Jadi agan-sista tidak diperkenankan untuk melanjutkan membaca sebelum mengintip bagian pertama terlebih dahulu.
Wanita yang dipanggil Yuyun itu segera menghentikan kakinya. Ia berbalik dengan cepat, meski matanya tertutup oleh lilitan kain, ia tahu harus kemana melangkah. Kini kamar Nia jadi tujuan. Tongkat bambunya mengacung ke depan, seperti dirasuki sesuatu, ia bersiap menghunusnya ke arah Nia.
Aku yang melihat tindakan itu segera pasang badan, menekan tongkat bambu dengan dadaku.
Sialnya, tongkat itu terasa panas seperti besi yang dibakar. Aku mundur sambil memegang dadaku sendiri. Herannya tak ada bekas apapun disana.
Ki Lawuh merentangkan lengan kanannya di hadapan wajah Teh Yuyun, menghalangi agar apapun yang akan terjadi dapat dicegah.
"Yun! Ingkah geuwat!"
("Yun! Cepat pergi!")
Perintahnya membentak hingga seluruh orang di ruangan ini dapat mendengar.
Teh Yuyun masih diam. Ia seperti ingin berkata sesuatu, namun bibirnya hanya bergerak kecil bergumam tanpa suara yang keluar. Seperti kesal, ia kemudian pergi.
"Murid, guru, saruana! Kekekekek... Mana taring sia Lawuh?! HAHAHA! Aing murid Ki Kala nantang nepi pati kalengkahan!"
("Murid, guru, sama saja! Mana taringmu Lawuh?! Aku murid Ki Kala menantangmu hingga maut menjemput!")
Suara Nia semakin seram terdengar. Apapun atau siapapun yang merasuki tubuhnya kini mulai menggila.
Ibu semakin kaget dengan perubahan Nia, ia menangis sambil memeluk tubuh Nia yang terbaring diatas ranjang.
"Neng, geulis, ieu emih cu, ieu emih, gugah nun, gugah."
("Neng, cantik, ini ibu nak, ini ibu, bangun sayang, bangun.")
Ibu berusaha menggocang tubuh Nia yang kaku seperti batang kayu.
"Halik sia! Aing lain anak sia!"
("Minggir kau! Aku bukan anakmu!")
Nia menendang mengarah ke kepala ibu, bapak dengan sigap menahannya sambil menarik ibu ke belakang agar menjauh. Setelah ibu terjatuh ke belakang, bapak melompat ke atas tubuh Nia dengan tangan terkepal bermaksud membalasnya agar tersadar. Seolah tahu apa yang akan terjadi, Nia mengangkat kedua kakinya dengan cepat, menendang bapak yang sedang melompat di udara. Bapak yang tak sempat menahannya terkena telak hingga ia terpental ke belakang.
"Pak, Bu! Sadar itu bukan Nia!"
Aku berteriak pada mereka dan berusaha membawanya keluar kamar.
"Yan, urus kolot maneh. Aing wae nu turun."
("Yan, urus orangtuamu, aku saja yang turun.")
Ki Lawuh berjalan masuk kamar meninggalkan aku yang sedang menenangkan orangtuaku.
"khekhekhekhe...kadieu sia Lawuh!"
("Kemari kau Lawuh!")
Kulihat Nia bangun dari ranjang dengan mata yang masih tertutup. Ia memasang kuda-kuda saat melihat ki Lawuh mendekat.
Ki Lawuh hanya terlihat diam di pintu kamar. Karena ia membelakangiku, aku tak tahu emosi seperti apa yang ki Lawuh tunjukkan, tapi Nia terlihat tersenyum senang saat menghadapinya.
Nia lalu melompat ke arah ki Lawuh setelah ia melakukan dorongan dari tembok kamar dibelakang tubuhnya. Kakinya bersiap menendang, Ki Lawuh menerima serangan itu, mencengkaram tubuh Nia dan seketika membantingnya.
"heugh!"
Bantingan itu sontak membuat Nia mual. Ia kewalahan.
"Lawuh!!!!"
Nia bangkit dan mengarahkan tinjunya, ki Lawuh menahan itu dengan telapak tangan yang terbuka dan segera menarik tangannya sendiri ke dalam. Saat posisi itu, dagu Nia dihantam oleh lutut ki Lawuh dengan cepat hingga ia ambruk seketika.
"Nia!!"
Aku yang melihatnya sungguh tak tega, bagaimanapun itu masih Nia. Itu masih adikku.
Aku segera memeluk tubuhnya, menggucangnya agar ia tersadar.
"Halik sia!!"
Aku ditampar hingga seluruh tubuhku terlempar. Aku mendarat kemudian dengan kepala masuk ke kamar Nia sementara tubuhku masih diluar.
Saat aku berusaha bangun, kulihat Nia masih terbaring diatas ranjang.
Aku yang melihatnya keheranan. Bagaimana bisa? Ada 2 Nia di rumah ini?
"Ki?"
Tanyaku saat melihat kejadian itu.
"Oh? Geus datang? Aing moal nahan deui ari kitu mah."
("Oh? Sudah datang? Aku takkan lagi menahan diri kalo begitu.")
Entah bagaimana aku menyebutkannya, nada bicara ki Lawuh seperti mengancam atau senang.
Yang pasti saat aku mendengarnya, tubuhku gemetaran.
Dalam sekejap, ki Lawuh mendekat lalu mencekik serta mengangkat tubuh Nia yang dari tadi bertarung dengannya. Aku melihatnya tersenyum! Ya, ki Lawuh menampakkan giginya dengan wajah yang menyeramkan.
Nia yang ki Lawuh cekik meronta-ronta, kakinya yang menggantung seolah mencari pijakan sambil menendang ki Kala. Ia seperti panik.
Lalu lolongan dari sekumpulan anjing terdengar bersahutan, suara mereka seperti semakin mendekat.
"Ampun ki ampun...ulah bikeun kami ka geni, ulah ki ampun..."
("Ampun ki, jangan lemparkan saya ke geni.")
Kini ia memelas. Kulit wajah Nia yang kulihat perlahan terkelupas, dengan perlahan keriput mulai terlihat, kini ia membuka matanya! Tapi matanya bolong! Sungguh tak ada bola mata yang seharusnya ada disana.
Nia yang sedang dicekik oleh ki Lawuh itu perlahan wajahnya berubah menjadi sosok nenek tua. Rambutnya pun memutih. Tubuhnya kurus ringkih dan keriput.
Entah darimana banyak sekali anjing yang datang, mereka berlari dengan ganas menampilkan taringnya yang mencuat, saat kulihat mata anjing-anjing itu, warnanya hijau menyala.
Mengerikan!
Seperti kelaparan, kumpulan anjing tadi masuk ke dalam rumah, lalu menggigiti sosok yang sedang Ki Lawuh gantung. Mereka melompat untuk mengambil potongan demi potongan daging dari tubuh sosok itu.
"Ampun ki.. ampun"
Ki Lawuh melepaskan cengkramannya, menjatuhkan sosok itu yang disambut oleh anjing-anjing yang sedari tadi memakannya. Mereka menyeret dengan cepat tubuh itu menjauh hingga mereka hilang ditelan kegelapan.
"Aaarrgghhhh...!!!"
Hanya teriakan yang mengiring ia yang sedang diseret.
Lalu hawa dingin mengusik seisi rumah. Ki Lawuh menghela nafas panjang.
"NIA! HUDANG!"
("NIA! BANGUN!")
Ki Lawuh membentak.
Seperti dipanggil, Nia mulai membuka mata. Bapak maupun ibu yang dari tadi hanya bisa terduduk diam di lantai tak berdaya segera berlarian masuk ke dalam kamar Nia.
"Emih? Abah? Aya naon?"
("Ayah? Ibu? Ada apa?")
Nia yang baru sadarkan diri keheranan saat tubuhnya dipeluk sambil ditangisi.
Aku berdiri, dadaku seolah lega dengan bangunnya Nia. Meski penasaran dengan apa yang terjadi. Setidaknya adikku yang sesungguhnya kini baik-baik saja.
"Lain aing lain!!"
("Bukan aku bukan!!")
Suara teriakan seseorang sontak mengagetkan kami semua. Aku memberi tanda agar Nia maupun orangtuaku tetap diam di dalam kamar.
Suara itu adalah suara dari orang yang aku kenal. Begitupun Nia, wajahnya keheranan. Belum sempat Nia bertanya aku menutup pintu kamarnya. Membiarkan mereka menenangkan diri.
Karena aku seolah tahu, akan ada pemandangan yang tak pantas dilihat.
Firasatku benar, Mang Arya sedang diseret oleh Teh Yuyun. Rambutnya ditarik dengan kasar sambil terus dibawa agar mendekat pada Ki Lawuh.
Setibanya didepan Ki Lawuh, Mang Arya terdiam. Ia seperti ingin berkata sesuatu namun ada seperti ada yang menahannya untuk berbicara.
"Puputon rahwana
Hieum mulang hieum gulap
Puputon silaing
Getih pati
Hideung diri."