, kau tahu sendiri kalau orang yang tidak memihak mastermind ini akan lenyap,” seruku.
Ardi merunduk, termenung dan diam, matanya terpejam tapi gerak gerik bola matanya bisa terlihat jelas kalau ada konflik di dalam sana. “Kau tahu, aku tidak suka berpikir terlalu jauh atau rumit, hanya saja yang satu satunya kita bisa lakukan adalah mempercayai Dito, itu saja menurutku,” jelas Ardi.
Punggungku yang tegak akhirnya terbaring lemas di sandaran kursi. Entah apa yang kupikirkan, tapi tetap saja aku bukan orang yang bisa diam tanpa berpikir apapun.
“Aku tahu mungkin kau tidak begitu percaya pada Dito, wajar saja karena kau memang tidak begitu mengenalnya,” Ardi lalu menyandarkan pipinya pada telapak tangannya. “Aku juga tidak begitu akrab, namun saat kami belajar beladiri bersama, aku bisa paham kalau Dito sangat loyal pada temannya, walau dengan kata kata kasarnya dan tingkahnya yang begitu. Makannya saat di pemakaman, temannya banyak sekali yang kehilangan dirinya. Kau tidak akan pernah menemukan teman se-brengsek dan sebaik Dito,” jelas Ardi.
Aku terdiam, memikirkan dan menyesalkan kata kataku yang mencurigainya. Ardi memang benar, tanpa dia, kita tidak mungkin akan bertahan hidup sampai sekarang.
“Tapi bukan berarti aku melarangmu untuk curiga padanya. Kau tahu, orang dengan punggung sebesar itu kadang menyembunyikan sesuatu yang ia sendiri tidak bisa ungkapkan dan tertahan oleh dirinya sendiri,” ungkap Ardi. “Oh iya, sebenarnya kali ini tujuan kita kemana?” cetusnya melupakan arah tujuan kita.
Tidak terkejut sama sekali kalau ia lupa tujuan kami, bahkan mungkin ia tidak tahu karena kami juga tidak pernah tahu apakah ia memperhatikan percakapan kami atau hilang dari situ dan tenggelam di khayalannya.
“Tujuan kita kembali pulang.”
“Pulang, bukannya tadi aku tidak salah dengar kala-”
“Ya, ternyata lokasi rumahnya tidak jauh dari rumah kita juga, sekitar beberapa blok” potongku.
iii.
Hampir delapan jam kaki punggung kami bersandar di kursi, tertidur dan tidak melakukan apapun yang akhirnya membuat kakiku dapat merasakan rasanya di remuk oleh makhluk gaib yang bernama keram. Kemudian memaksanya berjalan semakin menambah siksaan yang teramat baginya, tidak terkecuali bagi wajahku yang berusaha menahannya.
Perasaan asing yang tidak begitu menyenangkan menghantuiku kali ini saat melewati rumah kami, maksudku rumah Dito begitu saja dan langsung mengambil tongkat estafet ke tujuan kami selanjutnya, kami bahkan tidak sempat membersihkan diri. Namun aku teringat kalau pemilik rumah itu kenal dengan Dito dan ia bilang kalau keramahannya mungkin dapat mengurangi beban kita sejenak disana dengan jamuannya.
Benar saja, dengan rumah layaknya istana putih dengan beberapa pilar sintesis tebal dan besar yang menjulang di bagian depannya. Tidak membuat pemilik rumah ini seperti orang kaya yang ada dipikiranku dengan tingkah sombongnya. Pak Raden Somad, begitu ia memperkenalkan dirinya pada kami. Tubuh kurus dengan wajah lonjong tirus dan kumis tebal di bawah hidungnya yang rapi, mata kecilnya terlihat menyeramkan saat pertama kali aku melihatnya, namun tingkahnya pada kami lah yang membuat pemikiran itu berputar 180 derajat.
Duduk di kursi kayu coklat dengan bantalan kecil diatasnya. Kami bertiga duduk berhadapan di teras depan bersama langkah langkah kecil ayam kate miliknya yang sibuk makan di halaman rumahnya yang cukup luas.
Senyum ramah masih ia berikan pada kami sesekali saat kami meliriknya, terasa sangat aneh, namun melihat Ardi yang tidak memberikan sedikitpun sinyal kepadaku membuat senyum itu menjadi sesuatu yang sangat kami harapkan saat ini.
Pak Raden berdehem, kemudian punggungnya terangkat membungkuk dengan membukakan toples toples yang tertutup di depan kami satu persatu.
Aku hanya bisa senyum senyum masam melihatnya begitu. “Udah pak, tidak usah repot repot,” ucapku dengan nada lembut dengan telapakku sedikit terangkat.
“Hus … nda usah malu malu. Silahkan de’ dimakan,” tawarnya sebelum ia kembali duduk lagi di kursinya.
“Ia terimakasih pak,” ucap Ardi yang kemudian jarinya meyolekku. “Heh, ambilin pisang sale dong, kayaknya ada deh,” bisiknya menyuruhku mengambil sasarannya yang tentu saja ada di meja persegi itu.
“Maaf ya pak,” Aku berdiri mengambil toples pesanannya. Pak Raden hanya mengangguk kecil melihatku yang memberikan senyum seperti orang sakit padanya.
“Habis dari mana saja de’?” tanya pak Raden.
“Ah .. habis dari borobudur pak,” jawabku terkekeh.
“Uah … jauh sekali, langsung kesini, nda’ pegel sampeyan?” tanyanya dengan kepala maju sedikit.
“Sedikit sih pak, tapi kayaknya sudah biasa.”
“Pasti capek juga ya,” ungkapnya sambil menyisir kumisnya dengan jari telunjuk dan jempolnya.
“Ya, begitulah pak kerjaan kami,” jawabku dengan senyum masih terangkat.
Kemudian beliau mulai cerita berbagai macam hal, mulai dari hobinya memelihara ayam mungil tersebut hingga tentang bagaimana ia memulai bisnis hingga pensiun saat ini dan cerita alasan kenapa ia menginvestasikan hartanya ke Dito. Perasaan berkah yang ia dengar saat mengetahui ada perusahaan yang fokus dalam bioteknologi membuat ia tidak berpikir panjang dan langsung menyerahkan uangnya.
Namun semua berubah menjadi sedih saat ia mengungkapkan kalau istrinya wafat saat karena gagal ginjal dan menolak transplantasi dengan alasan kemanusiaan. Ia berharap dengan perusahaan yang Dito cetus membuat orang orang mendapatkan kesempatan untuk hidup lebih lama tanpa mengurangi nyawa orang lain.
Setelah itu, ia kembali bangkit semangat saat mendengar kesuksesan yang Dito dapat dan mimpinya menjadi nyata. Rasa senang itu tertuang di dalam wajahnya yang tidak ada habisnya tersenyum, ia seperti sudah menahan perasaan ini sangat lama dan menumpahkan semuanya pada kami layaknya anak sendiri.
“Rani!, sini!” Teriaknya memanggil nama itu.
Tidak lama kemudian, keluar seorang gadis dari dalam pintu depan. Wajahnya cerah tersinar mentari, tirus dan cantik dengan berbibir tipis menawan, wajah ayahnya sedikit tidak begitu nampak di dirinya, namun senyum indah yang ia berikan pasti warisan yang tidak bisa hilang darinya. pakaian tertutup dengan hijab menambah kesan manisnya.
Wajah senyum putihnyanya seketika berubah kemerahan saat melihat ada dua tamu yang tidak terduga di depan ayahnya.
Wajahnya tertunduk sedikit, berusaha memalingkan pandangannya dari kami. “Ada apa ya ayah?”
“Duduk sini, ada dua tamu khusus,” ucapnya sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya.
dengan langkah kecil perlahan ia menghampiri ayahnya dan duduk di sampingnya, masih tertunduk dalam tatapannya yang menatap lantai, sesekali mencuri pandangan melihat kami.
“Ini anak saya semata wayang, tolong kalian jaga ya.”
Ucapanya itu sontak mengagetkan kami, tidak disangka ia telah mengarah ke pembahasan masalah itu. Bukan hanya ekspresi kami saja yang berubah, perempuan itu kemudian dibuat bingung dengan kata kata ayahnya, bahkan matanya sampai melirik seakan lupa dengan rasa malunya yang besar tadi.
“Aku sudah dengar dari adeknya Dito. Jujur saja, prioritaskan anak saya, tidak berguna jika saya hidup dan selamat kalau …” ucapnya dengan wajahan teruntuk, perasaan muram mencuat dari dirinya.
“Apa maksudnya yah?” tanya Rina penuh keheranan dengan semua hal yang tiba tiba berada di depannya.
“Ayah gak bisa jelasin, tapi mereka berdua ini akan menjaga kamu dari orang jahat,” ucapnya dengan mata mengkilat kilat.
Mata Rina menyerbu kami. “Siapa kalian?!” ucapnya geram.
Belum bibirku terangkat, suara gesekan besi dari arah gerbang muncul, mengheningkan suasana panas yang kami rasakan dan menaruh semua mata ke arah itu. Sosok serba hitam datang masuk lewat gerbang begitu saja tanpa memberikan isyarat ia berlari ke arah kami. Aku dan Ardi sigap berdiri, menaruh pandangan kami ke arahnya, tubuh pendek itu membuat kami langsung lega sekaligus heran. Nadya, apa yang ia lakukan disini.
Langkahnya cepatnya akhirnya sampai ke teras. Kami semua masih sepi melihatnya dengan nafas terengah engah berdiri lemas di depan kami. Anehnya si pemilik rumah dan anaknya tidak menyahut atau memarahi kelakuan Nadya yang tidak sopan ini.
“Pak Raden, Rina, Kak Ardi, Kak jaya … maaf gak sopan, bantuan baru saja tiba,” ucapnya sambil mengatur nafas.
“Bantuan? mana?!” kejarku saat mendengar berita baik darinya.
Nadya kemudian berdiri tegap dan langsung menodongkan jempolnya ke dirinya sendiri dengan dagu terangkat.
Rasa kecewa langsung memenuhi tubuhku, lemas hingga mataku tidak sanggup menyerngit seperti biasanya. Ini malah bisa dibilang kerjaan tambahan untuk kami.
aripinastiko612 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
