- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#647
Jilid 19 [Part 424]
Spoiler for :
Quote:
“KAREBET,” kata Tumenggung Prabasemi,
“Kau adalah anak muda yang mempunyai kesempatan yang sangat baik. Kau adalah seorang tamtama yang dipungut dari anak-anak muda yang berterbaran disana sini langsung oleh Sultan sendiri. Sehingga dengan demikian, kesempatan yang kau dapat, jauh lebih besar dari setiap kesempatan yang ada pada kami. Hampir tak pernah salah seorang di antara kami yang mendapat panggilan langsung dari Sultan selain dalam tugas-tugas kami. Tetapi kau pernah mendapat kesempatan itu. Kesempatan yang berada di luar tata peraturan para tamtama.”
“Kau adalah anak muda yang mempunyai kesempatan yang sangat baik. Kau adalah seorang tamtama yang dipungut dari anak-anak muda yang berterbaran disana sini langsung oleh Sultan sendiri. Sehingga dengan demikian, kesempatan yang kau dapat, jauh lebih besar dari setiap kesempatan yang ada pada kami. Hampir tak pernah salah seorang di antara kami yang mendapat panggilan langsung dari Sultan selain dalam tugas-tugas kami. Tetapi kau pernah mendapat kesempatan itu. Kesempatan yang berada di luar tata peraturan para tamtama.”
Karebet masih belum tahu, apakah sebenarnya yang akan dikatakan oleh Tumenggung Prabasemi. Karena itu ia menunggu saja sampai Tumenggung itu berkata,
Quote:
“Karebet. Adalah aneh, kalau aku beberapa hari yang lalu, untuk pertama kalinya melihat wajah putri bungsu Sultan. Sebelumnya aku memang pernah melihatnya. Namun sejak putri itu menginjak usia remajanya, dan kemudian mengalami pingitan, aku tidak pernah melihatnya lagi. Namun tiba-tiba aku mendapat kesempatan untuk memandang wajahnya. Wajah yang betapa cerahnya, sehingga aku menjadi silau karenanya.”
Dada mas Karebet berdesir mendengar kata-kata itu. Memang puteri Sultan itu demikian cantiknya. Namun apabila pujian itu keluar dari mulut seorang laki-laki, maka hati mas Karebet itu terasa seakan-akan meronta.
Ternyata kemudian Tumenggung Prabasemi berkata pula,
Quote:
“Barangkali aku telah menjadi gila, Karebet. Namun aku benar-benar ingin mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk dapat memandang wajah itu. Kesempatan yang kedua aku dapat memandang wajahnya, adalah dua hari yang lampau. Ketika putri Sultan itu bermain-main di gerbang keputren.”
Kerebet menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab. Yang berkata seterusnya adalah Tumenggung itu,
Quote:
“Karebet, apakah kau pernah melihat putri itu pula?”
Dengan kaku Karebet menganggukkan kepalanya, jawabnya,
“Ya Ki Tumenggung. Aku pernah melihatnya.”
Tumenggung Prabasemi mengangguk sambil tersenyum,
“Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Tak ada kesan apapun padaku, Ki Tumenggung.”
Tumenggung itu tertawa. Katanya,
“Alangkah bodohnya kau Karebet. Tetapi tak apalah. Mungkin tangkapanmu lebih baik daripada aku. Atau aku memang sudah betul-betul gila.”
Kemudian setelah diam sesaat ia berkata,
“Apakah kau dapat menolong aku?”
Karebet mengerutkan keningnya. Katanya,
“Apakah yang harus aku lakukan?”
“Karebet…”, kata Tumenggung itu dengan ragu-ragu,
“Kalau sekali waktu kau dipanggil oleh Sultan, dan apabila kau lewat di muka gerbang Kaputren, serta kau lihat putri itu di sana, maka katakanlah, bahwa seorang Tumenggung menyampaikan sembah sujudnya untuk putri.”
Dengan kaku Karebet menganggukkan kepalanya, jawabnya,
“Ya Ki Tumenggung. Aku pernah melihatnya.”
Tumenggung Prabasemi mengangguk sambil tersenyum,
“Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Tak ada kesan apapun padaku, Ki Tumenggung.”
Tumenggung itu tertawa. Katanya,
“Alangkah bodohnya kau Karebet. Tetapi tak apalah. Mungkin tangkapanmu lebih baik daripada aku. Atau aku memang sudah betul-betul gila.”
Kemudian setelah diam sesaat ia berkata,
“Apakah kau dapat menolong aku?”
Karebet mengerutkan keningnya. Katanya,
“Apakah yang harus aku lakukan?”
“Karebet…”, kata Tumenggung itu dengan ragu-ragu,
“Kalau sekali waktu kau dipanggil oleh Sultan, dan apabila kau lewat di muka gerbang Kaputren, serta kau lihat putri itu di sana, maka katakanlah, bahwa seorang Tumenggung menyampaikan sembah sujudnya untuk putri.”
Karebet menunggu Tumenggung itu berkata terus, namun kata-kata itu tak dilanjutkannya, sehingga Karebet itu bertanya,
Quote:
“Hanya itu saja?”
“Ya. Hanya itu. Katakan kepada puteri, bahwa Tumenggung Prabasemi sangat mengangumi kecantikan putri itu.”
Karebet mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian jawabnya,
“Baik Ki Tumenggung. Tetapi bolehkah aku bertanya, apakah keuntungan Tumenggung dengan pesan itu?”
Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya, kemudian ia tertawa,
“Kau memang bodoh Karebet. Biarlah tak kau ketahui keuntunganku dengan pesan itu. Namun apabila pada suatu ketika kau mendapat pesan dari putri itu, sampaikan pesan itu kepadaku.”
Mas Karebet tersenyum. Katanya,
“Aku memang bodoh. Tetapi aku tidak sebodoh seperti yang Ki Tumenggung sangka. Aku tahu maksud Ki Tumenggung. Tetapi, bukankah puteri itu putri Sultan.”
Prabasemi tersenyum,
“Itulah. Mungkin aku benar-benar sudah menjadi gila. Tetapi apakah kau sangka bahwa seorang Tumenggung tidak boleh berkenalan dengan putri raja? Aku adalah Tumenggung yang mendapat kepercayaan Sultan dalam bidang keprajuritan. Apa salahnya, apabila pada suatu ketika aku mampu menaklukkan daerah pesisir wetanan, dan aku mendapat triman putri itu?”
“Mudah-mudahan,” jawab Karebet,
“Dan Tumenggung akan mendapat gelar Pangeran. Pangeran Prabasemi.”
“Ya. Hanya itu. Katakan kepada puteri, bahwa Tumenggung Prabasemi sangat mengangumi kecantikan putri itu.”
Karebet mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian jawabnya,
“Baik Ki Tumenggung. Tetapi bolehkah aku bertanya, apakah keuntungan Tumenggung dengan pesan itu?”
Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya, kemudian ia tertawa,
“Kau memang bodoh Karebet. Biarlah tak kau ketahui keuntunganku dengan pesan itu. Namun apabila pada suatu ketika kau mendapat pesan dari putri itu, sampaikan pesan itu kepadaku.”
Mas Karebet tersenyum. Katanya,
“Aku memang bodoh. Tetapi aku tidak sebodoh seperti yang Ki Tumenggung sangka. Aku tahu maksud Ki Tumenggung. Tetapi, bukankah puteri itu putri Sultan.”
Prabasemi tersenyum,
“Itulah. Mungkin aku benar-benar sudah menjadi gila. Tetapi apakah kau sangka bahwa seorang Tumenggung tidak boleh berkenalan dengan putri raja? Aku adalah Tumenggung yang mendapat kepercayaan Sultan dalam bidang keprajuritan. Apa salahnya, apabila pada suatu ketika aku mampu menaklukkan daerah pesisir wetanan, dan aku mendapat triman putri itu?”
“Mudah-mudahan,” jawab Karebet,
“Dan Tumenggung akan mendapat gelar Pangeran. Pangeran Prabasemi.”
Prabasemi tertawa. Ia menjadi puas dengan angan-angannya. Ia mengharap Karebet akan memenuhi permintaannya. Dan ia mengharap putri itu pun telah pernah mendengar namanya dari Sultan sendiri, seorang Tumenggung, perwira Tamtama yang sakti. Bukankah dengan demikian, putri itu setidak-tidaknya ingin melihat wajah perwira yang sakti itu?.
TERNYATA yang dipesannya adalah seorang anak muda yang bernama Karebet. Seorang anak muda yang selalu menuruti perasaan sendiri, yang kadang-kadang terlalu aneh.
Demikianlah beberapa hari kemudian, Prabasemi itu berkata kepada Karebet,
Quote:
“Karebet, apakah kau sudah mendapat kesempatan itu?”
Mas Karebet tersenyum, jawabnya,
“Sudah, Ki Tumenggung.”
“He…?” Ki Tumenggung sangat tertarik kepada jawaban itu.
“Aku telah dipanggil oleh Baginda, kemarin,” kata Karebet.
“Untuk apa?”
“Memijit kaki Baginda. Bukankah aku pernah belajar memijit?” sahut Karebet.
“Oh, pantas. Baginda sering memanggilmu,” kata Prabasemi. “Tetapi apakah kau sempat bertemu dengan putri?” Karebet mengangguk.
“Ya, Ki Tumenggung,” jawab Karebet.
“Tetapi aku tidak sempat menyampaikan pesan Ki Tumenggung.”
“Gila,” gerutu Prabasemi dengan kecewa,
“Kenapa?”
“Aku tidak dapat mendekatinya,” sahut Karebet,
“Putri itu hanya lewat di muka bilik pembaringan Baginda.”
Prabasemi mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya,
“Karebet, lain kali kau harus berhasil. Kau akan mendapat hadiah yang pasti akan sangat menyenangkan bagimu.”
“Apakah hadiah itu?” tanya Karebet.
“Lembu, kerbau, uang atau apa?”
“Baik. Baik Ki Tumenggung,” jawab Karebet.
Mas Karebet tersenyum, jawabnya,
“Sudah, Ki Tumenggung.”
“He…?” Ki Tumenggung sangat tertarik kepada jawaban itu.
“Aku telah dipanggil oleh Baginda, kemarin,” kata Karebet.
“Untuk apa?”
“Memijit kaki Baginda. Bukankah aku pernah belajar memijit?” sahut Karebet.
“Oh, pantas. Baginda sering memanggilmu,” kata Prabasemi. “Tetapi apakah kau sempat bertemu dengan putri?” Karebet mengangguk.
“Ya, Ki Tumenggung,” jawab Karebet.
“Tetapi aku tidak sempat menyampaikan pesan Ki Tumenggung.”
“Gila,” gerutu Prabasemi dengan kecewa,
“Kenapa?”
“Aku tidak dapat mendekatinya,” sahut Karebet,
“Putri itu hanya lewat di muka bilik pembaringan Baginda.”
Prabasemi mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya,
“Karebet, lain kali kau harus berhasil. Kau akan mendapat hadiah yang pasti akan sangat menyenangkan bagimu.”
“Apakah hadiah itu?” tanya Karebet.
“Lembu, kerbau, uang atau apa?”
“Baik. Baik Ki Tumenggung,” jawab Karebet.
Dan sebenarnyalah beberapa hari kemudian Karebet itu datang kepada Ki Tumenggung Prabasemi. Sambil tersenyum ia berkata,
Quote:
“Ki Tumenggung, aku telah menghadap Sultan pula.”
“Memijit?” tanya Prabasemi.
“Ya. Aku memijit Sultan sehingga Sultan tertidur,” kata Karebet.
“Ah. Biarlah Baginda tertidur. Tetapi bagaimana dengan pesan itu?”
“Itulah yang akan aku katakan. Ketika Sultan tertidur, maka putri itu lewat pula di muka bilik pembaringan Sultan. Ternyata putri baru saja menghadap Ibunda dan akan kembali ke keputren bersama dua orang embannya.”
“Kau sampaikan pesan itu?”
Karebet menggeleng.
“Tidak, Ki Tumenggung.”
“Gila!” teriaknya,
“Apakah kau juga gila seperti aku, Karebet? Namun kau gila sebenarnya gila, sedang aku gila karena gadis itu.”
Karebet hanya tersenyum saja. Katanya,
“Apakah Ki Tumenggung tidak keberatan seandainya kedua embannya itu mendengar?”
“Jangan. Jangan,” potongnya.
“Nah, itulah sebabnya,” sahut Karebet,
“Lain kali akan aku coba.”
“Memijit?” tanya Prabasemi.
“Ya. Aku memijit Sultan sehingga Sultan tertidur,” kata Karebet.
“Ah. Biarlah Baginda tertidur. Tetapi bagaimana dengan pesan itu?”
“Itulah yang akan aku katakan. Ketika Sultan tertidur, maka putri itu lewat pula di muka bilik pembaringan Sultan. Ternyata putri baru saja menghadap Ibunda dan akan kembali ke keputren bersama dua orang embannya.”
“Kau sampaikan pesan itu?”
Karebet menggeleng.
“Tidak, Ki Tumenggung.”
“Gila!” teriaknya,
“Apakah kau juga gila seperti aku, Karebet? Namun kau gila sebenarnya gila, sedang aku gila karena gadis itu.”
Karebet hanya tersenyum saja. Katanya,
“Apakah Ki Tumenggung tidak keberatan seandainya kedua embannya itu mendengar?”
“Jangan. Jangan,” potongnya.
“Nah, itulah sebabnya,” sahut Karebet,
“Lain kali akan aku coba.”
Tetapi beberapa hari kemudian Karebet menemui Prabasemi dengan wajah yang sedih. Prabasemi terkejut karenanya. Maka dengan tergesa-gesa terdengar ia berkata,
Quote:
“Bagaimanakah dengan pesan itu Karebet?”
Karebet masih tetap tepekur dengan wajah muram. Perlahan-lahan ia berkata,
“Ki Tumenggung. Kali ini aku telah benar-benar dapat bertemu dengan putri.”
“Ha?” sahut Prabasemi,
“Kau sampaikan pesan itu?”
“Ya,” jawab Karebet.
“Nah, ternyata kau tidak sebodoh yang aku sangka. Tetapi kenapa kau sedih?”
“Aku ditamparnya,” sahut Karebet.
“Siapa yang menampar?”
“Putri.”
“Benar?”
“Ya.”
“Oh!” Tiba-tiba Prabasemi berdesah,
“Kau berkata sebenarnya?”
“Ya.”
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Aku hampir saja membalasnya.”
“He?” teriak Prabasemi,
“Kau benar-benar gila. Apakah dengan demikian kau tidak menyadari, bahwa kau dapat dihukum, bahkan hukuman mati?”
“Hampir, Ki Tumenggung. Hampir. Tetapi tidak jadi.”
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku sampaikan itu.”
“Lalu?” Prabasemi menjadi tidak sabar.
“Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku sampaikan itu.”
Karebet masih tetap tepekur dengan wajah muram. Perlahan-lahan ia berkata,
“Ki Tumenggung. Kali ini aku telah benar-benar dapat bertemu dengan putri.”
“Ha?” sahut Prabasemi,
“Kau sampaikan pesan itu?”
“Ya,” jawab Karebet.
“Nah, ternyata kau tidak sebodoh yang aku sangka. Tetapi kenapa kau sedih?”
“Aku ditamparnya,” sahut Karebet.
“Siapa yang menampar?”
“Putri.”
“Benar?”
“Ya.”
“Oh!” Tiba-tiba Prabasemi berdesah,
“Kau berkata sebenarnya?”
“Ya.”
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Aku hampir saja membalasnya.”
“He?” teriak Prabasemi,
“Kau benar-benar gila. Apakah dengan demikian kau tidak menyadari, bahwa kau dapat dihukum, bahkan hukuman mati?”
“Hampir, Ki Tumenggung. Hampir. Tetapi tidak jadi.”
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku sampaikan itu.”
“Lalu?” Prabasemi menjadi tidak sabar.
“Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku sampaikan itu.”
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas