- Beranda
- Stories from the Heart
KALAGENDA | RITUAL
...
TS
re.dear
KALAGENDA | RITUAL
Mohon maaf bagi yang sudah menunggu terlalu lama🙏
Kami ucapkan terimakasih banyak atas kesabarannya yang luar biasa.
Kalagenda telah kembali, semoga masih cukup menarik untuk disimak.
Konten Sensitif
"Sejatinya tidak ada ilmu hitam dan ilmu putih, ilmu tetaplah ilmu. Yang ada hanyalah pelakunya menapaki jalan yang mana."
Spoiler for SEASON 1 SAJEN:
Chapter: Sajen
adalah chapter pembuka dari kisah ini. Seperti ritual, sesajen dibutuhkan sebagai syarat utama.Kisah yang menceritakan persinggungan dengan seorang dukun sakti yang dipanggil Ki Kala. Seorang pelaku ilmu hitam yang sanggup memenuhi setiap permintaan. Tentu dengan bayaran nyawa.
Akankah kami dapat bertahan?
Spoiler for TOKOH UTAMA:
Kang Adul Ojol
Seorang pengemudi ojek online berumur 40tahunan. Seorang bapak dengan 2 anak yang selalu mengutamakan keluarga. Kesialan yang dirinya atau rekan-rekannya alami membawa sisi yang jarang diekspos dari pekerjaan ojek online.
Mang Ian Warung
Perantau 27tahun dari kampung yang masih betah dalam status lajang ini mengelola sebuah warung yang berlokasi disebuah pertigaan angker.
Bang Herul Akik
Mantan satpam berumur 35 tahunan dari beberapa perusahaan. Seorang bapak dengan 1 anak yang selalu penasaran dengan hal mistis. Pun kejadian sial yang ia alami membuatnya terjun ke dunia batu akik untuk menyambung hidup.
Teh Yuyun
Wanita berumur 50 tahun lebih yang menolak tua. Mempunyai 2 anak tanpa cucu. Siapa sangka dibalik sikapnya yang serampangan, ia adalah sosok yang mempunyai ilmu kebatinan.
INDEX:
1.1.Kang Adul Ojol: Resto Fiktif
1.2.Mang Ian Warung: Singkong Bakar
1.3.Bang Herul Akik: Lembur
1.4.Teh Yuyun: Pesugihan Janin
===============================
Mitaku Malang, Mitaku Kenang
1.5.Mang Ian Warung: Kupu-Kupu Malam
1.6.Kang Adul Ojol: "Offline aja mbak."
1.7.Teh Yuyun: Susuk Nyai
===============================
1.8.Bang Herul Akik: Cici Cantik
1.9.Kang Adul Ojol: Ayu Ting Ting
1.10.Bang Herul Akik: Mess Sial
===============================
Kala Bermula
1.11.Kang Adul Ojol: Harum
1.12.Kang Adul Ojol: Cicak
1.13.Teh Yuyun: Akhir Awal
===============================
1.14.Mang Ian Warung; Bayawak
1.15.Bang Herul Akik: Pabrik Tekstil [I]
1.16. Bang Herul Akik: Pabrik Tekstil [II]
1.17. Bang Herul Akik: Pabrik Tekstil [III]
===============================
KONFRONTASI
1.18. Teh Yuyun: Tumbal
1.19. Teh Yuyun: Kunjungan
1.20. Teh Yuyun: Getih Laris
===============================
1.21. Kang Adul Ojol: Petaka Hamil Tua
1.22. Mang Ian Warung: Puputon [I]
1.23. Mang Ian Warung: Puputon [II]
1.24. Mang Ian Warung: Puputon [III]
===============================
BAHLA
1.25. Teh Yuyun: Rega [I]
1.26. Teh Yuyun: Rega [II]
1.27. Teh Yuyun: Rega [III]
===============================
1.28. Mang Ian Warung: Panon
1.29. Bang Herul Akik; No.19
TALAMBONG JARIAN
1.30. Citraghati [I]
1.31. Citraghati [II]
1.32. Citraghati [III]
1.33. Dalak Natih [I]
1.34. Dalak Natih [II]
1.35. Purwayiksa [I]
1.36. Purwayiksa [II]
1.37. Purwayiksa [III]
1.38.
=====SARANANDANG=====
1.39. Kara
1.40. Vijaya (I)
1.41. Vijaya (II)
1.42. Vijaya (III)
1.43. Kusuma Han (I)
1.44. Kusuma Han (II)
1.45. Sang Bakul (I)
1.46. Sang Bakul (II)
1.47. Pathilaga
1.48. Hieum
1.49. EPILOG SEASON 1
Chapter: MANTRA
Setelah kisah pembuka dari kengerian seorang dukun, seluk-beluk, latar belakang, & segala yang melengkapi kekejamannya usai lengkap. Penulis kembali meneruskan kisah horornya.
Sebab tatkala persiapan sesajen telah memenuhi syarat, kini saatnya mantra tergurat.
Cara apa lagi yang akan digunakan untuk melawan Ki Kala?
Siapa lagi korban yang berhasil selamat dari kekejaman ilmu hitamnya?
Bagaimana perlawanan sang tokoh utama dalam menghadapi Ki Kala?
Akankah kali ini kami berhasil?
Spoiler for TOKOH UTAMA:
DINDA
Penerus sekaligus anak perempuan dari Nyi Cadas Pura alias Teh Yuyun di chapter sebelumnya. Usianya belumlah genap 30 tahun, namun ilmu yang ia kuasai hampir setara dengan milik ibunya.
RATIH
Seorang (mantan) Pelayan rumah dari keluarga besar Han yang sudah binasa. Manis namun keji, adalah gambaran singkat mengenai gadis yang baru berusia 25 tahun ini.
IMAM
Seorang mahasiswa di salahsatu kampus yang tak jauh dari tempat Dinda tinggal. Seorang keturunan dari dukun santet sakti di masa lalu. Meski ia menolak, namun para 'penunggu' ilmu leluhurnya kerap kali menganggu.
~~oOo~~
Penerus sekaligus anak perempuan dari Nyi Cadas Pura alias Teh Yuyun di chapter sebelumnya. Usianya belumlah genap 30 tahun, namun ilmu yang ia kuasai hampir setara dengan milik ibunya.
RATIH
Seorang (mantan) Pelayan rumah dari keluarga besar Han yang sudah binasa. Manis namun keji, adalah gambaran singkat mengenai gadis yang baru berusia 25 tahun ini.
IMAM
Seorang mahasiswa di salahsatu kampus yang tak jauh dari tempat Dinda tinggal. Seorang keturunan dari dukun santet sakti di masa lalu. Meski ia menolak, namun para 'penunggu' ilmu leluhurnya kerap kali menganggu.
~~oOo~~
INDEX
2.1. Prolog Mantra
2.2. Asih
2.3. Delman
2.4. Kaki Kiri
Santet
2.5. Tideuha Murak Pawon [I]
2.6. Tideuha Murak Pawon [II]
2.7. Bebegig
2.8. Mancing
Babak Pertama Pangkur
2.9. Tepak Hiji
2.10. Tepak Dua
2.11. Tepak Tilu
2.12. The Artefact
2.13. Pangkur: Maludra
2.14. Pangkur: Maludra (2)
2.15. Pangkur: Durma
2.16. The Unexpected One
2.17. Sastra Jingga
2.18. Socakaca
2.19. Calung Durma
2.20. Hanaca Raka
2.21. Hanaca Rayi
2.22. Sarangka Leungit
2.23. Mega Ceurik
2.24. Lumayung Mendung
2.25. Pangkur: Juru Demung (I)
2.26. pangkur: Juru Demung (II)
2.27. Aksara Pura
2.28. Tarung Aksara
2.29. Adinda Adjining Sanggah
2.30. Teh Tawar
2.31. Fleuron: Back Stage
Antawirya
2.32. Para Jaga Loka
2.33. Adarakisa
2.34. Niskala Eka Chakra
2.35. Rengga Wirahma
2.36. Astacala
2.37. Cantaka
2.38. Léngkah Kadua
~oOo~
2.39. Pelatihan Neraka
2.40. Anyaranta
Quote:
WARNING!!
Cerita ini mempunyai komposisi sebagai berikut:
> 70% FIKSI
> 25% GOOGLING
> 4% NANYA ORANG
> 0,9% KEBOHONGAN MURNI
> 0,1% KENYATAAN YANG MASIH DIRAGUKAN KEBENARANNYA
Dengan demikian, penulis harap kebijaksanaannya. Apabila terjadi kesamaan dalam penokohan, alur, latar belakang, artinya hanya ada 3 kemungkinan:
1. Kejadian itu kebetulan benar terjadi.
2. Pengalaman agan mainstream.
3. Karya saya yang terlalu biasa.
Happy reading!
Jangan lupa cendol & rating bintang lima nya ya!


Jangan lupa cendol & rating bintang lima nya ya!


Spoiler for REFERENSI::
Diubah oleh re.dear 01-07-2021 00:18
arieaduh dan 74 lainnya memberi reputasi
65
95K
Kutip
2.3K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
re.dear
#109
MANG IAN WARUNG:
PUPUTON (I)

Lain ladang, lain belalang,
Lain lumbung, lain pula ikannya.
Lain daerah, lain pula ajiannya.
Kejadian ini jauh sebelum saya bertemu dengan Mang Ian, sebelum ia membuka usaha warung, sebelum ia memutuskan untuk merantau.
~oOo~
Quote:
Kampung ini terletak di sebuah kaki bukit di Jawa Barat. Sebuah kampung dimana modernitas & hal-hal mistis kuno berdampingan tanpa aturan.
Aku adalah anak tertua dari 2 bersaudara. Adikku seorang perempuan yang terpaut 5 tahun. Sementara bapak & ibuku keduanya adalah seorang petani sayur & padi yang mempunyai lahan sendiri. Meski kecil, kehidupan kami yang sederhana cukup untuk membiayai hidup.
Aku hanya tamatan SMP, yang punya hobi bermain musik kasundaanyang difasilitasi oleh lurah setempat. Selain kesibukanku membantu orangtua, aku kadang ikut menjadi panitia apabila ada acara hajatan/syukuran. Mungkin orang kota menyebutnya sebagai staf EO.
Nasibnya tak jauh berbeda dengan adikku, tahun ini ia selesai menamatkan pendidikan SMP. Disini seorang gadis yang telah lulus hanya ada 2 pilihan:
Membantu orangtua, atau
Menikah.
Sementara adikku yang pola pikirnya lebih modern, ia memutuskan untuk mengambil kursus menjahit selama 6 bulan. Ia berencana membuka usaha jasa jahit dari keahliannya nanti.
"Kalo nanti neng nikah, senggaknya gak bergantung sama pendapatan suami neng nanti. Perempuan jaman sekarang harus lebih mandiri, a."
Alasannya saat kutanya mengapa ia memilih kursus jahit.
"nya sok weh, ngan aa mah ngaomatan. Heug ngke na maneh jadi jalma ciga kumaha, nu ngaranna jadi awewe wajibna ngurus rumah tangga, taat ka salaki. Ulah nyaliwang tinu jalur."
("iya silahkan, hanya saja aa mengingatkan. Nantinya kamu jadi orang seperti apa, perempuan wajibnya mengurus rumah tangga, taat pada suami. Jangan melenceng dari jalur.")
Kuberikan ia nasihat saat ia meminta izin di suatu malam.
Jawaban yang diberikan bapak atau ibu juga hampir sama. Mereka mendukung keputusannya, selama itu baik, takkan jadi soal.
Meski hidungnya tak mancung, adikku masih terlihat cantik. Kulitnya kuning langsat dengan lesung pipi yang hanya ada di sebelah kiri. Gigi taring kanannya gingsul satu yang akan terlihat jika ia tersenyum, walau setipis mungkin senyumannya.
Satu bulan berlalu.
Kesibukan kami berjalan seperti biasa. Hanya Nia yang terlihat berbeda. Ia akan berangkat pada jam 9 pagi & pulang pada jam 3 sore. Setiap kali ia pulang, ia selalu membawa hasil belajarnya.
Kadang sapu tangan, kadang celana pendek, kadang juga lap, bahkan ia membuatkan ibu sebuah rok dari bahan yang cukup bagus.
Sementara aku kebagian celana pendek yang kiri & kanannya tidak simetris.
Ia bahagia dengan apa yang ia jalani.
Hingga kejadian yang merenggut kebahagiaan kami merusak semuanya hingga kini.
Sore itu ia pulang dengan wajah yang terlihat sedikit bingung.
"Neng?"
Sapaku saat melihatnya berjalan melewati kebun. Kebetulan disana hanya ada aku, sementara ibu & ayah sedang di sawah.
"Eh a? Sendirian?"
Ia membalas sambil mencium tanganku.
"Kamu sakit?"
Aku khawatir karena wajahnya sedikit pucat.
"Ah, nggak. Ini neng kok kayak yang bingung ya? Neng kayak ngerasa ada yang ketinggalan tapi neng gak tahu apa."
Jelasnya.
"Coba cek dulu barang-barang di tas. Ada semua gak?"
Kucoba memberi solusi.
"Iya atuh, sebentar."
Ia membuka tas slempangnya, mengecek satu persatu barang yang ia bawa.
Bibirnya bergerak mengumamkan sesuatu.
"Ada semua?"
Tanyaku.
"Ada, a. Tapi hati neng kok aneh ya?"
Ia balik bertanya.
"Yaudah, sini ikut dulu ke kebun sama aa. A beres-beres dulu sebentar abis itu kita pulang, kita solat bareng biar tenang."
Ajakku yang ia sambut dengan anggukan.
Di pondokan saung ia terduduk, melamun. Tampaknya pikirannya masih menerawang mencari apa yang mengganjal.
Aku tak menunda waktu lebih lama, kurapikan peralatan berkebun ke dalam karung & mengajaknya untuk segera pulang.
"Yok!"
Ajakku padanya.
"Iya hayu."
Ia membalas dengan cepat.
Di perjalanan pulang, kami lalui dengan diam. Ia masih menerawang, sementara aku bergelut dengan lelah.
Angin sepoi-sepoi mengiring langkah kami, suara gesekan dahan membuat suasananya damai.
Tapi sayang tidak setelahnya.
Kami tiba di rumah, suara adzan berkumandang dari surau yang tak jauh. Ku ajak sekalian ia untuk bersembahyang disana.
Setelah selesai, kutunggui ia agar pulang bersama.
Baru saja ia keluar, saat mata kami bertemu, ia pingsan tiba-tiba.
"Neng!"
Aku berteriak seraya berusaha meraih tubuhnya yang jatuh tersungkur.
Sebelum menyentuh lantai, aku berhasil memegang pundaknya.
"Kenapa yan?"
Tanya ustadz imran saat melihatku mendekap Nia.
"Waduh kurang tau tadz, ini dibawa ke samping aja dulu ya."
Aku membopongnya ke samping surau.
Kang Asep yang melihat kami segera berlari ke arah rumahnya & kembali membawa minyak kayu putih.
Kuoleskan ke bawah hidung Nia, berharap ia sadar dengan cepat. Ustadz Imran menyiapkan teh manis hangat yang dibawa oleh istrinya.
Aku masih menepuk pipi Nia pelan sambil memanggil namanya berkali-kali.
"Nia bangun hey, Nia ayo bangun!"
Beruntung, selang beberapa menit ia membuka mata.
"Aa? Kang Arya mana?"
Entah siapa Arya yang ia maksud.
"Udah kita pulang dulu aja."
Ujarku saat berusaha membantunya berdiri.
Kami diantar pak ustadz hingga depan rumah. Ayah & ibu yang baru tiba melihat kami sedikit panik. Setelah ku jelaskan, Nia diantar ibu masuk kamar agar segera beristirahat.
Aku, ibu, bapk, berkumpul di ruang tengah membahas apa yang terjadi pada Nia barusan.
"mih, apal jeung nu ngarana Arya teu? Bieu si Nia karak hudang ujug-ujug nanyakeun."
("Bu, kenal sama yang namanya Arya gak? Tadi si Nia baru bangun langsung nanyain.")
Aku membuka obrolan.
"har? Eta geura ujang nu sok dicaritaan ku si neng mah. Emih teu apal. Ai bapa kumaha?"
("Lah? Itu kan kamu yang sering diceritain sama si neng. Ibu gak tau. Kalo bapak gimana?")
Ibu juga kebingungan & melemparkannya pada ayah.
"Euweuh nu ngarana Arya di kampung ieu mah. Apa boa baturan si neng di kursus kitu? Cig isukan maneh teang kaditu, jang."
("Gak ada yang namanya Arya di kampung ini. Apa jangan-jangan teman si neng di kursusan? Coba kamu cari besok kesana.")
Tampaknya bapak bisa memberikan solusi.
"heug bae, ngke ujang neang kaditu. Lain dipelet kitu nya?"
("Iya, nanti saya cari kesana. Bukan dipelet gitu ya?")
Jujur saja aku sedikit curiga.
Kecurigaanku disambut dengan wajah yang menegang dari kedua orangtuaku. Kami tenggelam dalam benak masing-masing. Seperti kami harus bersiap pada kemungkinan terburuk. Karena disini, ketika seseorang terkena pelet, jika terus menolak maka akan ada salahsatu yang harus mati.
Esok pagi bersambut dengan segar, embun masih meninggalkan jejak semalam.
Nia tak diijinkan keluar, ia diharuskan untuk beristirahat. Pun demikian denganku yang tak berangkat ke ladang hari ini. Aku berangkat mencari orang seperti apa si Arya hingga membuat adikku menyebutnya ketika ia baru sadar dari pingsan kemarin.
Mungkin terdengar berlebihan, tapi disini salah sedikit bisa berujung fatal. Apalagi jika menyangkut seorang gadis. Semuanya akan mengambil sikap lebih sensitif.
Motor bebek kupinjam dari tetangga sebelah, jalanan yang menurun & menanjak segera kulalui. Hanya membutuhkan waktu kurang dari setengah jam untuk sampai ke tempat dimana Nia belajar menjahit. Selama diperjalanan telah kusiapkan berbagai alasan agar aku dapat mengorek informasi tanpa harus terang-terangan.
"punten!"
("Permisi!")
Sapaku saat tiba di pintu masuk.
"eh iya mangga a kalebet, gaduh peryogi naon?"
("Eh iya silahkan a masuk, ada perlu apa?")
Seorang perempuan muda menyambutku dengan hangat.
"Kieu neng, ieu abi rakana Nia, bade ngawartosan Nia nuju teu damang. Janten teu tiasa lebet heula tilu dinten mah. Eta moal nanaon kitu nya? Bilih pan ai nu namina diajar mah teu kenging kaliwat."
("Gini neng, saya kakaknya Nia, mau ngabarin Nia lagi sakit. Jadi gak bisa masuk selama 3 hari. Itu gak apa-apa? Kuatirnya proses belajarnya terganggu.")
Aku memberi alasan selogis mungkin.
"Oh iya kang, gak apa-apa. Nanti Nia biar nyusul aja apa yang ketinggalan."
Jawabnya membuatku tenang.
"Boleh saya liat tempat belajar Nia neng?"
Kupancing dia, semoga orang yang kucari barangkali ada disana.
"Mangga kang."
Sambutnya dengan berdiri & menuntunku ke salahsatu ruangan.
Meski tak besar, namun kuhitung ada selusin mesin jahit yang berbaris rapi. Beberapa perempuan yang sebaya dengan Nia juga tengah menjahit sesuatu.
Yang berbeda, ada seorang pria berumur 40an. Ia seperti menyiapkan beberapa lembar kain untuk dikemudian ditaruh didepan mesin jahit para perempuan itu.
"Mang Arya! Kadieu sakedap!"
("Mang Arya! Kesini sebentar!")
Panggilnya.
Deg!
Saat gadis itu menyebut nama Arya, jantungku seolah berhenti sejenak. Pria tua ini yang kemungkinan menaruh ajian pengasihan pada Nia.
"kulan non, gaduh pangersa ka amang?"
("Iya non? Ada perlu apa sama amang?")
Jawabnya saat mendekat.
Wajahnya lusuh, kulitnya coklat kemerahan, jelas sebelumnya ia adalah seorang kuli bangunan terlihat dari badannya yang cukup kekar. Tanganku terkepal kuat, orang ini yang nanti harus kulawan.
"punten pangdamelkeun kopi kangge si akang ieu."
("Tolong buatin kopi buat si akang ini.")
Tunjuknya padaku.
"eh teu sawios neng, da abi mah moal lami. Nuhun ah sateuacana."
("Eh gak usah repot neng, saya gak bakal lama. Terimakasih.")
Aku menolak karena emosiku mulai memuncak.
"mangga atuh kang, abi idin bade ka pengkeur."
("Yasudah kalo begitu, saya permisi mau ke belakang.")
Pria itu pamit meninggalkan kami.
"abi ge bade mios heula atuh neng nya. Punten yeu ngawageul."
("Saya juga mau pulang dulu neng ya. Maaf menganggu.")
Aku pamit agar amarahku tak terlihat.
"mangga kang, yap ku neng dianteur dugi payun."
("Silahkanh kang, saya antar sampe depan.")
Tawarnya ramah.
Di perjalanan pulang, dadaku sesak. Tak kusangka pria yang menaruh rasa pada adikku adalah seorang yang umurnya terpaut jauh. Kesalku membuncah, meski masih kemungkinan ia menaruh pelet belum terbukti, namun dendamku seolah menggunung.
Setelah kukembalikan motor, ku bergegas mencari orangtuaku untuk menceritakan apa yang kutemui tanpa menengok adikku di rumah.
Kutemui bapak & kuceritakan ciri-ciri pria yang bernama Arya itu.
"alas! Teang Ki Lawuh ka gunung wetan ayeuna. Bawa baju si Nia sapotong, tanyakeun ka manehna nyaan apa henteuna. Geuwat!"
("Sial! Cari Ki Lawuh di gunung timur sekarang. Bawa baju si Nia sepotong, tanyakan padanya benar atau tidaknya. Cepat!")
Perintah bapakku dengan tegas.
Jujur saja, bapak jarang sekali marah. Ia cenderung tenang & diam dalam berbagai situasi. Bahkan aku pernah pulang dalam keadaan mabuk pun, ia hanya menggeleng kepala & menasehati. Terakhir kali ia marah karena Nia yang tiba-tiba pulang larut dari sekolahnya karena persiapan ujian akhir dulu.
"Muhun pak, ujang pamit."
("Baik pak, saya pamit.")
Kusalami tangannya yang berkeringat & gemetar menahan amarah.
Aku pulang mengambil kerudung Nia, beras satu genggam & garam satu bungkus kecil untuk kuberikan nanti pada ki Lawuh. Sementara Nia yang melihat gelagatku hanya menatap keheranan.
"A mau kemana? Itu kerudung Nia mau diapain?"
Ia bertanya heran.
"Kamu istirahat aja dulu. Nanti aa ceritain pulangnya."
Jawabku yang lalu bergegas pergi tanpa permisi.
Gunung Wetan terletak di belakang bukit kampung ini. Jaraknya bisa memakan waktu 2 jam dengan jika cepat. & Aku setengah berlari menuju ke arah sana.
Beberapa kali sendalku selip, hingga kubuang karena kesal. Semak belukar, tanah merah, bebatuan tak kuhiraukan. Semakin dekat aku dengan tempat ki Lawuh semakin kesetanan aku berlari.
Sesampainya disana, Ki Lawuh sedang bertelanjang dada & memakai celana pangsi hitam sedang memberi makan ayamnya di depan gubuk yang ia tinggali.
Saat kedatanganku, ia menengok sebentar lalu berujar.
"kadieu asup."
("Kesini masuk.")
Ia berjalan masuk ke gubuk tanpa menunggu jawabanku.
Gubuknya masih sama dari yang terakhir kuingat. Dindingnya masih memakai bilik anyaman bambu, pun lantainya demikian.
Kuserahkan apa yang kubawa padanya. Ia menyentuh kerudung Nia, & menutup mata.
"nyaan jang, si neng aya nu mirunan. Kadieu milu aki ka tukang. Aya nu kudu dibawa."
("Benar nak. Si neng ada yang menaruh jampi. Kesini ikut aki ke belakang. Ada yang harus dibawa pulang.")
Ia berdiri & menuju ke arah belakang rumahnya. Akupun mengekor.
Disana terdapat sebuah taman kecil dengan rumput pendek yang subur. Lalu ada sebuah batu besar yang dikelilingi pohon beringin yang rimbun. Samar diantara rimbunnya akar beringin yang menggantung, kulihat ada seseorang yang sedang duduk diatas batu sana. Ia memakai baju putih bersila menutup mata. Lama kulihat ternyata ia seorang wanita.
Ki Lawuh berjalan belok kiri saat keluar dari pintu belakang. Ia menuntunku ke arah kumpulan pohon bambu.
Saat dekat baru kusadar dibawahnya tumbuh mekar bunga melati. Kontras dengan rimbunnya bambu, bunga itu seolah memberi kesan aneh namun menenangkan.
"Cokot Kembangna hiji. Bawa balik, bikeun ka si neng ngke peuting. Tingali bakal kumaha."
("Cabut bunganya satu. Bawa pulang, kasih ke si neng nanti malam. Liat apa yang terjadi.")
Ia menunjuk, aku menurut.
Aku meninggalkan gubuk Ki Lawuh segera. Kini aku berjalan, tak lagi berlari. Setidaknya apa yang kudapat sedikit meringankanku. Apa yang akan terjadi nanti saat melati kuserahkan pada Nia, aku siap.
Matahari tenggelam, corak jingga terlukis di angkasa lepas. Kumpulan burung beriringan terbang pulang kembali ke sarang. Beberapa orang yang menggunakan topi caping terlihat berjalan dengan letih. Bau lumpur & keringat bercampur sepanjang jalan. Malam sebentar lagi menyambut.
Kebersihan diriku di belakang, lalu pergi ke surau & kembali selepas isya. Saat aku bertemu bapak di surau dalam perjalanan pulang kuceritakan apa yang kudapat di gunung wetan.
"Indung maneh bejaan. Urang pepeta."
("Ibumu beritahu. Kita siap-siap.")
Ujarnya saat aku selesai bercerita.
Sesampainya di rumah aku berbisik pada ibu mengenai apa yang harus kami lakukan. Wajah ibu yang khawatir jelas terlukis di matanya. Aku menguatkan diri & masuk ke kamar Nia, sementara mereka menunggu di ruang tengah.
"Nia suka melati gak?"
Tanyaku saat melihatnya meringkuk diatas ranjang.
"Ngga a. Emang kenapa? Baunya aneh soalnya."
Jawabnya sambil membalikkan badan mengarah padaku.
"Ish, coba liat dulu melati yang aa bawa."
Aku memberikan melati yang kudapat dari Ki Lawuh.
Saat ia pegang, melati itu terbakar tiba-tiba. Api entah darimana muncul lalu membakar melati itu seperti kertas. Kemudian debunya bertebaran di kamar Nia.
Aku yang tengah keheranan & memperhatikan debu dari melati yang terbakar itu, dikejutkan dengan suara teriakan Nia.
"AAAA!! Kang Arya jangan pergi!! Jangan tinggalin Nia!! Kang Arya!!"
Nia tak sadarkan diri, matanya tertutup rapat, namun ia meracau dengan keras. Ibu & bapak yang sedari tadi diluar kini masuk ikut menenangkan Nia yang tubuhnya meronta.
Suara Nia yang meronta berteriak membuat tetangga kami berdatangan, ustadz Imran, pak Asep mengetuk pintu yang disambut oleh ibu.
"kunaon bu?"
("Kenapa bu?")
Ustadz Imran yang tiba segera menanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"si neng a, ieu duka kunaon."
("Si neng a, ini gak tau kenapa.")
Ibuku menjawab sebisanya.
"Wios abi hoyong ningal?"
("Gak apa-apa saya liat?")
Ustadz Imran meminta izin & dibalas anggukan oleh ibu.
Aku berbalik untuk keluar kamar & memberikan ruang untuk ustadz Imran. Belum sepenuhnya kaki keluar dari kamar Nia, tiba-tiba sebuah tongkat bambu menghalangi pintu masuk.
Aku maupun ustadz Imran sama-sama terhalang.
Tongkat bambu itu dipegang oleh seorang wanita yang matanya ditutup kain putih lusuh. Ia memaki baju pangsi serba hitam. Dengan leher yang sedikit terbuka. Kain dengan warna yang sama juga melilit bagian dada dari wanita itu.
"Naon masksadna ieu?!"
("Apa maksudnya ini?!")
Ustadz Imran seperti tak terima.
Wanita itu mengarahkan ujung tongkatnya ke dada ustadz Imran dan mendorongnya menjauh hingga punggungnya hampir terbentur jendela samping pintu masuk rumah.
Merasa diperlakukan seperti itu, ustadz Imran tak tinggal diam. Ia menepis tongkat bambu wanita itu dan mendekat dengan kuda-kuda.
Namun Ki Lawuh menepuk pundaknya yang membuat ia terhenti seketika.
"Hampura si Yuyun. Eta murid aki. Ulah dihatean."
("Maafkan si Yuyun. Itu murid aki. Jangan diambil hati.")
Ki Lawuh menenangkan ustadz Imran dari belakang.
Sadar siapa Ki Lawuh, ustadz Imran melepaskan kembali kuda-kudanya.
"Omat ki. Kula teu satuju ku naon aki lampah."
("Ingat ki, saya tak setuju atas apa yang aki lakukan.")
Ustadz Imran berlalu pergi keluar dari rumah.
Ki Lawuh hanya tersenyum simpul mendengar perkataan ustadz Imran. Ia lalu berbalik pada kerumunan yang berkumpul di depan rumah kami.
"Euweuh nanaon, jug baralik."
("Tidak ada apa-apa, pulanglah.")
Ucap Ki Lawuh yang dituruti oleh kerumunan tetangga yang penasaran.
Wanita yang disebut Yuyun oleh Ki Lawuh hanya berdiri diam. Ia mendekat. Suara Nia yang masih berteriak meronta memanggil Arya, membuatnya tertegun.
"Yun, ieu puputon."
("Yun, ini puputon.")
Mata ki Lawuh menatap tajam ke arah kamar Nia.
Wanita itu mengangguk, lalu pergi. Sebelum kakinya melewati pintu rumah.
"HAHAHA!! LAWUH!! SIA HAYOH NGAGANGGU PAGAWEAN AING!!"
("LAWUH! KAU MASIH SAJA MENGANGGU PEKERJAANKU!")
Suara Nia tiba-tiba berubah menjadi lebih serak. Ia seperti suara nenek-nenek. Namun matanya masih tertutup, tubuhnya masih terbaring, hanya wajahnya yang menujukkan amarah dan senyum yang menyeringai.
Aku adalah anak tertua dari 2 bersaudara. Adikku seorang perempuan yang terpaut 5 tahun. Sementara bapak & ibuku keduanya adalah seorang petani sayur & padi yang mempunyai lahan sendiri. Meski kecil, kehidupan kami yang sederhana cukup untuk membiayai hidup.
Aku hanya tamatan SMP, yang punya hobi bermain musik kasundaanyang difasilitasi oleh lurah setempat. Selain kesibukanku membantu orangtua, aku kadang ikut menjadi panitia apabila ada acara hajatan/syukuran. Mungkin orang kota menyebutnya sebagai staf EO.
Nasibnya tak jauh berbeda dengan adikku, tahun ini ia selesai menamatkan pendidikan SMP. Disini seorang gadis yang telah lulus hanya ada 2 pilihan:
Membantu orangtua, atau
Menikah.
Sementara adikku yang pola pikirnya lebih modern, ia memutuskan untuk mengambil kursus menjahit selama 6 bulan. Ia berencana membuka usaha jasa jahit dari keahliannya nanti.
"Kalo nanti neng nikah, senggaknya gak bergantung sama pendapatan suami neng nanti. Perempuan jaman sekarang harus lebih mandiri, a."
Alasannya saat kutanya mengapa ia memilih kursus jahit.
"nya sok weh, ngan aa mah ngaomatan. Heug ngke na maneh jadi jalma ciga kumaha, nu ngaranna jadi awewe wajibna ngurus rumah tangga, taat ka salaki. Ulah nyaliwang tinu jalur."
("iya silahkan, hanya saja aa mengingatkan. Nantinya kamu jadi orang seperti apa, perempuan wajibnya mengurus rumah tangga, taat pada suami. Jangan melenceng dari jalur.")
Kuberikan ia nasihat saat ia meminta izin di suatu malam.
Jawaban yang diberikan bapak atau ibu juga hampir sama. Mereka mendukung keputusannya, selama itu baik, takkan jadi soal.
Meski hidungnya tak mancung, adikku masih terlihat cantik. Kulitnya kuning langsat dengan lesung pipi yang hanya ada di sebelah kiri. Gigi taring kanannya gingsul satu yang akan terlihat jika ia tersenyum, walau setipis mungkin senyumannya.
Satu bulan berlalu.
Kesibukan kami berjalan seperti biasa. Hanya Nia yang terlihat berbeda. Ia akan berangkat pada jam 9 pagi & pulang pada jam 3 sore. Setiap kali ia pulang, ia selalu membawa hasil belajarnya.
Kadang sapu tangan, kadang celana pendek, kadang juga lap, bahkan ia membuatkan ibu sebuah rok dari bahan yang cukup bagus.
Sementara aku kebagian celana pendek yang kiri & kanannya tidak simetris.
Ia bahagia dengan apa yang ia jalani.
Hingga kejadian yang merenggut kebahagiaan kami merusak semuanya hingga kini.
Sore itu ia pulang dengan wajah yang terlihat sedikit bingung.
"Neng?"
Sapaku saat melihatnya berjalan melewati kebun. Kebetulan disana hanya ada aku, sementara ibu & ayah sedang di sawah.
"Eh a? Sendirian?"
Ia membalas sambil mencium tanganku.
"Kamu sakit?"
Aku khawatir karena wajahnya sedikit pucat.
"Ah, nggak. Ini neng kok kayak yang bingung ya? Neng kayak ngerasa ada yang ketinggalan tapi neng gak tahu apa."
Jelasnya.
"Coba cek dulu barang-barang di tas. Ada semua gak?"
Kucoba memberi solusi.
"Iya atuh, sebentar."
Ia membuka tas slempangnya, mengecek satu persatu barang yang ia bawa.
Bibirnya bergerak mengumamkan sesuatu.
"Ada semua?"
Tanyaku.
"Ada, a. Tapi hati neng kok aneh ya?"
Ia balik bertanya.
"Yaudah, sini ikut dulu ke kebun sama aa. A beres-beres dulu sebentar abis itu kita pulang, kita solat bareng biar tenang."
Ajakku yang ia sambut dengan anggukan.
Di pondokan saung ia terduduk, melamun. Tampaknya pikirannya masih menerawang mencari apa yang mengganjal.
Aku tak menunda waktu lebih lama, kurapikan peralatan berkebun ke dalam karung & mengajaknya untuk segera pulang.
"Yok!"
Ajakku padanya.
"Iya hayu."
Ia membalas dengan cepat.
Di perjalanan pulang, kami lalui dengan diam. Ia masih menerawang, sementara aku bergelut dengan lelah.
Angin sepoi-sepoi mengiring langkah kami, suara gesekan dahan membuat suasananya damai.
Tapi sayang tidak setelahnya.
Kami tiba di rumah, suara adzan berkumandang dari surau yang tak jauh. Ku ajak sekalian ia untuk bersembahyang disana.
Setelah selesai, kutunggui ia agar pulang bersama.
Baru saja ia keluar, saat mata kami bertemu, ia pingsan tiba-tiba.
"Neng!"
Aku berteriak seraya berusaha meraih tubuhnya yang jatuh tersungkur.
Sebelum menyentuh lantai, aku berhasil memegang pundaknya.
"Kenapa yan?"
Tanya ustadz imran saat melihatku mendekap Nia.
"Waduh kurang tau tadz, ini dibawa ke samping aja dulu ya."
Aku membopongnya ke samping surau.
Kang Asep yang melihat kami segera berlari ke arah rumahnya & kembali membawa minyak kayu putih.
Kuoleskan ke bawah hidung Nia, berharap ia sadar dengan cepat. Ustadz Imran menyiapkan teh manis hangat yang dibawa oleh istrinya.
Aku masih menepuk pipi Nia pelan sambil memanggil namanya berkali-kali.
"Nia bangun hey, Nia ayo bangun!"
Beruntung, selang beberapa menit ia membuka mata.
"Aa? Kang Arya mana?"
Entah siapa Arya yang ia maksud.
"Udah kita pulang dulu aja."
Ujarku saat berusaha membantunya berdiri.
Kami diantar pak ustadz hingga depan rumah. Ayah & ibu yang baru tiba melihat kami sedikit panik. Setelah ku jelaskan, Nia diantar ibu masuk kamar agar segera beristirahat.
Aku, ibu, bapk, berkumpul di ruang tengah membahas apa yang terjadi pada Nia barusan.
"mih, apal jeung nu ngarana Arya teu? Bieu si Nia karak hudang ujug-ujug nanyakeun."
("Bu, kenal sama yang namanya Arya gak? Tadi si Nia baru bangun langsung nanyain.")
Aku membuka obrolan.
"har? Eta geura ujang nu sok dicaritaan ku si neng mah. Emih teu apal. Ai bapa kumaha?"
("Lah? Itu kan kamu yang sering diceritain sama si neng. Ibu gak tau. Kalo bapak gimana?")
Ibu juga kebingungan & melemparkannya pada ayah.
"Euweuh nu ngarana Arya di kampung ieu mah. Apa boa baturan si neng di kursus kitu? Cig isukan maneh teang kaditu, jang."
("Gak ada yang namanya Arya di kampung ini. Apa jangan-jangan teman si neng di kursusan? Coba kamu cari besok kesana.")
Tampaknya bapak bisa memberikan solusi.
"heug bae, ngke ujang neang kaditu. Lain dipelet kitu nya?"
("Iya, nanti saya cari kesana. Bukan dipelet gitu ya?")
Jujur saja aku sedikit curiga.
Kecurigaanku disambut dengan wajah yang menegang dari kedua orangtuaku. Kami tenggelam dalam benak masing-masing. Seperti kami harus bersiap pada kemungkinan terburuk. Karena disini, ketika seseorang terkena pelet, jika terus menolak maka akan ada salahsatu yang harus mati.
Esok pagi bersambut dengan segar, embun masih meninggalkan jejak semalam.
Nia tak diijinkan keluar, ia diharuskan untuk beristirahat. Pun demikian denganku yang tak berangkat ke ladang hari ini. Aku berangkat mencari orang seperti apa si Arya hingga membuat adikku menyebutnya ketika ia baru sadar dari pingsan kemarin.
Mungkin terdengar berlebihan, tapi disini salah sedikit bisa berujung fatal. Apalagi jika menyangkut seorang gadis. Semuanya akan mengambil sikap lebih sensitif.
Motor bebek kupinjam dari tetangga sebelah, jalanan yang menurun & menanjak segera kulalui. Hanya membutuhkan waktu kurang dari setengah jam untuk sampai ke tempat dimana Nia belajar menjahit. Selama diperjalanan telah kusiapkan berbagai alasan agar aku dapat mengorek informasi tanpa harus terang-terangan.
"punten!"
("Permisi!")
Sapaku saat tiba di pintu masuk.
"eh iya mangga a kalebet, gaduh peryogi naon?"
("Eh iya silahkan a masuk, ada perlu apa?")
Seorang perempuan muda menyambutku dengan hangat.
"Kieu neng, ieu abi rakana Nia, bade ngawartosan Nia nuju teu damang. Janten teu tiasa lebet heula tilu dinten mah. Eta moal nanaon kitu nya? Bilih pan ai nu namina diajar mah teu kenging kaliwat."
("Gini neng, saya kakaknya Nia, mau ngabarin Nia lagi sakit. Jadi gak bisa masuk selama 3 hari. Itu gak apa-apa? Kuatirnya proses belajarnya terganggu.")
Aku memberi alasan selogis mungkin.
"Oh iya kang, gak apa-apa. Nanti Nia biar nyusul aja apa yang ketinggalan."
Jawabnya membuatku tenang.
"Boleh saya liat tempat belajar Nia neng?"
Kupancing dia, semoga orang yang kucari barangkali ada disana.
"Mangga kang."
Sambutnya dengan berdiri & menuntunku ke salahsatu ruangan.
Meski tak besar, namun kuhitung ada selusin mesin jahit yang berbaris rapi. Beberapa perempuan yang sebaya dengan Nia juga tengah menjahit sesuatu.
Yang berbeda, ada seorang pria berumur 40an. Ia seperti menyiapkan beberapa lembar kain untuk dikemudian ditaruh didepan mesin jahit para perempuan itu.
"Mang Arya! Kadieu sakedap!"
("Mang Arya! Kesini sebentar!")
Panggilnya.
Deg!
Saat gadis itu menyebut nama Arya, jantungku seolah berhenti sejenak. Pria tua ini yang kemungkinan menaruh ajian pengasihan pada Nia.
"kulan non, gaduh pangersa ka amang?"
("Iya non? Ada perlu apa sama amang?")
Jawabnya saat mendekat.
Wajahnya lusuh, kulitnya coklat kemerahan, jelas sebelumnya ia adalah seorang kuli bangunan terlihat dari badannya yang cukup kekar. Tanganku terkepal kuat, orang ini yang nanti harus kulawan.
"punten pangdamelkeun kopi kangge si akang ieu."
("Tolong buatin kopi buat si akang ini.")
Tunjuknya padaku.
"eh teu sawios neng, da abi mah moal lami. Nuhun ah sateuacana."
("Eh gak usah repot neng, saya gak bakal lama. Terimakasih.")
Aku menolak karena emosiku mulai memuncak.
"mangga atuh kang, abi idin bade ka pengkeur."
("Yasudah kalo begitu, saya permisi mau ke belakang.")
Pria itu pamit meninggalkan kami.
"abi ge bade mios heula atuh neng nya. Punten yeu ngawageul."
("Saya juga mau pulang dulu neng ya. Maaf menganggu.")
Aku pamit agar amarahku tak terlihat.
"mangga kang, yap ku neng dianteur dugi payun."
("Silahkanh kang, saya antar sampe depan.")
Tawarnya ramah.
Di perjalanan pulang, dadaku sesak. Tak kusangka pria yang menaruh rasa pada adikku adalah seorang yang umurnya terpaut jauh. Kesalku membuncah, meski masih kemungkinan ia menaruh pelet belum terbukti, namun dendamku seolah menggunung.
Setelah kukembalikan motor, ku bergegas mencari orangtuaku untuk menceritakan apa yang kutemui tanpa menengok adikku di rumah.
Kutemui bapak & kuceritakan ciri-ciri pria yang bernama Arya itu.
"alas! Teang Ki Lawuh ka gunung wetan ayeuna. Bawa baju si Nia sapotong, tanyakeun ka manehna nyaan apa henteuna. Geuwat!"
("Sial! Cari Ki Lawuh di gunung timur sekarang. Bawa baju si Nia sepotong, tanyakan padanya benar atau tidaknya. Cepat!")
Perintah bapakku dengan tegas.
Jujur saja, bapak jarang sekali marah. Ia cenderung tenang & diam dalam berbagai situasi. Bahkan aku pernah pulang dalam keadaan mabuk pun, ia hanya menggeleng kepala & menasehati. Terakhir kali ia marah karena Nia yang tiba-tiba pulang larut dari sekolahnya karena persiapan ujian akhir dulu.
"Muhun pak, ujang pamit."
("Baik pak, saya pamit.")
Kusalami tangannya yang berkeringat & gemetar menahan amarah.
Aku pulang mengambil kerudung Nia, beras satu genggam & garam satu bungkus kecil untuk kuberikan nanti pada ki Lawuh. Sementara Nia yang melihat gelagatku hanya menatap keheranan.
"A mau kemana? Itu kerudung Nia mau diapain?"
Ia bertanya heran.
"Kamu istirahat aja dulu. Nanti aa ceritain pulangnya."
Jawabku yang lalu bergegas pergi tanpa permisi.
Gunung Wetan terletak di belakang bukit kampung ini. Jaraknya bisa memakan waktu 2 jam dengan jika cepat. & Aku setengah berlari menuju ke arah sana.
Beberapa kali sendalku selip, hingga kubuang karena kesal. Semak belukar, tanah merah, bebatuan tak kuhiraukan. Semakin dekat aku dengan tempat ki Lawuh semakin kesetanan aku berlari.
Sesampainya disana, Ki Lawuh sedang bertelanjang dada & memakai celana pangsi hitam sedang memberi makan ayamnya di depan gubuk yang ia tinggali.
Saat kedatanganku, ia menengok sebentar lalu berujar.
"kadieu asup."
("Kesini masuk.")
Ia berjalan masuk ke gubuk tanpa menunggu jawabanku.
Gubuknya masih sama dari yang terakhir kuingat. Dindingnya masih memakai bilik anyaman bambu, pun lantainya demikian.
Kuserahkan apa yang kubawa padanya. Ia menyentuh kerudung Nia, & menutup mata.
"nyaan jang, si neng aya nu mirunan. Kadieu milu aki ka tukang. Aya nu kudu dibawa."
("Benar nak. Si neng ada yang menaruh jampi. Kesini ikut aki ke belakang. Ada yang harus dibawa pulang.")
Ia berdiri & menuju ke arah belakang rumahnya. Akupun mengekor.
Disana terdapat sebuah taman kecil dengan rumput pendek yang subur. Lalu ada sebuah batu besar yang dikelilingi pohon beringin yang rimbun. Samar diantara rimbunnya akar beringin yang menggantung, kulihat ada seseorang yang sedang duduk diatas batu sana. Ia memakai baju putih bersila menutup mata. Lama kulihat ternyata ia seorang wanita.
Ki Lawuh berjalan belok kiri saat keluar dari pintu belakang. Ia menuntunku ke arah kumpulan pohon bambu.
Saat dekat baru kusadar dibawahnya tumbuh mekar bunga melati. Kontras dengan rimbunnya bambu, bunga itu seolah memberi kesan aneh namun menenangkan.
"Cokot Kembangna hiji. Bawa balik, bikeun ka si neng ngke peuting. Tingali bakal kumaha."
("Cabut bunganya satu. Bawa pulang, kasih ke si neng nanti malam. Liat apa yang terjadi.")
Ia menunjuk, aku menurut.
Aku meninggalkan gubuk Ki Lawuh segera. Kini aku berjalan, tak lagi berlari. Setidaknya apa yang kudapat sedikit meringankanku. Apa yang akan terjadi nanti saat melati kuserahkan pada Nia, aku siap.
Matahari tenggelam, corak jingga terlukis di angkasa lepas. Kumpulan burung beriringan terbang pulang kembali ke sarang. Beberapa orang yang menggunakan topi caping terlihat berjalan dengan letih. Bau lumpur & keringat bercampur sepanjang jalan. Malam sebentar lagi menyambut.
Kebersihan diriku di belakang, lalu pergi ke surau & kembali selepas isya. Saat aku bertemu bapak di surau dalam perjalanan pulang kuceritakan apa yang kudapat di gunung wetan.
"Indung maneh bejaan. Urang pepeta."
("Ibumu beritahu. Kita siap-siap.")
Ujarnya saat aku selesai bercerita.
Sesampainya di rumah aku berbisik pada ibu mengenai apa yang harus kami lakukan. Wajah ibu yang khawatir jelas terlukis di matanya. Aku menguatkan diri & masuk ke kamar Nia, sementara mereka menunggu di ruang tengah.
"Nia suka melati gak?"
Tanyaku saat melihatnya meringkuk diatas ranjang.
"Ngga a. Emang kenapa? Baunya aneh soalnya."
Jawabnya sambil membalikkan badan mengarah padaku.
"Ish, coba liat dulu melati yang aa bawa."
Aku memberikan melati yang kudapat dari Ki Lawuh.
Saat ia pegang, melati itu terbakar tiba-tiba. Api entah darimana muncul lalu membakar melati itu seperti kertas. Kemudian debunya bertebaran di kamar Nia.
Aku yang tengah keheranan & memperhatikan debu dari melati yang terbakar itu, dikejutkan dengan suara teriakan Nia.
"AAAA!! Kang Arya jangan pergi!! Jangan tinggalin Nia!! Kang Arya!!"
Nia tak sadarkan diri, matanya tertutup rapat, namun ia meracau dengan keras. Ibu & bapak yang sedari tadi diluar kini masuk ikut menenangkan Nia yang tubuhnya meronta.
Suara Nia yang meronta berteriak membuat tetangga kami berdatangan, ustadz Imran, pak Asep mengetuk pintu yang disambut oleh ibu.
"kunaon bu?"
("Kenapa bu?")
Ustadz Imran yang tiba segera menanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"si neng a, ieu duka kunaon."
("Si neng a, ini gak tau kenapa.")
Ibuku menjawab sebisanya.
"Wios abi hoyong ningal?"
("Gak apa-apa saya liat?")
Ustadz Imran meminta izin & dibalas anggukan oleh ibu.
Aku berbalik untuk keluar kamar & memberikan ruang untuk ustadz Imran. Belum sepenuhnya kaki keluar dari kamar Nia, tiba-tiba sebuah tongkat bambu menghalangi pintu masuk.
Aku maupun ustadz Imran sama-sama terhalang.
Tongkat bambu itu dipegang oleh seorang wanita yang matanya ditutup kain putih lusuh. Ia memaki baju pangsi serba hitam. Dengan leher yang sedikit terbuka. Kain dengan warna yang sama juga melilit bagian dada dari wanita itu.
"Naon masksadna ieu?!"
("Apa maksudnya ini?!")
Ustadz Imran seperti tak terima.
Wanita itu mengarahkan ujung tongkatnya ke dada ustadz Imran dan mendorongnya menjauh hingga punggungnya hampir terbentur jendela samping pintu masuk rumah.
Merasa diperlakukan seperti itu, ustadz Imran tak tinggal diam. Ia menepis tongkat bambu wanita itu dan mendekat dengan kuda-kuda.
Namun Ki Lawuh menepuk pundaknya yang membuat ia terhenti seketika.
"Hampura si Yuyun. Eta murid aki. Ulah dihatean."
("Maafkan si Yuyun. Itu murid aki. Jangan diambil hati.")
Ki Lawuh menenangkan ustadz Imran dari belakang.
Sadar siapa Ki Lawuh, ustadz Imran melepaskan kembali kuda-kudanya.
"Omat ki. Kula teu satuju ku naon aki lampah."
("Ingat ki, saya tak setuju atas apa yang aki lakukan.")
Ustadz Imran berlalu pergi keluar dari rumah.
Ki Lawuh hanya tersenyum simpul mendengar perkataan ustadz Imran. Ia lalu berbalik pada kerumunan yang berkumpul di depan rumah kami.
"Euweuh nanaon, jug baralik."
("Tidak ada apa-apa, pulanglah.")
Ucap Ki Lawuh yang dituruti oleh kerumunan tetangga yang penasaran.
Wanita yang disebut Yuyun oleh Ki Lawuh hanya berdiri diam. Ia mendekat. Suara Nia yang masih berteriak meronta memanggil Arya, membuatnya tertegun.
"Yun, ieu puputon."
("Yun, ini puputon.")
Mata ki Lawuh menatap tajam ke arah kamar Nia.
Wanita itu mengangguk, lalu pergi. Sebelum kakinya melewati pintu rumah.
"HAHAHA!! LAWUH!! SIA HAYOH NGAGANGGU PAGAWEAN AING!!"
("LAWUH! KAU MASIH SAJA MENGANGGU PEKERJAANKU!")
Suara Nia tiba-tiba berubah menjadi lebih serak. Ia seperti suara nenek-nenek. Namun matanya masih tertutup, tubuhnya masih terbaring, hanya wajahnya yang menujukkan amarah dan senyum yang menyeringai.
Diubah oleh re.dear 15-09-2020 19:23
japraha47 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
Kutip
Balas
Tutup