- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#639
Jilid 19 [Part 421]
Spoiler for :
KEMUDIAN kepada Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya berkata,
Dada Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Dipandangnya api yang semakin lama semakin susut. Bahkan diujung lereng, api telah hampir padam sama sekali. Hanya merah-merah baranya yang masih tampak memecah kepekatan malam. Air di bawah kaki mereka masih mengalir terus, meskipun tidak sederas semula. Sejalan dengan itu api menjadi semakin suram. Sekali-kali terdengar suara rakyat Banyubiru berteriak-teriak,
Panembahan Ismaya kemudian mengangkat kedua keris di tangannya, melampaui ubun-ubunnya dan kemudian menyarungkannya di warangkanya masing-masing. Wajahnya yang tenang, dalam, dan penuh ungkapan kedamaian itu masih memandangi sisa api yang memercik ke udara. Sekali masih tampak lidahnya menjilat tinggi, namun kemudian kembali surut. Kemudian Panembahan Ismaya memutar tubuhnya menghadap kepada kelima orang yang berdiri di sampingnya. Ketika ia melihat kehadiran Pandan Alas, Panembahan itu menyapanya,
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia masih harus menunggu sampai waktu yang tak tertentu. Namun agaknya Panembahan tua itu mengerti gelora perasaannya, sehingga dengan senyum ia berkata,
Namun tampak di wajah orang tua itu ia sedang merahasiakan sesuatu. Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Yang terdengar adalah sisa-sisa api dan teriakan-teriakan orang-orang Banyubiru yang masih memenuhi lereng. Mereka agaknya belum puas sebelum mereka melihat api itu padam sama sekali.
Kemudian terdengar Panembahan Ismaya berkata,
Sekali lagi wajah Mahesa Jenar terbanting ke tanah. Ketika ia mencuri pandang ke arah Rara Wilis, hatinya menjadi berdebar-debar. Dilihatnya setitik air mata menggantung di pelupuk gadis itu, berkilat-kilat karena cahaya api yang kemerah-merahan.
Kembali suasana menjadi sepi hening. Sekali lagi wajah Panembahan Ismaya menyapu api yang sudah hampir padam. Kemudian setelah menarik nafas panjang, Panembahan itu berkata,
Panembahan tua itu akhirnya berjalan perlahan-lahan meninggalkan mereka. Sama sekali tidak menunjukkan kesaktiannya sebagaimana apabila ia sedang mengenakan jubah abu-abu dan rana di wajahnya. Ia tidak lebih dari seorang Panembahan tua yang berjalan tertatih-tatih di antara batang-batang ilalang dan batu-batu yang terendam air. Namun beberapa langkah kemudian Panembahan itu berhenti dan berkata kepada Mahesa Jenar,
Panembahan itu bergumam perlahan-lahan, kemudian ia meneruskan perjalanannya kembali. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain masih saja berdiri mematung, mengawasi punggung Panembahan Ismaya. Ketika mereka melihat orang tua itu menyusup alang-alang yang lebat, maka hati mereka terguncang. Apalagi mereka yang belum mengenal siapakah sebenarnya Panembahan tua itu.
Bahkan terdengarlah Widuri berbisik,
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum di dalam hati. Gadis itu tidak akan berkata demikian seandainya ia tahu bahwa Panembahan Ismaya adalah Pasingsingan sepuh yang dahulu pernah bergelar Pangeran Buntara. Sebenarnya Ki Ageng Pandan Alas pun menjadi heran, bahwa Kebo Kanigara yang menjadi salah seorang putut-nya dan bernama Putut Karang Jati itu membiarkan orang setua Panembahan Ismaya menempuh perjalanan sendiri ke Karang Tumaritis. Jarak yang tidak terlalu dekat dari Banyubiru. Tetapi orang tua itu berpikir jauh. Kalau tak ada sesuatu sebab, pastilah Kebo Kanigara tak berbuat demikian. Dan bahkan Panembahan itu pasti akan minta kepada putut-nya untuk mengantarkannya.
Tiba-tiba Widuri terdiam. Apakah kepentingannya di Banyu Biru?. Terasa betapa beratnya meninggalkan tanah perdikan ini. Apakah karena bukit-bukitnya yang berjajar-jajar seperti benteng raksasa, apakah karena Rawa Pening yang berkilat memantulkan cahaya matahari disiang hari dan memantulkan cahaya bulan dan bintang-bintang dimalam hari?.
Tiba-tiba ia mendengar ayahnya tertawa. Widuri terkejut. Dan tahulah ia bahwa ayahnya tidak bersungguh sungguh menyuruhnya mengantarkan Panembahan Ismaya. Dan tahulah ia bahwa ayahnya sedang menggodanya.
Tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Serta merta dicubitnya lengan ayahnya keras-keras
Quote:
“Sesudah ini Mahesa Jenar, pekerjaanmu akan segera selesai.”
Dada Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Dipandangnya api yang semakin lama semakin susut. Bahkan diujung lereng, api telah hampir padam sama sekali. Hanya merah-merah baranya yang masih tampak memecah kepekatan malam. Air di bawah kaki mereka masih mengalir terus, meskipun tidak sederas semula. Sejalan dengan itu api menjadi semakin suram. Sekali-kali terdengar suara rakyat Banyubiru berteriak-teriak,
Quote:
“Api telah susut, api telah susut!”
Dan sahut yang lain meninggi,
“Alirkan air dari segenap parit ke mari. Terus, jangan berhenti sebelum padam sama sekali.”
Dan sahut yang lain meninggi,
“Alirkan air dari segenap parit ke mari. Terus, jangan berhenti sebelum padam sama sekali.”
Panembahan Ismaya kemudian mengangkat kedua keris di tangannya, melampaui ubun-ubunnya dan kemudian menyarungkannya di warangkanya masing-masing. Wajahnya yang tenang, dalam, dan penuh ungkapan kedamaian itu masih memandangi sisa api yang memercik ke udara. Sekali masih tampak lidahnya menjilat tinggi, namun kemudian kembali surut. Kemudian Panembahan Ismaya memutar tubuhnya menghadap kepada kelima orang yang berdiri di sampingnya. Ketika ia melihat kehadiran Pandan Alas, Panembahan itu menyapanya,
Quote:
“Ah, agaknya Ki Ageng Pandan Alas juga melihat api itu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Api itu benar-benar mengejutkan, Panembahan.”
“Tetapi sebentar lagi api itu akan padam,” jawab Panembahan Ismaya.
“Dan dengan demikian akan selesai pula kisah perantauan Rangga Tohjaya.”
“Apakah pekerjaanku sudah selesai Panembahan?” tanya Mahesa Jenar.
“Sudah, meskipun belum bulat,” jawab Panembahan Ismaya,
“Tetapi sisanya tak dapat kau lakukan sekarang, nanti atau seminggu dua minggu, atau sebulan atau dua bulan lagi.”
Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Api itu benar-benar mengejutkan, Panembahan.”
“Tetapi sebentar lagi api itu akan padam,” jawab Panembahan Ismaya.
“Dan dengan demikian akan selesai pula kisah perantauan Rangga Tohjaya.”
“Apakah pekerjaanku sudah selesai Panembahan?” tanya Mahesa Jenar.
“Sudah, meskipun belum bulat,” jawab Panembahan Ismaya,
“Tetapi sisanya tak dapat kau lakukan sekarang, nanti atau seminggu dua minggu, atau sebulan atau dua bulan lagi.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia masih harus menunggu sampai waktu yang tak tertentu. Namun agaknya Panembahan tua itu mengerti gelora perasaannya, sehingga dengan senyum ia berkata,
Quote:
“Meskipun demikian Mahesa Jenar, pekerjaan yang tersisa itu adalah pekerjaan yang semudah-mudahnya, sehingga kau tak usaha prihatin karenanya. Selama ini kau dapat melaksanakan segala rencana pribadimu.”
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya, dan tiba-tiba wajah Rara Wilis pun menjadi kemerah-merahan.
“Apakah sisa pekerjaan itu, Panembahan?” tanya Mahesa Jenar untuk mengalihkan perhatian mereka.
“Menyerahkan keris-keris ini ke Demak,” jawab Panembahan Ismaya.
“Kenapa tidak besok, lusa bahkan seminggu dua minggu?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Sudah aku katakan sebabnya,” sahut Panembahan tua itu.
“Dan sekarang aku menjadi semakin jelas menghadapi persoalan keris-keris ini. Aku telah bertemu dengan seorang Wali yang waskita, yang meramalkan bahwa seorang anak gembala akan merayap naik ke atas tahta. Kepada Wali yang bijaksana itu pun aku telah mengaku bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada padaku. Tetapi Wali itu berkata, “Simpanlah dan serahkanlah ke Demak bersama-sama anak gembala itu.”
“Dan beruntunglah kau Kebo Kanigara bahwa anak gembala itu adalah kemenakanmu yang nakal itu.”
“Karebet?” sahut Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab Panembahan Ismaya.
“Ia berada di sini sekarang, Penembahan,” kata Kebo Kanigara,
“Justru sedang dalam pembuangan karena ia melakukan kesalahan di istana.”
“Anak itu sekarang berada di rumah Ki Buyut,” jawab Panembahan Ismaya,
“Ia sedang membuat suatu rencana permainan yang mengasyikkan.”
“Apakah rencana itu?” desak Kebo Kanigara.
Panembahan Ismaya menggeleng lemah,
“Aku tak tahu,” jawabnya.
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya, dan tiba-tiba wajah Rara Wilis pun menjadi kemerah-merahan.
“Apakah sisa pekerjaan itu, Panembahan?” tanya Mahesa Jenar untuk mengalihkan perhatian mereka.
“Menyerahkan keris-keris ini ke Demak,” jawab Panembahan Ismaya.
“Kenapa tidak besok, lusa bahkan seminggu dua minggu?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Sudah aku katakan sebabnya,” sahut Panembahan tua itu.
“Dan sekarang aku menjadi semakin jelas menghadapi persoalan keris-keris ini. Aku telah bertemu dengan seorang Wali yang waskita, yang meramalkan bahwa seorang anak gembala akan merayap naik ke atas tahta. Kepada Wali yang bijaksana itu pun aku telah mengaku bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada padaku. Tetapi Wali itu berkata, “Simpanlah dan serahkanlah ke Demak bersama-sama anak gembala itu.”
“Dan beruntunglah kau Kebo Kanigara bahwa anak gembala itu adalah kemenakanmu yang nakal itu.”
“Karebet?” sahut Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab Panembahan Ismaya.
“Ia berada di sini sekarang, Penembahan,” kata Kebo Kanigara,
“Justru sedang dalam pembuangan karena ia melakukan kesalahan di istana.”
“Anak itu sekarang berada di rumah Ki Buyut,” jawab Panembahan Ismaya,
“Ia sedang membuat suatu rencana permainan yang mengasyikkan.”
“Apakah rencana itu?” desak Kebo Kanigara.
Panembahan Ismaya menggeleng lemah,
“Aku tak tahu,” jawabnya.
Namun tampak di wajah orang tua itu ia sedang merahasiakan sesuatu. Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Yang terdengar adalah sisa-sisa api dan teriakan-teriakan orang-orang Banyubiru yang masih memenuhi lereng. Mereka agaknya belum puas sebelum mereka melihat api itu padam sama sekali.
Kemudian terdengar Panembahan Ismaya berkata,
Quote:
“Kembalilah kepada mereka. Kalian akan dapat tidur nyenyak untuk seterusnya. Banyubiru akan pulih kembali. Gajah Sora telah berada di tempatnya, dan Lembu Sora telah meyakini kesalahannya. Bahkan anaknya satu-satunya telah menjadi korban."
"Sedangkan kau Mahesa Jenar, keris yang kau cari telah kau ketemukan. Bahkan kau telah menemukan pula sebuah hati, hati yang setia dan teguh pada janji.”
"Sedangkan kau Mahesa Jenar, keris yang kau cari telah kau ketemukan. Bahkan kau telah menemukan pula sebuah hati, hati yang setia dan teguh pada janji.”
Sekali lagi wajah Mahesa Jenar terbanting ke tanah. Ketika ia mencuri pandang ke arah Rara Wilis, hatinya menjadi berdebar-debar. Dilihatnya setitik air mata menggantung di pelupuk gadis itu, berkilat-kilat karena cahaya api yang kemerah-merahan.
Quote:
“KI AGENG,” tiba-tiba terdengar suara Panembahan Ismaya bersungguh- sungguh,
“Sungguh aku tak mengenal kesopanan, namun kesopanan-kesopanan itu akan dipenuhi kelak. Ki, aku tak sabar lagi menunggu saat yang telah sekian lama terendam di dada Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Baiklah aku mendahului segalanya, bahwa pada saatnya aku dan Kanigara akan bersedia mewakili keluarga Mahesa Jenar datang kepada Ki Ageng untuk melamar cucu Ki Ageng.”
“Oh!” Orangtua dari Gunungkidul itu mengangguk-angguk,
“Telah lama aku menyediakan diri untuk menerima lamaran itu.”
“Sungguh aku tak mengenal kesopanan, namun kesopanan-kesopanan itu akan dipenuhi kelak. Ki, aku tak sabar lagi menunggu saat yang telah sekian lama terendam di dada Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Baiklah aku mendahului segalanya, bahwa pada saatnya aku dan Kanigara akan bersedia mewakili keluarga Mahesa Jenar datang kepada Ki Ageng untuk melamar cucu Ki Ageng.”
“Oh!” Orangtua dari Gunungkidul itu mengangguk-angguk,
“Telah lama aku menyediakan diri untuk menerima lamaran itu.”
Kembali suasana menjadi sepi hening. Sekali lagi wajah Panembahan Ismaya menyapu api yang sudah hampir padam. Kemudian setelah menarik nafas panjang, Panembahan itu berkata,
Quote:
“Marilah kita sowang-sowangan untuk sementara. Aku akan kembali ke Karang Tumirits. Kalian agaknya sudah ditunggu-tunggu oleh rakyat Banyubiru.”
Kemudian kepada Mahesa Jenar Penambahan berkata,
“Setiap saat kau dapat datang kepadaku bersama-sama dengan Kebo Kanigara. Dan setiap saat kau dapat mengajak aku ke Gunungkidul. Jangan terlalu lama menunggu. Sesudah itu, baru kau pikirkan bagaimana kau akan menyerahkan Karebet bersama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang untuk sementara biarlah aku simpan dahulu.”
Mahesa Jenar mengangguk hormat. Jawabnya dengan penuh perasaan,
“Terimakasih Panembahan.”
Kepada Ki Ageng Pandan Alas, Panembahan Ismaya berkata,
“Ki Ageng dapat menyediakan lembu, kambing dan ayam sejak sekarang. Kami akan segera datang.”
“Terimakasih. Terimakasih,” jawab Ki Ageng Pandan Alas sambil tertawa.
Kemudian kepada Mahesa Jenar Penambahan berkata,
“Setiap saat kau dapat datang kepadaku bersama-sama dengan Kebo Kanigara. Dan setiap saat kau dapat mengajak aku ke Gunungkidul. Jangan terlalu lama menunggu. Sesudah itu, baru kau pikirkan bagaimana kau akan menyerahkan Karebet bersama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang untuk sementara biarlah aku simpan dahulu.”
Mahesa Jenar mengangguk hormat. Jawabnya dengan penuh perasaan,
“Terimakasih Panembahan.”
Kepada Ki Ageng Pandan Alas, Panembahan Ismaya berkata,
“Ki Ageng dapat menyediakan lembu, kambing dan ayam sejak sekarang. Kami akan segera datang.”
“Terimakasih. Terimakasih,” jawab Ki Ageng Pandan Alas sambil tertawa.
Panembahan tua itu akhirnya berjalan perlahan-lahan meninggalkan mereka. Sama sekali tidak menunjukkan kesaktiannya sebagaimana apabila ia sedang mengenakan jubah abu-abu dan rana di wajahnya. Ia tidak lebih dari seorang Panembahan tua yang berjalan tertatih-tatih di antara batang-batang ilalang dan batu-batu yang terendam air. Namun beberapa langkah kemudian Panembahan itu berhenti dan berkata kepada Mahesa Jenar,
Quote:
“Tak perlu orang-orang lain mengetahui bahwa masalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten telah hampir mendapat pemecahan. Tak perlu kau berceritera tentang anak nakal itu kepada siapapun. Keris-keris itu kini tak usah kalian persoalkan lagi. Pada saatnya ia akan muncul kembali bersama-sama dengan Kyai Sangkelat yang kini telah berada di tangan Karebet. Dan kaulah salah seorang yang paling berjasa dalam usaha penemuan keris-keris itu. Satu- satunya orang selain kalian yang berada di sini, hanyalah Ki Ageng Gajah Sora yang boleh mendengarnya.”
Mahesa Jenar mengangguk dalam-dalam sambil menjawab,
“Baik Panembahan.”
“Seluruh isi istana akan berterimakasih kepadamu.”
Mahesa Jenar mengangguk dalam-dalam sambil menjawab,
“Baik Panembahan.”
“Seluruh isi istana akan berterimakasih kepadamu.”
Panembahan itu bergumam perlahan-lahan, kemudian ia meneruskan perjalanannya kembali. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain masih saja berdiri mematung, mengawasi punggung Panembahan Ismaya. Ketika mereka melihat orang tua itu menyusup alang-alang yang lebat, maka hati mereka terguncang. Apalagi mereka yang belum mengenal siapakah sebenarnya Panembahan tua itu.
Bahkan terdengarlah Widuri berbisik,
Quote:
“Ayah, kasihan Panembahan. Tidakkah ayah mengantarkannya sampai ke Karang Tumaritis?”
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum di dalam hati. Gadis itu tidak akan berkata demikian seandainya ia tahu bahwa Panembahan Ismaya adalah Pasingsingan sepuh yang dahulu pernah bergelar Pangeran Buntara. Sebenarnya Ki Ageng Pandan Alas pun menjadi heran, bahwa Kebo Kanigara yang menjadi salah seorang putut-nya dan bernama Putut Karang Jati itu membiarkan orang setua Panembahan Ismaya menempuh perjalanan sendiri ke Karang Tumaritis. Jarak yang tidak terlalu dekat dari Banyubiru. Tetapi orang tua itu berpikir jauh. Kalau tak ada sesuatu sebab, pastilah Kebo Kanigara tak berbuat demikian. Dan bahkan Panembahan itu pasti akan minta kepada putut-nya untuk mengantarkannya.
Quote:
“Ayah,” terdengar Endang Widuri mengulangi kata-katanya,
“Apakah Ayah tidak mengantarkannya?”
“Kasihan Panembahan,” desis Kebo Kanigara.
Kemudian kepada Widuri ia berkata,
“Antarkanlah, Widuri. Aku masih mempunyai kepentingan di Banyubiru. Aku akan tinggal di sini.”
Widuri mengerutkan keningnya.
“Kenapa aku?”
“Selain aku, kaulah orang yang terdekat,” jawab Kanigara.
“Emoh,” sahut Widuri sambil menggeleng.
“Kalau begitu, marilah kita pergi bersama mengantarkan Panembahan,” sambung ayahnya.
Widuri kemudian bersungut-sungut sambil menjawab,
“Aku belum melihat Banyu Biru dalam suasana yang berbeda seperti kemarin.”
“Apa kepentinganmu disini?,” bertanya ayahnya.
“Apakah Ayah tidak mengantarkannya?”
“Kasihan Panembahan,” desis Kebo Kanigara.
Kemudian kepada Widuri ia berkata,
“Antarkanlah, Widuri. Aku masih mempunyai kepentingan di Banyubiru. Aku akan tinggal di sini.”
Widuri mengerutkan keningnya.
“Kenapa aku?”
“Selain aku, kaulah orang yang terdekat,” jawab Kanigara.
“Emoh,” sahut Widuri sambil menggeleng.
“Kalau begitu, marilah kita pergi bersama mengantarkan Panembahan,” sambung ayahnya.
Widuri kemudian bersungut-sungut sambil menjawab,
“Aku belum melihat Banyu Biru dalam suasana yang berbeda seperti kemarin.”
“Apa kepentinganmu disini?,” bertanya ayahnya.
Tiba-tiba Widuri terdiam. Apakah kepentingannya di Banyu Biru?. Terasa betapa beratnya meninggalkan tanah perdikan ini. Apakah karena bukit-bukitnya yang berjajar-jajar seperti benteng raksasa, apakah karena Rawa Pening yang berkilat memantulkan cahaya matahari disiang hari dan memantulkan cahaya bulan dan bintang-bintang dimalam hari?.
Tiba-tiba ia mendengar ayahnya tertawa. Widuri terkejut. Dan tahulah ia bahwa ayahnya tidak bersungguh sungguh menyuruhnya mengantarkan Panembahan Ismaya. Dan tahulah ia bahwa ayahnya sedang menggodanya.
Tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Serta merta dicubitnya lengan ayahnya keras-keras
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas