- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#586
Jilid 17 [Part 401]
Spoiler for :
Dan tiba-tiba saja terdengar hantu itu tertawa berderai mengerikan, seolah-olah daun pohon nyamplung yang lebat itu ikut bergetar karenanya. Meskipun suara tertawa itu jauh berbeda dari suara tertawa Pasingsingan maupun Lawaijo, yang didalamnya dilontarkan pula aji GelapNgampar, namun suara tertawa Bugel Kaliki itu benar-benar menyakitkan hati.
Karena itulah maka Jaka Tingkir menjadi bertambah marah.
Suara tertawa itu terhenti. Tetapi hanya sesaat, kemudian kembali suara itu menggetarkan udara malam. Bahkan kemudian Bugel Kaliki berkata,
Karang Tunggal menjadi bertambah marah. Namun Bugel Kaliki benar-benar tak dapat disentuhnya. Orang yang bongkok itu masih mampu meloncat-loncat dengan lincahnya menghindari setiap serangan yang datang ke tubuhnya. Bahkan sekali-kali iapun mampu menyerang dengan garangnya. Untunglah bahwa hantu itu benar-benar tak mampu melawan. Karena ia masih menunggu setiap kesempatan yang terbuka. Dan kesempatan itu semakin lama semakin terbuka lebar baginya. Kedua anak muda itu berada diambang bahaya.
Tetapi dengan tak mereka sangka, dari tanggul parit yang menyilang jalan kecil itu muncullah dua sosok bayangan yang terbang ke arah mereka, sehingga mereka yang bertempur itu menjadi terkejut. Bugel Kaliki segera melontarkan diri ke samping, mencari kesempatan untuk melihat siapakah yang datang itu. Karang Tunggal dan Arya Salakapun tidak mengejarnya. Mereka juga ingin mengetahui siapakah yang datang langsung kepada mereka.
Melihat gerakan mereka berdua, Bugel Kaliki terkejut bukan main. Mereka pasti orang-orang sakti apalagi ketika keduanya telah semakin dekat. Maka Bugel Kaliki menjadi pasti siapakah yang datang itu. Namun kesempatan untuk menghindarkan diri sudah terlalu sempit sebab orang yang datang itu pasti akan mengejarnya, sampai diujung langitpun.
Karena itu maka tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menghadapi mereka, bertakar jiwa. Tetapi untuk melawan orang-orang itu Bugel Kaliki tidak akan dapat sambil tertawa. Apalagi kalau kedua orang itu bergabung dengan kedua anak muda yang sedang dihadapinya. Meskipun demikian ia pasti akan berusaha menyelamatkan diri, apapun caranya. Sesaat kemudian kedua orang itu telah berada tidak lebih lima depa didepan mereka.
Mahesa Jenar berdiri tegak dengan wajah tegang, sedang Kebo Kanigara tiba-tiba melihat seseorang berbaring ditanah.
Kebo Kanigarapun segera melangkah mendekati tubuh yang lemah itu. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau melepaskan diri dari pandangan mata hantu bongkok itu.
Kebo Kanigara kemudian berjongkok disamping Sawung Sariti sambil berbisik,
Tiba-tiba wajah Sawung Sariti menjadi cerah. Meskipun demikian perasaan sakit didalam dadanya terasa menyengat-nyengat. Ia mencoba untuk bergerak, tetapi betapa sakitnya sehingga ia mengerang perlahan-lahan.
Sedemikain marahnya Sawung Sariti sehingga karena dorongan perasaanya itu ia telah mengangkat kepalanya. Tetapi sekali lagi ia mengeluh. dadanya benar-benar terasa pecah. Karena itu iapun kembali terkulai di tanah.
Hampir saja mulut Karang Tunggal terbuka membantah kata-kata Bugel Kaliki itu. Tetapi niatnya cepat-cepat diurungkan. Pamannya, Kebo Kanigara, yang juga bernama Putut Karang Jati, ada di tempat itu. Karena itu segera ia memperbaiki sikapnya. Ia kini tidak pula bertolak pinggang dengan muka menengadah. Meskipun demikian, ia tetap bersiaga, kalau-kalau Bugel Kaliki tiba-tiba melompatinya. Kyai Sangkelat masih ditangannya, dan aji Lembu Sekilan pun masih diterapkannya.
Meskipun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut pula melihat keris di tangan Karang Tunggal, juga kehadirannya yang tiba-tiba di tempat itu, namun mereka belum sempat menanyakannya, sebab Bugel Kaliki pun telah bersiap pula. Bahkan terdengar hantu itu berkata,
Berbareng dengan itu ia pun segera meloncat dengan kecepatan yang mengagumkan. Namun Mahesa Jenar pun telah bersiaga. Karena itu, dengan kecepatan yang sama, ia berhasil menghindarkan dirinya.
Sesaat kemudian, berkobarlah perkelahian yang sengit dibawah pohon nyamplung itu. Kini yang bertempur adalah Mahesa Jenar melawan Bugel Kaliki. Dua tokoh sakti dari golongan yang berlawanan. Masing-masing bertekad untuk saling membinasakan.
Singa lena, silih ungkih.
Kebo Kanigara masih berjongkok di samping Sawung Sariti. Tetapi matanya tidak terlepas dari setiap gerak dari mereka yang sedang bertempur mati-matian itu.
Arya Salaka dan Karang Tunggal pun bergeser menjauh pula. Dengan penuh kekaguman mereka mengikuti setiap pergeseran yang terjadi. Desak-mendesak. Sesekali mereka melihat Mahesa Jenar terdorong surut, namun sesaat kemudian mereka melihat Bugel Kaliki meluncur beberapa langkah mundur.
Demikianlah pertempuran di bawah pohon nyamplung itu berlangsung dengan dahsyatnya. Si Bongkok itu bergerak meloncat-loncat seperti tupai, sedang Mahesa Jenar mampu menyerangnya seperti burung Rajawali di udara. Menyambar-nyambar dengan garangnya. Kemudian mematuk dengan paruhnya yang tajam runcing.
Dan apabila Bugel Kaliki itu seakan-akan merubah dirinya segarang harimau belang, Mahesa Jenar pun melawannya setangguh seekor banteng ketaton. Sehingga dengan demikian, akhirnya terasa oleh Bugel Kaliki bahwa Mahesa Jenar benar-benar mempunyai kesaktian yang luar biasa. Tahulah sekarang hantu bongkok itu, karena Sima Rodra tak mampu melawannya.
Karena itu, maka untuk keselamatan diri, akhirnya diurainya senjata andalannya, yang seakan-akan tak pernah disentuhnya. Sehelai kain empat persegi yang berwarna merah, dan disalah satu sudutnya diikatkan sepotong timah baja kuning.
Pusaka peninggalan nenek moyangnya.
Dengan memegang sudut silangnya, timah baja kuning itu diputarnya seperti baling-baling. Mahesa Jenar melihat senjata itu dengan hati yang tegang. Ia tahu benar apa yang sedang dihadapi. Karena itu, maka ia tidak sempat untuk memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Sawung Sariti, Karebet, Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Meskipun lamat-lamat ia masih mendengar suara Sawung Sariti yang kadang-kadang mengeluh pendek menahan sakitnya. Namun bagi Mahesa Jenar keluhan itu justru merupakan minyak yang menyiram nyala kemarahannya terhadap sisa-sisa golongan hitam.
Malam berjalan dengan lancarnya. Bintang-bintang semakin lama semakin condong kegaris cakrawala di ujung barat. Namun pertempuran di bawah pohon nyamplung itu masih berlangsung terus. Bahkan kini perkelahian itu bertambah-tambah dahsyatnya.
Bugel Kaliki dengan senjatanya yang aneh itu menyambar-nyambar seperti burung alap-alap. Namun Mahesa Jenar bukanlah sekedar burung merpati yang ketakutan. Bugel Kaliki ternyata bukan saja wajahnya yang mengerikan, namun tandangnya sesuai benar dengan namanya dan wajahnya yang menakutkan itu. Timah baja kuning diujung kain perseginya menyambar-nyambar seperti lebah. Suaranya berdesing-desing dan melibat lawannya dari segenap arah.
Karena itulah maka Jaka Tingkir menjadi bertambah marah.
Quote:
“Tutup mulutmu hantu bongkok. Jangan terlalu sombong. Kalau kau tertawa sekali lagi, aku sobek mulutmu dengan Kiyai Sangkelat ini.”
Suara tertawa itu terhenti. Tetapi hanya sesaat, kemudian kembali suara itu menggetarkan udara malam. Bahkan kemudian Bugel Kaliki berkata,
Quote:
” kalau kau mampu berbuat begitu anak yang perkasa, pastilah sudah kau lakukan.”
Karang Tunggal menjadi bertambah marah. Namun Bugel Kaliki benar-benar tak dapat disentuhnya. Orang yang bongkok itu masih mampu meloncat-loncat dengan lincahnya menghindari setiap serangan yang datang ke tubuhnya. Bahkan sekali-kali iapun mampu menyerang dengan garangnya. Untunglah bahwa hantu itu benar-benar tak mampu melawan. Karena ia masih menunggu setiap kesempatan yang terbuka. Dan kesempatan itu semakin lama semakin terbuka lebar baginya. Kedua anak muda itu berada diambang bahaya.
Tetapi dengan tak mereka sangka, dari tanggul parit yang menyilang jalan kecil itu muncullah dua sosok bayangan yang terbang ke arah mereka, sehingga mereka yang bertempur itu menjadi terkejut. Bugel Kaliki segera melontarkan diri ke samping, mencari kesempatan untuk melihat siapakah yang datang itu. Karang Tunggal dan Arya Salakapun tidak mengejarnya. Mereka juga ingin mengetahui siapakah yang datang langsung kepada mereka.
Melihat gerakan mereka berdua, Bugel Kaliki terkejut bukan main. Mereka pasti orang-orang sakti apalagi ketika keduanya telah semakin dekat. Maka Bugel Kaliki menjadi pasti siapakah yang datang itu. Namun kesempatan untuk menghindarkan diri sudah terlalu sempit sebab orang yang datang itu pasti akan mengejarnya, sampai diujung langitpun.
Karena itu maka tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menghadapi mereka, bertakar jiwa. Tetapi untuk melawan orang-orang itu Bugel Kaliki tidak akan dapat sambil tertawa. Apalagi kalau kedua orang itu bergabung dengan kedua anak muda yang sedang dihadapinya. Meskipun demikian ia pasti akan berusaha menyelamatkan diri, apapun caranya. Sesaat kemudian kedua orang itu telah berada tidak lebih lima depa didepan mereka.
Mahesa Jenar berdiri tegak dengan wajah tegang, sedang Kebo Kanigara tiba-tiba melihat seseorang berbaring ditanah.
Quote:
“Siapakah dia,” gumamnya
“Adi Sawung Sariti,” sahut Arya Salaka. namun matanya masih tertanam dimata Bugel Kaliki.
“Sawung Sariti,” ulang Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar bersamaan.
“Adi Sawung Sariti,” sahut Arya Salaka. namun matanya masih tertanam dimata Bugel Kaliki.
“Sawung Sariti,” ulang Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar bersamaan.
Kebo Kanigarapun segera melangkah mendekati tubuh yang lemah itu. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau melepaskan diri dari pandangan mata hantu bongkok itu.
Kebo Kanigara kemudian berjongkok disamping Sawung Sariti sambil berbisik,
Quote:
“Sawung Sariti”
Sawung Sariti membuka matanya. Ketika dilihatnya Kebo Kanigara, bertanyalah ia dengan suara lemah,
“siapakah kau?.”
“Kebo Kanigara,” jawabnya.
“Oh, bukankah paman sahabat paman Mahesa Jenar?,” desis Sawung Sariti lirih.
“Ya,” jawab Kebo Kanigara pendek.
Sawung Sariti membuka matanya. Ketika dilihatnya Kebo Kanigara, bertanyalah ia dengan suara lemah,
“siapakah kau?.”
“Kebo Kanigara,” jawabnya.
“Oh, bukankah paman sahabat paman Mahesa Jenar?,” desis Sawung Sariti lirih.
“Ya,” jawab Kebo Kanigara pendek.
Tiba-tiba wajah Sawung Sariti menjadi cerah. Meskipun demikian perasaan sakit didalam dadanya terasa menyengat-nyengat. Ia mencoba untuk bergerak, tetapi betapa sakitnya sehingga ia mengerang perlahan-lahan.
Quote:
“Jangan bergerak, tubuhmu masih lemah sekali,” kata Kebo Kanigara.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Bugel Kaliki tertawa. Katanya,
“Nah kalian sudah datang. Marilah kita selesaikan persoalan kita. terserah kepada kalian, apakah mau bertempur secara jantan atau mengeroyokku sebagai betina pengecut, berempat sekaligus.”
Mendengar suara Bugel Kaliki itu Sawung Sariti menggeliat,
“setan,” desisnya marah,
“ia telah melukai dadaku.”
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Bugel Kaliki tertawa. Katanya,
“Nah kalian sudah datang. Marilah kita selesaikan persoalan kita. terserah kepada kalian, apakah mau bertempur secara jantan atau mengeroyokku sebagai betina pengecut, berempat sekaligus.”
Mendengar suara Bugel Kaliki itu Sawung Sariti menggeliat,
“setan,” desisnya marah,
“ia telah melukai dadaku.”
Sedemikain marahnya Sawung Sariti sehingga karena dorongan perasaanya itu ia telah mengangkat kepalanya. Tetapi sekali lagi ia mengeluh. dadanya benar-benar terasa pecah. Karena itu iapun kembali terkulai di tanah.
Quote:
“Jangan bergerak,” kembali Kebo Kanigara menasihati.
Perlahan-lahan tubuh yang lemah itu dibawanya menepi.
“Iblis itu,” desis Sawung Sariti
“Biarkan dia, pamanmu Mahesa Jenar akan mengurusinya.”
“Apakah paman Mahesa Jenar disini ?,” bertanya Sawung Sariti.
“Ya,” jawab Kebo Kanigara
“Sokurlah,” gumam Sawung Sariti, “mudah-mudahan nasibnya akan sama dengan nasib Sima Rodra Tua.”
TERDENGAR Bugel Kaliki berkata pula,
“Ayolah. Aku sudah siap. Bukankah kalian marah karena anak tikus itu aku lukai?”
“Diamlah!” potong Mahesa Jenar,
“Jangan mencoba mengungkit harga diri kami untuk menyelamatkan diri. Kau ingin bertempur seorang dengan seorang. Berkatalah demikian.Kau tak usah mempergunakan kata-kata sindiran yang menjemukan itu.”
Bugel Kaliki mengerutkan keningnya.
“Gila!” geramnya.
“Kau terlalu sombong. Jangan mengukur dirimu dengan terbunuhnya Sima Rodra yang garang itu.”
“Tak pernah aku berbuat demikian. Tetapi kau pun jangan berbangga karena kau berhasil melukai anak-anak,” bantah Mahesa Jenar.
“Mereka yang mulai. Bukan aku,” jawab Bugel Kaliki.
Perlahan-lahan tubuh yang lemah itu dibawanya menepi.
“Iblis itu,” desis Sawung Sariti
“Biarkan dia, pamanmu Mahesa Jenar akan mengurusinya.”
“Apakah paman Mahesa Jenar disini ?,” bertanya Sawung Sariti.
“Ya,” jawab Kebo Kanigara
“Sokurlah,” gumam Sawung Sariti, “mudah-mudahan nasibnya akan sama dengan nasib Sima Rodra Tua.”
TERDENGAR Bugel Kaliki berkata pula,
“Ayolah. Aku sudah siap. Bukankah kalian marah karena anak tikus itu aku lukai?”
“Diamlah!” potong Mahesa Jenar,
“Jangan mencoba mengungkit harga diri kami untuk menyelamatkan diri. Kau ingin bertempur seorang dengan seorang. Berkatalah demikian.Kau tak usah mempergunakan kata-kata sindiran yang menjemukan itu.”
Bugel Kaliki mengerutkan keningnya.
“Gila!” geramnya.
“Kau terlalu sombong. Jangan mengukur dirimu dengan terbunuhnya Sima Rodra yang garang itu.”
“Tak pernah aku berbuat demikian. Tetapi kau pun jangan berbangga karena kau berhasil melukai anak-anak,” bantah Mahesa Jenar.
“Mereka yang mulai. Bukan aku,” jawab Bugel Kaliki.
Hampir saja mulut Karang Tunggal terbuka membantah kata-kata Bugel Kaliki itu. Tetapi niatnya cepat-cepat diurungkan. Pamannya, Kebo Kanigara, yang juga bernama Putut Karang Jati, ada di tempat itu. Karena itu segera ia memperbaiki sikapnya. Ia kini tidak pula bertolak pinggang dengan muka menengadah. Meskipun demikian, ia tetap bersiaga, kalau-kalau Bugel Kaliki tiba-tiba melompatinya. Kyai Sangkelat masih ditangannya, dan aji Lembu Sekilan pun masih diterapkannya.
Meskipun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut pula melihat keris di tangan Karang Tunggal, juga kehadirannya yang tiba-tiba di tempat itu, namun mereka belum sempat menanyakannya, sebab Bugel Kaliki pun telah bersiap pula. Bahkan terdengar hantu itu berkata,
Quote:
“Mahesa Jenar, kau benar-benar lantip. Kau tidak mau aku berkata melingkar-lingkar. Baiklah, ayo siapa dahulu yang akan aku binasakan. Kau atau sahabatmu itu. Atau anak-anak tikus yang tak tahu diri itu.”
Mahesa Jenar melangkah setapak maju. Jawabnya,
“Akulah yang sudah berdiri paling dekat.”
“Bagus!” teriak Bugel Kaliki.
Mahesa Jenar melangkah setapak maju. Jawabnya,
“Akulah yang sudah berdiri paling dekat.”
“Bagus!” teriak Bugel Kaliki.
Berbareng dengan itu ia pun segera meloncat dengan kecepatan yang mengagumkan. Namun Mahesa Jenar pun telah bersiaga. Karena itu, dengan kecepatan yang sama, ia berhasil menghindarkan dirinya.
Sesaat kemudian, berkobarlah perkelahian yang sengit dibawah pohon nyamplung itu. Kini yang bertempur adalah Mahesa Jenar melawan Bugel Kaliki. Dua tokoh sakti dari golongan yang berlawanan. Masing-masing bertekad untuk saling membinasakan.
Singa lena, silih ungkih.
Kebo Kanigara masih berjongkok di samping Sawung Sariti. Tetapi matanya tidak terlepas dari setiap gerak dari mereka yang sedang bertempur mati-matian itu.
Arya Salaka dan Karang Tunggal pun bergeser menjauh pula. Dengan penuh kekaguman mereka mengikuti setiap pergeseran yang terjadi. Desak-mendesak. Sesekali mereka melihat Mahesa Jenar terdorong surut, namun sesaat kemudian mereka melihat Bugel Kaliki meluncur beberapa langkah mundur.
Demikianlah pertempuran di bawah pohon nyamplung itu berlangsung dengan dahsyatnya. Si Bongkok itu bergerak meloncat-loncat seperti tupai, sedang Mahesa Jenar mampu menyerangnya seperti burung Rajawali di udara. Menyambar-nyambar dengan garangnya. Kemudian mematuk dengan paruhnya yang tajam runcing.
Dan apabila Bugel Kaliki itu seakan-akan merubah dirinya segarang harimau belang, Mahesa Jenar pun melawannya setangguh seekor banteng ketaton. Sehingga dengan demikian, akhirnya terasa oleh Bugel Kaliki bahwa Mahesa Jenar benar-benar mempunyai kesaktian yang luar biasa. Tahulah sekarang hantu bongkok itu, karena Sima Rodra tak mampu melawannya.
Karena itu, maka untuk keselamatan diri, akhirnya diurainya senjata andalannya, yang seakan-akan tak pernah disentuhnya. Sehelai kain empat persegi yang berwarna merah, dan disalah satu sudutnya diikatkan sepotong timah baja kuning.
Pusaka peninggalan nenek moyangnya.
Dengan memegang sudut silangnya, timah baja kuning itu diputarnya seperti baling-baling. Mahesa Jenar melihat senjata itu dengan hati yang tegang. Ia tahu benar apa yang sedang dihadapi. Karena itu, maka ia tidak sempat untuk memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Sawung Sariti, Karebet, Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Meskipun lamat-lamat ia masih mendengar suara Sawung Sariti yang kadang-kadang mengeluh pendek menahan sakitnya. Namun bagi Mahesa Jenar keluhan itu justru merupakan minyak yang menyiram nyala kemarahannya terhadap sisa-sisa golongan hitam.
Malam berjalan dengan lancarnya. Bintang-bintang semakin lama semakin condong kegaris cakrawala di ujung barat. Namun pertempuran di bawah pohon nyamplung itu masih berlangsung terus. Bahkan kini perkelahian itu bertambah-tambah dahsyatnya.
Bugel Kaliki dengan senjatanya yang aneh itu menyambar-nyambar seperti burung alap-alap. Namun Mahesa Jenar bukanlah sekedar burung merpati yang ketakutan. Bugel Kaliki ternyata bukan saja wajahnya yang mengerikan, namun tandangnya sesuai benar dengan namanya dan wajahnya yang menakutkan itu. Timah baja kuning diujung kain perseginya menyambar-nyambar seperti lebah. Suaranya berdesing-desing dan melibat lawannya dari segenap arah.
uken276 dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas