- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#616
Jilid 18 [Part 413]
Spoiler for :
SUASANA dicengkam oleh kesepian. Tak ada yang terdengar selain desah nafas tegang di antara kemerisik daun-daun yang digerakkan angin. Orang-orang Pamingit yang memandang Wulungan dengan marah, serta orang-orang yang berdiri tegak di belakang Wulungan, menundukkan wajah mereka.
Sesaat kemudian terdengar Ki Ageng Lembu Sora berkata,
Kemudian orang-orang yang berdiri berjejal-jejal itu mulai mengalir seperti air di dalam parit. Sebagian menuju ke banjar desa, sedang sebagian lagi ke rumah masing-masing. Perlahan-lahan jalan desa itu menjadi sepi kembali, selain beberapa orang yang sedang merawat tubuh Galunggung dan dibawanya ke pondoknya. Besok, sekali lagi mereka akan menyelenggarakan pemakaman. Galunggung tidak dimakamkan dengan upacara kebesaran seperti Sawung Sariti. Namun pemakaman itu pun akan diselenggarakan sebaik-baiknya.
Dalam perjalanan ke banjar desa, Mahesa Jenar berbisik kepada Kebo Kanigara yang berjalan di sampingnya,
Ketika mereka sampai di banjar desa, mereka melihat perempuan-perempuan sedang sibuk mengerumuni Rara Wilis dan Endang Widuri yang duduk di samping Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora. Mereka tak habis-habisnya bertanya kenapa mereka dapat menyelamatkan diri mereka dan dengan penuh kekaguman mereka bertanya-tanya, bagaimana mereka dapat memiliki ilmu tata bela diri. Pertanyaan- pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Meskipun demikian Rara Wilis mencoba pula untuk menjawab satu demi satu.
Ketika orang-orang yang datang dari pemakaman, setelah membasuh kaki mereka, memasuki banjar desa itu, maka perempuan itupun mengundurkan diri mereka untuk mempersiapkan minum serta makanan yang akan mereka hidangkan.
Demikianlah Pamingit dan Banyubiru telah melampaui suatu masa yang menyedihkan. Suatu masa yang tak dapat mereka lupakan. Ketika kemudian malam tiba, dan masing-masing telah terbaring di pembaringan, terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah terjadi. Meskipun gambaran-gambaran yang datang di dalam kenangan masing-masing tidak sama, tergantung dari apa yang pernah mereka lihat, dengar dan alami, namun mereka mempunyai persamaan kesimpulan. Bahkan Lembu Sora sendiri merasakan betapa kelakuannya hampir saja menenggelamkan kedua tanah perdikan itu. Tetapi dengan demikian, akhirnya ia menjadi ikhlas. Ikhlas atas segala kesedihan yang menimpanya. Ikhlas atas kematian anak satu-satunya.
Demikianlah agaknya Tuhan menghendaki, memberinya peringatan dan membawanya kembali ke jalan yang telah digariskan.
Di pondok itu, Mahesa Jenar duduk bersama-sama dengan Paningron, Gajah Alit, Gajah Sora dan Kebo Kanigara. Di bawah cahaya lampu minyak, tampaklah wajah mereka memancarkan kesungguhan pembicaraan yang sedang mereka lakukan.
Tak pernah kesetiaannya kepada tanah dan pemerintahannya menjadi goncang, seperti Sultan tak pernah mengalami kegoncangan kepercayaan kepadanya. Tak pernah ia berpikir untuk menolak seandainya Sultan memanggilnya, meskipun sebagai tawanan. Mahesa Jenar menyesal pula, bahwa ia begitu saja pergi meninggalkan istana pada saat itu. Tetapi masa itu telah lampau. Yang penting baginya, bagaimanakah selanjutnya. Dan kini ia harus memberi jawaban, Kanjeng Sultan Trenggana memangilnya.
Kemudian ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing menundukkan kepalanya sambil merenungkan pembicaraan itu.
Di luar, malam menjadi semakin pekat. Bintang-bintang berhamburan di langit yang biru. Selembar-selembar mega yang putih mengalir dihembus angin.
Malam itu adalah malam terakhir Paningron dan Gajah Alit berada di Pamingit. Mereka pada pagi harinya, terpaksa kembali ke Demak, untuk melaporkan apa yang telah dilakukannya. Mengantarkan kembali Gajah Sora. Penyelesaian yang baik antara Pamingit dan Banyubiru. Tertumpasnya gerombolan-gerombolan liar yang mencoba menyusun kekuatan untuk menghadapi Demak, sehingga karenanya Demak tidak perlu mengirimkan pasukan bantuan kepada Banyubiru dan Pamingit. Rangga Tohjaya yang tidak mau melepaskan kewajiban yang dibebankannya sendiri di atas pundaknya, mencari keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Tetapi tidak saja Paningron dan Gajah Alit yang pergi meninggalkan Pamingit. Gajah Sora dan Arya Salaka pun akhirnya beberapa hari kemudian, merasa bahwa mereka harus kembali ke tanah perdikannya. Mereka harus segera mengatur kembali pemerintahan tanah yang selama ini mengalami kegoncangan. Rakyat Banyubiru harus segera mengetahui bahwa akhirnya Ki Ageng Gajah Sora akan berada kembali di antara mereka. Karena itu, akhirnya mereka pun minta diri. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri tidak pula ketinggalan. Mereka ingin menyaksikan, betapa tanah yang seakan-akan telah kehilangan pamornya itu, kini menemukan kembali dirinya.
Perpisahan itu benar-benar mengharukan. Betapa semedhot-nya orang-orang Pamingit ketika mereka melihat laskar Banyubiru, rampak dalam barisan yang tertib, siap berjalan menempuh jalan yang menghubungkan kedua tanah perdikan yang dikepalai oleh dua orang bersaudara. Kakak-beradik yang hampir saja saling membinasakan. Untunglah bahwa Tuhan berkehendak lain.
Laskar itu akhirnya berjalan mendahului di bawah pimpinan Bantaran, Panjawi dan Jaladri. Laskar yang gagah berani itu berjalan menuruti jalan yang berliku-liku di lereng pegunungan, seperti seekor ular raksasa yang menjalar menuruni tebing, mendaki lereng-lereng bukit kecil menuju ke Rawa Pening.
Sesaat kemudian terdengar Ki Ageng Lembu Sora berkata,
Quote:
“Para pemimpin laskar Pamingit harus menghadap aku sebelum matahari terbenam. Tak seorang pun berhak memberikan tafsiran atas peristiwa ini selain aku sendiri.”
Kemudian kepada Wulungan ia berkata,
“Wulungan, ikut aku.”
Wulungan menganggukkan kepalanya dalam-dalam.
Katanya,
“Baik Ki Ageng.”
Kepada orang-orang Pamingit yang lain, Lembu Sora berkata,
“Selenggarakan pemakamannya baik-baik.”
Kemudian kepada Wulungan ia berkata,
“Wulungan, ikut aku.”
Wulungan menganggukkan kepalanya dalam-dalam.
Katanya,
“Baik Ki Ageng.”
Kepada orang-orang Pamingit yang lain, Lembu Sora berkata,
“Selenggarakan pemakamannya baik-baik.”
Kemudian orang-orang yang berdiri berjejal-jejal itu mulai mengalir seperti air di dalam parit. Sebagian menuju ke banjar desa, sedang sebagian lagi ke rumah masing-masing. Perlahan-lahan jalan desa itu menjadi sepi kembali, selain beberapa orang yang sedang merawat tubuh Galunggung dan dibawanya ke pondoknya. Besok, sekali lagi mereka akan menyelenggarakan pemakaman. Galunggung tidak dimakamkan dengan upacara kebesaran seperti Sawung Sariti. Namun pemakaman itu pun akan diselenggarakan sebaik-baiknya.
Dalam perjalanan ke banjar desa, Mahesa Jenar berbisik kepada Kebo Kanigara yang berjalan di sampingnya,
Quote:
“Kakang, mayat Bugel Kaliki lenyap.”
Kebo Kanigara menoleh, matanya menjadi redup, tetapi kemudian ia tersenyum,
“Aku belum memberitahukan kepadamu.”
“Kenapa?” tanya Mahesa Jenar.
“Ketika aku membawa kembali Sawung Sariti yang terluka aku telah meminta beberapa orang Pamingit untuk mengubur mayat itu,” jawab Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Sambil menggeleng- gelengkan kepalanya ia bergumam,
“Sederhana sekali.”
Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum,
“Ya, sederhana sekali. Apa kau sangka mayat itu hidup kembali? Kalau ia dapat hidup kembali maka mayat-mayat yang lain pun akan hidup pula. Dengan demikian sekali lagi kita harus berjuang melawan mereka.”
Mahesa Jenar tertawa. Menggelikan sekali. Arya Salaka pun kemudian diberitahunya pula.
“Ah,” sahut anak muda itu.
“Aku menjadi gelisah karenanya.”
Kebo Kanigara menoleh, matanya menjadi redup, tetapi kemudian ia tersenyum,
“Aku belum memberitahukan kepadamu.”
“Kenapa?” tanya Mahesa Jenar.
“Ketika aku membawa kembali Sawung Sariti yang terluka aku telah meminta beberapa orang Pamingit untuk mengubur mayat itu,” jawab Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Sambil menggeleng- gelengkan kepalanya ia bergumam,
“Sederhana sekali.”
Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum,
“Ya, sederhana sekali. Apa kau sangka mayat itu hidup kembali? Kalau ia dapat hidup kembali maka mayat-mayat yang lain pun akan hidup pula. Dengan demikian sekali lagi kita harus berjuang melawan mereka.”
Mahesa Jenar tertawa. Menggelikan sekali. Arya Salaka pun kemudian diberitahunya pula.
“Ah,” sahut anak muda itu.
“Aku menjadi gelisah karenanya.”
Ketika mereka sampai di banjar desa, mereka melihat perempuan-perempuan sedang sibuk mengerumuni Rara Wilis dan Endang Widuri yang duduk di samping Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora. Mereka tak habis-habisnya bertanya kenapa mereka dapat menyelamatkan diri mereka dan dengan penuh kekaguman mereka bertanya-tanya, bagaimana mereka dapat memiliki ilmu tata bela diri. Pertanyaan- pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Meskipun demikian Rara Wilis mencoba pula untuk menjawab satu demi satu.
Quote:
“O,” sahut salah seorang,
“Jadi orang tua berjanggut putih itukah yang bernama Ki Ageng Pandan Alas?”
“Ya, itu kakekku,” sahut Rara Wilis.
“Pantas, pantas Nini menjadi gadis perkasa,” kata yang lain.
“Jadi orang tua berjanggut putih itukah yang bernama Ki Ageng Pandan Alas?”
“Ya, itu kakekku,” sahut Rara Wilis.
“Pantas, pantas Nini menjadi gadis perkasa,” kata yang lain.
Ketika orang-orang yang datang dari pemakaman, setelah membasuh kaki mereka, memasuki banjar desa itu, maka perempuan itupun mengundurkan diri mereka untuk mempersiapkan minum serta makanan yang akan mereka hidangkan.
Demikianlah Pamingit dan Banyubiru telah melampaui suatu masa yang menyedihkan. Suatu masa yang tak dapat mereka lupakan. Ketika kemudian malam tiba, dan masing-masing telah terbaring di pembaringan, terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah terjadi. Meskipun gambaran-gambaran yang datang di dalam kenangan masing-masing tidak sama, tergantung dari apa yang pernah mereka lihat, dengar dan alami, namun mereka mempunyai persamaan kesimpulan. Bahkan Lembu Sora sendiri merasakan betapa kelakuannya hampir saja menenggelamkan kedua tanah perdikan itu. Tetapi dengan demikian, akhirnya ia menjadi ikhlas. Ikhlas atas segala kesedihan yang menimpanya. Ikhlas atas kematian anak satu-satunya.
Demikianlah agaknya Tuhan menghendaki, memberinya peringatan dan membawanya kembali ke jalan yang telah digariskan.
Di pondok itu, Mahesa Jenar duduk bersama-sama dengan Paningron, Gajah Alit, Gajah Sora dan Kebo Kanigara. Di bawah cahaya lampu minyak, tampaklah wajah mereka memancarkan kesungguhan pembicaraan yang sedang mereka lakukan.
Quote:
“Pekerjaanku sudah selesai Kakang Tohjaya,” terdengar Gajah Alit berkata,
“Sultan menghendaki penyelesaian yang sebaik-baiknya antara Banyubiru dan Pamingit. Kini agaknya penyelesaian itu telah ditemukan tanpa pertumpahan darah antara keduanya. Kalau kemudian jatuh korban, itu adalah karena perjuangan mereka mempertahankan tanah mereka dari sergapan setan-setan liar yang ingin memiliki keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang seterusnya mereka ingin merampas jalan ke tahta Demak."
GAJAH ALIT berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan,
“Tetapi selain dari itu, aku mempunyai pekerjaan yang lain pula. Aku mendapat perintah untuk membawa Kakang Tohjaya kembali ke Demak.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Setelah menarik nafasnya dalam-dalam, ia bertanya,
“Sebagai tawanan?”
“Tidak. Sama sekali tidak,” sahut Paningron cepat-cepat.
“Persoalan yang ada beberapa tahun yang lalu di Demak kini telah dilupakan. Tidak saja kini. Sebenarnya sejak semula Sultan tidak pernah mengalami kegoncangan kepercayaan kepada Kakang Tohjaya. Tetapi meskipun demikian, tak apalah kalau Kakang ketahui, bahwa memang Sultan menjadi murka karena Kakang meninggalkan istana. Namun hanya sementara. Akhirnya Sultan mengambil keputusan untuk tidak mencari dan memanggil Kakang kembali, sebab akhirnya Sultan tahu apa yang Kakang lakukan. Disamping pengabdian Kakang kepada sesama, Kakang gigih mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
“Hem!” Sekali lagi Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
“Sultan menghendaki penyelesaian yang sebaik-baiknya antara Banyubiru dan Pamingit. Kini agaknya penyelesaian itu telah ditemukan tanpa pertumpahan darah antara keduanya. Kalau kemudian jatuh korban, itu adalah karena perjuangan mereka mempertahankan tanah mereka dari sergapan setan-setan liar yang ingin memiliki keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang seterusnya mereka ingin merampas jalan ke tahta Demak."
GAJAH ALIT berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan,
“Tetapi selain dari itu, aku mempunyai pekerjaan yang lain pula. Aku mendapat perintah untuk membawa Kakang Tohjaya kembali ke Demak.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Setelah menarik nafasnya dalam-dalam, ia bertanya,
“Sebagai tawanan?”
“Tidak. Sama sekali tidak,” sahut Paningron cepat-cepat.
“Persoalan yang ada beberapa tahun yang lalu di Demak kini telah dilupakan. Tidak saja kini. Sebenarnya sejak semula Sultan tidak pernah mengalami kegoncangan kepercayaan kepada Kakang Tohjaya. Tetapi meskipun demikian, tak apalah kalau Kakang ketahui, bahwa memang Sultan menjadi murka karena Kakang meninggalkan istana. Namun hanya sementara. Akhirnya Sultan mengambil keputusan untuk tidak mencari dan memanggil Kakang kembali, sebab akhirnya Sultan tahu apa yang Kakang lakukan. Disamping pengabdian Kakang kepada sesama, Kakang gigih mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
“Hem!” Sekali lagi Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Tak pernah kesetiaannya kepada tanah dan pemerintahannya menjadi goncang, seperti Sultan tak pernah mengalami kegoncangan kepercayaan kepadanya. Tak pernah ia berpikir untuk menolak seandainya Sultan memanggilnya, meskipun sebagai tawanan. Mahesa Jenar menyesal pula, bahwa ia begitu saja pergi meninggalkan istana pada saat itu. Tetapi masa itu telah lampau. Yang penting baginya, bagaimanakah selanjutnya. Dan kini ia harus memberi jawaban, Kanjeng Sultan Trenggana memangilnya.
Quote:
“Adi…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Aku tidak dapat menolak apa pun yang diperintahkannya kepadaku. Namun aku ingin semaya. Aku ingin mendapat waktu untuk melengkapi saranku menghadap Sultan. Aku telah berjanji untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Karena aku telah berjanji pula pada diri sendiri, bahwa aku tak akan mengakhiri usahaku itu sampai kapanpun, sebelum keris-keris itu dapat diketemukan.”
Gajah Alit tersenyum. Jawabnya,
“Tepat. Kanjeng Sultan pun telah menebak apa yang akan kakang katakan. Dan karena itu Sultan memberi Kakang waktu. Tanpa batas. Kapan pun Kakang kehendaki membawa atau tidak membawa kedua keris itu, kakang akan diterima kembali. Sebab seandainya Kakang tidak dapat menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, itu tidak berarti bahwa apa yang telah Kakang lakukan dapat dilupakan. Sebab berhasil atau tidak, namun Kakang telah berjuang dengan mempertaruhkan jiwa dan raga Kakang.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Sampaikan sembah sujudku kepada Baginda. Aku tetap setia kepada sumpahku. Mudah-mudahan Tuhan berkenan memberi aku jalan untuk menghadapkan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu.”
“Aku tidak dapat menolak apa pun yang diperintahkannya kepadaku. Namun aku ingin semaya. Aku ingin mendapat waktu untuk melengkapi saranku menghadap Sultan. Aku telah berjanji untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Karena aku telah berjanji pula pada diri sendiri, bahwa aku tak akan mengakhiri usahaku itu sampai kapanpun, sebelum keris-keris itu dapat diketemukan.”
Gajah Alit tersenyum. Jawabnya,
“Tepat. Kanjeng Sultan pun telah menebak apa yang akan kakang katakan. Dan karena itu Sultan memberi Kakang waktu. Tanpa batas. Kapan pun Kakang kehendaki membawa atau tidak membawa kedua keris itu, kakang akan diterima kembali. Sebab seandainya Kakang tidak dapat menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, itu tidak berarti bahwa apa yang telah Kakang lakukan dapat dilupakan. Sebab berhasil atau tidak, namun Kakang telah berjuang dengan mempertaruhkan jiwa dan raga Kakang.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Sampaikan sembah sujudku kepada Baginda. Aku tetap setia kepada sumpahku. Mudah-mudahan Tuhan berkenan memberi aku jalan untuk menghadapkan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu.”
Kemudian ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing menundukkan kepalanya sambil merenungkan pembicaraan itu.
Di luar, malam menjadi semakin pekat. Bintang-bintang berhamburan di langit yang biru. Selembar-selembar mega yang putih mengalir dihembus angin.
Malam itu adalah malam terakhir Paningron dan Gajah Alit berada di Pamingit. Mereka pada pagi harinya, terpaksa kembali ke Demak, untuk melaporkan apa yang telah dilakukannya. Mengantarkan kembali Gajah Sora. Penyelesaian yang baik antara Pamingit dan Banyubiru. Tertumpasnya gerombolan-gerombolan liar yang mencoba menyusun kekuatan untuk menghadapi Demak, sehingga karenanya Demak tidak perlu mengirimkan pasukan bantuan kepada Banyubiru dan Pamingit. Rangga Tohjaya yang tidak mau melepaskan kewajiban yang dibebankannya sendiri di atas pundaknya, mencari keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Tetapi tidak saja Paningron dan Gajah Alit yang pergi meninggalkan Pamingit. Gajah Sora dan Arya Salaka pun akhirnya beberapa hari kemudian, merasa bahwa mereka harus kembali ke tanah perdikannya. Mereka harus segera mengatur kembali pemerintahan tanah yang selama ini mengalami kegoncangan. Rakyat Banyubiru harus segera mengetahui bahwa akhirnya Ki Ageng Gajah Sora akan berada kembali di antara mereka. Karena itu, akhirnya mereka pun minta diri. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri tidak pula ketinggalan. Mereka ingin menyaksikan, betapa tanah yang seakan-akan telah kehilangan pamornya itu, kini menemukan kembali dirinya.
Perpisahan itu benar-benar mengharukan. Betapa semedhot-nya orang-orang Pamingit ketika mereka melihat laskar Banyubiru, rampak dalam barisan yang tertib, siap berjalan menempuh jalan yang menghubungkan kedua tanah perdikan yang dikepalai oleh dua orang bersaudara. Kakak-beradik yang hampir saja saling membinasakan. Untunglah bahwa Tuhan berkehendak lain.
Laskar itu akhirnya berjalan mendahului di bawah pimpinan Bantaran, Panjawi dan Jaladri. Laskar yang gagah berani itu berjalan menuruti jalan yang berliku-liku di lereng pegunungan, seperti seekor ular raksasa yang menjalar menuruni tebing, mendaki lereng-lereng bukit kecil menuju ke Rawa Pening.
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas