- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#644
Jilid 19 [Part 422]
Spoiler for :
Quote:
“Jangan Widuri,”
ayahnya berdesis. Cubitan Widuri memang sakit. Tetapi justru karena itu, orang-orang lainpun mengetahuinya.Bahkan kemudian Wilis menggodanya pula,
Quote:
“apakah di BanyuBiru ada yang mengikatmu Widuri?”.
“Ada,” sahut Widuri sambil memiringkan bibirnya.
“Siapa?,” desak Wilis.
“Jaka Soka,” jawabnya.
Dan yang lainpun tertawa.
Sesaat kemudian Kebo Kanigara berkata,
“Biarkanlah Panembahan Ismaya pulang sendiri. Tak akan ada bahaya yang mengancamnya. Dan kita, maril
ah kita temui Ki Ageng Gajah Sora.”“Ada,” sahut Widuri sambil memiringkan bibirnya.
“Siapa?,” desak Wilis.
“Jaka Soka,” jawabnya.
Dan yang lainpun tertawa.
Sesaat kemudian Kebo Kanigara berkata,
“Biarkanlah Panembahan Ismaya pulang sendiri. Tak akan ada bahaya yang mengancamnya. Dan kita, maril
Seperti orang tersadar dari mimpi, mereka sekali-kali memandang kearah api yang hampir padam. Sesaat kemudian merekapun segera mendapatkan kuda-kuda mereka lalu meloncat ke punggungnya. Mereka kini tidak perlu berpacu lagi. Meskipun demikian kuda-kuda itupun berlari cukup cepat.
Banyak persoalan yang berputar-putar dikepala Rara Wilis dan bahkan didalam hati Ki Ageng Pandan Alas. Bagaimana kedua keris itu tiba-tiba saja ada di tangan Panembahan Ismaya. Mereka telah pernah mendengar cerita Mahesa Jenar, apalagi Ki Ageng Pandan Alas, sesaat setelah keris itu hilang, Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera mendapatkannya di alun-alun Banyu Biru, dan mengatakan bahwa sepasang keris itu diambil oleh seseorang yang mengenakan jubah abu-abu, bahkan pada saat itu, Mahesa Jenar dan GajahSora menyangka bahwa orang itu adalah Pasingsingan.
Meskipun demikian, dengan bijaksana mereka akan menyimpan pertanyaan itu, sampai nanti pada saatnya, Mahesa Jenar pasti akan mengatakannya.
Beberapa saat kemudian, ketika Mahesa Jenar menoleh ke lereng bukit Telamaya, dilihatnya api sudah tidak berdaya lagi untuk merambat ke barat. Asap putih kemerahan masih tampak mengepul tinggi, kemudian pecah berserakan ditiup angin malam yang lemah. Sehelai helai asap itu masih nampak mengalir ke selatan menghantam bukit.
Quote:
“Api telah padam,” desisnya.
Yang lainpun memandang sesaat ke lereng. Sebuah lapangan hitam merah menganga di kaki bukit Telamaya. Bekas-bekas api itu tampak seperti sebuah luka parah, yang menempel di tebing bukit.
Ketika mereka sudah mendaki lebih tinggi lagi, sampailah mereka ke tempat orang-orang Banyu Biru berkumpul setelah berjuang menebas perdu dan alang-alang serta membuat parit kelereng bukit.
Ketika Mahesa Jenar melihat Wanamerta tua berdiri bersandar tangkai pacul maka segera disapanya,
Quote:
“pekerjaan paman ternyata berhasil.”
Wanamerta menoleh. Sambil mengatur nafasnya ia menjawab,
“Ah, bukan pekerjaanku. Pekerjaan kita semua.”
“Ya,” sahut Mahesa Jenar,
“pekerjaan kita semua.”
“Dari manakah anakmas tadi?,” Wanamerta bertanya.
“Mengejar kelinci.”
“He,” Wanamerta heran.
“Aku telah menemukan sebab dari kebakaran ini”
“He”
“Nanti aku ceritakan, dimana kakang Gajah Sora dan Arya Salaka?”
“Disana, disebelah timur,” jawab Wanamerta.
“Aku ingin menemuinya,” kata Mahesa Jenar sambil melangkah.
“Nanti dulu,” tiba-tiba Wanamerta berteriak,
“Siapa?”
“Kakang Gajah Sora,” jawab Mahesa Jenar.
“Gajah Sora. Gajah Sora?” orangtua yang gemuk itu bergumam,
“O…” tiba-tiba Wanamerta seperti disengat kelabang.
“Ya, tadi aku melihatnya. Tadi aku sudah bercakap-cakap dengan Ki Ageng.” Wanamerta mengingat-ingat,
“Tetapi, bukankah Ki Ageng berada di Demak?”
“Sudah pulang,” jawab Mahesa Jenar pendek.
“Ya, sudah pulang. Aku sudah melihatnya,” ulang Wanamerta.
Wanamerta menoleh. Sambil mengatur nafasnya ia menjawab,
“Ah, bukan pekerjaanku. Pekerjaan kita semua.”
“Ya,” sahut Mahesa Jenar,
“pekerjaan kita semua.”
“Dari manakah anakmas tadi?,” Wanamerta bertanya.
“Mengejar kelinci.”
“He,” Wanamerta heran.
“Aku telah menemukan sebab dari kebakaran ini”
“He”
“Nanti aku ceritakan, dimana kakang Gajah Sora dan Arya Salaka?”
“Disana, disebelah timur,” jawab Wanamerta.
“Aku ingin menemuinya,” kata Mahesa Jenar sambil melangkah.
“Nanti dulu,” tiba-tiba Wanamerta berteriak,
“Siapa?”
“Kakang Gajah Sora,” jawab Mahesa Jenar.
“Gajah Sora. Gajah Sora?” orangtua yang gemuk itu bergumam,
“O…” tiba-tiba Wanamerta seperti disengat kelabang.
“Ya, tadi aku melihatnya. Tadi aku sudah bercakap-cakap dengan Ki Ageng.” Wanamerta mengingat-ingat,
“Tetapi, bukankah Ki Ageng berada di Demak?”
“Sudah pulang,” jawab Mahesa Jenar pendek.
“Ya, sudah pulang. Aku sudah melihatnya,” ulang Wanamerta.
Dan tiba-tiba saja orang tua itu melemparkan paculnya. Dengan meloncat-loncat ia berlari kencang-kencang ke arah timur. Terdengarlah ia berteriak-teriak,
Quote:
“He, Ki Ageng Gajah Sora telah kembali.”
Laskar Banyubiru yang baru saja datang dari Pamingit tidak terkejut. Mereka telah menemui kepala daerah yang mereka suyudi. Namun bagi mereka yang tinggal di Banyubiru, teriakan itu seakan-akan mengetuk-ngetuk hati mereka keras sekali. Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pun segera mengikuti arah Ki Wanamerta. Menyusup di antara orang-orang Banyubiru yang masih berdiri di sana-sini dengan alat-alat di tangan mereka. Ketika Wanamerta melihat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di samping Arya Salaka dan Nyai Ageng Gajah Sora, terdengarlah Wanamerta itu berteriak keras-keras,
Quote:
“Angger, kau telah datang di antara kami.”
Dan sebelum Gajah Sora menjawab, orang tua itu telah menubruknya. Dirangkulnya Gajah Sora seperti memeluk anaknya yang telah hilang, dan kini ditemuinya kembali.
Gajah Sora terkejut, bahkan ia menjadi heran. Wanamerta telah melihatnya tadi. Tetapi ia berdiam diri dan membiarkan orang tua itu menangis terisah-isak. Ya, orang tua yang setia itu menangis. Di sela-sela tangisnya terdengar Wanamerta berkata,
Quote:
“Aku telah melihat Angger tadi. Tetapi karena ketegangan urat syarafku, maka aku menyangka bahwa Angger sudah lama tidak berada di Banyubiru. Dan kini Angger telah kembali. Kembali seperti apa yang kami harapkan. Bahkan kami yakini, bahwa pada saatnya Angger akan kembali.”
“Terimakasih Paman,” jawab Gajah Sora.
“Terimakasih Paman,” jawab Gajah Sora.
Perlahan-lahan Wanamerta melepaskan tangannya. Kemudian Gajah Sora itu pun diperkenalkan dengan Mantingan dan Wirasaba yang selama ini ikut serta membantu mereka, merasakan pahit getir bersama rakyat Banyubiru yang setia. Setia kepada cita-cita mereka, setia pada tanah mereka. Kini semua sudah lalu. Tak ada persoalan lagi antara Pamingit dan Banyubiru.
Tak ada persoalan lagi antara Banyubiru dan gerombolan-gerombolan liar yang dikemudikan oleh orang-orang sakti yang berilmu nasar. Sebab mereka telah dibinasakan oleh kekuatan-kekuatan yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Malam bertambah dalam juga. Api di lereng telah padam. Kini mereka sudah dapat beristirahat. Laskar yang datang dari Pamingit pun segera pulang ke rumah masing-masing. Menemui keluarga mereka untuk menyatakan keselamatan diri. Beberapa orang terpaksa berkabung karena kehilangan sanak kadang mereka. Namun mereka yakin bahwa arwah-arwah mereka itu akan diterima oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. Sebab mereka gugur dalam perjuangan untuk menegakkan rasa cinta kasih sesama, rasa cinta kasih kepada Tuhannya. Yang akan datang adalah hari esok yang penuh dengan kerja. Memperbaiki tanggul yang jebol, menanami kembali lereng-lereng bukit yang gundul untuk menahan arus air hujan. Namun kerja itu akan dilakukan dengan hati yang cerah di hari-hari yang cerah pula. Ketika matahari pada keesokan harinya memancarkan cahayanya yang lembut menyentuh permukaan Rawa Pening, sibuklah orang-orang Banyubiru dengan kerja masing-masing. Wajah-wajah mereka yang riang menggambarkan isi hati mereka yang terang. Mereka telah merencanakan untuk menyelenggarakan suatu wiwahan sebagai pernyataan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah melimpahkan cinta kasih-Nya kepada rakyat Banyubiru.
Di pendapa rumah Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyubiru, berdirilah seorang anak muda yang gagah, berdada bidang, berwajah jernih. Ia kini tidak lagi mengenakan pakaian yang lungset kumal. Namun kini ia telah pantas disebut sebagai putra Kepala Daerah Perdikan Banyubiru. Dengan wajah yang cerah ia melihat betapa rakyatnya sibuk mempersiapkan hari yang akan mereka rayakan bersama. Beberapa orang memasang janur-janur kuning dan yang lain membuat obor-obor yang besar. Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia melihat seorang gadis duduk di tangga gandhok kulon. Gadis itu pun berwajah cerah secerah matahari. Tanpa disadarinya, selangkah demi selangkah ia pergi menemui gadis itu.
Quote:
“Bukankah kau ingin melihat Rawa Pening?” ajak Arya Salaka.
GADIS itu tersenyum. Segera ia berdiri. Namun kemudian wajahnya menjadi kemerah-merahan. Sambil duduk kembali ia menggeleng,
Quote:
“Nanti Kakang, Ayah sedang mandi.”
“Kita pergi berdua,” ajak Arya Salaka.
“Kita pergi berdua,” ajak Arya Salaka.
Widuri menggeleng. Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja timbullah perasaan malu di dalam dadanya. Perasaan yang selama ini tak pernah mengganggu dirinya. Karena itu ia menjawab,
Quote:
“Aku menunggu Ayah.”
Arya Salaka menjadi heran. Gadis itu telah mengalami suatu perubahan di dalam dirinya. Tetapi Arya Salaka tidak mengetahuinya. Ia menyangka bahwa ayah gadis itu pun telah mengajaknya pula. Maka katanya,
Quote:
“Baiklah Widuri. Nanti aku datang kembali.”
Arya Salaka pun perlahan-lahan melangkah pergi. Kembali ia menemani kerja rakyatnya. Tak mengenal lelah. Perlambang dari kemauan mereka di hari-hari yang akan datang. Kerja keras untuk menyongsong hari-hari yang bahagia bagi anak cucu mereka. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.
Sementara itu di gandhok wetan duduklah dalam satu lingkaran, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas. Mahesa Jenar dalam kesempatan itu telah menceriterakan beberapa persoalan mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Sehingga akhirnya Ki Ageng Pandan Alas berkata sambil mengangguk- anggukkan kepalanya,
Quote:
“Baru sekarang aku menjadi jelas. Karena itulah Panembahan Ismaya berkata, bahwa pekerjaanmu sudah hampir selesai.”
“Ya, Paman,” jawab Mahesa Jenar.
“Pada suatu saat, Anakmas…” kata Ki Ageng pula,
“Aku ingin juga pergi ke balik Gunung Gajah Mungkur itu. Tunjukkan kepadaku rumah orang yang bernama Paniling dan Darba, seperti yang Anakmas ceriterakan. Alangkah lucunya kalau aku melihat wajahnya. Persahabatan kami yang bertahun-tahun di masa lampau seperti persahabatan di dalam mimpi saja. Dan baru sekarang aku tahu bahwa Pasingsingan telah melampaui tiga masa.”
“Baiklah Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar,
“Besok aku antarkan Ki Ageng ke Pudak Pungkuran.”
Pembicaraan itu akhirnya terputus ketika mereka mendengar hiruk-pikuk di halaman.
“Mereka ingin merayakan hari yang cerah ini,” desis Rara Wilis.
“Aku akan melihat mereka,” kata Ki Ageng Pandan Alas sambil melangkah keluar.
“Ya, Paman,” jawab Mahesa Jenar.
“Pada suatu saat, Anakmas…” kata Ki Ageng pula,
“Aku ingin juga pergi ke balik Gunung Gajah Mungkur itu. Tunjukkan kepadaku rumah orang yang bernama Paniling dan Darba, seperti yang Anakmas ceriterakan. Alangkah lucunya kalau aku melihat wajahnya. Persahabatan kami yang bertahun-tahun di masa lampau seperti persahabatan di dalam mimpi saja. Dan baru sekarang aku tahu bahwa Pasingsingan telah melampaui tiga masa.”
“Baiklah Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar,
“Besok aku antarkan Ki Ageng ke Pudak Pungkuran.”
Pembicaraan itu akhirnya terputus ketika mereka mendengar hiruk-pikuk di halaman.
“Mereka ingin merayakan hari yang cerah ini,” desis Rara Wilis.
“Aku akan melihat mereka,” kata Ki Ageng Pandan Alas sambil melangkah keluar.
Tinggallah di dalam gandok itu Rara Wilis dan Mahesa Jenar. Untuk beberapa saat mereka terbungkam. Tak sepatah kata pun terlontar dari sela-sela bibir masing-masing. Bahkan kemudian terdengar nafas Rara Wilis semakin cepat mengalir. Akhirnya, setelah suasana gandok wetan itu hening sejenak, terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
Quote:
“Adakah kau ingin kembali ke Gunung Kidul?”
Rara Wilis mengangguk lemah. Katanya,
“Aku mempunyai beberapa keinginan, tetapi bukan akulah yang akan menentukan.”
“Kita tentukan bersama-sama,” jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis tersenyum, katanya,
“Terserahlah kepada Kakang.”
“Wilis,” tiba-tiba Mahesa Jenar berkata bersungguh-sungguh.
“Aku akan selalu mendekati keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Bagaimanakah kalau kami kemudian untuk sementara tinggal bersama-sama Panembahan Ismaya di Karang Tumaritis sebelum aku menyerahkannya kembali ke Demak bersama-sama Jaka Tingkir?”
“Terserahlah kepada Kakang. Tempat itu menyenangkan juga. Tenang dan tentram.”
Rara Wilis mengangguk lemah. Katanya,
“Aku mempunyai beberapa keinginan, tetapi bukan akulah yang akan menentukan.”
“Kita tentukan bersama-sama,” jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis tersenyum, katanya,
“Terserahlah kepada Kakang.”
“Wilis,” tiba-tiba Mahesa Jenar berkata bersungguh-sungguh.
“Aku akan selalu mendekati keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Bagaimanakah kalau kami kemudian untuk sementara tinggal bersama-sama Panembahan Ismaya di Karang Tumaritis sebelum aku menyerahkannya kembali ke Demak bersama-sama Jaka Tingkir?”
“Terserahlah kepada Kakang. Tempat itu menyenangkan juga. Tenang dan tentram.”
Kembali mereka terdiam. Namun di angan-angan mereka terancamlah harapan bagi masa depan mereka. Bukan karena mereka akan mendapat hadiah dan kedudukan, namun karena hati mereka yang telah bertemu dan berpadu, setelah sekian lama berjuang untuk mengabdikan diri mereka kepada tugas-tugas mereka.
uken276 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas