- Beranda
- Stories from the Heart
Keris Telutas Jaja Laknat
...
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
PROLOG
i.
Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.
Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil.
Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis.
ii.
Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.
Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.
Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.
Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.
Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu.
Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.
Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.
Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya.
“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.
“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.
Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.
“Toilet,” balasku singkat.
“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.
“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.
“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.
“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”
“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.
“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya
“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”
“Untuk melamar kerja?”
“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.
“Apa maksudmu dengan kita?”
“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”
“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”
Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan.
“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.
“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.
Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”
“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.
“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.
“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.
“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”
Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.
Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.
“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.
“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.
Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.
“Sialan kau mengerjaiku.”
“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.
Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi. Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amriakhsan
#51
BAB XV part 1 - Beta
i.
Tidak selamanya air ditampung oleh lautan, dan tidak selamanya lahan padi selalu tergenang oleh air, tapi kalau daunnya sudah berubah menjadi merah lalu membeku di atasnya, menghitam berbau logam, sudah pasti ada darah yang tumpah. Kami tidak pernah menginginkan orang ini mati, tapi mungkin tuhan menjawab doa di dalam hati kami.
Kedua pola lika liku garis putih yang membentang, membentuk gambaran tubuh yang belum lama berada disana. Tidak ada tangisan atau jeritan yang mengitari tempat ini, hanya sunyi yang sama datang seperti sebelumnya. Tidak ada keluarga yang datang, saudara, teman atau kerabat lainnya, semua sibuk dengan urusan masing masing, begitulah yang akan terjadi kalau kita mati suatu saat nanti, semuanya itu tergantung pada diri sendiri.
“Apa yang kau lakukan? mendoakannya?” tanya Ardi.
Aku sedikit meliriknya saat dia menggangguku lagi, dengan perlahan ia menghampiriku seakan sudah hapal dengan tempat ini seperti rumah sendiri, padahal belum sampai dua hari kami disini.
“Tidak? biasa, hanya merenung tidak jelas, memangnya apa lagi?” jawabku santai.
Ardi berhenti di sebelahku. Tubuhku terloncat kaget saat ia tiba tiba menepuk pundakku, perasaanku semakin kesal dibuatnya. Ia terkekeh saat mengetahui responku yang terguncang. “Aku tahu kalau kau berdoa, tidak perlu malu, akui saja.”
“Ya, aku tadi mendoakannya,” jawabku tertunduk.
“Aku tahu kalau kau kesal dengan orang ini, tapi biasanya orang yang kesal justru harusnya kau sekarang potong tumpeng dan makan di depan mayatnya, dan bukan malah berdoa, apa alasannya?” tanya Ardi keheranan, wajahnya serius menghadap padaku, tidak biasanya dia keheranan seperti itu.
“Sebenarnya bukan maksudku menceramahimu, tapi aku juga tahu kalau kau tidak begitu belajar agama sedalam diriku. Aku paham kalau orang ini memang sepertinya lebih pantas mati, tapi kita tidak pantas mendoakan yang buruk padanya. Saat aku tahu apa saja yang ia lakukan, aku berusaha sabar dan mencoba untuk tidak berbicara buruk padanya,” jawabku menjabarkan isi pikiranku.
“Alasannya?” kejar Ardi.
“Ya … Allah menyuruh nabi Musa sabar ke firaun yang mengaku tuhan, melihat apa yang di lakukannya hanyalah sebuah kejahatan kecil, aku hanya berharap ia mendapatkan tempat yang adil di sana,” jelasku.
Ardi mengangguk perlahan sembari seringainya muncul dari bibirnya. “Ternyata begitu ya … “
Sebuah langkah kaki yang dalam terasa dari arah belakang, namun hentakannya bergerak dengan santai menghampiri kami. Ia berhenti dan setoples lonjong yang panjang mencuat diantara kami. “Mau kripik?” tanya Dito dengan suara beratnya.
“Tidak terimakasih,” jawabku. Namun melihat Ardi menjawab sebaliknya dengan tangannya yang mencari cari posisi lubang toples itu beberapa kali meleset dari “penglihatannya”, sampai akhirnya Dito yang berhenti saat ia kehilangan kekuatannya untuk menahan tawa dan berhenti mengerjainya.
“Sepertinya kalian berdua sangat kehilangan orang ini, tapi sepertinya para perempuan yang ia sekap itu berkata lain,” ujar Dito.
Aku hanya kembali terdiam, tidak berusaha menjawab seperti diriku yang biasanya, hanya melihat dan menatap ke rerumputan itu.
“Aku juga awalnya tidak percaya dan mengira perempuan yang kemarin itu pembantunya, eh ternyata di luar dugaan,” pukas Ardi.
“Sebenarnya bagus juga kalian gagal, kalau orang ini selamat, mungkin kita tidak pernah tahu apa yang terjadi disini.”
Pikiranku kembali dikacaukan dengan kata kata itu, aku tidak ingin lagi pikiranku membayangkan apa saja yang orang ini lakukan selama hidupnya, aku tidak mau sama sekali. Entah secara tidak sadar kepalaku menggeleng geleng sendiri, berusaha menghapus isinya.
“Sudahlah Dito, tidak perlu dibahas lagi, itu urusan polisi sekarang,” ujar Ardi mengetahui kondisiku.
“Oke oke aku paham, sekarang pertanyaan-”
Ucapan Dito terhenti saat kami mendengar hentakan yang datang dari arah belakang kami, kali ini langkahnya cepat dan dari suara rumput yang terinjak menyebabkan bunyi kresek secara penuh dan dalam. “Dito, apa ini saja? tidak ada yang lain lagi?” ucap orang itu.
Kami bertiga serentak memberikan pandangan kami ke arahnya. Dengan seragam coklat dan pin perisai dengan padi dan kapas di sampingnya menempel di dadanya. Wajah persegi dengan sudut sudut yang tegas, tanpa kumis dan bertopi tugas, umur sekitar 30an.
“Ya itu saja, kecuali kau mau menggeledah lagi?”
“Oh .. sepertinya tidak perlu, kami akan fokus ke orang ini saja, sisanya sudah jelas,” orang itu memiringkan kepalanya, melirik ke arahku dengan senyum dan sedikit mengangguk. “Senang bisa melihat anak baru,” wajahnya ia kembali lagi menghadap Dito. “Kalau begitu akan kubawa dulu mayatnya ke tempatmu.”
“Sudah di cek ada alat pelacaknya atau tidak?” tanya Dito menaikkan dagunya.
Wajah polisi bersinar cerah dan gelap saat ia menyapu layar demi layar besar tangannya. “Tim kami tadi sudah mengecek dan hasilnya kami menemukan sekeping bagian logam di dalam tubuh tersebut di bagian tulang belakang, tepatnya di bagian ruas tulang kedua.”
“Di dalamnya?”
“Ya, di dalam, di bagian sumsumnya.”
Wajah Dito nampak tidak terkejut mendengar itu, rautnya memastikan fikiran dari dalam kepalanya.
“Apa yang akan kau lakukan dengan mayat itu?”
“Nanti setelah kau selesai periksa, bawa ke rumah saya, ya.”
Matanya berkedip kedip alisnya mengkerut, kemudian ia menelan ludahnya. “Apa tujuannya?”
“Kalau itu terserah saya, ada yang ingin saya lihat sendiri?” jawab Dito mengacuhkan wajahnya.
“Kalau kau yang minta, baiklah.”
“Oke, terimakasih kalau begitu.”
“Sama sama, semoga “urusanmu” ini cepat kelar,” pamit polisi muda memberikan senyum perpisahan dan berjalan meninggalkan tempat kami.
Dia berjalan keluar bersama beberapa orang bersamanya ke rumah bagian depan dengan pakaian putih pelindung diri yang menutupi dari ujung rambut hingga bawah sepatunya. Aku tidak begitu menghiraukan keberadaan mereka disini, justru yang ku pikirkan adalah kenapa Dito sampai datang kemari dan membawa orang orang ini, tapi mungkin saja mereka adalah orang orang “kepercayaan”nya.
“Apa ini rencanamu membawa polisi kemari?” celetuk Ardi setelah langkah orang terakhir menghilang dalam kegelapan pintu itu.
“Ya … jujur saja tidak ada pilihan lain, kecuali kalau kalian bersedia menggali dua lubang di bawah pohon beringin.”
Mereka berdua kemudian berhenti, keheningan datang tanpa diundang, namun mataku tetap fokus ke arah garis putih itu bersama dengan pikiran suramku yang menyedihkan.
Suara hembusan angin yang masuk ke dalam, memenuhi rongga paru paru besar itu dan menghembuskannya kuat kuat, mengeluarkan perasaan lega yang tertahan. “Gimana rasanya?” tanya Dito.
“Apaan?”
“Ngelawan mahluk itu … kau tahu, kalau kalian menang berarti tidak susah ya?” cetus Dito enteng.
“Kami melawannya dua kali dan aku sama sekali tidak bisa mengambil kesimpulan apakah ini adalah lawan yang sulit atau mudah.”
“Begitu ya … kalau kau?” lanjut Dito menyambar pertanyaanya padaku.
“Entahlah … sulit, tapi rasanya aku tahu kelemahan makhluk ini. Iya kan, Ardi.”
Ardi berkata apa apa dan hanya mengangguk. Alis Dito sontak menukik tajam melihat jawaban Ardi, wajahnya nampak kesal. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah Dito.
“Saat aku melakukan tebasan yang kuat ke arah, sepertinya dia tiba tiba saja bergetar dan lalu berhenti bergerak. Bukan hanya tangannya saja yang bergetar, namun seluruh tubuhnya juga,” lanjutku.
Dito kemudian mengangguk angguk dengan jari jarinya yang menempel pada dagunya. “Memang sebenarnya tidak begitu mengherankan, karena mahluk ini dibuat dalam waktu yang singkat, pasti ada kekurangan tersendiri, mungkin sendi sendi mereka belum menempel dan rentan akan goncangan, begitu menurut saya.”
“Begitulah kalau kalian bermain menjadi tuhan,” celetuk Ardi. tentu saja Dito tidak tinggal diam dan kemudian matanya kembali memberikan ancaman padanya, kali ini kepalan tangannya sampai terangkat sampai di atas kepala Dito.
“Sepertinya sih begitu, tapi aku tidak begitu yakin. Masalahnya adalah yang terjadi setelahnya, adalah ternyata dia bisa melompat dengan sangat tinggi dan cepat, tidak mungkin engsel kakinya bisa begitu kalau memang tidak kokoh,” terangku.
Dito kembali mengangguk dalam dan matanya tenggelam dalam pikiranya yang dalam, hingga akhirnya terbuka kembali perlahan. “Jadi begitu, ini adalah yang dibuat oleh pelaku aslinya, ia memberikan makhluk “umpan cacat produk” ini sebagai pengalih, dan ia mengirimkan yang asli untuk menghabisi targetnya,” ungkap Dito menjabarkan pikirannya.
“Terdengar masuk akal, tapi kenapa kau tidak langsung saja membunuhnya saat kita belum datang, kenapa harus saat kita sudah sampai,” tandas Ardi.
“Itu dia masalahnya, mungkin ia mengirim mahluk ini sebelum perintah pembunuhan ini berjalan, dan jadilah mahluk ini datang dengan tugas kosong yang mungkin tidak bisa di remote oleh pengirim aslinya. Kau paham tidak?” tanya Dito mengejek. “Atau mungkin …”
Dito terdiam sejenak, bibirnya tergigit, pandangannya jatuh dengan rasa bimbang di dalamnya, tidak yakin apa yang ia pikirkan namun sepertinya ia berusaha keluar dari kotak pikirannya tersebut.
“Ya ... “ sosor Ardi.
“Diem oy.” jawab Dito sewot. Kemudian matanya mengarah padaku. “Orang ini sedang melakukan uji coba produk,” papar Dito.
Mataku terbelalak. “Uji coba?” tanyaku keheranan.
“Ya … kau tahu. Ada ada alasan mengapa makhluk ini tidak menggunakan senjata api untuk membunuh atau melawan kalian, juga kenapa ia tidak bisa membedakan apakah saya hidup atau mati, dan juga yang kemarin kabur tanpa alasan yang jelas, padahal targetnya belum mati dan malah membunuh penjaganya, padahal sebelumnya semuanya sukses sampai yang sekarang,” jelas Dito.
“Sepertinya bukan tidak bisa,” tambahku. Dito kemudian memicingkan matanya semakin keheranan. “Kau tahu, mahluk ini sama seperti robot, harus di program agar bisa berjalan, mungkin kalau dibilang testing, algoritmanya tidak bisa menjalankan sesuatu yang sulit, seperti penghitungan jarak tembak ke arah lawan dan juga tidak bisa membedakan mana orang yang masih bernafas atau tidak. Tentu saja pasti itu akan berubah seiring waktu,” sambungku menjabarkan isi pikiranku yang kembali ter-iyang saat tugas tugas kuliah.
Dito kali ini berhenti mengangguk kemudian tangannya menyambar punggung Ardi dengan kencang. “Kasian, ada yang otaknya sudah berhenti dari tadi,” ucap Dito terkekeh melihat Ardi yang mematung mendengarkan kami, kemudian matanya fokus kembali ke arahku. “Kita akan cek chip kecil itu.”
i.
Tidak selamanya air ditampung oleh lautan, dan tidak selamanya lahan padi selalu tergenang oleh air, tapi kalau daunnya sudah berubah menjadi merah lalu membeku di atasnya, menghitam berbau logam, sudah pasti ada darah yang tumpah. Kami tidak pernah menginginkan orang ini mati, tapi mungkin tuhan menjawab doa di dalam hati kami.
Kedua pola lika liku garis putih yang membentang, membentuk gambaran tubuh yang belum lama berada disana. Tidak ada tangisan atau jeritan yang mengitari tempat ini, hanya sunyi yang sama datang seperti sebelumnya. Tidak ada keluarga yang datang, saudara, teman atau kerabat lainnya, semua sibuk dengan urusan masing masing, begitulah yang akan terjadi kalau kita mati suatu saat nanti, semuanya itu tergantung pada diri sendiri.
“Apa yang kau lakukan? mendoakannya?” tanya Ardi.
Aku sedikit meliriknya saat dia menggangguku lagi, dengan perlahan ia menghampiriku seakan sudah hapal dengan tempat ini seperti rumah sendiri, padahal belum sampai dua hari kami disini.
“Tidak? biasa, hanya merenung tidak jelas, memangnya apa lagi?” jawabku santai.
Ardi berhenti di sebelahku. Tubuhku terloncat kaget saat ia tiba tiba menepuk pundakku, perasaanku semakin kesal dibuatnya. Ia terkekeh saat mengetahui responku yang terguncang. “Aku tahu kalau kau berdoa, tidak perlu malu, akui saja.”
“Ya, aku tadi mendoakannya,” jawabku tertunduk.
“Aku tahu kalau kau kesal dengan orang ini, tapi biasanya orang yang kesal justru harusnya kau sekarang potong tumpeng dan makan di depan mayatnya, dan bukan malah berdoa, apa alasannya?” tanya Ardi keheranan, wajahnya serius menghadap padaku, tidak biasanya dia keheranan seperti itu.
“Sebenarnya bukan maksudku menceramahimu, tapi aku juga tahu kalau kau tidak begitu belajar agama sedalam diriku. Aku paham kalau orang ini memang sepertinya lebih pantas mati, tapi kita tidak pantas mendoakan yang buruk padanya. Saat aku tahu apa saja yang ia lakukan, aku berusaha sabar dan mencoba untuk tidak berbicara buruk padanya,” jawabku menjabarkan isi pikiranku.
“Alasannya?” kejar Ardi.
“Ya … Allah menyuruh nabi Musa sabar ke firaun yang mengaku tuhan, melihat apa yang di lakukannya hanyalah sebuah kejahatan kecil, aku hanya berharap ia mendapatkan tempat yang adil di sana,” jelasku.
Ardi mengangguk perlahan sembari seringainya muncul dari bibirnya. “Ternyata begitu ya … “
Sebuah langkah kaki yang dalam terasa dari arah belakang, namun hentakannya bergerak dengan santai menghampiri kami. Ia berhenti dan setoples lonjong yang panjang mencuat diantara kami. “Mau kripik?” tanya Dito dengan suara beratnya.
“Tidak terimakasih,” jawabku. Namun melihat Ardi menjawab sebaliknya dengan tangannya yang mencari cari posisi lubang toples itu beberapa kali meleset dari “penglihatannya”, sampai akhirnya Dito yang berhenti saat ia kehilangan kekuatannya untuk menahan tawa dan berhenti mengerjainya.
“Sepertinya kalian berdua sangat kehilangan orang ini, tapi sepertinya para perempuan yang ia sekap itu berkata lain,” ujar Dito.
Aku hanya kembali terdiam, tidak berusaha menjawab seperti diriku yang biasanya, hanya melihat dan menatap ke rerumputan itu.
“Aku juga awalnya tidak percaya dan mengira perempuan yang kemarin itu pembantunya, eh ternyata di luar dugaan,” pukas Ardi.
“Sebenarnya bagus juga kalian gagal, kalau orang ini selamat, mungkin kita tidak pernah tahu apa yang terjadi disini.”
Pikiranku kembali dikacaukan dengan kata kata itu, aku tidak ingin lagi pikiranku membayangkan apa saja yang orang ini lakukan selama hidupnya, aku tidak mau sama sekali. Entah secara tidak sadar kepalaku menggeleng geleng sendiri, berusaha menghapus isinya.
“Sudahlah Dito, tidak perlu dibahas lagi, itu urusan polisi sekarang,” ujar Ardi mengetahui kondisiku.
“Oke oke aku paham, sekarang pertanyaan-”
Ucapan Dito terhenti saat kami mendengar hentakan yang datang dari arah belakang kami, kali ini langkahnya cepat dan dari suara rumput yang terinjak menyebabkan bunyi kresek secara penuh dan dalam. “Dito, apa ini saja? tidak ada yang lain lagi?” ucap orang itu.
Kami bertiga serentak memberikan pandangan kami ke arahnya. Dengan seragam coklat dan pin perisai dengan padi dan kapas di sampingnya menempel di dadanya. Wajah persegi dengan sudut sudut yang tegas, tanpa kumis dan bertopi tugas, umur sekitar 30an.
“Ya itu saja, kecuali kau mau menggeledah lagi?”
“Oh .. sepertinya tidak perlu, kami akan fokus ke orang ini saja, sisanya sudah jelas,” orang itu memiringkan kepalanya, melirik ke arahku dengan senyum dan sedikit mengangguk. “Senang bisa melihat anak baru,” wajahnya ia kembali lagi menghadap Dito. “Kalau begitu akan kubawa dulu mayatnya ke tempatmu.”
“Sudah di cek ada alat pelacaknya atau tidak?” tanya Dito menaikkan dagunya.
Wajah polisi bersinar cerah dan gelap saat ia menyapu layar demi layar besar tangannya. “Tim kami tadi sudah mengecek dan hasilnya kami menemukan sekeping bagian logam di dalam tubuh tersebut di bagian tulang belakang, tepatnya di bagian ruas tulang kedua.”
“Di dalamnya?”
“Ya, di dalam, di bagian sumsumnya.”
Wajah Dito nampak tidak terkejut mendengar itu, rautnya memastikan fikiran dari dalam kepalanya.
“Apa yang akan kau lakukan dengan mayat itu?”
“Nanti setelah kau selesai periksa, bawa ke rumah saya, ya.”
Matanya berkedip kedip alisnya mengkerut, kemudian ia menelan ludahnya. “Apa tujuannya?”
“Kalau itu terserah saya, ada yang ingin saya lihat sendiri?” jawab Dito mengacuhkan wajahnya.
“Kalau kau yang minta, baiklah.”
“Oke, terimakasih kalau begitu.”
“Sama sama, semoga “urusanmu” ini cepat kelar,” pamit polisi muda memberikan senyum perpisahan dan berjalan meninggalkan tempat kami.
Dia berjalan keluar bersama beberapa orang bersamanya ke rumah bagian depan dengan pakaian putih pelindung diri yang menutupi dari ujung rambut hingga bawah sepatunya. Aku tidak begitu menghiraukan keberadaan mereka disini, justru yang ku pikirkan adalah kenapa Dito sampai datang kemari dan membawa orang orang ini, tapi mungkin saja mereka adalah orang orang “kepercayaan”nya.
“Apa ini rencanamu membawa polisi kemari?” celetuk Ardi setelah langkah orang terakhir menghilang dalam kegelapan pintu itu.
“Ya … jujur saja tidak ada pilihan lain, kecuali kalau kalian bersedia menggali dua lubang di bawah pohon beringin.”
Mereka berdua kemudian berhenti, keheningan datang tanpa diundang, namun mataku tetap fokus ke arah garis putih itu bersama dengan pikiran suramku yang menyedihkan.
Suara hembusan angin yang masuk ke dalam, memenuhi rongga paru paru besar itu dan menghembuskannya kuat kuat, mengeluarkan perasaan lega yang tertahan. “Gimana rasanya?” tanya Dito.
“Apaan?”
“Ngelawan mahluk itu … kau tahu, kalau kalian menang berarti tidak susah ya?” cetus Dito enteng.
“Kami melawannya dua kali dan aku sama sekali tidak bisa mengambil kesimpulan apakah ini adalah lawan yang sulit atau mudah.”
“Begitu ya … kalau kau?” lanjut Dito menyambar pertanyaanya padaku.
“Entahlah … sulit, tapi rasanya aku tahu kelemahan makhluk ini. Iya kan, Ardi.”
Ardi berkata apa apa dan hanya mengangguk. Alis Dito sontak menukik tajam melihat jawaban Ardi, wajahnya nampak kesal. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah Dito.
“Saat aku melakukan tebasan yang kuat ke arah, sepertinya dia tiba tiba saja bergetar dan lalu berhenti bergerak. Bukan hanya tangannya saja yang bergetar, namun seluruh tubuhnya juga,” lanjutku.
Dito kemudian mengangguk angguk dengan jari jarinya yang menempel pada dagunya. “Memang sebenarnya tidak begitu mengherankan, karena mahluk ini dibuat dalam waktu yang singkat, pasti ada kekurangan tersendiri, mungkin sendi sendi mereka belum menempel dan rentan akan goncangan, begitu menurut saya.”
“Begitulah kalau kalian bermain menjadi tuhan,” celetuk Ardi. tentu saja Dito tidak tinggal diam dan kemudian matanya kembali memberikan ancaman padanya, kali ini kepalan tangannya sampai terangkat sampai di atas kepala Dito.
“Sepertinya sih begitu, tapi aku tidak begitu yakin. Masalahnya adalah yang terjadi setelahnya, adalah ternyata dia bisa melompat dengan sangat tinggi dan cepat, tidak mungkin engsel kakinya bisa begitu kalau memang tidak kokoh,” terangku.
Dito kembali mengangguk dalam dan matanya tenggelam dalam pikiranya yang dalam, hingga akhirnya terbuka kembali perlahan. “Jadi begitu, ini adalah yang dibuat oleh pelaku aslinya, ia memberikan makhluk “umpan cacat produk” ini sebagai pengalih, dan ia mengirimkan yang asli untuk menghabisi targetnya,” ungkap Dito menjabarkan pikirannya.
“Terdengar masuk akal, tapi kenapa kau tidak langsung saja membunuhnya saat kita belum datang, kenapa harus saat kita sudah sampai,” tandas Ardi.
“Itu dia masalahnya, mungkin ia mengirim mahluk ini sebelum perintah pembunuhan ini berjalan, dan jadilah mahluk ini datang dengan tugas kosong yang mungkin tidak bisa di remote oleh pengirim aslinya. Kau paham tidak?” tanya Dito mengejek. “Atau mungkin …”
Dito terdiam sejenak, bibirnya tergigit, pandangannya jatuh dengan rasa bimbang di dalamnya, tidak yakin apa yang ia pikirkan namun sepertinya ia berusaha keluar dari kotak pikirannya tersebut.
“Ya ... “ sosor Ardi.
“Diem oy.” jawab Dito sewot. Kemudian matanya mengarah padaku. “Orang ini sedang melakukan uji coba produk,” papar Dito.
Mataku terbelalak. “Uji coba?” tanyaku keheranan.
“Ya … kau tahu. Ada ada alasan mengapa makhluk ini tidak menggunakan senjata api untuk membunuh atau melawan kalian, juga kenapa ia tidak bisa membedakan apakah saya hidup atau mati, dan juga yang kemarin kabur tanpa alasan yang jelas, padahal targetnya belum mati dan malah membunuh penjaganya, padahal sebelumnya semuanya sukses sampai yang sekarang,” jelas Dito.
“Sepertinya bukan tidak bisa,” tambahku. Dito kemudian memicingkan matanya semakin keheranan. “Kau tahu, mahluk ini sama seperti robot, harus di program agar bisa berjalan, mungkin kalau dibilang testing, algoritmanya tidak bisa menjalankan sesuatu yang sulit, seperti penghitungan jarak tembak ke arah lawan dan juga tidak bisa membedakan mana orang yang masih bernafas atau tidak. Tentu saja pasti itu akan berubah seiring waktu,” sambungku menjabarkan isi pikiranku yang kembali ter-iyang saat tugas tugas kuliah.
Dito kali ini berhenti mengangguk kemudian tangannya menyambar punggung Ardi dengan kencang. “Kasian, ada yang otaknya sudah berhenti dari tadi,” ucap Dito terkekeh melihat Ardi yang mematung mendengarkan kami, kemudian matanya fokus kembali ke arahku. “Kita akan cek chip kecil itu.”
aripinastiko612 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
