- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#65
15 Desember 2018
One chapter closed, lets open the next one...
Hanggara mengajakku ke sebuah pura yang ada di luar kota Denpasar, sekitar 2 jam dari Jimbaran. Menurutnya, pura itu ada di puncak bukit, tapi aku ngga merasa kalau mobil berjalan naik. Tapi memang untuk mencapai areal utama di mana biasa dilakukannya persembahyangan aku harus menguras keringat menaiki puluhan bahkan nyaris mencapai ratusan anak tangga.
Hanggara memakai pakaian khusus untuk persembahyangan, sedangkan aku hanya memakai kain dan melingkarkan sebuah selendang di pinggangku.
“Aku boleh ikut masuk?” tanyaku ketika menyelesaikan anak tangga terkahir dan berdiri di depan sebuah gapura yang sangat besar.
“Boleh kok, ayo,” ujarnya memasuki gapura tersebut.
Ternyata sangat luas di dalam. Ada beberapa bangunan di sana.
“Kamu tunggu di sini, duduk aja di sana ngga apa-apa kok,” ujarnya.
Aku menuruti Hanggara, duduk di sebuah bangunan pendopo berstyle Bali. Sementara Hanggara bersembahyang, duduk beralaskan tanah sedikit jauh ke depan dari pendopo ini.
Aku memandang sekelilingku, sangat sepi dan hening. Hanya terdengar suara-suara burung dan sesekali suara gesekan dedaunan yang tertiup angin. Tenang sekali.
***
Setelah menyelesaikan persembahyangannya, Hanggara menghampiriku dan duduk bersisian.
“Sini tanganmu,” katanya langsung meraih tangan kiriku.
Aku diam saja ketika dia melingkarkan sebuah gelang yang hampir sama seperti gelang yang dia belikan untkku tempo hari, hanya saja gelang ini hanya terdiri dari 3 buah benang dengan tiga warna berbeda yang di jalin sedemikian rupa hingga menyatu.
Setelah itu, Hanggara meraih tangan kananku dan melepaskan gelang yang sebelumnya dia belikan untukku.
“Yang ini jangan di pakai lagi ya, udah ada gantinya yang baru, yang asli,” ujarnya tersenyum padaku.
“Ini dapat dari sini?”
“Iya.”
“Ngga apa-apa aku make ini?”
“Ngga lah, aku juga ada,” Hanggara memamerkan gelang serupa yang terlilit di tangan kanannya.
“Ini sebuah hadiah, yang bagi kami adalah sebuah berkat, tapi bagi yang tidak mempercayainya, anggaplah ini sebuah kenangan-kenangan karena sudah berkunjung ke sini.”
Aku tersenyum padanya, aku yakin dia berkata seperti itu karena tidak ingin menyinggungku.
“Ayo,” dia meraih tanganku dan mengajakku keluar dari areal utama pura itu.
Aku memintanya berhenti sejenak sebelum kami keluar melewati sebuah gapura besar, karena aku ingin menikmati sejenak pemandangan dari balik tembok yang memagari areal utama itu, nun jauh di sana terhampar lautan yang tampak berwarna biru kelabu.
“Bisa kok tanganku dilepas, aku bisa jalan sendiri,” ujarku ketika kami menuruni tangga.
“Biar kamu ngga jatuh, jalan keluarnya beda dengan yang tadi, agak menurun dan licin nanti kamu jatuh,” ujarnya tersenyum jahil tanpa melepaskan genggaman tangannya.
“Lepasin ngga?”
“Ngga!”
Benar yang dia bilang jalan keluarnya memang berbeda, bukan melalui jalan yang tadi ketika kami naik.
Saat turun kami tidak menuruni tangga tapi melewati jalan menurun yang hanya di semen dan berkerikil. Karena jalannya berbelok memutar dan menurun dengan adanya kerikil dan pasir makin membuat jalannya agak sulit dan menjadi licin.
Ketika kami benar-benar sudah ada di daerah yang datar, Hanggara pun melepaskan tanganku.
“Aku ngga akan biarin kamu melewati sesuatu yang sulit sendirian,” ujarnya tiba-tiba.
Jujur sebagai seorang wanita hatiku berbunga-bunga mendengar ucapan ini keluar dari seorang lelaki seperti Hanggara.
Aku mengulum senyum, “Apa kamu juga ngegombalin semua wanita seperti ini?”
Dia tertawa kecil, “Aku ngga lagi gombalin kamu, aku serius.”
Aku tidak menjawab, hanya tersenyum.
“Apa selama ini di matamu aku terlihat main-main?” tanyanya dan dia pun tiba-tiba berhenti dan berdiri menatapku tajam. Ada raut kecewa terlihat dari wajahnya.
Aku berbalik dan berjalan pelan mendekat kepadanya
“Aku tahu kamu serius, hanya saja aku ngga yakin sama kamu, aku masih takut kalau ini hanya perasaan sesaat hanya karena kita sering ketemu saja. Bisa saja kan seperti itu?”
Sesaat dia terdiam. “Aku ngga tahu gimana harus ngeyakinin kamu, tapi aku akan berusaha,” ujarnya tegas.
Aku menatapnya yang hanya memandang lurus ke depan, ke arah rerimbunan pepohonan yang bergerak-gerak pelan mengikuti terpaan angin.
Aku menatap bangunan tinggi yang menjulang megah tepat di samping kami saat ini.
“Tempat ini indah, but I’m not belong in it,” ujarku pelan
“I said I will try…”
“Jangan membuang waktu dan energi untuk sesuatu yang ngga pasti,” sahutku
“Kamu yang membuatnya tidak pasti!” ujarnya memandangku tajam, “Kamu yang ngga yakin sebenernya kan?”
“Apa tujuan kamu ngajak aku ke sini?” tanyaku memandangnya, mengacuhkan pertanyaannya.
Dia tersenyum kecil mengalihkan pandangannya, memandang ke sekeliling kami, “Aku ngga ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin ditemenin kamu aja. Aku hanya ingin ajak kamu jalan-jalan, biar pikiran kamu teralihkan dari kekecewaan kamu kemarin.”
Aku terdiam.
“Aku tahu kondisi kita, mirip dengan cerita lamamu itu kan? Tapi aku bukan dia. Aku akan berusaha untuk hubungan ini, aku yakin kamu pasti sangat mengerti kalau hanya aku yang berusaha ngga akan ada artinya, ngga akan berhasil,” ujarnya, “Aku akan berusaha menyakinkan kamu kalau aku sangat yakin dengan perasaanku dan akan berusaha untuk hubungan ini. Aku sangat berharap kamu pun mau berusaha untuk kita.”
Aku terdiam.
Hanggara melangkah lebih dekat padaku dan meraih tanganku, menggenggamnya erat.
“Kamu bisa memikirkan ini nanti, aku ngga akan memaksa, tapi aku sangat berharap,” ujarnya tersenyum padaku. “Let’s go, kita lanjutkan perjalanan.”
Dia menarikku lembut dan kami berjalan bersisian menuju mobilnya.
***
Hanggara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang ketika kami sampai di jalan utama.
“Coba kamu liat ke atas bukit itu,” kata Hanggara menunjuk dengan pandangannya ke arah sebuah bukit yang ada di seberang jalan di mana kami berkendara saat ini, “tadi itu kita ada di puncaknya, keliatan kan bangunan puranya.”
Aku sedikit merunduk agar dapat melihat puncak bukit yang dimaksudkan Hanggara, dan benar saja, aku bisa melihat bangunan pura yang tadi di puncaknya.
“Iya ada, ngga terasa tadi kalau jalannya menanjak setinggi itu,” balasku kembali duduk normal.
Hanggara hanya tersenyum dan kemudian memutar lagu dari audio mobilnya.
“Sekarang kita mau ke mana?” tanyaku
“Hmm… ke pantai, kita sedang menyisir pantai sekarang, nanti kita berhenti di spot yang bagus,” ujarnya dengan pandangan tetap fokus ke jalanan di depan kami.
Aku tidak menyahut lagi dan menikmati pemandangan di sepanjang jalan ini. Benar katanya, di sepanjang jalan ini terhampar pantai yang membiru indah. Meski di beberapa area terhalang oleh bangunan-bangunan di tepi jalan.
“Kemarin jadi nemenin Lisa?” tanya Hanggara
“Oh iya!” aku tersentak baru ingat dengan janjiku pada Lisa
“Kenapa?” tanya Hanggara sebentar-sebentar dia melihat ke arahku.
“Aku lupa, harusnya kemarin dia photoshoot terakhir, tapi kenapa dia ngga nelpon atau ingetin aku ya?” sahutku sambil sibuk mencari-cari ponselku di tas.
Setelah aku menemukannya aku melihat ke list panggilan tak terjawab atau pesan masuk, tapi nihil, tidak ada dari Lisa atau Ardi.
Aku memutuskan mengirimkan pesan ke Lisa.
Cha, I’m so sorry, gw lupa banget nemenin lo kemarin, knp ngga ingetin gw sih?
Tak perlu menunggu lama, pesanku sudah terbaca dan terlihat tanda kalau Lisa sedang mengetik balasan
It’s okay. Ardi ngelarang aku gangguin elo. Gw ngga mau lo terpaksa ikut cm gegara ngga enak sm gw, padahal lo ngga nyaman.
Yah, ga segitunya kaleee, I’m fine!
Omongan lo aja fine, ngga mungkin lo ‘just fine’ aja ngadepinnya
🙂😁
Besok ketemuan ya sekalian anterin gw ke bandara
Okay, tapi kabarin lagi gw besok ya, takut kelupaan
👍👌
Aku meletakkan lagi ponselku ke dalam tas.
“Gimana katanya?” tanya Hanggara
“Sengaja dia ngga ngajakin aku. Besok Lisa balik minta di antar ke bandara,” sahutku
“Sama aku aja ntar.”
Aku tidak menanggapi perkataannya. Kembali menikmati pemandangan di sepanjang jalan yang kami lalui.
***
Selang beberapa lama, Hanggara memperlambat laju mobilnya dan kemudian berbelok masuk ke sebuah tempat seperti pelataran parkir yang tidak begitu luas dan di depan sana terpampang jelas laut yang membiru cerah.
“Goa Lawah,” kataku membaca tulisan dalam ukuran besar yang kini terpampang di depanku.
“Iya ini Pantai Goa Lawah,” sahut Hanggara, “Goa Lawah itu artinya Goa Kelelawar. Goanya ada di sana.”
Dia menunjuk ke seberang jalan.
“Itu pura juga ya?” tanyaku
“Iya. Ayo!” Hanggara meraih tanganku dan menggandengku mendekat ke sekitaran pantai.
Karena cuaca yang panas meski matahari tidak terlalu terik, dia mengajakku duduk di sebuah pendopo yang ada di kanan kiri gerbang masuk ke pantai.
Kami duduk bersisian, sama-sama memandangi hamparan laut biru dengan pasir hitam yang berkilau-kilau tertimpa sinar matahari.
“Pasir hitamnya keren,” ujarku.
Aku memandang hamparan lautan ini dari ujung ke ujung. Di ujung kanan garis pantainya terputus oleh sebuah semenanjung, sedangkan di sisi yang lain garis pantainya tampak tak berujung.
Aku yang merasa aneh karena Hanggara hanya diam saja, menolehnya dan pandanganku bertemu dengan tatapan matanya.
“Kenapa?” tanyaku menghilangkan kegugupanku karena mendapatinya memandangiku
Dia tersenyum kecil. “Ngga apa-apa,” sahutnya.
Aku masih memandangnya yang kini mengalihkan pandangannya menatap pantai di depan kami.
‘aku tahu aku harus jujur dengan diriku sendiri, aku menyukainya, hanya saja… ada sesuatu yang membuatku ragu, entah apa. Apa karena aku takut kecewa lagi? Atau memutuskan sekarang terlalu cepat?’
Sekilas ketika aku bergulat dengan pikiranku sendiri, aku melihat tangan kanan Hanggara yang di letakkan di atas pahanya yang dilingkari oleh gelang yang sama yang kini juga melingkar di tangan kiriku. Aku memandangnya silih berganti.
“Kenapa?” pertanyaannya membuatku sedikit kaget.
Aku mengangkat wajahku dan tersenyum padanya.
“Ngga apa-apa,” sahutku tersenyum.
Dia tertawa tergelak. “Begini ya jadinya kalau kita sibuk dengan pikiran masing-masing,” komentarnya di sela-sela tawanya.
“Aku hanya berpikir...” aku sengaja tidak melanjutkan kalimatku dan memandangnya yang kini juga memandangku dengan penasaran.
“Berpikir apa?” tanyanya tidak sabaran ketika aku hanya memandanginya saja.
“Coba kalau kamu ke Jakarta, kamu bisa dapet wanita yang jauuuuh lebih baik dari aku dari segala hal,” sahutku yang membuat dia lagi-lagi memamerkan senyumannya.
“Aku pernah di Jakarta, meski ngga lama, setahunan kira-kira. Dan aku pernah di Australia 3 tahunan lho,” balasnya dengan tersenyum kemenangan. Shit! Aku lupa!
Aku menepuk keningku sendiri yang membuatnya makin tersenyum lebar.
“Aku suka kamu yang... ya, seperti ini,” ujarnya kemudian. Lalu dia melepaskan alas kakinya dan duduk menyamping bersandar pada pilar pendopo ini, menghadap langsung kepadaku.
“Aku ngga pernah nanya ini sama kamu, dan sekarang aku ingin tahu dan dengar dari kamu langsung, apa kamu suka aku?”
Aku sedikit terkejut dan aku yakin dia bisa membacanya dari raut wajahku
“Jujur...,” ujarnya menatapku lekat
Aku menatapnya, “Aku pernah bilang, sama Ardi mungkin,” sahutku mencoba mengingat, “wanita mana sih yang ngga suka sama kamu, aku yakin dari 10 wanita hanya 1 orang yang mungkin ngga suka kamu,” sahutku dengan menekankan intonasi bicaraku pada kata mungkin
“Trus kamu ada di mana, 9 wanita itu atau yang 1 orang?”
Aku tertawa kecil, “Aku salah satu dari 9 wanita itu.”
Dia tersenyum.
“Puas?” tanyaku menggodanya
“Ngga, belum?”
Aku mengangkat alisku tanda heran,
“Kenapa? Maunya apa lagi?”
“Sebenernya, aku pengennya kamu jatuh cinta sama aku.”
Aku tertawa.
“Kenapa ketawa?”
“Aku justru ngga berani jatuh cinta sama kamu, you are too perfect to be loved for a kind of woman like me.”
“But if i fall in love with you, will you do the same?”
***
Kami sampai di kostanku menjelang sore. Hanggara menghantarkanku sampai di depan pintu kamarku.
“Angga, aku minta maaf ya, bunga yang kamu kasi dulu itu, mati nih,” ujarku memperlihatkan tanaman bunga mawar yang dia hadiahkan untukku tempo hari sudah mengering
Hanggara berjongkok memperhatikan tanaman itu, dan kemudian mencabut paksa batangnya.
“Pantes mati, ngga ada akarnya,” ujarnya memperlihatkan ujung dari batang yang dia cabut tadi
“Kalau ngga ada akarnya kok bisa tumbuh, kemarin sempet mekar bunganya tapi ngga sempurna sih mekarnya,” ujarku ikut berjongkok di sampingnya.
“Ya sudah besok aku beliin lagi.”
“Ngga usah, ntar malah mati lagi,” tolakku
“Ngga apa-apa, nanti aku cari yang ada akarnya, atau kamu pilih mau tanaman apa, yang gampang tumbuhnya, sahutnya sambil membuang batang tanaman itu.
“Aku ngga mau tanaman,” tegasku sekali lagi, “buat kamu aja.”
Dia tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
“Iya iya, nanti cari buat tamanku di rumah,” sahutnya kemudian, “Aku balik dulu ya.”
“Iya, hati-hati,” balasku.
Aku masih memandangi punggungnya yang berjalan menjauh, sampai dia menghilang di balik dinding.
Aku masih berdiri mematung di depan kamarku.
‘One chapter closed, let’s open the next one...’

One chapter closed, lets open the next one...
Hanggara mengajakku ke sebuah pura yang ada di luar kota Denpasar, sekitar 2 jam dari Jimbaran. Menurutnya, pura itu ada di puncak bukit, tapi aku ngga merasa kalau mobil berjalan naik. Tapi memang untuk mencapai areal utama di mana biasa dilakukannya persembahyangan aku harus menguras keringat menaiki puluhan bahkan nyaris mencapai ratusan anak tangga.
Hanggara memakai pakaian khusus untuk persembahyangan, sedangkan aku hanya memakai kain dan melingkarkan sebuah selendang di pinggangku.
“Aku boleh ikut masuk?” tanyaku ketika menyelesaikan anak tangga terkahir dan berdiri di depan sebuah gapura yang sangat besar.
“Boleh kok, ayo,” ujarnya memasuki gapura tersebut.
Ternyata sangat luas di dalam. Ada beberapa bangunan di sana.
“Kamu tunggu di sini, duduk aja di sana ngga apa-apa kok,” ujarnya.
Aku menuruti Hanggara, duduk di sebuah bangunan pendopo berstyle Bali. Sementara Hanggara bersembahyang, duduk beralaskan tanah sedikit jauh ke depan dari pendopo ini.
Aku memandang sekelilingku, sangat sepi dan hening. Hanya terdengar suara-suara burung dan sesekali suara gesekan dedaunan yang tertiup angin. Tenang sekali.
***
Setelah menyelesaikan persembahyangannya, Hanggara menghampiriku dan duduk bersisian.
“Sini tanganmu,” katanya langsung meraih tangan kiriku.
Aku diam saja ketika dia melingkarkan sebuah gelang yang hampir sama seperti gelang yang dia belikan untkku tempo hari, hanya saja gelang ini hanya terdiri dari 3 buah benang dengan tiga warna berbeda yang di jalin sedemikian rupa hingga menyatu.
Setelah itu, Hanggara meraih tangan kananku dan melepaskan gelang yang sebelumnya dia belikan untukku.
“Yang ini jangan di pakai lagi ya, udah ada gantinya yang baru, yang asli,” ujarnya tersenyum padaku.
“Ini dapat dari sini?”
“Iya.”
“Ngga apa-apa aku make ini?”
“Ngga lah, aku juga ada,” Hanggara memamerkan gelang serupa yang terlilit di tangan kanannya.
“Ini sebuah hadiah, yang bagi kami adalah sebuah berkat, tapi bagi yang tidak mempercayainya, anggaplah ini sebuah kenangan-kenangan karena sudah berkunjung ke sini.”
Aku tersenyum padanya, aku yakin dia berkata seperti itu karena tidak ingin menyinggungku.
“Ayo,” dia meraih tanganku dan mengajakku keluar dari areal utama pura itu.
Aku memintanya berhenti sejenak sebelum kami keluar melewati sebuah gapura besar, karena aku ingin menikmati sejenak pemandangan dari balik tembok yang memagari areal utama itu, nun jauh di sana terhampar lautan yang tampak berwarna biru kelabu.
“Bisa kok tanganku dilepas, aku bisa jalan sendiri,” ujarku ketika kami menuruni tangga.
“Biar kamu ngga jatuh, jalan keluarnya beda dengan yang tadi, agak menurun dan licin nanti kamu jatuh,” ujarnya tersenyum jahil tanpa melepaskan genggaman tangannya.
“Lepasin ngga?”
“Ngga!”
Benar yang dia bilang jalan keluarnya memang berbeda, bukan melalui jalan yang tadi ketika kami naik.
Saat turun kami tidak menuruni tangga tapi melewati jalan menurun yang hanya di semen dan berkerikil. Karena jalannya berbelok memutar dan menurun dengan adanya kerikil dan pasir makin membuat jalannya agak sulit dan menjadi licin.
Ketika kami benar-benar sudah ada di daerah yang datar, Hanggara pun melepaskan tanganku.
“Aku ngga akan biarin kamu melewati sesuatu yang sulit sendirian,” ujarnya tiba-tiba.
Jujur sebagai seorang wanita hatiku berbunga-bunga mendengar ucapan ini keluar dari seorang lelaki seperti Hanggara.
Aku mengulum senyum, “Apa kamu juga ngegombalin semua wanita seperti ini?”
Dia tertawa kecil, “Aku ngga lagi gombalin kamu, aku serius.”
Aku tidak menjawab, hanya tersenyum.
“Apa selama ini di matamu aku terlihat main-main?” tanyanya dan dia pun tiba-tiba berhenti dan berdiri menatapku tajam. Ada raut kecewa terlihat dari wajahnya.
Aku berbalik dan berjalan pelan mendekat kepadanya
“Aku tahu kamu serius, hanya saja aku ngga yakin sama kamu, aku masih takut kalau ini hanya perasaan sesaat hanya karena kita sering ketemu saja. Bisa saja kan seperti itu?”
Sesaat dia terdiam. “Aku ngga tahu gimana harus ngeyakinin kamu, tapi aku akan berusaha,” ujarnya tegas.
Aku menatapnya yang hanya memandang lurus ke depan, ke arah rerimbunan pepohonan yang bergerak-gerak pelan mengikuti terpaan angin.
Aku menatap bangunan tinggi yang menjulang megah tepat di samping kami saat ini.
“Tempat ini indah, but I’m not belong in it,” ujarku pelan
“I said I will try…”
“Jangan membuang waktu dan energi untuk sesuatu yang ngga pasti,” sahutku
“Kamu yang membuatnya tidak pasti!” ujarnya memandangku tajam, “Kamu yang ngga yakin sebenernya kan?”
“Apa tujuan kamu ngajak aku ke sini?” tanyaku memandangnya, mengacuhkan pertanyaannya.
Dia tersenyum kecil mengalihkan pandangannya, memandang ke sekeliling kami, “Aku ngga ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin ditemenin kamu aja. Aku hanya ingin ajak kamu jalan-jalan, biar pikiran kamu teralihkan dari kekecewaan kamu kemarin.”
Aku terdiam.
“Aku tahu kondisi kita, mirip dengan cerita lamamu itu kan? Tapi aku bukan dia. Aku akan berusaha untuk hubungan ini, aku yakin kamu pasti sangat mengerti kalau hanya aku yang berusaha ngga akan ada artinya, ngga akan berhasil,” ujarnya, “Aku akan berusaha menyakinkan kamu kalau aku sangat yakin dengan perasaanku dan akan berusaha untuk hubungan ini. Aku sangat berharap kamu pun mau berusaha untuk kita.”
Aku terdiam.
Hanggara melangkah lebih dekat padaku dan meraih tanganku, menggenggamnya erat.
“Kamu bisa memikirkan ini nanti, aku ngga akan memaksa, tapi aku sangat berharap,” ujarnya tersenyum padaku. “Let’s go, kita lanjutkan perjalanan.”
Dia menarikku lembut dan kami berjalan bersisian menuju mobilnya.
***
Hanggara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang ketika kami sampai di jalan utama.
“Coba kamu liat ke atas bukit itu,” kata Hanggara menunjuk dengan pandangannya ke arah sebuah bukit yang ada di seberang jalan di mana kami berkendara saat ini, “tadi itu kita ada di puncaknya, keliatan kan bangunan puranya.”
Aku sedikit merunduk agar dapat melihat puncak bukit yang dimaksudkan Hanggara, dan benar saja, aku bisa melihat bangunan pura yang tadi di puncaknya.
“Iya ada, ngga terasa tadi kalau jalannya menanjak setinggi itu,” balasku kembali duduk normal.
Hanggara hanya tersenyum dan kemudian memutar lagu dari audio mobilnya.
“Sekarang kita mau ke mana?” tanyaku
“Hmm… ke pantai, kita sedang menyisir pantai sekarang, nanti kita berhenti di spot yang bagus,” ujarnya dengan pandangan tetap fokus ke jalanan di depan kami.
Aku tidak menyahut lagi dan menikmati pemandangan di sepanjang jalan ini. Benar katanya, di sepanjang jalan ini terhampar pantai yang membiru indah. Meski di beberapa area terhalang oleh bangunan-bangunan di tepi jalan.
“Kemarin jadi nemenin Lisa?” tanya Hanggara
“Oh iya!” aku tersentak baru ingat dengan janjiku pada Lisa
“Kenapa?” tanya Hanggara sebentar-sebentar dia melihat ke arahku.
“Aku lupa, harusnya kemarin dia photoshoot terakhir, tapi kenapa dia ngga nelpon atau ingetin aku ya?” sahutku sambil sibuk mencari-cari ponselku di tas.
Setelah aku menemukannya aku melihat ke list panggilan tak terjawab atau pesan masuk, tapi nihil, tidak ada dari Lisa atau Ardi.
Aku memutuskan mengirimkan pesan ke Lisa.
Cha, I’m so sorry, gw lupa banget nemenin lo kemarin, knp ngga ingetin gw sih?Tak perlu menunggu lama, pesanku sudah terbaca dan terlihat tanda kalau Lisa sedang mengetik balasan
It’s okay. Ardi ngelarang aku gangguin elo. Gw ngga mau lo terpaksa ikut cm gegara ngga enak sm gw, padahal lo ngga nyaman.
Yah, ga segitunya kaleee, I’m fine!
Omongan lo aja fine, ngga mungkin lo ‘just fine’ aja ngadepinnya
🙂😁
Besok ketemuan ya sekalian anterin gw ke bandara
Okay, tapi kabarin lagi gw besok ya, takut kelupaan
👍👌Aku meletakkan lagi ponselku ke dalam tas.
“Gimana katanya?” tanya Hanggara
“Sengaja dia ngga ngajakin aku. Besok Lisa balik minta di antar ke bandara,” sahutku
“Sama aku aja ntar.”
Aku tidak menanggapi perkataannya. Kembali menikmati pemandangan di sepanjang jalan yang kami lalui.
***
Selang beberapa lama, Hanggara memperlambat laju mobilnya dan kemudian berbelok masuk ke sebuah tempat seperti pelataran parkir yang tidak begitu luas dan di depan sana terpampang jelas laut yang membiru cerah.
“Goa Lawah,” kataku membaca tulisan dalam ukuran besar yang kini terpampang di depanku.
“Iya ini Pantai Goa Lawah,” sahut Hanggara, “Goa Lawah itu artinya Goa Kelelawar. Goanya ada di sana.”
Dia menunjuk ke seberang jalan.
“Itu pura juga ya?” tanyaku
“Iya. Ayo!” Hanggara meraih tanganku dan menggandengku mendekat ke sekitaran pantai.
Karena cuaca yang panas meski matahari tidak terlalu terik, dia mengajakku duduk di sebuah pendopo yang ada di kanan kiri gerbang masuk ke pantai.
Kami duduk bersisian, sama-sama memandangi hamparan laut biru dengan pasir hitam yang berkilau-kilau tertimpa sinar matahari.
“Pasir hitamnya keren,” ujarku.
Aku memandang hamparan lautan ini dari ujung ke ujung. Di ujung kanan garis pantainya terputus oleh sebuah semenanjung, sedangkan di sisi yang lain garis pantainya tampak tak berujung.
Aku yang merasa aneh karena Hanggara hanya diam saja, menolehnya dan pandanganku bertemu dengan tatapan matanya.
“Kenapa?” tanyaku menghilangkan kegugupanku karena mendapatinya memandangiku
Dia tersenyum kecil. “Ngga apa-apa,” sahutnya.
Aku masih memandangnya yang kini mengalihkan pandangannya menatap pantai di depan kami.
‘aku tahu aku harus jujur dengan diriku sendiri, aku menyukainya, hanya saja… ada sesuatu yang membuatku ragu, entah apa. Apa karena aku takut kecewa lagi? Atau memutuskan sekarang terlalu cepat?’
Sekilas ketika aku bergulat dengan pikiranku sendiri, aku melihat tangan kanan Hanggara yang di letakkan di atas pahanya yang dilingkari oleh gelang yang sama yang kini juga melingkar di tangan kiriku. Aku memandangnya silih berganti.
“Kenapa?” pertanyaannya membuatku sedikit kaget.
Aku mengangkat wajahku dan tersenyum padanya.
“Ngga apa-apa,” sahutku tersenyum.
Dia tertawa tergelak. “Begini ya jadinya kalau kita sibuk dengan pikiran masing-masing,” komentarnya di sela-sela tawanya.
“Aku hanya berpikir...” aku sengaja tidak melanjutkan kalimatku dan memandangnya yang kini juga memandangku dengan penasaran.
“Berpikir apa?” tanyanya tidak sabaran ketika aku hanya memandanginya saja.
“Coba kalau kamu ke Jakarta, kamu bisa dapet wanita yang jauuuuh lebih baik dari aku dari segala hal,” sahutku yang membuat dia lagi-lagi memamerkan senyumannya.
“Aku pernah di Jakarta, meski ngga lama, setahunan kira-kira. Dan aku pernah di Australia 3 tahunan lho,” balasnya dengan tersenyum kemenangan. Shit! Aku lupa!
Aku menepuk keningku sendiri yang membuatnya makin tersenyum lebar.
“Aku suka kamu yang... ya, seperti ini,” ujarnya kemudian. Lalu dia melepaskan alas kakinya dan duduk menyamping bersandar pada pilar pendopo ini, menghadap langsung kepadaku.
“Aku ngga pernah nanya ini sama kamu, dan sekarang aku ingin tahu dan dengar dari kamu langsung, apa kamu suka aku?”
Aku sedikit terkejut dan aku yakin dia bisa membacanya dari raut wajahku
“Jujur...,” ujarnya menatapku lekat
Aku menatapnya, “Aku pernah bilang, sama Ardi mungkin,” sahutku mencoba mengingat, “wanita mana sih yang ngga suka sama kamu, aku yakin dari 10 wanita hanya 1 orang yang mungkin ngga suka kamu,” sahutku dengan menekankan intonasi bicaraku pada kata mungkin
“Trus kamu ada di mana, 9 wanita itu atau yang 1 orang?”
Aku tertawa kecil, “Aku salah satu dari 9 wanita itu.”
Dia tersenyum.
“Puas?” tanyaku menggodanya
“Ngga, belum?”
Aku mengangkat alisku tanda heran,
“Kenapa? Maunya apa lagi?”
“Sebenernya, aku pengennya kamu jatuh cinta sama aku.”
Aku tertawa.
“Kenapa ketawa?”
“Aku justru ngga berani jatuh cinta sama kamu, you are too perfect to be loved for a kind of woman like me.”
“But if i fall in love with you, will you do the same?”
***
Kami sampai di kostanku menjelang sore. Hanggara menghantarkanku sampai di depan pintu kamarku.
“Angga, aku minta maaf ya, bunga yang kamu kasi dulu itu, mati nih,” ujarku memperlihatkan tanaman bunga mawar yang dia hadiahkan untukku tempo hari sudah mengering
Hanggara berjongkok memperhatikan tanaman itu, dan kemudian mencabut paksa batangnya.
“Pantes mati, ngga ada akarnya,” ujarnya memperlihatkan ujung dari batang yang dia cabut tadi
“Kalau ngga ada akarnya kok bisa tumbuh, kemarin sempet mekar bunganya tapi ngga sempurna sih mekarnya,” ujarku ikut berjongkok di sampingnya.
“Ya sudah besok aku beliin lagi.”
“Ngga usah, ntar malah mati lagi,” tolakku
“Ngga apa-apa, nanti aku cari yang ada akarnya, atau kamu pilih mau tanaman apa, yang gampang tumbuhnya, sahutnya sambil membuang batang tanaman itu.
“Aku ngga mau tanaman,” tegasku sekali lagi, “buat kamu aja.”
Dia tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
“Iya iya, nanti cari buat tamanku di rumah,” sahutnya kemudian, “Aku balik dulu ya.”
“Iya, hati-hati,” balasku.
Aku masih memandangi punggungnya yang berjalan menjauh, sampai dia menghilang di balik dinding.
Aku masih berdiri mematung di depan kamarku.
‘One chapter closed, let’s open the next one...’

JabLai cOY dan 4 lainnya memberi reputasi
5