- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#623
Jilid 18 [Part 414]
Spoiler for :
DALAM perjalanan itu Widuri menjadi gembira. Dilarikannya kudanya di paling depan. Di mukanya terbentang lembah dan dipagari oleh bukit-bukit kecil. Sekali-kali perjalanan itu menurun, namun kadang-kadang harus mendaki lereng-lereng bukit yang berbaris seperti sebuah benteng yang kokoh kuat. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari telah condong. Widuri mengerutkan keningnya. Mereka berangkat terlalu siang. Mereka tidak akan dapat mencapai Banyubiru sebelum matahari terbenam. Sedang perjalanan itu tidak akan dapat cepat, karena Nyai Ageng Gajah Sora belum dapat menunggang kuda dengan baik. Meski demikian Widuri kadang-kadang memacu kudanya jauh ke depan. Kemudian sambil menanti kawan-kawannya ia berhenti diatas sebuah punhtuk yang menjorok. Dari sana ia dapat melihat, betapa luasnya tanah yang terbentang di hadapannya. Betapa besar alam. Dan betapa Maha Besar Sang Pencipta, yang telah mencipta langit dan bumi. Beribu, berjuta kali lipat dari apa yang dilihatnya itu, dari apa yang gumelar di hadapannya. Rombongan itu berjalan terus.
Meskipun perlahan-lahan namun mereka tetap maju, semakin lama semakin dekat dengan Banyubiru. Matahari yang mengapung di langit telah membayanglah punggung-punggung bukit. Sesaat kemudian membayanglah warna kuning tajam di atas pegunungan Candik Ala. Widuri tersenyum memandang warna itu. Tiba-tiba teringatlah olehnya warna-warna Candik Ala beberapa tahun yang lalu di Gedangan. Pada saat tiba-tiba saja mereka disergap oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Tetapi Uling itu telah tak ada lagi. Mereka telah dibinasakan oleh Arya Salaka.
“Hem!” gumamnya,
“Alangkah gagahnya anak itu.”
Tiba-tiba wajah Widuri menjadi kemerah-merahan. Segera ia menoleh ke arah rombongannya.
“Mudah-mudahan mereka tidak mendengar,” pikirnya.
Gadis itu menjadi malu sendiri. Malu kepada pengakuannya, bahwa ia telah mengagumi Arya Salaka. Karena itu sekali lagi ia melarikan kudanya ke punthuk yang lain, sambil berusaha mengusir angan-angannya tentang anak muda dari lereng bukit Telamaya itu. Namun setiap kali ia berusaha melupakan, setiap kali angan-angan itu muncul kembali. Agaknya jauh di belakangnya, berjalanlah dengan kecepatan sedang seluruh rombongan.
Gajah Sora mendampingi istrinya bersama Arya Salaka. Di belakangnya, Ki Ageng Pandan Alas berjajar dengan Kebo Kanigara yang kadang-kadang menjadi cemas melihat kenakalan anaknya yang jauh di depan. Di belakang mereka, berkuda Mahesa Jenar, dan di sampingnya Rara Wilis. Tidak banyak yang mereka percakapkan di perjalanan. Hanya kadang-kadang saja Rara Wilis bertanya-tanya tentang daerah yang mereka lewati. Ketika Candik Ala membayang di langit, bertanyalah Rara Wilis,
Rara Wilis terdiam. Di perjalanan antara Pamingit dan Banyubiru, hampir tak dijumpainya pedesaan. Agaknya rakyat Banyubiru dan Pamingit lebih senang dedukuh pada pedukuhan yang tidak terlalu jauh jaraknya satu sama lain. Meskipun demikian sekali-kali mereka melewati pedukuhan pula. Pedukuhan-pedukuhan kecil, yang seakan-akan terpisah dari induk tanah perdikan mereka. Namun mereka pun merupakan sendi-sendi kehidupan yang tak dapat dilupakan.
Mahesa Jenar tersentak mendengar pertanyaan Rara Wilis yang tiba-tiba itu. Untuk sesaat ia tidak tahu bagaimana ia harus menjawabnya. Dipandanginya saja wajah gadis yang duduk di atas punggung kuda di sampingnya itu. Ketika Rara Wilis merasa betapa sepasang mata yang tajam memandanginya, ditundukkannya wajahnya dalam-dalam. Tanpa disengaja, Mahesa Jenar mengamat-amati wajah itu dengan seksama. Sejak semula ia memang mengagumi kecantikan Rara Wilis. Tetapi sejak perjuangannya mencari Nagasasra dan Sabuk Inten meningkat, serta usahanya untuk mengembalikan Arya Salaka hampir sampai pada titik puncaknya, ia tidak mempunyai waktu lagi untuk selalu memperhatikan wajah itu. Sekarang tiba-tiba ia mempunyai waktu itu. Namun hatinya menjadi tergoncang karenanya. Di wajah yang cantik itu, tampaklah beberapa bintik air mata.
MAHESA JENAR menarik nafas dalam-dalam. Baru sekarang dilihatnya kesayuan yang membayang di wajah yang cantik itu. Betapa gadis itu mengorbankan remajanya untuk memberinya kesempatan melakukan pengabdian mutlak kepada sesama dan kepada Tuhannya. Dua pengabdian yang tak mungkin dipisah-pisahkan. Mungkin pada saat-saat mendatang bukan berarti bahwa ia akan dapat mengabdikan pengabdian itu, namun ia sudah mempunyai waktu untuk memikirkan dirinya sendiri.
Mahesa Jenar menjadi iba kepada gadis itu. Ia merasa bahwa sudah terlalu lama ia membiarkan gadis itu menahan hatinya, tanpa mendapat perhatiannya sama sekali. Telah terlalu lama ia membiarkan gadis itu merasa betapa sepi hidupnya. Tiba-tiba ia ingin menjelaskan kepada gadis itu, mengapa ia bersikap demikian. Perlahan-lahan terdengar Mahesa Jenar berkata,
Rara Wilis tak dapat meneruskan kata-katanya. Air matanya menjadi semakin deras mengair dan tangannya menjadi sibuk untuk mengusapnya.
Ia menyesal telah mengatakan apa yang tersimpan didalam hatinya. Ia menyesal bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang sama sekali tak dikehendaki oleh Rara Wilis.
Perlahan-lahan wajah Rara Wilis menjadi cerah kembali. Namun dari kedua biji matanya yang hitam bulat masih memancar berbagai pertanyaan. Meskipun pertanyaan-pertanyaan itu tak terucapkan, tetapi Mahesa Jenar dapat mengartikan. Karena itu ia berkata,
Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Tiba tiba saja persoalan yang seakan menghimpit dadanya seberat gunung Anakan terasa berguguran. Sebab selama ini kedua keris itu masih menjadi teka teki, iapun ikut serta merasakan betapa berat penanggungan hati Mahesa Jenar. Meskipun ia tidak tahu menhapa Mahesa Jenar tidak segera menyerahkan keris itu ke Demak namun ia tidak bertanya-tanya lagi. Sebab persoalannya telah menjadi jelas dan Mahesa Jenar tidak perlu lagi merantau dan berjuang mati-matian untuk mencarinya.
Meskipun perlahan-lahan namun mereka tetap maju, semakin lama semakin dekat dengan Banyubiru. Matahari yang mengapung di langit telah membayanglah punggung-punggung bukit. Sesaat kemudian membayanglah warna kuning tajam di atas pegunungan Candik Ala. Widuri tersenyum memandang warna itu. Tiba-tiba teringatlah olehnya warna-warna Candik Ala beberapa tahun yang lalu di Gedangan. Pada saat tiba-tiba saja mereka disergap oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Tetapi Uling itu telah tak ada lagi. Mereka telah dibinasakan oleh Arya Salaka.
“Hem!” gumamnya,
“Alangkah gagahnya anak itu.”
Tiba-tiba wajah Widuri menjadi kemerah-merahan. Segera ia menoleh ke arah rombongannya.
“Mudah-mudahan mereka tidak mendengar,” pikirnya.
Gadis itu menjadi malu sendiri. Malu kepada pengakuannya, bahwa ia telah mengagumi Arya Salaka. Karena itu sekali lagi ia melarikan kudanya ke punthuk yang lain, sambil berusaha mengusir angan-angannya tentang anak muda dari lereng bukit Telamaya itu. Namun setiap kali ia berusaha melupakan, setiap kali angan-angan itu muncul kembali. Agaknya jauh di belakangnya, berjalanlah dengan kecepatan sedang seluruh rombongan.
Gajah Sora mendampingi istrinya bersama Arya Salaka. Di belakangnya, Ki Ageng Pandan Alas berjajar dengan Kebo Kanigara yang kadang-kadang menjadi cemas melihat kenakalan anaknya yang jauh di depan. Di belakang mereka, berkuda Mahesa Jenar, dan di sampingnya Rara Wilis. Tidak banyak yang mereka percakapkan di perjalanan. Hanya kadang-kadang saja Rara Wilis bertanya-tanya tentang daerah yang mereka lewati. Ketika Candik Ala membayang di langit, bertanyalah Rara Wilis,
Quote:
“Sudahkah kita sampai ke daerah tanah perdikan Banyubiru?”
Mahesa Jenar menggeleng, jawabnya,
“Aku tidak tahu pasti, manakah batas antara kedua tanah perdikan itu.”
Rara Wilis mengangguk-anggukan kepalanya. Pandangannya kemudian beredar memandangi hutan-hutan yang masih bertebaran di lembah.
“Tanah itu belum digarap,” katanya.
“Masih cukup dengan sawah-sawah yang sudah ada,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi perkembangan penduduk Banyubiru demikian pesatnya. Dan hutan-hutan itu menanti tangan-tangan yang akan menggarapnya.”
Mahesa Jenar menggeleng, jawabnya,
“Aku tidak tahu pasti, manakah batas antara kedua tanah perdikan itu.”
Rara Wilis mengangguk-anggukan kepalanya. Pandangannya kemudian beredar memandangi hutan-hutan yang masih bertebaran di lembah.
“Tanah itu belum digarap,” katanya.
“Masih cukup dengan sawah-sawah yang sudah ada,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi perkembangan penduduk Banyubiru demikian pesatnya. Dan hutan-hutan itu menanti tangan-tangan yang akan menggarapnya.”
Rara Wilis terdiam. Di perjalanan antara Pamingit dan Banyubiru, hampir tak dijumpainya pedesaan. Agaknya rakyat Banyubiru dan Pamingit lebih senang dedukuh pada pedukuhan yang tidak terlalu jauh jaraknya satu sama lain. Meskipun demikian sekali-kali mereka melewati pedukuhan pula. Pedukuhan-pedukuhan kecil, yang seakan-akan terpisah dari induk tanah perdikan mereka. Namun mereka pun merupakan sendi-sendi kehidupan yang tak dapat dilupakan.
Quote:
“Adakah Kakang akan menetap di Banyubiru?”
Mahesa Jenar tersentak mendengar pertanyaan Rara Wilis yang tiba-tiba itu. Untuk sesaat ia tidak tahu bagaimana ia harus menjawabnya. Dipandanginya saja wajah gadis yang duduk di atas punggung kuda di sampingnya itu. Ketika Rara Wilis merasa betapa sepasang mata yang tajam memandanginya, ditundukkannya wajahnya dalam-dalam. Tanpa disengaja, Mahesa Jenar mengamat-amati wajah itu dengan seksama. Sejak semula ia memang mengagumi kecantikan Rara Wilis. Tetapi sejak perjuangannya mencari Nagasasra dan Sabuk Inten meningkat, serta usahanya untuk mengembalikan Arya Salaka hampir sampai pada titik puncaknya, ia tidak mempunyai waktu lagi untuk selalu memperhatikan wajah itu. Sekarang tiba-tiba ia mempunyai waktu itu. Namun hatinya menjadi tergoncang karenanya. Di wajah yang cantik itu, tampaklah beberapa bintik air mata.
MAHESA JENAR menarik nafas dalam-dalam. Baru sekarang dilihatnya kesayuan yang membayang di wajah yang cantik itu. Betapa gadis itu mengorbankan remajanya untuk memberinya kesempatan melakukan pengabdian mutlak kepada sesama dan kepada Tuhannya. Dua pengabdian yang tak mungkin dipisah-pisahkan. Mungkin pada saat-saat mendatang bukan berarti bahwa ia akan dapat mengabdikan pengabdian itu, namun ia sudah mempunyai waktu untuk memikirkan dirinya sendiri.
Mahesa Jenar menjadi iba kepada gadis itu. Ia merasa bahwa sudah terlalu lama ia membiarkan gadis itu menahan hatinya, tanpa mendapat perhatiannya sama sekali. Telah terlalu lama ia membiarkan gadis itu merasa betapa sepi hidupnya. Tiba-tiba ia ingin menjelaskan kepada gadis itu, mengapa ia bersikap demikian. Perlahan-lahan terdengar Mahesa Jenar berkata,
Quote:
“Wilis, kalau sampai sedemikian lama aku berdiam diri, itu karena aku ingin hidup kelak tidak terganggu oleh kesanggupan dan janji diri. Aku ingin hidup tentram setelah aku menyelesaikan pekerjaanku. Aku harap kau dapat mengerti, bahwa apa yang aku lakukan adalah demi kebahagiaan kita kelak, bukan semata-mata aku membiarkan diriku melakukan pekerjaan yang aku senangi tanpa mempertimbangkan pendapatmu. Sebab …”
“Kakang!” potong Rara Wilis.
Gadis itu mengangkat wajahnya dan memandang Mahesa Jenar tidak kalah tajamnya.
Katanya meneruskan,
“Kenapa Kakang berkata demikian? Apakah aku pernah menyatakan penyesalan atas semua yang pernah terjadi selama ini berjuang untuk suatu pengabdian, untuk memenuhi kewajiban yang Kakang letakkan di pundak Kakang? Sampai sekarang pun aku telah berusaha untuk membantu Kakang, setidak-tidaknya membesarkan hati Kakang agar Kakang dapat melakukan kuwajiban itu dengan tenang. Tentang diriku sendiri? Aku telah lama melupakan kepentingan itu. Aku telah biasa hidup dalam kesepian. Sejak ibuku meninggal dunia.”
“Kakang!” potong Rara Wilis.
Gadis itu mengangkat wajahnya dan memandang Mahesa Jenar tidak kalah tajamnya.
Katanya meneruskan,
“Kenapa Kakang berkata demikian? Apakah aku pernah menyatakan penyesalan atas semua yang pernah terjadi selama ini berjuang untuk suatu pengabdian, untuk memenuhi kewajiban yang Kakang letakkan di pundak Kakang? Sampai sekarang pun aku telah berusaha untuk membantu Kakang, setidak-tidaknya membesarkan hati Kakang agar Kakang dapat melakukan kuwajiban itu dengan tenang. Tentang diriku sendiri? Aku telah lama melupakan kepentingan itu. Aku telah biasa hidup dalam kesepian. Sejak ibuku meninggal dunia.”
Rara Wilis tak dapat meneruskan kata-katanya. Air matanya menjadi semakin deras mengair dan tangannya menjadi sibuk untuk mengusapnya.
Quote:
“Maafkan aku Wilis,” desis Mahesa Jenar.
Ia menyesal telah mengatakan apa yang tersimpan didalam hatinya. Ia menyesal bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang sama sekali tak dikehendaki oleh Rara Wilis.
Quote:
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar berkata,
“Wilis, sekarang semua kewajiban itu sudah selesai.”
Rara Wilis terkejut. Ia mengangkat wajahnya yang basah. Seakan-akan ia ingin mendengar kata-kata itu sekali lagi.
“Pekerjaanku telah selesai,” ulang Mahesa Jenar meyakinkan.
“Bagaimana dengan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?” tanya Rara Wilis.
“Keris itu sudah aku ketemukan,” jawab Mahesa Jenar.
“Sudah Kakang ketemukan?” Wajah Rara Wilis tiba-tiba menjadi cerah.
Tetapi tiba-tiba matanya menjadi suram kembali. Katanya,
“Kakang hanya ingin menyenangkan hatiku. Atau hati Kakang menjadi patah dan tidak mau mencari kedua keris itu lagi?”
Cepat-cepat Mahesa Jenar menyahut,
“Tidak, tidak Wilis. Aku sama sekali tidak akan menghentikan usahaku seandainya kedua pusaka itu belum dapat diketemukan. Tetapi kini kedua keris itu benar-benar telah dapat diketemukan.”
“Wilis, sekarang semua kewajiban itu sudah selesai.”
Rara Wilis terkejut. Ia mengangkat wajahnya yang basah. Seakan-akan ia ingin mendengar kata-kata itu sekali lagi.
“Pekerjaanku telah selesai,” ulang Mahesa Jenar meyakinkan.
“Bagaimana dengan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?” tanya Rara Wilis.
“Keris itu sudah aku ketemukan,” jawab Mahesa Jenar.
“Sudah Kakang ketemukan?” Wajah Rara Wilis tiba-tiba menjadi cerah.
Tetapi tiba-tiba matanya menjadi suram kembali. Katanya,
“Kakang hanya ingin menyenangkan hatiku. Atau hati Kakang menjadi patah dan tidak mau mencari kedua keris itu lagi?”
Cepat-cepat Mahesa Jenar menyahut,
“Tidak, tidak Wilis. Aku sama sekali tidak akan menghentikan usahaku seandainya kedua pusaka itu belum dapat diketemukan. Tetapi kini kedua keris itu benar-benar telah dapat diketemukan.”
Perlahan-lahan wajah Rara Wilis menjadi cerah kembali. Namun dari kedua biji matanya yang hitam bulat masih memancar berbagai pertanyaan. Meskipun pertanyaan-pertanyaan itu tak terucapkan, tetapi Mahesa Jenar dapat mengartikan. Karena itu ia berkata,
Quote:
“Wilis, kau tak perlu bercemas hati tentang kedua keris itu. Sudah sejak lama aku mengetahui, di mana kedua keris itu berada. Namun sampai saat ini belum tiba masanya kedua pusaka itu kembali ke istana.”
“Di manakah kedua keris itu?” tiba-tiba Rara Wilis bertanya.
Mahesa Jenar ragu sejenak.
Karena itu maka Rara Wilis segera berkata,
“Maafkan, barangkali aku tidak perlu mengetahuinya.”
“Tidak apa Wilis,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat.
“Kau boleh mengetahui beberapa bagian. Keris itu kini ada dalam simpanan Panembahan Ismaya.”
“Panembahan Ismaya?” Rara Wilis terkejut.
“Ya. Panembahan itulah yang telah mengambil kedua keris itu dari Banyubiru,” sahut Mahesa Jenar,
“Namun apa yang dilakukan itu benar-benar tanpa pamrih. Panembahan hanya ingin menyelamatkannya dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk lagi. Kemungkinan kedua pusaka itu jatuh di tangan orang-orang seperti Sima Rodra, Bugel Kaliki dan sebagainya.”
“Darimana Kakang tahu?” tanya Rara Wilis.
“Dari Panembahan Ismaya sendiri,” jawab Mahesa Jenar.
“Di manakah kedua keris itu?” tiba-tiba Rara Wilis bertanya.
Mahesa Jenar ragu sejenak.
Karena itu maka Rara Wilis segera berkata,
“Maafkan, barangkali aku tidak perlu mengetahuinya.”
“Tidak apa Wilis,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat.
“Kau boleh mengetahui beberapa bagian. Keris itu kini ada dalam simpanan Panembahan Ismaya.”
“Panembahan Ismaya?” Rara Wilis terkejut.
“Ya. Panembahan itulah yang telah mengambil kedua keris itu dari Banyubiru,” sahut Mahesa Jenar,
“Namun apa yang dilakukan itu benar-benar tanpa pamrih. Panembahan hanya ingin menyelamatkannya dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk lagi. Kemungkinan kedua pusaka itu jatuh di tangan orang-orang seperti Sima Rodra, Bugel Kaliki dan sebagainya.”
“Darimana Kakang tahu?” tanya Rara Wilis.
“Dari Panembahan Ismaya sendiri,” jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Tiba tiba saja persoalan yang seakan menghimpit dadanya seberat gunung Anakan terasa berguguran. Sebab selama ini kedua keris itu masih menjadi teka teki, iapun ikut serta merasakan betapa berat penanggungan hati Mahesa Jenar. Meskipun ia tidak tahu menhapa Mahesa Jenar tidak segera menyerahkan keris itu ke Demak namun ia tidak bertanya-tanya lagi. Sebab persoalannya telah menjadi jelas dan Mahesa Jenar tidak perlu lagi merantau dan berjuang mati-matian untuk mencarinya.
fakhrie... dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas