- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#606
Jilid 18 [Part 408]
Spoiler for :
Kata kata itu hampir tak terdengar, namun Sawung Sariti telah mengucapkannya. Dengan tenangnya ia menutup matanya.
Sebuah jerit yang tinggi membelah keheningan suasana. Nyai Ageng Lembu Sora Cumiik dan memanggil nama anaknya. Namun Sawung Sariti telah pergi.
Dengan air mata yang berlinang Nyai Ageng Gajah Sora mencoba menenangkan hati adik iparnya. Namun usahanya sia sia. Sawung Sariti adalah satu satunya anak yang akan menyambung hidupnya. Yang akan dapat menjadi tempat menumpahkan harapan serta cita-citanya. Namun anak itu kini telah pergi dan tak akan kembali. Karena itu seakan-akan nyawanya sendirilah yang telah lepas dari tubuhnya. Kalau demikian maka akan lebih baik baginya seandainya nyawa anaknya dapat ditukar dengan nyawanya. Seandainya ia sendiri boleh menggantikan anaknya menghadap Tuhannya.
Lembu Sora masih berdiri seperti patung. Bibirnya bergetar dan tubuhnya menggigil. Matanya yang tajam menjadi suram dan berlapis air. Beberapa kali ia menggigit bibirnya, tetapi kemudian bibir itu bergetar kembali. Dipandanginya wajah anaknya yang pucat pasi. Namun bibir yang pucat itu membayangkan senyum keihlasan.
Dan tiba tiba diwajah yang pucat itu seakan akan memancar gambaran peristiwa yang pernah terjadi.
Anak itu terlampau jauh tersesat. Tetapi bukan salah anak itu. Dialah yang telah mendorongnya tampil kedepan. Dengan penuh harapan dan khayalan masa mendatang. Dimana dikayalkan kepada anak itu, kekuasaan dan kamukten yang sempurna. Tanah Perdikan Pangratunan.
Ki Ageng Lembu Sora menggeram. Penyesalan yang tak terkira telah menghentak dadanya seperti akan pecah.
Demikian dahsyatnya perasaan itu mencekam jiwanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya mejadi lemah. Perlahan lahan ia melangkah ke sudut ruangan itu. Kedua tangannya menutupi wajahnya, seolah hendak menyembunyikan segenap kenangan yang datang silih berganti. Hanya sesaat saat ia mendengar jerit tangis isterinya yang memenuhi ruangan itu.
Arya Salakapun tak dapat menahan rasa harunya. Meskipun nyawanya sendiri hampir direnggut tangan adiknya namun ia tak sampai hati melihat mayatnya terbujur diam dihadapannya.
Karena itu, maka tanpa disadarinya ia berdiri dan perlahan lahan melangkah keluar meninggalkan ruangan itu. Di bawah pohon sawo ia terhenti. Suara tangis bibinya masih terdengar jelas.
Akhirnya ia berdiri saja disitu, bersandar pada pokok sawo yang jauh lebih besar daripada tubuhnya sendiri.
Seluruh Pamingit menjadi berkabung. Putera satu-satunya kepala daerah perdikan mereka gugur pada saat anak muda yang berani itu bertempur melawan Bugel Kaliki. Tidak saja orang Pamingit, namun orang Banyubirupun ikut berkabung. Mereka ikut merasakan betapa daerah perdikan belahan tanah BanyuBiru itu kehilangan pemimpinnya.
Hari itu suasana Pamingit menjadi suram. Mereka disibukkan oleh persiapan pemakaman jenasah pahlawan yang masih muda itu, yang gugur dalam pengabdian dalam melawan Hantu Bongkok yang sakti.
Ketika fajar pagi berikutnya pecah di Timur, semua persiapan telah selesai. Hari itu akan diselenggarakan pemakaman Sawung Sariti dengan upacara kebesaran.
Seluruh penduduk Pamingit tumplak blak berjejal disepanjang jalan yang akan dilewati iringan jenazah.
Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir terhadap pahlawannya, yang telah menjadi tawur bagi kesejahteraan dan kebesaran rakyat Pamingit. Upacara itu menjadi bertambah hidmad dengan hadirnya dua perwira pasukan Demak, Paningron dan Gajah Alit.
Keranda jenazah Sawung Sariti diletakkan ditengah tengah reruntuhan pendapa rumahnya. Dengan sengaja reruntuhan itu tidak dibersihkan lebih dahulu. Para pemimpin Pamingit dan Banyu Biru, bahkan kedua tamu dari Demak itu duduk saja diatas balok kayu yang berserak-serakan disekitar keranda itu.
Di keempat penjuru tampaklah beberapa orang laskar Pamingit berjaga-jaga dengan tombak di tangan. Sedang di alun-alun telah siap laskar kehormatan yang akan mengantarkan jenasah sampai ke peristirahatannya terakhir.
Keranda pahlawan dengan latar belakang reruntuhan dan abu merupakan perpaduan pandangan yang menggetarkan. Laskar yang berdiri tegak dengan senjata di tangan serta para pemimpin yang duduk bertebaran, panji-panji dan tunggul, rontek dan rangkaian bunga telah mencekam hati seluruh rakyat Pamingit dan Banyu Biru yang sedang berada di Pamingit.
Ketika matahari telah memanjat sampai ke ujung cemara disisi alun-alun, maka sampailah waktunya jenasah itu diberangkatkan. Sesaat kemudian menggemalah bunyi kentongan di banjar desa disahut oleh setiap kentongan yang berada di Pamingit, yang berada di gardu-gardu, di langgar, dan disetiap rumah yang memilikinya. Dan dari sisi keranda itu menggemalah bunyi sangkakala.
Maka bersiaplah laskar Pamingit dan Banyu Biru untuk mengawal jenasah pahlawan yang berani itu. Ketika jenasah diangkat oleh beberapa orang, diantaranya Wulungan, Bantaran, Penjawi dan kehormatan yang diberikan untuk pahlawan itu oleh Titis Anganten, Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, maka berbicaralah Gajah Alit atas nama pemerintahan Demak.
Gajah Alit yang memakai pakaian kebesaran pasukan Nara Manggala itu menyatakan betapa besar terimakasih dan penghargaan Demak terhadap kesediaan pengabdian yang diberikan oleh Sawung Sariti. Dengan darahnya ia telah mempertahankan tanahnya, rakyatnya dan kebesarannya.
Lembu Sora mendengarkan sesorah Gajah Alit dengan dada yang bergejolak. Ia mendengar sesorah itu dirangkapi suara hatinya sendiri. Ia melihat luka yang tergores di lengan anaknya. Ia melihat pula luka yang tergores didada Arya Salaka. Karena itu ia menjadi bimbang karenanya. Apakah yang telah terjadi.
Namun adakah karunia Tuhan telah berkenan membersihkan nama anaknya pada saat-saat terakhir. Kini anaknya gugur sebagai pahlawan. Karena tangan Bugel Kalikilah yang telah membunuhnya. Dan sudah pastilah bahwa anaknya telah bertempur melawan demit itu.
Maka ketika datang saatnya jenazah itu diberangkatkan, sekali lagi Nyai Ageng Lembu Sora Cumiik tinggi. Ia kemudian meronta-ronta di tangan Nyai Ageng Gajah Sora dan Rara Wilis. Lembu Sora yang melihat keadaan isterinya menjadi sangat beriba hati. Didekatinya isterinya itu, dipegangnya pundaknya dan dibisikkan di telinganya kata-kata pemupus,
Nyai Ageng Lembu Sora mendengarkan kata-kata suaminya. Namun amatlah sulit baginya untuk memadukan perasaannya dengan nalar. Karena itu, justru oleh sentuhan tangan suaminya, hatinya makin bergelora. Cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya menjatuhkan dirinya di tangan suaminya. Setelah itu Nyai Ageng Lembu Sora tak tahu lagi apa yang terjadi. Pingsan.
Beberapa orang menjadi sibuk mengurusnya. Diangkatnya tubuh itu masuk ke Banjar Desa.
Dalam pada itu keranda jenazah mulai bergerak. Di ujung barisan berjalanlah seorang anak muda yang tegap perkasa, dengan tombak tak berwrangka di tangannya. Itulah Arya Salaka yang mandi tombak pusaka Banyu Biru Kiyai Bancak. Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya. Dan sekali sekali ia menunduk. Beribu-ribu masalah berputar-putar di otaknya. Sesekali ia bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkannya, dan sesekali ia berdoa semoga Tuhan menerima adiknya disisinya. Kalau kemudian matanya terasa panas, Arya segera mengangkat mukanya seolah-olah ada yang dicarinya diantara belaian mega yang putih dihembus angin lembut dari pegunungan.
Hampir setiap wanita yang berdiri berhimpitan ditepi jalan meneteskan air matanya. Mereka melepas pahlawan dengan hati yang sedih. Mereka tahu bahwa Sawung Sariti adalah satu-satunya putera kepala daerah perdikan mereka, bahkan putera yang agak terlalu dimanjakan.
Namun Sawung Sariti itu berjalan terus. Tubuhnya berjalan ketempat pemakaman, sedang arwahnya berjalan menghadap Tuhannya. Di belakang keranda itu berjalanlah kedua perwira dari Pasukan Demak, disisinya Ki Ageng Sora Dipayana dengan kepala tertunduk, sedang Ki Ageng Gajah Sora berjalan pula dibelakangnya dan disampingnya adalah Ki Ageng Lembu Sora.
Barisan pengiring semakin lama semakin panjang. Setiap orang yang dilaluinya dengan serta merta mengikuti dibelakangnya mengantar sampai ke makam. Pamingit benar-benar berkabung. Demikianlah Sawung Sariti telah mendapatkan penghormatan terakhir sebagai seorang pahlawan. Apapun yang pernah dilakukan, namun ia adalah anak yang berani. Sehingga setelah ia gugur, adalah menegakkan pemerintahan ditanah kelahirannya.
Di belakang mereka yang sedang mengantarkan jenazah itu, didalam pondok yang kecil, terbaringlah Galunggung dengan lemahnya. Beberapa orang duduk disampingnya dan mencoba membangunkan ia dari pingsannya. Beberapa kali ia membukakan matanya, namun kemudian ia pingsan kembali.
Tetapi ketika nafasnya telah berangsur baik, maka Galunggungpun menjadi sadar. Sadar akan dirinya. Perlahan ia bangkit dan duduk ditepi pembaringannya. Ketika ia mencoba untuk minum, didengarnya bunyi kentongan.
Tetapi tenaganya lemah sekali sehingga ia terbanting ditempat pembaringan.
Pingsan.
Tetapi tidak lama kemudian Galunggung membuka matanya kembali. Ia segera bangkit dan merenggut kain penyejuk dikepalanya. Matanya memandang berkeliling ruangan yang sempit itu. Tetapi mata itu kini menjadi merah. Seperti orang kehilangan ingatan ia berdiri tegak dan berteriak.
Bawahannya semakin tidak mengerti. Mereka menjadi bingung. Dan mereka menjadi terkejut ketika tiba-tiba Galunggung menyambar pedang salah satu dari mereka dan tiba-tiba ia meloncati pintu dan berlari sekencang-kencangnya menyeberangi halaman. Sesaat kemudian ia sudah hilang dibalik regol halaman itu.
Beberapa orang bawahannya menjadi bingung. Untuk sesaat mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi sesaat kemudian mereka sadar Galunggung menjadi orang berbahaya. Karena itu mereka harus berusaha mencegahnya. Setidak-tidaknya melaporkan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Karena itu maka merekapun bergegas meninggalkan halaman itu.
Dengan berlari-lari kecil merekapun segera pergi ke makam, dimana jenazah pahlawan yang masih sangat muda itu di makamkan.
Pada saat itu, keranda jenazah berhenti disamping liang kubur yang sudah dipersiapkan. Ketika jenazah sudah dibaringkan, doapun dipanjatkan. Pemakaman itu berlangsung dengan selamat. Segala sesuatu seperti yang direncanakan. Ketika mereka akan meninggalkan onggokan tanah yang masih merah serta sepasang maejan yang masih baru pula, mereka melihat Arya Salaka berjongkok disamping gundukan tanah itu. Bibirnya bergerak mengucapkan beberapa patah kata, namun tak seorangpun yang mendengarnya.
Lembu Sora sendiri agaknya telah berhasil menguasai perasaannya. Ia tidak dapat berbuat lain daripada menerima segala peristiwa ini sebagai suatu peringatan baginya. Meskipun peringatan itu terasa terlalu berat. Satu-satunya anak telah dilepaskan, sedangkan daerah perdikan menjadi hancur berantakan.
Sebuah jerit yang tinggi membelah keheningan suasana. Nyai Ageng Lembu Sora Cumiik dan memanggil nama anaknya. Namun Sawung Sariti telah pergi.
Dengan air mata yang berlinang Nyai Ageng Gajah Sora mencoba menenangkan hati adik iparnya. Namun usahanya sia sia. Sawung Sariti adalah satu satunya anak yang akan menyambung hidupnya. Yang akan dapat menjadi tempat menumpahkan harapan serta cita-citanya. Namun anak itu kini telah pergi dan tak akan kembali. Karena itu seakan-akan nyawanya sendirilah yang telah lepas dari tubuhnya. Kalau demikian maka akan lebih baik baginya seandainya nyawa anaknya dapat ditukar dengan nyawanya. Seandainya ia sendiri boleh menggantikan anaknya menghadap Tuhannya.
Lembu Sora masih berdiri seperti patung. Bibirnya bergetar dan tubuhnya menggigil. Matanya yang tajam menjadi suram dan berlapis air. Beberapa kali ia menggigit bibirnya, tetapi kemudian bibir itu bergetar kembali. Dipandanginya wajah anaknya yang pucat pasi. Namun bibir yang pucat itu membayangkan senyum keihlasan.
Dan tiba tiba diwajah yang pucat itu seakan akan memancar gambaran peristiwa yang pernah terjadi.
Anak itu terlampau jauh tersesat. Tetapi bukan salah anak itu. Dialah yang telah mendorongnya tampil kedepan. Dengan penuh harapan dan khayalan masa mendatang. Dimana dikayalkan kepada anak itu, kekuasaan dan kamukten yang sempurna. Tanah Perdikan Pangratunan.
Ki Ageng Lembu Sora menggeram. Penyesalan yang tak terkira telah menghentak dadanya seperti akan pecah.
Demikian dahsyatnya perasaan itu mencekam jiwanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya mejadi lemah. Perlahan lahan ia melangkah ke sudut ruangan itu. Kedua tangannya menutupi wajahnya, seolah hendak menyembunyikan segenap kenangan yang datang silih berganti. Hanya sesaat saat ia mendengar jerit tangis isterinya yang memenuhi ruangan itu.
Arya Salakapun tak dapat menahan rasa harunya. Meskipun nyawanya sendiri hampir direnggut tangan adiknya namun ia tak sampai hati melihat mayatnya terbujur diam dihadapannya.
Karena itu, maka tanpa disadarinya ia berdiri dan perlahan lahan melangkah keluar meninggalkan ruangan itu. Di bawah pohon sawo ia terhenti. Suara tangis bibinya masih terdengar jelas.
Akhirnya ia berdiri saja disitu, bersandar pada pokok sawo yang jauh lebih besar daripada tubuhnya sendiri.
Seluruh Pamingit menjadi berkabung. Putera satu-satunya kepala daerah perdikan mereka gugur pada saat anak muda yang berani itu bertempur melawan Bugel Kaliki. Tidak saja orang Pamingit, namun orang Banyubirupun ikut berkabung. Mereka ikut merasakan betapa daerah perdikan belahan tanah BanyuBiru itu kehilangan pemimpinnya.
Hari itu suasana Pamingit menjadi suram. Mereka disibukkan oleh persiapan pemakaman jenasah pahlawan yang masih muda itu, yang gugur dalam pengabdian dalam melawan Hantu Bongkok yang sakti.
Ketika fajar pagi berikutnya pecah di Timur, semua persiapan telah selesai. Hari itu akan diselenggarakan pemakaman Sawung Sariti dengan upacara kebesaran.
Seluruh penduduk Pamingit tumplak blak berjejal disepanjang jalan yang akan dilewati iringan jenazah.
Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir terhadap pahlawannya, yang telah menjadi tawur bagi kesejahteraan dan kebesaran rakyat Pamingit. Upacara itu menjadi bertambah hidmad dengan hadirnya dua perwira pasukan Demak, Paningron dan Gajah Alit.
Keranda jenazah Sawung Sariti diletakkan ditengah tengah reruntuhan pendapa rumahnya. Dengan sengaja reruntuhan itu tidak dibersihkan lebih dahulu. Para pemimpin Pamingit dan Banyu Biru, bahkan kedua tamu dari Demak itu duduk saja diatas balok kayu yang berserak-serakan disekitar keranda itu.
Di keempat penjuru tampaklah beberapa orang laskar Pamingit berjaga-jaga dengan tombak di tangan. Sedang di alun-alun telah siap laskar kehormatan yang akan mengantarkan jenasah sampai ke peristirahatannya terakhir.
Keranda pahlawan dengan latar belakang reruntuhan dan abu merupakan perpaduan pandangan yang menggetarkan. Laskar yang berdiri tegak dengan senjata di tangan serta para pemimpin yang duduk bertebaran, panji-panji dan tunggul, rontek dan rangkaian bunga telah mencekam hati seluruh rakyat Pamingit dan Banyu Biru yang sedang berada di Pamingit.
Ketika matahari telah memanjat sampai ke ujung cemara disisi alun-alun, maka sampailah waktunya jenasah itu diberangkatkan. Sesaat kemudian menggemalah bunyi kentongan di banjar desa disahut oleh setiap kentongan yang berada di Pamingit, yang berada di gardu-gardu, di langgar, dan disetiap rumah yang memilikinya. Dan dari sisi keranda itu menggemalah bunyi sangkakala.
Maka bersiaplah laskar Pamingit dan Banyu Biru untuk mengawal jenasah pahlawan yang berani itu. Ketika jenasah diangkat oleh beberapa orang, diantaranya Wulungan, Bantaran, Penjawi dan kehormatan yang diberikan untuk pahlawan itu oleh Titis Anganten, Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, maka berbicaralah Gajah Alit atas nama pemerintahan Demak.
Gajah Alit yang memakai pakaian kebesaran pasukan Nara Manggala itu menyatakan betapa besar terimakasih dan penghargaan Demak terhadap kesediaan pengabdian yang diberikan oleh Sawung Sariti. Dengan darahnya ia telah mempertahankan tanahnya, rakyatnya dan kebesarannya.
Lembu Sora mendengarkan sesorah Gajah Alit dengan dada yang bergejolak. Ia mendengar sesorah itu dirangkapi suara hatinya sendiri. Ia melihat luka yang tergores di lengan anaknya. Ia melihat pula luka yang tergores didada Arya Salaka. Karena itu ia menjadi bimbang karenanya. Apakah yang telah terjadi.
Namun adakah karunia Tuhan telah berkenan membersihkan nama anaknya pada saat-saat terakhir. Kini anaknya gugur sebagai pahlawan. Karena tangan Bugel Kalikilah yang telah membunuhnya. Dan sudah pastilah bahwa anaknya telah bertempur melawan demit itu.
Maka ketika datang saatnya jenazah itu diberangkatkan, sekali lagi Nyai Ageng Lembu Sora Cumiik tinggi. Ia kemudian meronta-ronta di tangan Nyai Ageng Gajah Sora dan Rara Wilis. Lembu Sora yang melihat keadaan isterinya menjadi sangat beriba hati. Didekatinya isterinya itu, dipegangnya pundaknya dan dibisikkan di telinganya kata-kata pemupus,
Quote:
“Sudahlah Nyai anakmu pergi menghadap Tuhannya dengan bekal yang cukup. Ia gugur sebagai pahlawan. Ikhlaskan dia supaya ia menghadap Tuhan dengan tenang”.
Nyai Ageng Lembu Sora mendengarkan kata-kata suaminya. Namun amatlah sulit baginya untuk memadukan perasaannya dengan nalar. Karena itu, justru oleh sentuhan tangan suaminya, hatinya makin bergelora. Cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya menjatuhkan dirinya di tangan suaminya. Setelah itu Nyai Ageng Lembu Sora tak tahu lagi apa yang terjadi. Pingsan.
Beberapa orang menjadi sibuk mengurusnya. Diangkatnya tubuh itu masuk ke Banjar Desa.
Dalam pada itu keranda jenazah mulai bergerak. Di ujung barisan berjalanlah seorang anak muda yang tegap perkasa, dengan tombak tak berwrangka di tangannya. Itulah Arya Salaka yang mandi tombak pusaka Banyu Biru Kiyai Bancak. Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya. Dan sekali sekali ia menunduk. Beribu-ribu masalah berputar-putar di otaknya. Sesekali ia bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkannya, dan sesekali ia berdoa semoga Tuhan menerima adiknya disisinya. Kalau kemudian matanya terasa panas, Arya segera mengangkat mukanya seolah-olah ada yang dicarinya diantara belaian mega yang putih dihembus angin lembut dari pegunungan.
Hampir setiap wanita yang berdiri berhimpitan ditepi jalan meneteskan air matanya. Mereka melepas pahlawan dengan hati yang sedih. Mereka tahu bahwa Sawung Sariti adalah satu-satunya putera kepala daerah perdikan mereka, bahkan putera yang agak terlalu dimanjakan.
Quote:
“Betapa sedih ibunya. Betapa sedih ayahnya,” desis mereka.
Namun Sawung Sariti itu berjalan terus. Tubuhnya berjalan ketempat pemakaman, sedang arwahnya berjalan menghadap Tuhannya. Di belakang keranda itu berjalanlah kedua perwira dari Pasukan Demak, disisinya Ki Ageng Sora Dipayana dengan kepala tertunduk, sedang Ki Ageng Gajah Sora berjalan pula dibelakangnya dan disampingnya adalah Ki Ageng Lembu Sora.
Barisan pengiring semakin lama semakin panjang. Setiap orang yang dilaluinya dengan serta merta mengikuti dibelakangnya mengantar sampai ke makam. Pamingit benar-benar berkabung. Demikianlah Sawung Sariti telah mendapatkan penghormatan terakhir sebagai seorang pahlawan. Apapun yang pernah dilakukan, namun ia adalah anak yang berani. Sehingga setelah ia gugur, adalah menegakkan pemerintahan ditanah kelahirannya.
Di belakang mereka yang sedang mengantarkan jenazah itu, didalam pondok yang kecil, terbaringlah Galunggung dengan lemahnya. Beberapa orang duduk disampingnya dan mencoba membangunkan ia dari pingsannya. Beberapa kali ia membukakan matanya, namun kemudian ia pingsan kembali.
Tetapi ketika nafasnya telah berangsur baik, maka Galunggungpun menjadi sadar. Sadar akan dirinya. Perlahan ia bangkit dan duduk ditepi pembaringannya. Ketika ia mencoba untuk minum, didengarnya bunyi kentongan.
Quote:
“Tanda apakah itu?,” terdengar ia bertanya lemah.
“Jenazah Sawung Sariti akan diberangkatkan,” jawab salah seorang bawahannya yang sedang merawatnya.
“Apa katamu?,” kata Galunggung membelalakkan matanya.
Bawahan Galunggung itu terkejut melihat sikapnya. Namun ia menjawab juga,
“Ya jenazah angger Sawung Sariti dimakamkan.”
“Jadi kau maksud Sawung Sariti telah meninggal?”
“Ya”
“Omong Kosong!,” bentaknya.
Bawahannya menjadi semakin tidak mengerti. Dan ia mencoba menjelaskan,
“Angger Sawung Sariti terbunuh ketika ia sedang bertempur melawan Bugel Kaliki.”
“Gila, gila!,” Galunggung tiba-tiba mencoba untuk berdiri sambil memaki habis habisan.
“Jenazah Sawung Sariti akan diberangkatkan,” jawab salah seorang bawahannya yang sedang merawatnya.
“Apa katamu?,” kata Galunggung membelalakkan matanya.
Bawahan Galunggung itu terkejut melihat sikapnya. Namun ia menjawab juga,
“Ya jenazah angger Sawung Sariti dimakamkan.”
“Jadi kau maksud Sawung Sariti telah meninggal?”
“Ya”
“Omong Kosong!,” bentaknya.
Bawahannya menjadi semakin tidak mengerti. Dan ia mencoba menjelaskan,
“Angger Sawung Sariti terbunuh ketika ia sedang bertempur melawan Bugel Kaliki.”
“Gila, gila!,” Galunggung tiba-tiba mencoba untuk berdiri sambil memaki habis habisan.
Tetapi tenaganya lemah sekali sehingga ia terbanting ditempat pembaringan.
Pingsan.
Tetapi tidak lama kemudian Galunggung membuka matanya kembali. Ia segera bangkit dan merenggut kain penyejuk dikepalanya. Matanya memandang berkeliling ruangan yang sempit itu. Tetapi mata itu kini menjadi merah. Seperti orang kehilangan ingatan ia berdiri tegak dan berteriak.
Quote:
“He, kau tahu kenapa Sawung Sariti mati?”
Bawahannya menjadi cemas. Sambil menggeleng ia menjawab sekenanya,
“tidak.”
“Sawung Sariti mati karena penghianatan. Ternyata Bugel Kaliki bekerja sama dengan Arya Salaka. Mereka bersama-sama membunuh Sawung Sariti!,” teriak Galunggung dengan mata bertambah liar.
“Tetapi mereka bersama-sama bertempur melawan Bugel Kaliki,” sahut bawahannya.
“Bodoh, Bodoh kalian,” teriak Galunggung.
“Kalian tahu apa. Akulah yang paling tahu keadaannya, karena itu aku harus membalas dendam.”
Bawahannya menjadi cemas. Sambil menggeleng ia menjawab sekenanya,
“tidak.”
“Sawung Sariti mati karena penghianatan. Ternyata Bugel Kaliki bekerja sama dengan Arya Salaka. Mereka bersama-sama membunuh Sawung Sariti!,” teriak Galunggung dengan mata bertambah liar.
“Tetapi mereka bersama-sama bertempur melawan Bugel Kaliki,” sahut bawahannya.
“Bodoh, Bodoh kalian,” teriak Galunggung.
“Kalian tahu apa. Akulah yang paling tahu keadaannya, karena itu aku harus membalas dendam.”
Bawahannya semakin tidak mengerti. Mereka menjadi bingung. Dan mereka menjadi terkejut ketika tiba-tiba Galunggung menyambar pedang salah satu dari mereka dan tiba-tiba ia meloncati pintu dan berlari sekencang-kencangnya menyeberangi halaman. Sesaat kemudian ia sudah hilang dibalik regol halaman itu.
Beberapa orang bawahannya menjadi bingung. Untuk sesaat mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi sesaat kemudian mereka sadar Galunggung menjadi orang berbahaya. Karena itu mereka harus berusaha mencegahnya. Setidak-tidaknya melaporkan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Karena itu maka merekapun bergegas meninggalkan halaman itu.
Quote:
“Kemana?,” tanya salah seorang dari mereka.
“Menyusul ke makam,” jawab yang lain.
“Menyusul ke makam,” jawab yang lain.
Dengan berlari-lari kecil merekapun segera pergi ke makam, dimana jenazah pahlawan yang masih sangat muda itu di makamkan.
Pada saat itu, keranda jenazah berhenti disamping liang kubur yang sudah dipersiapkan. Ketika jenazah sudah dibaringkan, doapun dipanjatkan. Pemakaman itu berlangsung dengan selamat. Segala sesuatu seperti yang direncanakan. Ketika mereka akan meninggalkan onggokan tanah yang masih merah serta sepasang maejan yang masih baru pula, mereka melihat Arya Salaka berjongkok disamping gundukan tanah itu. Bibirnya bergerak mengucapkan beberapa patah kata, namun tak seorangpun yang mendengarnya.
Lembu Sora sendiri agaknya telah berhasil menguasai perasaannya. Ia tidak dapat berbuat lain daripada menerima segala peristiwa ini sebagai suatu peringatan baginya. Meskipun peringatan itu terasa terlalu berat. Satu-satunya anak telah dilepaskan, sedangkan daerah perdikan menjadi hancur berantakan.
Diubah oleh nandeko 15-09-2020 15:47
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas