- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#633
Jilid 18 [Part 418]
Spoiler for :
TIBA-TIBA wajah gadis itu menjadi terkejut ketika Jaka Soka menyahut dengan gembira,
Dengan lincahnya ia meloncat dari punggung kudanya. Kemudian berdiri tegak menghadap Rara Wilis sambil mengangguk dalam-dalam,
Widuri terhenti. Dipandangnya Rara Wilis dengan tajam. Sekali-kali matanya berkisar kepada Kebo Kanigara, ayahnya, dan kepada Mahesa Jenar. Terasalah betapa ia telah berbuat sesuatu kesalahan. Kalau terjadi sesuatu dengan Rara Wilis, maka dirinyalah sumber dari malapetaka itu. Apalagi ketika dilihatnya wajah-wajah Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang menjadi tegang.
Wajah Kebo Kanigara menjadi semakin tegang. Timbul juga di dalam benaknya maksud untuk mengakhiri ketegangan itu dengan membunuh saja Jaka Soka. Namun bagaimanakah tanggapan Rara Wilis? Adakah gadis itu tidak merasa direndahkan? Dalam pada itu terdengar Jaka Soka berkata,
Namun ia melihat gadis itu perlahan-lahan turun dari kudanya. Sekali-kali hatinya berdesir melihat senyum iblis di bibir Jaka Soka, namun kemudian bergolaklah darah Pandan Alas yang mengalir di dalam tubuhnya. Darah laki-laki jantan dari Gunung Kidul yang telah menyerahkan hidup matinya bagi ketentraman hidup sesama.
Mahesa Jenar menggeram. Tetapi ia masih duduk di atas punggung kudanya. Kemudian kepada Rara Wilis, Jaka Soka berkata,
Ia menjadi semakin muak melihat wajah itu. Widuri menjadi semakin berdebar-debar. Digoncang-goncangnya kaki ayahnya yang masih duduk di atas punggung kuda.
Kebo Kanigara tidak bergerak. Ia tidak dapat berbuat sesuatu sedang Mahesa Jenar senditi tak berbuat sesuatu pula. Hanya hatinya sajalah yang seakan-akan meloncat mencekik Ular Laut yang licik itu.
TIBA-TIBA terdengar suara Mahesa Jenar berdesir,
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Hatinya mengumpat-umpat atas kelicikan Jaka Soka. Yang dapat dilakukan hanyalah berdoa semoga Tuhan melindungi gadis yang telah menjadikan dirinya wakil untuk melawan Jaka Soka itu. Kini Jaka Soka telah berdiri berhadapan dengan Rara Wilis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tidak dapat tetap duduk di atas punggung kuda, karena itu segera mereka berloncatan turun. Sesaat kemudian, Jaka Soka dan Rara Wilis telah mencabut senjata masing-masing.
Pedang Jaka Soka yang lentur di tangan kanan, sedang wrangkanya, tongkat hitam di tangan kiri. Adapun di tangan Rara Wilis telah tergenggam sebilah pedang yang tipis.
Rara Wilis tidak menjawab. Namun segera ia mulai menggerakkan pedangnya dengan ilmu pedang ajaran Ki Ageng Pandan Alas. Pedang itu seakan-akan selalu bergerak dan bergetar, sehingga untuk sesaat Jaka Soka menjadi bingung. Ia tidak dapat memperhitungkan kemana kira-kira ujung pedang itu akan mengarah.
Namun kemudian Ular Laut yang telah kenyang pahit getir pertempuran dan perkelahian di darat maupun di lautan itu menjadi gembira. Dengan lincahnya ia bergerak menyerang dengan sengitnya. Dan perkelahian itupun berkobar dengan dahsyatnya.
Pedang Jaka Soka bergerak dengan cepatnya, mematuk-matuk seperti beribu-ribu mulut ular yang menyerang dari segala arah, namun Wilis benar-benar seperti bunga Pudak. Bunga pandan yang dikelilingi oleh duri-duri yang tajam, sehingga beribu-ribu ular itu tak dapat mendekatinya. Jaka Soka murid Nagapasa itu kemudian menjadi heran akan keterampilan Rara Wilis. Seperti di Banyubiru beberapa waktu lampau, meksipun ia telah mengerahkan segenap kemampuannya namun murid Ki Ageng Pandan Alas itu dapat mengimbanginya. Sekali-kali bahkan serangan-serangan yang berbahaya hampir saja menyentuh tubuhnya. Tetapi Jaka Soka benar-benar licik. Ia dapat berbuat seperti iblis yang selicik-liciknya. Ketika usahanya tidak juga segera berhasil mendesak lawannya, maka dengan liciknya ia mempengaruhi perasaan lawannya. Ketika mereka terlibat dalam satu pergulatan yang sengit tiba-tiba berbisiklah Jaka Soka dengan tersenyum,
Hati Rara Wilis berdesir. Cepat ia meloncat surut. Nafasnya mengalir semakin cepat. Pengaruh kata-kata itu lebih dahsyat daripada tusukan pedang lawannya. Karena itu tubuhnya menjadi gemetar.
Meskipun kemarahannya menjadi semakin memuncak, namun ia tidak dapat melenyapkan jiwa kegadisannya. Ia menjadi ngeri mendengar kata-kata itu. Pada saat-saat yang demikian itulah Jaka Soka mengambil kesempatan. Dengan lincahnya ia meloncat menyerang. Untunglah Rara Wilis masih dapat menguasai dirinya sehingga ia masih sempat melihat serangan Ular Laut yang ganas itu. Maka sekali lagi pertempuran berkobar dengan sengitnya.
Tetapi kini Jaka Soka telah memiliki kunci kelemahan perasaan hati seorang gadis. Karena itu Ular Laut yang ganas itu menjadi semakin gembira. Ia ingin melihat betapa hancur hati Mahesa Jenar melihat gadis cantik yang telah merebut hatinya itu menjadi permainannya. Kelicikan hatinya, meyakinkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Rara Wilis segera berpegang teguh pada sifat-sifat kejantanan mereka. Justru karena itulah, maka sifat-sifat itu merupakan sifat-sifat yang dapat dimanfaatkan oleh iblis yang licin itu.
Tetapi bagaimanakah dengan gadis kecil yang nakal itu? Kalau tiba-tiba ia menyerbunya, maka entahlah apakah ia masih dapat bertahan melawan keduanya. Namun ia mengharap bahwa Rara Wilis lah yang akan mencegahnya. Jaka Soka bertempur terus sambil tersenyum. Kadang-kadang meluncurlah dari bibirnya yang tipis itu, kata-kata lembut untuk meruntuhkan hati lawannya.
Kadang-kadang ia merayu dengan manisnya kadang-kadang memuji dengan mesranya.
Mahesa Jenar akhirnya melihat kelicikan itu. Dengan marahnya ia menggeram,
Quote:
“Keputusan telah jatuh. Baiklah aku memilih lawanku.”
Dengan lincahnya ia meloncat dari punggung kudanya. Kemudian berdiri tegak menghadap Rara Wilis sambil mengangguk dalam-dalam,
Quote:
“Kau akan mendapat kehormatan.”
“Gila!” teriak Widuri lantang.
“Aku telah memilih,” potong Jaka Soka.
“Tetapi kau berkata bahwa akulah yang pertama-tama akan kau penggal lehernya,” bantah Widuri.
“Aku ubah keputusanku,” jawab Jaka Soka.
“Kami ubah keputusan kami,” sahut Widuri sambil meloncat turun dari kudanya pula,
“Akulah lawanmu.”
“Widuri!” Terdengar kemudian suara Rara Wilis perlahan-lahan,
“Biarlah aku menerima pilihannya.”
“Gila!” teriak Widuri lantang.
“Aku telah memilih,” potong Jaka Soka.
“Tetapi kau berkata bahwa akulah yang pertama-tama akan kau penggal lehernya,” bantah Widuri.
“Aku ubah keputusanku,” jawab Jaka Soka.
“Kami ubah keputusan kami,” sahut Widuri sambil meloncat turun dari kudanya pula,
“Akulah lawanmu.”
“Widuri!” Terdengar kemudian suara Rara Wilis perlahan-lahan,
“Biarlah aku menerima pilihannya.”
Widuri terhenti. Dipandangnya Rara Wilis dengan tajam. Sekali-kali matanya berkisar kepada Kebo Kanigara, ayahnya, dan kepada Mahesa Jenar. Terasalah betapa ia telah berbuat sesuatu kesalahan. Kalau terjadi sesuatu dengan Rara Wilis, maka dirinyalah sumber dari malapetaka itu. Apalagi ketika dilihatnya wajah-wajah Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang menjadi tegang.
Quote:
“Ayah!” Tiba-tiba ia berteriak dan berlari memeluk kaki ayahnya.
“Bukankah Ayah dapat mencegahnya? Bunuh sajalah Ular Laut yang gila itu.”
“Bukankah Ayah dapat mencegahnya? Bunuh sajalah Ular Laut yang gila itu.”
Wajah Kebo Kanigara menjadi semakin tegang. Timbul juga di dalam benaknya maksud untuk mengakhiri ketegangan itu dengan membunuh saja Jaka Soka. Namun bagaimanakah tanggapan Rara Wilis? Adakah gadis itu tidak merasa direndahkan? Dalam pada itu terdengar Jaka Soka berkata,
Quote:
“Bagaimana? Apakah kalian akan bertempur bersama?”
“Tidak!” potong Rara Wilis tegas.
“Aku akan mewakili.”
“Wilis,” terdengar suara Mahesa Jenar bergetar.
“Tidak!” potong Rara Wilis tegas.
“Aku akan mewakili.”
“Wilis,” terdengar suara Mahesa Jenar bergetar.
Namun ia melihat gadis itu perlahan-lahan turun dari kudanya. Sekali-kali hatinya berdesir melihat senyum iblis di bibir Jaka Soka, namun kemudian bergolaklah darah Pandan Alas yang mengalir di dalam tubuhnya. Darah laki-laki jantan dari Gunung Kidul yang telah menyerahkan hidup matinya bagi ketentraman hidup sesama.
Quote:
“Ha?” kata Jaka Soka,
“Agaknya kau benar-benar gadis berhati jantan. Tetapi benarkah kau mau melawan aku?”
“Jangan banyak bicara,” sahut Rara Wilis,
“Aku sudah siap.”
“Ha?” Jaka Soka berkata lagi,
“Bagaimana dengan yang lain? Apakah kalian telah ikhlas melepaskan gadis yang cantik ini?”
“Agaknya kau benar-benar gadis berhati jantan. Tetapi benarkah kau mau melawan aku?”
“Jangan banyak bicara,” sahut Rara Wilis,
“Aku sudah siap.”
“Ha?” Jaka Soka berkata lagi,
“Bagaimana dengan yang lain? Apakah kalian telah ikhlas melepaskan gadis yang cantik ini?”
Mahesa Jenar menggeram. Tetapi ia masih duduk di atas punggung kudanya. Kemudian kepada Rara Wilis, Jaka Soka berkata,
Quote:
“Wilis, aku akan menurut perintahmu meskipun aku akan dihukum seumur hidupku atau dibunuh sekali pun asal kau bersedia menjadi istriku.”
“Gila!” teriak Widuri marah,
“Kalau kau dihukum mati, apakah Bibi Wilis harus menjadi istri mayatmu?”
“Tentu saja aku minta waktu,” sahut Jaka Soka,
“Sebulan atau dua bulan sebelum aku naik ke tiang gantungan.”
“Aku sudah bersedia,” potong Wilis,
“Jangan mengigau.”
“Sayang,” jawab Jaka Soka,
“Setangkai bunga yang betapapun indahnya, apabila aku mendapat kesempatan untuk memiliki, lebih baik aku runtuhkan daun mahkotanya.”
“Mulailah,” potong Rara Wilis tidak sabar.
“Gila!” teriak Widuri marah,
“Kalau kau dihukum mati, apakah Bibi Wilis harus menjadi istri mayatmu?”
“Tentu saja aku minta waktu,” sahut Jaka Soka,
“Sebulan atau dua bulan sebelum aku naik ke tiang gantungan.”
“Aku sudah bersedia,” potong Wilis,
“Jangan mengigau.”
“Sayang,” jawab Jaka Soka,
“Setangkai bunga yang betapapun indahnya, apabila aku mendapat kesempatan untuk memiliki, lebih baik aku runtuhkan daun mahkotanya.”
“Mulailah,” potong Rara Wilis tidak sabar.
Ia menjadi semakin muak melihat wajah itu. Widuri menjadi semakin berdebar-debar. Digoncang-goncangnya kaki ayahnya yang masih duduk di atas punggung kuda.
Quote:
“Ayah, bunuh sajalah iblis itu.”
Kebo Kanigara tidak bergerak. Ia tidak dapat berbuat sesuatu sedang Mahesa Jenar senditi tak berbuat sesuatu pula. Hanya hatinya sajalah yang seakan-akan meloncat mencekik Ular Laut yang licik itu.
TIBA-TIBA terdengar suara Mahesa Jenar berdesir,
Quote:
“Wilis. Kau dapat menolak pilihan itu.”
“Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis,
“Aku harus menjunjung tinggi nama perguruan Pandan Alas.”
“Itu semata-mata karena harga diri,” sahut Mahesa Jenar,
“Tetapi persoalan Jaka Soka yang telah membakar lereng bukit Telamaya adalah jauh lebih luas dari harga diri seseorang.”
“Terserahlah, kalau ternyata kemudian aku telah dibinasakan olehnya,” jawab Wilis.
“Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis,
“Aku harus menjunjung tinggi nama perguruan Pandan Alas.”
“Itu semata-mata karena harga diri,” sahut Mahesa Jenar,
“Tetapi persoalan Jaka Soka yang telah membakar lereng bukit Telamaya adalah jauh lebih luas dari harga diri seseorang.”
“Terserahlah, kalau ternyata kemudian aku telah dibinasakan olehnya,” jawab Wilis.
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Hatinya mengumpat-umpat atas kelicikan Jaka Soka. Yang dapat dilakukan hanyalah berdoa semoga Tuhan melindungi gadis yang telah menjadikan dirinya wakil untuk melawan Jaka Soka itu. Kini Jaka Soka telah berdiri berhadapan dengan Rara Wilis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tidak dapat tetap duduk di atas punggung kuda, karena itu segera mereka berloncatan turun. Sesaat kemudian, Jaka Soka dan Rara Wilis telah mencabut senjata masing-masing.
Pedang Jaka Soka yang lentur di tangan kanan, sedang wrangkanya, tongkat hitam di tangan kiri. Adapun di tangan Rara Wilis telah tergenggam sebilah pedang yang tipis.
Quote:
“Nah, marilah,” desis Jaka Soka sambil tersenyum,
“Selamanya aku menghormati perempuan.”
“Selamanya aku menghormati perempuan.”
Rara Wilis tidak menjawab. Namun segera ia mulai menggerakkan pedangnya dengan ilmu pedang ajaran Ki Ageng Pandan Alas. Pedang itu seakan-akan selalu bergerak dan bergetar, sehingga untuk sesaat Jaka Soka menjadi bingung. Ia tidak dapat memperhitungkan kemana kira-kira ujung pedang itu akan mengarah.
Namun kemudian Ular Laut yang telah kenyang pahit getir pertempuran dan perkelahian di darat maupun di lautan itu menjadi gembira. Dengan lincahnya ia bergerak menyerang dengan sengitnya. Dan perkelahian itupun berkobar dengan dahsyatnya.
Pedang Jaka Soka bergerak dengan cepatnya, mematuk-matuk seperti beribu-ribu mulut ular yang menyerang dari segala arah, namun Wilis benar-benar seperti bunga Pudak. Bunga pandan yang dikelilingi oleh duri-duri yang tajam, sehingga beribu-ribu ular itu tak dapat mendekatinya. Jaka Soka murid Nagapasa itu kemudian menjadi heran akan keterampilan Rara Wilis. Seperti di Banyubiru beberapa waktu lampau, meksipun ia telah mengerahkan segenap kemampuannya namun murid Ki Ageng Pandan Alas itu dapat mengimbanginya. Sekali-kali bahkan serangan-serangan yang berbahaya hampir saja menyentuh tubuhnya. Tetapi Jaka Soka benar-benar licik. Ia dapat berbuat seperti iblis yang selicik-liciknya. Ketika usahanya tidak juga segera berhasil mendesak lawannya, maka dengan liciknya ia mempengaruhi perasaan lawannya. Ketika mereka terlibat dalam satu pergulatan yang sengit tiba-tiba berbisiklah Jaka Soka dengan tersenyum,
Quote:
“Wilis kau benar-benar gadis yang cantik.”
Hati Rara Wilis berdesir. Cepat ia meloncat surut. Nafasnya mengalir semakin cepat. Pengaruh kata-kata itu lebih dahsyat daripada tusukan pedang lawannya. Karena itu tubuhnya menjadi gemetar.
Meskipun kemarahannya menjadi semakin memuncak, namun ia tidak dapat melenyapkan jiwa kegadisannya. Ia menjadi ngeri mendengar kata-kata itu. Pada saat-saat yang demikian itulah Jaka Soka mengambil kesempatan. Dengan lincahnya ia meloncat menyerang. Untunglah Rara Wilis masih dapat menguasai dirinya sehingga ia masih sempat melihat serangan Ular Laut yang ganas itu. Maka sekali lagi pertempuran berkobar dengan sengitnya.
Tetapi kini Jaka Soka telah memiliki kunci kelemahan perasaan hati seorang gadis. Karena itu Ular Laut yang ganas itu menjadi semakin gembira. Ia ingin melihat betapa hancur hati Mahesa Jenar melihat gadis cantik yang telah merebut hatinya itu menjadi permainannya. Kelicikan hatinya, meyakinkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Rara Wilis segera berpegang teguh pada sifat-sifat kejantanan mereka. Justru karena itulah, maka sifat-sifat itu merupakan sifat-sifat yang dapat dimanfaatkan oleh iblis yang licin itu.
Tetapi bagaimanakah dengan gadis kecil yang nakal itu? Kalau tiba-tiba ia menyerbunya, maka entahlah apakah ia masih dapat bertahan melawan keduanya. Namun ia mengharap bahwa Rara Wilis lah yang akan mencegahnya. Jaka Soka bertempur terus sambil tersenyum. Kadang-kadang meluncurlah dari bibirnya yang tipis itu, kata-kata lembut untuk meruntuhkan hati lawannya.
Kadang-kadang ia merayu dengan manisnya kadang-kadang memuji dengan mesranya.
Mahesa Jenar akhirnya melihat kelicikan itu. Dengan marahnya ia menggeram,
Quote:
“Soka, kau telah berbuat curang.”
Bersambung…
fakhrie... dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas
Tutup