- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#583
Jilid 17 [Part 400]
Spoiler for :
Anak itu adalah sisiran kulit dagingnya. Sehingga bencana yang menimpanya berarti bencana pula baginya. Apalagi tangan yang telah melukai adiknya itu adalah tangan orang dari gerombolan hitam.
Karena itu, maka tiba-tiba terdengar giginya gemeretak. Ia telah melupakan hidup matinya sendiri. Yang terukir di hatinya adalah, menuntut balas.
Demikianlah Arya Salaka berteriak nyaring sambil meloncat dengan garangnya. Pisau belatinya yang berwarna kuning berkilau itu menyambar dengan cepatnya, seperti tatit di udara. Tetapi yang diserangnya adalah Bugel Kaliki. Dengan cekatan seperti burung sikatan yang menghindar. Suara tertawanya masih menggetar memenuhi udara.
Namun suara itu kemudian berhenti ketika datang serangan
Karang Tunggal yang tidak pula dapat menahan kemarahannya. Kyai Sangkelat yang terkenal itu berputar-putar cepatnya mematuk tubuh Bugel Kaliki. Melawan kelincahan Karang Tunggal, Bugel Kaliki terpaksa memusatkan perhatiannya.
Seandainya anak itu tidak memegang Kiai Sangkelat, Karang Tunggal pun bukan lawan yang perlu mendapat banyak perlawanan darinya. Tetapi kini ia terpaksa berhati-hati menghadapinya. Sentuhan keris itu di ujung rambutnya, akan berarti maut baginya.
Maka terulang kembalilah pertempuran yang sengit di bawah pohon nyamplung itu. Meskipun lawan Bugel Kaliki telah berkurang seorang, namun kini Karang Tunggal dan Arya Salaka mengamuk sejadi-jadinya. Mereka telah tenggelam dalam kemarahan yang tak terkendali. Cedera yang menimpa Sawung Sariti adalah kesalahan mereka bersama, sehingga dengan demikian, mereka yang masih sempat mengadakan perlawanan, harus memperbaiki kesalahan mereka. Membalas kekalahan itu, atau hancur lumat bersama-sama. Dengan demikian, pekerjaan Bugel Kaliki itu pun tidak berkurang, namun ia telah melihat titik kemenangan di pihaknya.
Yang segera harus dilakukan adalah membinasakan Arya Salaka. Setelah itu maka ia akan berhadapan dengan anak yang keras hati yang bernama Karebet itu. Ia ingin menangkapnya hidup-hidup, memeras keterangan darinya, di mana ia mendapatkan Kyai Sangkelat dan di manakah ia mendapat ilmu Lembu Sekilan.
Baru apabila keterangan-keterangan itu telah didapatnya, akan dibunuhnya anak itu dengan caranya. Tetapi membinasakan Arya Salaka pun tidak semudah yang diduga. Anak itu benar-benar menyimpan angin di dalam dadanya. Meskipun Arya telah bertempur mati-matian, namun nafasnya masih mengalir wajar. Apalagi Mas Karebet.
SAWUNG SARITI agaknya benar-benar terluka parah. Ia sudah tidak mampu lagi menggeser dirinya dari tempatnya, meskipun ia berusaha. Beberapa kali ia mencoba bangun namun sekian kali pula dengan lemahnya ia terkulai ditanah.
Pada saat yang demikian itulah Galunggung melihat Pamingit terbentang jauh di kaki langit. Ia sudah tidak mampu lagi berlari sekencang-kencangnya. Nafasnya telah memburu secepat kakinya bergerak. Bahkan sekali-kali langkahnya telah gontai, dan malahan beberapa kali ia jatuh terjerembab. Dengan susah payah ia bangkit, dan mencoba untuk berlari kembali.
Ketika matanya menjadi semakin kabur, hatinya menjadi cemas. Namun tiba-tiba saja tidak jauh lagi di hadapannya dilihatnya orang berjalan. Hatinya melonjak kegirangan. Setidak-tidaknya orang itu dapat dimintanya untuk menyambung kabar yang dibawanya, menyampaikan secepat-cepatnya ke Pamingit. Tetapi tiba-tiba hatinya berdebar cepat, pikirnya, “Bagaimanakah kalau orang itu kawan Bugel Kaliki yang mencegat perjalananku?”
Galunggung memperlambat langkahnya. Nafasnya saling berkejaran dari lubang hidungnya. Meskipun demikian, ia mencoba untuk menentramkan diri, mengatur aliran nafasnya itu. Kalau orang hitam, maka sudah pasti ia tidak akan menyerahkan nyawanya begitu saja, meskipun tenaganya benar-benar sudah hampir habis dan nafasnya sudah hampir putus.
“Tiga orang,” desisnya di antara deru nafasnya.
Tetapi tiba-tiba ia berteriak sekeras-kerasnya karena kegembiraan yang meledak. Orang itu, ketika menjadi semakin dekat padanya, menjadi semakin jelas pula,
Orang yang ditemuinya itu tertegun sejenak. Semula mereka pun bersiaga, siapakah orang yang berlari-lari ke arah mereka itu. Tetapi kemudian mereka pun mengenalnya. Galunggung.
Galunggung sudah tidak dapat menjawab lagi. Dengan lemahnya ia jatuh terbaring. Pingsan.
Ketiga orang itu tertegun sejenak. Namun kemudian terdengarlah salah seorang berkata,
Diberinya orang itu ancar-ancar. Kemana ia harus pergi untuk sampai dibawah pohon nyamplung. Begitu ia selesai berbicara, meloncatlah yang dua orang berlari sekencang-kencangnya seperti angin. Bahkan di dalam kegelapan malam, keduanya tampak seperti sebuah bayangan yang melayang dan hilang di balik tabir kegelapan sebelum orang yang melihatnya sempat berkedip.
Kedua orang itu adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Ketika Mahesa Jenar kepanasan oleh udara malam, dan matanya masih belum mau dipejamkan, bangkitlah ia dan berjalan keluar. Sesaat kemudian Kebo Kanigara menyusulnya pula. Dalam kejemuan mereka, mereka berjalan saja menyusur jalan-jalan desa. Akhirnya Mahesa Jenar ingat kepada muridnya. Dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang. Kalau Arya pergi bersama Sawung Sariti, tersimpan prasangka yang kurang menyenangkan. Karena itu tiba-tiba saja timbullah keinginannya untuk berjalan-jalan ke Sarapadan. Kebo Kanigara pun sependapat. Ketika ditemuinya seorang Pamingit yang sedang duduk-duduk di regol pagar halaman, diajaknya serta sebagai penunjuk jalan. Tetapi orang itu terpaksa kembali, membawa Galunggung di pundaknya.
Di bawah pohon nyamplung itu, perkelahian antara Bugel Kaliki melawan Mas Karebet dan Arya Salaka masih berjalan dengan serunya. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengalahkan lawannya. Namun bagaimanapun juga, akhirnya kedua anak muda yang perkasa itu harus mengakui di dalam hatinya, bahwa hantu bongkok itu benar-benar berbahaya. Meskipun umurnya sudah berlipat-lipat dari umur mereka, namun tenaganya masih juga luar biasa. Bahkan semakin lama terasa, bahwa tenaga Bugel Kaliki seperti bertambah-tambah. Karena beberapa lama kemudian Bugel Kaliki yang sudah matang itu melihat dengan jelas, di manakah kelemahan-kelemahan dan kekuatan kedua lawannya yang pantas menjadi cucunya itu.
Karena itu, maka tiba-tiba terdengar giginya gemeretak. Ia telah melupakan hidup matinya sendiri. Yang terukir di hatinya adalah, menuntut balas.
Demikianlah Arya Salaka berteriak nyaring sambil meloncat dengan garangnya. Pisau belatinya yang berwarna kuning berkilau itu menyambar dengan cepatnya, seperti tatit di udara. Tetapi yang diserangnya adalah Bugel Kaliki. Dengan cekatan seperti burung sikatan yang menghindar. Suara tertawanya masih menggetar memenuhi udara.
Namun suara itu kemudian berhenti ketika datang serangan
Karang Tunggal yang tidak pula dapat menahan kemarahannya. Kyai Sangkelat yang terkenal itu berputar-putar cepatnya mematuk tubuh Bugel Kaliki. Melawan kelincahan Karang Tunggal, Bugel Kaliki terpaksa memusatkan perhatiannya.
Seandainya anak itu tidak memegang Kiai Sangkelat, Karang Tunggal pun bukan lawan yang perlu mendapat banyak perlawanan darinya. Tetapi kini ia terpaksa berhati-hati menghadapinya. Sentuhan keris itu di ujung rambutnya, akan berarti maut baginya.
Maka terulang kembalilah pertempuran yang sengit di bawah pohon nyamplung itu. Meskipun lawan Bugel Kaliki telah berkurang seorang, namun kini Karang Tunggal dan Arya Salaka mengamuk sejadi-jadinya. Mereka telah tenggelam dalam kemarahan yang tak terkendali. Cedera yang menimpa Sawung Sariti adalah kesalahan mereka bersama, sehingga dengan demikian, mereka yang masih sempat mengadakan perlawanan, harus memperbaiki kesalahan mereka. Membalas kekalahan itu, atau hancur lumat bersama-sama. Dengan demikian, pekerjaan Bugel Kaliki itu pun tidak berkurang, namun ia telah melihat titik kemenangan di pihaknya.
Yang segera harus dilakukan adalah membinasakan Arya Salaka. Setelah itu maka ia akan berhadapan dengan anak yang keras hati yang bernama Karebet itu. Ia ingin menangkapnya hidup-hidup, memeras keterangan darinya, di mana ia mendapatkan Kyai Sangkelat dan di manakah ia mendapat ilmu Lembu Sekilan.
Baru apabila keterangan-keterangan itu telah didapatnya, akan dibunuhnya anak itu dengan caranya. Tetapi membinasakan Arya Salaka pun tidak semudah yang diduga. Anak itu benar-benar menyimpan angin di dalam dadanya. Meskipun Arya telah bertempur mati-matian, namun nafasnya masih mengalir wajar. Apalagi Mas Karebet.
SAWUNG SARITI agaknya benar-benar terluka parah. Ia sudah tidak mampu lagi menggeser dirinya dari tempatnya, meskipun ia berusaha. Beberapa kali ia mencoba bangun namun sekian kali pula dengan lemahnya ia terkulai ditanah.
Pada saat yang demikian itulah Galunggung melihat Pamingit terbentang jauh di kaki langit. Ia sudah tidak mampu lagi berlari sekencang-kencangnya. Nafasnya telah memburu secepat kakinya bergerak. Bahkan sekali-kali langkahnya telah gontai, dan malahan beberapa kali ia jatuh terjerembab. Dengan susah payah ia bangkit, dan mencoba untuk berlari kembali.
Ketika matanya menjadi semakin kabur, hatinya menjadi cemas. Namun tiba-tiba saja tidak jauh lagi di hadapannya dilihatnya orang berjalan. Hatinya melonjak kegirangan. Setidak-tidaknya orang itu dapat dimintanya untuk menyambung kabar yang dibawanya, menyampaikan secepat-cepatnya ke Pamingit. Tetapi tiba-tiba hatinya berdebar cepat, pikirnya, “Bagaimanakah kalau orang itu kawan Bugel Kaliki yang mencegat perjalananku?”
Galunggung memperlambat langkahnya. Nafasnya saling berkejaran dari lubang hidungnya. Meskipun demikian, ia mencoba untuk menentramkan diri, mengatur aliran nafasnya itu. Kalau orang hitam, maka sudah pasti ia tidak akan menyerahkan nyawanya begitu saja, meskipun tenaganya benar-benar sudah hampir habis dan nafasnya sudah hampir putus.
“Tiga orang,” desisnya di antara deru nafasnya.
Tetapi tiba-tiba ia berteriak sekeras-kerasnya karena kegembiraan yang meledak. Orang itu, ketika menjadi semakin dekat padanya, menjadi semakin jelas pula,
Quote:
“Tuan…” suaranya terputus oleh nafasnya yang berdesak-desak.
Orang yang ditemuinya itu tertegun sejenak. Semula mereka pun bersiaga, siapakah orang yang berlari-lari ke arah mereka itu. Tetapi kemudian mereka pun mengenalnya. Galunggung.
Quote:
“Kenapa kau Galunggung?” tanya salah seorang.
Galunggung menghentikan langkahnya. Namun tenaganya benar-benar telah habis. Karena itu dengan lemahnya ia terjatuh di tanah.
“Tuan…” desisnya. Nafasnya masih saja berkejaran.
“Bugel Kaliki.”
“Bugel Kaliki?”sahut mereka bertiga hampir bersamaan.
“Di mana dan mengapa?” Pada saat itu Galunggung sudah menjadi semakin lemah. Jawabannya pun sangat lemah pula, hampir tidak terdengar.
“Di bawah pohon nyamplung.”
“Pohon nyamplung?” ulang salah seorang dari mereka bertiga.
Galunggung menghentikan langkahnya. Namun tenaganya benar-benar telah habis. Karena itu dengan lemahnya ia terjatuh di tanah.
“Tuan…” desisnya. Nafasnya masih saja berkejaran.
“Bugel Kaliki.”
“Bugel Kaliki?”sahut mereka bertiga hampir bersamaan.
“Di mana dan mengapa?” Pada saat itu Galunggung sudah menjadi semakin lemah. Jawabannya pun sangat lemah pula, hampir tidak terdengar.
“Di bawah pohon nyamplung.”
“Pohon nyamplung?” ulang salah seorang dari mereka bertiga.
Galunggung sudah tidak dapat menjawab lagi. Dengan lemahnya ia jatuh terbaring. Pingsan.
Ketiga orang itu tertegun sejenak. Namun kemudian terdengarlah salah seorang berkata,
Quote:
“Di manakah pohon nyamplung itu?”
“Di tepi jalan ke Sarapadan Kulon,” jawab yang lain.
“Bawalah Galunggung ke Pamingit, kami akan menyusul Arya,” kata yang lain lagi.
“Berilah aku ancar-ancar.”
“Di tepi jalan ke Sarapadan Kulon,” jawab yang lain.
“Bawalah Galunggung ke Pamingit, kami akan menyusul Arya,” kata yang lain lagi.
“Berilah aku ancar-ancar.”
Diberinya orang itu ancar-ancar. Kemana ia harus pergi untuk sampai dibawah pohon nyamplung. Begitu ia selesai berbicara, meloncatlah yang dua orang berlari sekencang-kencangnya seperti angin. Bahkan di dalam kegelapan malam, keduanya tampak seperti sebuah bayangan yang melayang dan hilang di balik tabir kegelapan sebelum orang yang melihatnya sempat berkedip.
Kedua orang itu adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Ketika Mahesa Jenar kepanasan oleh udara malam, dan matanya masih belum mau dipejamkan, bangkitlah ia dan berjalan keluar. Sesaat kemudian Kebo Kanigara menyusulnya pula. Dalam kejemuan mereka, mereka berjalan saja menyusur jalan-jalan desa. Akhirnya Mahesa Jenar ingat kepada muridnya. Dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang. Kalau Arya pergi bersama Sawung Sariti, tersimpan prasangka yang kurang menyenangkan. Karena itu tiba-tiba saja timbullah keinginannya untuk berjalan-jalan ke Sarapadan. Kebo Kanigara pun sependapat. Ketika ditemuinya seorang Pamingit yang sedang duduk-duduk di regol pagar halaman, diajaknya serta sebagai penunjuk jalan. Tetapi orang itu terpaksa kembali, membawa Galunggung di pundaknya.
Di bawah pohon nyamplung itu, perkelahian antara Bugel Kaliki melawan Mas Karebet dan Arya Salaka masih berjalan dengan serunya. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengalahkan lawannya. Namun bagaimanapun juga, akhirnya kedua anak muda yang perkasa itu harus mengakui di dalam hatinya, bahwa hantu bongkok itu benar-benar berbahaya. Meskipun umurnya sudah berlipat-lipat dari umur mereka, namun tenaganya masih juga luar biasa. Bahkan semakin lama terasa, bahwa tenaga Bugel Kaliki seperti bertambah-tambah. Karena beberapa lama kemudian Bugel Kaliki yang sudah matang itu melihat dengan jelas, di manakah kelemahan-kelemahan dan kekuatan kedua lawannya yang pantas menjadi cucunya itu.
Ket.
POHON NYAMPLUNG, biasanya ditemui ditepi sungai, dahannya menjorok kesungai seperti mau nyemplung. Buahnya mirip seperti kemiri. Di Yogya masih banyak di temui.
POHON NYAMPLUNG, biasanya ditemui ditepi sungai, dahannya menjorok kesungai seperti mau nyemplung. Buahnya mirip seperti kemiri. Di Yogya masih banyak di temui.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas