- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#632
Jilid 18 [Part 417]
Spoiler for :
Sekali lagi suara tertawa Ular Laut itu menggetarkan udara lembah yang lembab namun panas itu. Panas karena nyala api di lereng bukit Telamaya, panas karena hati yang terbakar oleh kemarahan.
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Seleret pandang, tampaklah wajahnya menjadi kecewa. Tetapi kemudian sekali lagi tertawa,
Mahesa Jenar menarik napas. Kata-kata itu benar-benar menusuk perasaannya. Namun ia sadar, bahwa kata-kata itu terlontar, karena kekerdilan Jaka Soka yang pasti sudah mengakui, ia akan dapat melawan. Jaka Soka sendiri mengetahui bahwa Mahesa Jenar telah berhasil membunuh Sima Rodra.
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, berkatalah Jaka Soka,
Hati Rara Wilis berdesir. Kata-kata itu benar-benar memuakkan. Apalagi ketika Jaka Soka meneruskan sambil tersenyum dengan mata yang redup,
Jaka Soka kini tidak lagi tersenyum. Ia memandang gadis itu dengan tajamnya, seakan-akan biji matanya hendak melontar keluar. Tetapi kata-kata Widuri meluncur terus,
Tetapi ia sadar bahwa ia berada di antara empat kekuatan yang tak akan berlawan. Widuri masih tertawa. Bahkan tertawanya menjadi berkepanjangan. Ternyata Jaka Soka yang mencoba membuat Rara Wilis marah menjadi marah sendiri. Katanya kemudian,
Jaka Soka menjadi benar-benar marah, sehingga tubuhnya bergetar. Ia tidak mau mendengar lagi gadis itu berkicau. Karena itu ia berteriak,
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia tahu benar maksud Jaka Soka yang sedang berusaha mencari lubang-lubang untuk melepaskan diri. Bahkan kemudian Jaka Soka itu berkata,
Arah kata-kata Jaka Soka menjadi semakin jelas. Namun Mahesa Jenar membiarkannya berbicara terus.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Matanya kemudian hinggap ke wajah kedua gadis di antara mereka itu berganti-ganti. Jaka Soka ternyata benar-benar licik. Namun usulnya belum merupakan keputusan. Kebo Kanigara pun memaklumi maksudnya. Maksud yang keji. Ia akan menunjuk korbannya. Yang paling lemah di antara mereka berempat. Tetapi selagi mereka menimbang-nimbang, tiba-tiba terdengar Widuri menjawab dengan suaranya yang nyaring,
Semua terkejut mendengar jawaban itu. Widuri benar-benar gadis yang nakal. Usianya yang masih sangat muda masih mempengaruhi segala keputusan yang diambilnya. Hati Kebo Kanigara menjadi berdebar-debar. Ia tahu pikiran anak itu. Ia mengharap Jaka Soka akan memilihnya sebagai lawan. Apakah Widuri kini akan mampu melawan Ular Laut dengan tongkat hitamnya?.
Tiba-tiba Kebo Kanigara menarik nafas. Ia melihat Widuri sedang mengaitkan pada kalung rantai Cakra di satu ujung dan sebuah cincin bermata merah menyala-nyala di ujung yang lain, Kelabang Sayuta.
Tetapi ia sadar bahwa ia berada di antara empat kekuatan yang tak akan berlawan.
Widuri masih tertawa. Bahkan tertawanya menjadi berkepanjangan. Ternyata Jaka Soka yang mencoba membuat Rara Wilis marah menjadi marah sendiri. Katanya kemudian,
Quote:
“Kau salah sangka,” terdengar suara Kebo Kanigara datar.
“Perempuan dan anak-anak di Banyubiru tidak menangis dan melolong-lolong dan berlari kian kemari. Tetapi mereka sedang bekerja keras menebang batang-batang ilalang untuk menghentikan apimu yang menyala-nyala itu.”
“Perempuan dan anak-anak di Banyubiru tidak menangis dan melolong-lolong dan berlari kian kemari. Tetapi mereka sedang bekerja keras menebang batang-batang ilalang untuk menghentikan apimu yang menyala-nyala itu.”
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Seleret pandang, tampaklah wajahnya menjadi kecewa. Tetapi kemudian sekali lagi tertawa,
Quote:
“Kau bermimpi agaknya, perempuan dan anak-anak sekarang sedang menangis dan putus asa.”
“Kau sedang berusaha memuaskan hatimu sendiri dengan angan-anganmu,” sahut Kebo Kanigara.
Sekali wajah itu menjadi tegang.
“Nah, sekarang ikut kami. Mintalah ma’af kepada rakyat Banyubiru,” kata Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata itu tiba-tiba Jaka Soka tertawa nyaring, jawabnya,
“Sejak kapan kau menjadi pengecut Mahesa Jenar? Kau tidak berani menangkap sendiri, bahkan berempat. Kau coba membujuk aku nanti beramai-ramai menangkap bersama-sama laskar Banyubiru.”
“Kau sedang berusaha memuaskan hatimu sendiri dengan angan-anganmu,” sahut Kebo Kanigara.
Sekali wajah itu menjadi tegang.
“Nah, sekarang ikut kami. Mintalah ma’af kepada rakyat Banyubiru,” kata Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata itu tiba-tiba Jaka Soka tertawa nyaring, jawabnya,
“Sejak kapan kau menjadi pengecut Mahesa Jenar? Kau tidak berani menangkap sendiri, bahkan berempat. Kau coba membujuk aku nanti beramai-ramai menangkap bersama-sama laskar Banyubiru.”
Mahesa Jenar menarik napas. Kata-kata itu benar-benar menusuk perasaannya. Namun ia sadar, bahwa kata-kata itu terlontar, karena kekerdilan Jaka Soka yang pasti sudah mengakui, ia akan dapat melawan. Jaka Soka sendiri mengetahui bahwa Mahesa Jenar telah berhasil membunuh Sima Rodra.
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, berkatalah Jaka Soka,
Quote:
“Atau kalian ingin menangkap aku hidup-hidup atas permintaan gadis ini?”
Hati Rara Wilis berdesir. Kata-kata itu benar-benar memuakkan. Apalagi ketika Jaka Soka meneruskan sambil tersenyum dengan mata yang redup,
Quote:
“Akhirnya kaulah yang mencari aku, Wilis.”
“Jangan membual,” potong Rara Wilis. Suaranya bergetar karena marah.
Namun tiba-tiba terdengar Endang Widuri tertawa pula.
Katanya,
“Nah, kau benar paman Soka. Hampir tiap hari Bibi Wilis bermimpi tentang kau. Tentang seekor Ular Laut yang berwajah tampan.”
Semua orang menoleh ke arahnya. Dam semua mata memandangnya dengan tajam. Namun Widuri masih tertawa-tawa saja sambil berkata terus,
“Adakah kau juga bermimpi tentang bibi Wilis, paman yang baik?”
“Jangan membual,” potong Rara Wilis. Suaranya bergetar karena marah.
Namun tiba-tiba terdengar Endang Widuri tertawa pula.
Katanya,
“Nah, kau benar paman Soka. Hampir tiap hari Bibi Wilis bermimpi tentang kau. Tentang seekor Ular Laut yang berwajah tampan.”
Semua orang menoleh ke arahnya. Dam semua mata memandangnya dengan tajam. Namun Widuri masih tertawa-tawa saja sambil berkata terus,
“Adakah kau juga bermimpi tentang bibi Wilis, paman yang baik?”
Jaka Soka kini tidak lagi tersenyum. Ia memandang gadis itu dengan tajamnya, seakan-akan biji matanya hendak melontar keluar. Tetapi kata-kata Widuri meluncur terus,
Quote:
“Alangkah indahnya bulan di awan. Alangkah tampannya Ular Laut dari Nusakambangan. He, paman. Tidak saja bibi Wilis tergila-gila padamu. Akupun juga tidak pernah melupakanmu. Sayang, rakyat Banyubiru sedang mencari tumbal untuk memperbaiki tangkis yang pecah, karena airnya dialirkan untuk memadamkan apimu. Dan tumbal itu adalah Ular Laut yang berwajah tampan. Sehingga mimpi kami berdua tentang Paman Soka tak akan pernah kami alami lagi.”
“Tutup mulutmu !” bentak Jaka Soka marah.
Namun sekarang Widuri lah yang tersenyum. Jawabnya,
“Jangan marah, Paman. Paman lebih tampan kalau Paman sedang tersenyum dan memandang Bibi dengan mata yang redup.”
“GILA KAU!” bentak Jaka Soka dengan marahnya.
“Tutup mulutmu !” bentak Jaka Soka marah.
Namun sekarang Widuri lah yang tersenyum. Jawabnya,
“Jangan marah, Paman. Paman lebih tampan kalau Paman sedang tersenyum dan memandang Bibi dengan mata yang redup.”
“GILA KAU!” bentak Jaka Soka dengan marahnya.
Tetapi ia sadar bahwa ia berada di antara empat kekuatan yang tak akan berlawan. Widuri masih tertawa. Bahkan tertawanya menjadi berkepanjangan. Ternyata Jaka Soka yang mencoba membuat Rara Wilis marah menjadi marah sendiri. Katanya kemudian,
Quote:
“Nah, seharusnya Paman Jaka Soka yang disebut Ular Laut dari Nusakambangan menjadi bergembira. Bukankah akhirnya Bibi Wilis yang mencari Paman?”
Jaka Soka menjadi benar-benar marah, sehingga tubuhnya bergetar. Ia tidak mau mendengar lagi gadis itu berkicau. Karena itu ia berteriak,
Quote:
“Mahesa Jenar, apakah maksudmu menyusul aku?”
“Jawabnya sudah kau ketahui, Jaka Soka,” jawab Mahesa Jenar.
“Ya!” sahut Jaka Soka,
“Menangkap aku hidup atau mati.”
“Kurang tepat!” potong Mahesa Jenar,
“Kami ingin membawa kau kepada rakyat Banyubiru. Mintalah maaf kepada mereka. Kau akan tetap hidup. Mungkin kau harus menjalani hukumanmu, tetapi kau tidak akan mati seperti seekor tikus di tangan kucing yang ganas.”
“Uh, kalian akan menghukum aku?” kata Jaka Soka, senyumnya tiba-tiba mulai menghias bibirnya kembali.
“Bukan kami,” sahut Mahesa Jenar,
“Kami tak memiliki tempat-tempat untuk menghukum orang. Kalau perlu kau dapat kami titipkan ke Demak, dan di sana kau akan mendapat perlakuan yang baik.”
“Kau benar-benar seorang prajurit yang bijaksana, Mahesa Jenar. Kau berusaha menegakkan tatanan pemerintahan sebaik-baiknya,” kata Jaka Soka.
“Tetapi kau akan menyesal, apabila tatanan itu kau terapkan pada diriku. Sebab tak ada tempat untuk menyimpan aku hidup-hidup.”
“Hem!” Mahesa Jenar bergumam,
“Jangan keras kepala.”
Kembali Ular Laut itu tertawa,
“Sekarang katakan saja, apakah maksud kalian?”
“Sudah kami jawab,” jawab Mahesa Jenar.
“O,” desis Jaka Soka,
“Sekarang lakukanlah. Tangkaplah aku.”
“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar,
“Sebenarnya kau tahu apa yang sedang kau lakukan itu. Bunuh diri. Lebih baik kau ubah putusanmu, sebab kau sekarang tinggal berdiri seorang diri. Tak ada lagi orang-orang dari golonganmu yang masih hidup selain kau. Karena itu kami tak membunuhmu.”
“Persetan dengan sesorah yang tak berarti itu,” potong Jaka Soka,
“Ayo mulailah bersama-sama. Kalian akan aku penggal kepala kalian satu demi satu.”
“Ai!” teriak Widuri,
“Bagaimana kami hidup tanpa kepala?”
“Kau yang pertama-tama!” teriak Jaka Soka marah.
“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar dengan suara yang datar dan berat.
“Adakah itu keputusanmu?”
“Ya,” jawab Jaka Soka,
“Aku tantang kalian berempat. Atau adakah di antara kalian yang berhati jantan? Bertempur seorang diri melawan aku untuk mewakili kalian?”
“Jawabnya sudah kau ketahui, Jaka Soka,” jawab Mahesa Jenar.
“Ya!” sahut Jaka Soka,
“Menangkap aku hidup atau mati.”
“Kurang tepat!” potong Mahesa Jenar,
“Kami ingin membawa kau kepada rakyat Banyubiru. Mintalah maaf kepada mereka. Kau akan tetap hidup. Mungkin kau harus menjalani hukumanmu, tetapi kau tidak akan mati seperti seekor tikus di tangan kucing yang ganas.”
“Uh, kalian akan menghukum aku?” kata Jaka Soka, senyumnya tiba-tiba mulai menghias bibirnya kembali.
“Bukan kami,” sahut Mahesa Jenar,
“Kami tak memiliki tempat-tempat untuk menghukum orang. Kalau perlu kau dapat kami titipkan ke Demak, dan di sana kau akan mendapat perlakuan yang baik.”
“Kau benar-benar seorang prajurit yang bijaksana, Mahesa Jenar. Kau berusaha menegakkan tatanan pemerintahan sebaik-baiknya,” kata Jaka Soka.
“Tetapi kau akan menyesal, apabila tatanan itu kau terapkan pada diriku. Sebab tak ada tempat untuk menyimpan aku hidup-hidup.”
“Hem!” Mahesa Jenar bergumam,
“Jangan keras kepala.”
Kembali Ular Laut itu tertawa,
“Sekarang katakan saja, apakah maksud kalian?”
“Sudah kami jawab,” jawab Mahesa Jenar.
“O,” desis Jaka Soka,
“Sekarang lakukanlah. Tangkaplah aku.”
“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar,
“Sebenarnya kau tahu apa yang sedang kau lakukan itu. Bunuh diri. Lebih baik kau ubah putusanmu, sebab kau sekarang tinggal berdiri seorang diri. Tak ada lagi orang-orang dari golonganmu yang masih hidup selain kau. Karena itu kami tak membunuhmu.”
“Persetan dengan sesorah yang tak berarti itu,” potong Jaka Soka,
“Ayo mulailah bersama-sama. Kalian akan aku penggal kepala kalian satu demi satu.”
“Ai!” teriak Widuri,
“Bagaimana kami hidup tanpa kepala?”
“Kau yang pertama-tama!” teriak Jaka Soka marah.
“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar dengan suara yang datar dan berat.
“Adakah itu keputusanmu?”
“Ya,” jawab Jaka Soka,
“Aku tantang kalian berempat. Atau adakah di antara kalian yang berhati jantan? Bertempur seorang diri melawan aku untuk mewakili kalian?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia tahu benar maksud Jaka Soka yang sedang berusaha mencari lubang-lubang untuk melepaskan diri. Bahkan kemudian Jaka Soka itu berkata,
Quote:
“Kalau kalian benar-benar jantan dan merasa diri kalian masing-masing berhati kesatria, kalian masing-masing pasti akan menolak untuk bertempur seorang lawan seorang, tidak seperti anak-anak cengeng yang hanya berani bertempur bersama-sama.”
Arah kata-kata Jaka Soka menjadi semakin jelas. Namun Mahesa Jenar membiarkannya berbicara terus.
Quote:
“Kalau demikian, akulah yang akan memilih lawan satu di antara kalian. Kesudahannya akan menjadi keputusan terakhir.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Matanya kemudian hinggap ke wajah kedua gadis di antara mereka itu berganti-ganti. Jaka Soka ternyata benar-benar licik. Namun usulnya belum merupakan keputusan. Kebo Kanigara pun memaklumi maksudnya. Maksud yang keji. Ia akan menunjuk korbannya. Yang paling lemah di antara mereka berempat. Tetapi selagi mereka menimbang-nimbang, tiba-tiba terdengar Widuri menjawab dengan suaranya yang nyaring,
Quote:
“Adil. Itu sangat adil. Nah, pilihlah satu di antara kami.”
Semua terkejut mendengar jawaban itu. Widuri benar-benar gadis yang nakal. Usianya yang masih sangat muda masih mempengaruhi segala keputusan yang diambilnya. Hati Kebo Kanigara menjadi berdebar-debar. Ia tahu pikiran anak itu. Ia mengharap Jaka Soka akan memilihnya sebagai lawan. Apakah Widuri kini akan mampu melawan Ular Laut dengan tongkat hitamnya?.
Tiba-tiba Kebo Kanigara menarik nafas. Ia melihat Widuri sedang mengaitkan pada kalung rantai Cakra di satu ujung dan sebuah cincin bermata merah menyala-nyala di ujung yang lain, Kelabang Sayuta.
Quote:
“GILA KAU!” bentak Jaka Soka dengan marahnya.
Tetapi ia sadar bahwa ia berada di antara empat kekuatan yang tak akan berlawan.
Widuri masih tertawa. Bahkan tertawanya menjadi berkepanjangan. Ternyata Jaka Soka yang mencoba membuat Rara Wilis marah menjadi marah sendiri. Katanya kemudian,
Quote:
“Nah, seharusnya Paman Jaka Soka yang disebut Ular Laut dari Nusakambangan menjadi bergembira. Bukankah akhirnya Bibi Wilis yang mencari Paman?”
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas
Tutup