- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#598
Jilid 18 [Part 405]
Spoiler for :
Arya Salaka dan Mahesa Jenar melangkah masuk . Dipersilahkannya mereka duduk di bale-bale bambu. Berderak-deraklah suaranya ketika dua sosok tubuh yang gagah itu memberati bale-bale.
Orang tua itupun kemudian berjalan ke senthong kanan, dan terdengarlah ia berkata,
Dan sesaat kemudian dari sentong kanan keluarlah dua orang wanita. Jauh lebih tua dari lima enam tahun yang lampau . Wajahnya pucat dan kekurus kurusan. Karena itu tanpa sadar Arya menoleh dan cepat berdiri. Mahesa Jenarpun berdiri pula. Ia melihat betapa muridnya menjadi gemetar.
Mahesa Jenar dapat memaklumi, bahwa dirinya sendiri tidak mengalami banyak perubahan. Tetapi Arya Salaka yang sedang tumbuh itu akan mengejutkannya. Pada saat meninggalkan Banyu Biru, ia tidak lebih dari seorang anak-anak berumur antara tigabelas tahunan. Dan sekarang ia adalah seorang pemuda perkasa. Bertubuh kekar dan berdada bidang.
Karena itulah maka Mahesa Jenar berkata,
Nyai GajahSora menjadi ragu-ragu. Tetapi hatinya berdesir ketika melihat anak itu gemetar. Dan kemudian tiba-tiba saja anak muda itu meloncat maju berjongkok sambil memeluk kaki ibunya.
Arya Salaka tak kuasa menjawab pertanyaan itu. Kerongkongannya serasa tersumbat batu. Sedangkan matanya menjadi panas.
Wanita itu kini yakin. Anak itu adalah anak yang pernah dibelainya enam tahun lalu, anak yang tidur dipangkuannya, dicium keningnya. Namun sering pula dimarahinya karena kenakalannya.
Tiba-tiba tangannya yang lemah memeluk kepala Arya Salaka dan menekankan ke dadanya. Dan terasa tiba-tiba dada yang tipis itu menggelombang.
Meledaklah sebuah tangis kegembiraan.
Juga Arya tidak mampu berkata sepatahpun. Seabagai laki laki yang tabah menghadapi setiap bahaya maut yang mengancamnya, Arya adalah seorang berhati baja. Namun kali ini ia tidak kuasa menahan diri.
Meneteslah sebutir air mata .
Nyai Gajahsora benar-benar menangis. Ia tidak tahu apakah yang bergejolak didalam dadanya.. Anak ini pada saat terakhir sebelum berpisah dengannya juga pernah dipeluknya seperti ini. Menekankan kepala anak ini ke dadanya.Kini anak itu tidak berdiri pada telapak kakinya tetapi pada kedua lututnya. Namun Nyai Gajahsora tak sempat memperhatikannya. Dipeluknya anak itu seperti enam tahun lampau, diciumnya keningnya dan dibasahi dahi anak itu dengan air mata.
Nyai Lembusorapun terharu melihat pertemuan itu. Tanpa sesadarnya dari matanya juga mengalir air mata. Ia tidak tahu apa yang terjadi antara anaknya dengan anak itu, antara suaminya dengan kakaknya Gajahsora. Karena kasihnya kepada Arya Salaka sebagai kemenakan satu-satunya tidak berkurang. Dengan demikian iapun terharu melihat pertemuan itu, setelah anak itu hilang selama enam tahun di sisi ibunya.
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia gembira, segembira Arya Salaka sendiri. Ia akan dapat menyerahkan anak itu nanti kepada ayah bundanya tanpa mengecewakan mereka. Mahesa Jenar telah tidak menyianyiakan kepercayaan Gajahsora kepadanya meskipun ia harus mengucapkan beribu-ribu terimakasih pula kepada Kebo Kanigara.
Tiba-tiba terdengarlah suara Nyai Gajahsora terputus-putus karena isaknya,
Arya ingin menjawab. Ingin bercerita bahwa ia sama sekali tidak bermaksud meninggalkan ibunya. Ia ingin mengatakan bahwa selama ini wajah ibunya tak sekejappun terhapus dari angan-angannya. Tetapi yang menyumbat kerongkongannya serasa menjadi semakin besar pula. Karena itu ia hanya dapat menelan ludahnya beberapa kali.
Dan kemudian ibunya menarik anak itu berdiri. Ketika Arya berdiri, terkejutlah Nyai Gajahsora. Katanya,
Mahesa Jenar berdesir mendengar kata-kata itu. Meskipun suaminya telah pergi selama enam tahun, namun setiap ungkapan kantanya menyatakan bahwa kesetiaannya tidak berkurang. Dan dalam suasasna yang demikian itulah Mahesa Jenar teringat akan dirinya. Apabila kelak ada sesuatu dengan dirinya, adakah seseorang yang akan menantinya? atau mencemaskannya ?.
Dan tiba-tiba pula teringatlah ia kepada Rara Wilis, seorang gadis yang setia menanti, meskipun umurnya selalu menghantuinya.
Hari demi hari…..
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Dengan sudut matanya disambarnya setiap wajah yang ada diruangan itu. Kalau kalau ada diantara mereka yang melihat perubahan wajahnya.
“Hem,” ia menarik napas dalam-dalam. Sedang hantinya berkata,
“jangan berangan-angan seperti pemuda meningkat dewasa.”
Nyai Gajahsora dan Nyai Lembusorapun segera berkemas-kemas pula. Mereka ingin segera kembali ke Pamingit. Meskipun Arya belum mengatakan tentang kehadiran ayahnya dan tentang keadaan adik sepupunya.
Ketika mereka sudah selesai berkemas, maka kedua perempuan itu segera minta diri kepada penghuni rumah yang sudah lanjut usia sambil mengucapkan diperbanyak terimakasih atas perlindungan yang diberikan.
Maka sesaat kemudian, berjalanlah mereka berempat menuju Pamingit. Didalam dada mereka masing-masing bergetarlah angan angan menyongsong hari yang akan datang.
Nyai Ageng Gajahsora menjadi gembira karena kini ia berjalan dengan anaknya yang hilang dan kembali kepadanya sebagai pemuda yang perkasa. Arya Salaka memandang langit yang cerah secerah hatinya. Sedang Mahesa Jenar menundukkan kepalanya menghitung masa lampaunya. Tetapi kini sebagian besar pekerjaannya telah selesai. Ia tinggal menghadapkan Arya Salaka kepada ayah bundanya., kemudian ia sendiri akan ke Karang Tumaritis menanyakan panembahan Ismaya, apa yang harus dilakukan atas Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten
Sesudah itu datanglah saatnya mengurus dirinya sendiri.
Perlahan lahan langit yang ditaburi bintang itu menjadi semakin terang. Cahaya fajar yang meloncat dari balik bukit telah menjalari seluruh langit. Dan bintang bintangpun semakin redup karenanya. Angin pagi yang lembut mengalir perlahan lahan seakan ikut berdendang bersama mereka yang sedang berjalan berempat itu menyanyikan lagu riang gembira menyongsong hari yang cerah.
Demikianlah mereka berjalan dalam limpahan cahaya pagi. Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang berbahaya.
Langir biru, batang batang jagung yang hijau. Air yang jernih sejuk mengalir di parit-parit ditepi jalan. Desa-desa yang menjorok seperti pulau-pulau di lautan hijau. Daun-daun bergoyang ditiup angin pagi yang lembut, gemersik diantara kicau burung-burung liar yang riang berloncatan dari dahan ke dahan.
Tetapi ketika mereka hampir sampai di bawah pohon nyamplung hati Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi berdebar-debar. Semalam mereka tidak sempat mengurus mayat Bugel Kaliki. Kalau mayat itu masih disana, pasti akan mengejutkan Nyai Ageng berdua. Tetapi mereka tidak dapat menempuh jalan lain. Mereka harus melampaui jalan di bawah pohon nyamplung itu.
Aryapun pergi bergegas mendahului. Ia tidak mau ibu serta bibinya menjadi terkejut dan ngeri.
Tetapi ketika ia sampai di bawah pohon itu, ia terkejut. Mayat itu sudah tak ditemuinya di sana.
Orang tua itupun kemudian berjalan ke senthong kanan, dan terdengarlah ia berkata,
Quote:
“Nyai telah datang utusan dari orang yang membawa nyai berdua kemari.”
“Sudahkah kau yakin kakek?” terdengar suara seorang wanita.
“Aku yakin, nyai,” jawab orang itu.
“Sudahkah kau yakin kakek?” terdengar suara seorang wanita.
“Aku yakin, nyai,” jawab orang itu.
Dan sesaat kemudian dari sentong kanan keluarlah dua orang wanita. Jauh lebih tua dari lima enam tahun yang lampau . Wajahnya pucat dan kekurus kurusan. Karena itu tanpa sadar Arya menoleh dan cepat berdiri. Mahesa Jenarpun berdiri pula. Ia melihat betapa muridnya menjadi gemetar.
Quote:
“Siapakah kau?,” bertanya salah seorang daripadanya.
Mulut Arya terbungkam. Ibunya itu ternyata sudah tidak mengenalinya. Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar.
“Adakah Nyai lupa kepadaku?,”
Orang itu mengerutkan keningnya. Akhirnya wajahnya cerah dan dengan ragu-ragu ia berkata,
“Adi Mahesa Jenar.”
“Ya, aku Mahesa Jenar,” jawab Mahesa Jenar.
“Oh,” terdengar ia berdesis dan wajahnya menjadi semakin cerah.
“Lalu siapa anak muda ini?.”
Mulut Arya terbungkam. Ibunya itu ternyata sudah tidak mengenalinya. Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar.
“Adakah Nyai lupa kepadaku?,”
Orang itu mengerutkan keningnya. Akhirnya wajahnya cerah dan dengan ragu-ragu ia berkata,
“Adi Mahesa Jenar.”
“Ya, aku Mahesa Jenar,” jawab Mahesa Jenar.
“Oh,” terdengar ia berdesis dan wajahnya menjadi semakin cerah.
“Lalu siapa anak muda ini?.”
Mahesa Jenar dapat memaklumi, bahwa dirinya sendiri tidak mengalami banyak perubahan. Tetapi Arya Salaka yang sedang tumbuh itu akan mengejutkannya. Pada saat meninggalkan Banyu Biru, ia tidak lebih dari seorang anak-anak berumur antara tigabelas tahunan. Dan sekarang ia adalah seorang pemuda perkasa. Bertubuh kekar dan berdada bidang.
Karena itulah maka Mahesa Jenar berkata,
Quote:
“Nyai, bertanyalah kepadanya siapakah namanya?.”
Nyai GajahSora menjadi ragu-ragu. Tetapi hatinya berdesir ketika melihat anak itu gemetar. Dan kemudian tiba-tiba saja anak muda itu meloncat maju berjongkok sambil memeluk kaki ibunya.
Quote:
“Ibu….”
Nyai GajahSora terkejut. Dan terloncatlah dari mulutnya,
“Kau kah itu.”
Nyai GajahSora terkejut. Dan terloncatlah dari mulutnya,
“Kau kah itu.”
Arya Salaka tak kuasa menjawab pertanyaan itu. Kerongkongannya serasa tersumbat batu. Sedangkan matanya menjadi panas.
Wanita itu kini yakin. Anak itu adalah anak yang pernah dibelainya enam tahun lalu, anak yang tidur dipangkuannya, dicium keningnya. Namun sering pula dimarahinya karena kenakalannya.
Tiba-tiba tangannya yang lemah memeluk kepala Arya Salaka dan menekankan ke dadanya. Dan terasa tiba-tiba dada yang tipis itu menggelombang.
Meledaklah sebuah tangis kegembiraan.
Quote:
“Arya, bukankah kau Arya Salaka ?”
Juga Arya tidak mampu berkata sepatahpun. Seabagai laki laki yang tabah menghadapi setiap bahaya maut yang mengancamnya, Arya adalah seorang berhati baja. Namun kali ini ia tidak kuasa menahan diri.
Meneteslah sebutir air mata .
Nyai Gajahsora benar-benar menangis. Ia tidak tahu apakah yang bergejolak didalam dadanya.. Anak ini pada saat terakhir sebelum berpisah dengannya juga pernah dipeluknya seperti ini. Menekankan kepala anak ini ke dadanya.Kini anak itu tidak berdiri pada telapak kakinya tetapi pada kedua lututnya. Namun Nyai Gajahsora tak sempat memperhatikannya. Dipeluknya anak itu seperti enam tahun lampau, diciumnya keningnya dan dibasahi dahi anak itu dengan air mata.
Nyai Lembusorapun terharu melihat pertemuan itu. Tanpa sesadarnya dari matanya juga mengalir air mata. Ia tidak tahu apa yang terjadi antara anaknya dengan anak itu, antara suaminya dengan kakaknya Gajahsora. Karena kasihnya kepada Arya Salaka sebagai kemenakan satu-satunya tidak berkurang. Dengan demikian iapun terharu melihat pertemuan itu, setelah anak itu hilang selama enam tahun di sisi ibunya.
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia gembira, segembira Arya Salaka sendiri. Ia akan dapat menyerahkan anak itu nanti kepada ayah bundanya tanpa mengecewakan mereka. Mahesa Jenar telah tidak menyianyiakan kepercayaan Gajahsora kepadanya meskipun ia harus mengucapkan beribu-ribu terimakasih pula kepada Kebo Kanigara.
Tiba-tiba terdengarlah suara Nyai Gajahsora terputus-putus karena isaknya,
Quote:
“Kemana kau selama ini Arya?, ayahmu tak kunjung kembali.dan kau meninggalkan aku seorang diri dalam sepi dan duka”
Arya ingin menjawab. Ingin bercerita bahwa ia sama sekali tidak bermaksud meninggalkan ibunya. Ia ingin mengatakan bahwa selama ini wajah ibunya tak sekejappun terhapus dari angan-angannya. Tetapi yang menyumbat kerongkongannya serasa menjadi semakin besar pula. Karena itu ia hanya dapat menelan ludahnya beberapa kali.
Dan kemudian ibunya menarik anak itu berdiri. Ketika Arya berdiri, terkejutlah Nyai Gajahsora. Katanya,
Quote:
“Oh, kau sudah besar, kau benar-benar menjadi bayangan ayahmu, seperti belahannya dalam cermin.”
Mahesa Jenar berdesir mendengar kata-kata itu. Meskipun suaminya telah pergi selama enam tahun, namun setiap ungkapan kantanya menyatakan bahwa kesetiaannya tidak berkurang. Dan dalam suasasna yang demikian itulah Mahesa Jenar teringat akan dirinya. Apabila kelak ada sesuatu dengan dirinya, adakah seseorang yang akan menantinya? atau mencemaskannya ?.
Dan tiba-tiba pula teringatlah ia kepada Rara Wilis, seorang gadis yang setia menanti, meskipun umurnya selalu menghantuinya.
Hari demi hari…..
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Dengan sudut matanya disambarnya setiap wajah yang ada diruangan itu. Kalau kalau ada diantara mereka yang melihat perubahan wajahnya.
“Hem,” ia menarik napas dalam-dalam. Sedang hantinya berkata,
“jangan berangan-angan seperti pemuda meningkat dewasa.”
Nyai Gajahsora dan Nyai Lembusorapun segera berkemas-kemas pula. Mereka ingin segera kembali ke Pamingit. Meskipun Arya belum mengatakan tentang kehadiran ayahnya dan tentang keadaan adik sepupunya.
Ketika mereka sudah selesai berkemas, maka kedua perempuan itu segera minta diri kepada penghuni rumah yang sudah lanjut usia sambil mengucapkan diperbanyak terimakasih atas perlindungan yang diberikan.
Quote:
“Eh,” sahut kakek tua itu.
“Sudah menjadi kewajiban setiap warga untuk melindungi Nyai Ageng berdua. Sedang yang aku lakukan sekedar menerima Nyai berdua dan memberikan sekedar tempat untuk beristirahat.”
“Aku tidak akan melupakan kau, kek,” sahut Arya Salaka.
“Suatu saat aku pasti akan menengok rumah ini.”
“Terimakasih ngger, terimakasih.” Jawab orang itu.
“Sudah menjadi kewajiban setiap warga untuk melindungi Nyai Ageng berdua. Sedang yang aku lakukan sekedar menerima Nyai berdua dan memberikan sekedar tempat untuk beristirahat.”
“Aku tidak akan melupakan kau, kek,” sahut Arya Salaka.
“Suatu saat aku pasti akan menengok rumah ini.”
“Terimakasih ngger, terimakasih.” Jawab orang itu.
Maka sesaat kemudian, berjalanlah mereka berempat menuju Pamingit. Didalam dada mereka masing-masing bergetarlah angan angan menyongsong hari yang akan datang.
Nyai Ageng Gajahsora menjadi gembira karena kini ia berjalan dengan anaknya yang hilang dan kembali kepadanya sebagai pemuda yang perkasa. Arya Salaka memandang langit yang cerah secerah hatinya. Sedang Mahesa Jenar menundukkan kepalanya menghitung masa lampaunya. Tetapi kini sebagian besar pekerjaannya telah selesai. Ia tinggal menghadapkan Arya Salaka kepada ayah bundanya., kemudian ia sendiri akan ke Karang Tumaritis menanyakan panembahan Ismaya, apa yang harus dilakukan atas Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten
Sesudah itu datanglah saatnya mengurus dirinya sendiri.
Perlahan lahan langit yang ditaburi bintang itu menjadi semakin terang. Cahaya fajar yang meloncat dari balik bukit telah menjalari seluruh langit. Dan bintang bintangpun semakin redup karenanya. Angin pagi yang lembut mengalir perlahan lahan seakan ikut berdendang bersama mereka yang sedang berjalan berempat itu menyanyikan lagu riang gembira menyongsong hari yang cerah.
Demikianlah mereka berjalan dalam limpahan cahaya pagi. Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang berbahaya.
Langir biru, batang batang jagung yang hijau. Air yang jernih sejuk mengalir di parit-parit ditepi jalan. Desa-desa yang menjorok seperti pulau-pulau di lautan hijau. Daun-daun bergoyang ditiup angin pagi yang lembut, gemersik diantara kicau burung-burung liar yang riang berloncatan dari dahan ke dahan.
Tetapi ketika mereka hampir sampai di bawah pohon nyamplung hati Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi berdebar-debar. Semalam mereka tidak sempat mengurus mayat Bugel Kaliki. Kalau mayat itu masih disana, pasti akan mengejutkan Nyai Ageng berdua. Tetapi mereka tidak dapat menempuh jalan lain. Mereka harus melampaui jalan di bawah pohon nyamplung itu.
Quote:
“Paman,” tiba-tiba Arya berkata pelan sekali kepada Mahesa Jenar.
“Bagaimana dengan mayat Bugel Kaliki?.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“lihatlah dan kalau masih ada singkirkan sementara. Nanti kita selesaikan mayat itu sebaik-baiknya.”
Arya mengangguk, kemudian kepada ibunya ia berkata,
“Ibu dan Bibi, perkenankanlah aku mendahului. Ada sesuatu yang akan aku lihat lebih dahulu.”
Nyai Ageng berdua itu menjadi berdebar-debar. Maka bertanyalah Nyai Ageng Gajahsora,
“Apakah keadaan di Pamingit masih belum baik Arya?.”
“Tidak ibu,” jawab Arya,
“kedadaan sudah terlalu baik. Tetapi parit yang menyilangi jalan disebelah pohon nyamplung yang tampak kemarin itu kemarin terlalu cepat mengalir dan terlalu dalam airnya. Barangkali aku dapat memilih jalan yang lain.”
“Oh,” Nyai Ageng Gajahsora dan nyai Lembu Sora menarik nafas lega, maka berkatalah ibu Arya,
“pergilah.”
“Bagaimana dengan mayat Bugel Kaliki?.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“lihatlah dan kalau masih ada singkirkan sementara. Nanti kita selesaikan mayat itu sebaik-baiknya.”
Arya mengangguk, kemudian kepada ibunya ia berkata,
“Ibu dan Bibi, perkenankanlah aku mendahului. Ada sesuatu yang akan aku lihat lebih dahulu.”
Nyai Ageng berdua itu menjadi berdebar-debar. Maka bertanyalah Nyai Ageng Gajahsora,
“Apakah keadaan di Pamingit masih belum baik Arya?.”
“Tidak ibu,” jawab Arya,
“kedadaan sudah terlalu baik. Tetapi parit yang menyilangi jalan disebelah pohon nyamplung yang tampak kemarin itu kemarin terlalu cepat mengalir dan terlalu dalam airnya. Barangkali aku dapat memilih jalan yang lain.”
“Oh,” Nyai Ageng Gajahsora dan nyai Lembu Sora menarik nafas lega, maka berkatalah ibu Arya,
“pergilah.”
Aryapun pergi bergegas mendahului. Ia tidak mau ibu serta bibinya menjadi terkejut dan ngeri.
Tetapi ketika ia sampai di bawah pohon itu, ia terkejut. Mayat itu sudah tak ditemuinya di sana.
uken276 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas