- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#582
Jilid 17 [Part 399]
Spoiler for :
Quote:
"SETAN!” Hantu itu bergumam.
Namun hatinya berdebar-debar cepat sekali. Apalagi ketika ia melihat keris itu tidak bercahaya berkilat-kilat seperti pernah didengarnya. Dan pernah juga ia mendengar ceritera, bahwa Sangkelat yang demikian itu menyatakan bahwa jiwa keris itu telah luluh dalam jiwa pemegangnya. Apalagi ketika ia mendengar bahwa Karang Tunggal membenarkan dugaannya bahwa yang dipegang itu adalah Kyai Sangkelat.
Arya dan Sawung Sariti pun berdebar-debar pula melihat keris itu. Meskipun mereka belum pernah mengenalnya, namun terasa bahwa wesi aji yang bercahaya buram itu mempunyai pembawaan yang luar biasa.
Apalagi ketika mereka mendengar Bugel Kaliki menyebut nama keris itu, “Sangkelat.”
Dan nama keris itu pernah didengarnya. Bagi Arya Salaka, keris yang bernama Kyai Sangkelat itu telah memperingatkan kepadanya bahwa ia pun membawa pusaka yang dapat diandalkan pula, meskipun belum setingkat Kyai Sangkelat. Karena itu, dengan gerak diluar sadarnya, pedang di tangannya berpindah ke tangan kirinya, dan tiba-tiba tangan kanannya telah memegang sebuah pisau belati panjang yang bercahaya kekuning-kuningan.
Melihat pisau itu, Bugel Kaliki terkejut untuk kedua kalinya. Sekali lagi mulutnya berdesis,
Quote:
“Kyai Suluh.”
“Ya,” sahut Arya pendek.
“Hem!” geram Bugel Kaliki,
“Dari mana kalian mendapat benda-benda aneh itu? Sangkelat dan Suluh. Bukankah Kyai Suluh itu pusaka Pasingsingan?”
“Ya,” sahut Arya.
“Persetan dengan pusaka-pusaka itu!”
“Ya,” sahut Arya pendek.
“Hem!” geram Bugel Kaliki,
“Dari mana kalian mendapat benda-benda aneh itu? Sangkelat dan Suluh. Bukankah Kyai Suluh itu pusaka Pasingsingan?”
“Ya,” sahut Arya.
“Persetan dengan pusaka-pusaka itu!”
Tiba-tiba ia berteriak. Suara menggema berulang-ulang. Namun terasa dalam nada suaranya bahwa kedua pusaka itu benar-benar mempengaruhi perasaannya. Melihat kedua kawan senasibnya memegang pusaka-pusaka yang dapat mempengaruhi lawannya, Sawung Sariti berbesar hati pula. Dengan demikian perlawanan mereka pasti akan bertambah panjang. Mudah-mudahan ada sesuatu yang dapat merubah keseimbangan pertempuran itu.
Maka karena itulah ia berkata dengan suara nyaring,
Quote:
“Kakang, berikan pedang itu kepadaku apabila tak kau pergunakan lagi.”
Arya memandangi adiknya. Ia telah memegang pusaka yang cukup menggetarkan. Karena itu, dengan tidak berkeberatan diserahkannya pedang di tangan kirinya kepada adiknya. Sambil menerima pedang itu Sawung Sariti bergumam,
Quote:
“Akan aku coba ilmu pedang rangkap yang pernah diturunkan Eyang Sora Dipayana kepadaku.”
“Pusaka-pusaka itu tak ada artinya bagi kalian. Bahkan aku akan berterima kasih kepada kalian, karena setelah kalian mati, maka pusaka-pusaka itu akan menjadi milikku,” kata Bugel Kaliki pula.
Karang Tunggal yang mempunyai sifat-sifat aneh itu tertawa.
Jawabnya,
“Jangan berpura-pura. Suaramu gemetar.”
“Pusaka-pusaka itu tak ada artinya bagi kalian. Bahkan aku akan berterima kasih kepada kalian, karena setelah kalian mati, maka pusaka-pusaka itu akan menjadi milikku,” kata Bugel Kaliki pula.
Karang Tunggal yang mempunyai sifat-sifat aneh itu tertawa.
Jawabnya,
“Jangan berpura-pura. Suaramu gemetar.”
Bukan main marahnya hantu dari Gunung Cerme itu mendengar hinaan yang keluar dari mulut anak-anak. Karena itu ia pun segera meloncat, membuka serangan yang dahsyat. Namun anak-anak muda pun telah bersiaga. Segera anak-anak itu bergerak pula memberikan perlawanan yang gigih. Kyai Sangkelat, Kyai Suluh, dan permainan pedang rangkap Sawung Sariti, yang mengagumkan. Kedua pedang itu tampaknya seperti saling membelit dan mematuk-matuk berganti-ganti.
Tetapi di antara mereka bertiga Bugel Kaliki seakan-akan dapat bergerak-gerak seperti asap yang tak dapat mereka sentuh dengan senjata-senjata mereka. Namun meskipun demikian, Bugel Kaliki pun tak dapat berbuat sekehendak hatinya atas ketiga lawan-lawannya yang masih sangat muda itu. Meskipun ketiga-tiganya bukan berasal dari satu perguruan, namun mereka dapat bekerja bersama dalam susunan yang rapi. Mereka mencoba sekuat-kuat mungkin saling mengisi dan saling memperkuat serangan diantara mereka. Apalagi dengan kedua pusaka yang menggetarkan hati di tangan Karebet dan Arya Salaka, maka Bugel Kaliki benar-benar harus berhati-hati.
Meskipun demikian ia adalah tokoh tua yang sudah kenyang makan pahit getir perkelahian, pertempuran dan segala macam kekerasan. Bugel Kaliki dapat membunuh lawannya dan kemudian duduk di atas bangkai itu sambil makan seenaknya.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Dalam keadaan demikian, seakan-akan kedua belah pihak berada dalam keseimbangan. Karang Tunggal ternyata berada dua tiga lapis diatas kemampuan Arya Salaka. Aji Lembu Sekilannya, meskipun tidak dapat melawan kekuatan tenaga Bugel Kaliki sepenuhnya, namun ia dapat menghindarkan dirinya dari sentuhan-sentuhan kecil hantu dari Gunung Cerme itu. Dengan demikian, maka seakan-akan Karebetlah yang memimpin kedua kawannya yang lain. Ialah yang mengambil sikap dan menentukan permainan yang mengagumkan, namun telah membuat Bugel Kaliki bertambah marah.
SETELAH mereka bertempur beberapa saat, tampaklah tenaga Sawung Sariti mulai susut. Selain kelelahan yang telah menjalari seluruh tubuhnya, darah juga mengalir dari lukanya. Meskipun tidak terlalu deras, namun apabila ia menggerakkan tangannya sepenuh tenaga, darah itu meleleh semakin banyak.
Demikian juga darah dari dada Arya yang telah tergores oleh pedang Sawung Sariti. Namun ketahanan jasmaniahnya ternyata lebih besar daripada adik sepupunya itu. Melihat keadaan itu, Karebet menjadi berdebar-debar. Dengan demikian ia harus bekerja sekuat tenaganya. Tenaga yang seakan-akan mempunyai persediaan yang tak kering-keringnya didalam tubuhnya. Memang selain sifat-sifatnya yang aneh, tubuh Karebet pun aneh pula. Meskipun ia memeras segenap kekuatan dan tenaganya sejak pertempuran itu dimulai, namun semakin lama, seakan-akan ia menjadi semakin segar dan kuat.
Bugel Kaliki yang bermata tajam, setajam burung hantu, melihat kelemahan itu.
Karebet adalah anak yang sangat berbahaya dengan Kiai Sangkelat di tangannya. Karena itu maka yang pertama-tama harus disingkirkan supaya tidak mengganggu adalah Arya Salaka atau Sawung Sariti. Dalam pada itu, terasalah tekanan-tekanan yang erat pada Arya Salaka dan Sawung Sariti.
Bugel Kaliki telah mangerahkan serangan-serangannya kepada kedua anak itu berganti-ganti sambil menghindarkan diri dari serangan-serangan Kiai Sangkelat yang menyambar-nyambarnya dengan dahsyatnya. Ketika mereka sedang sibuk dengan pertempuran itu, dimana perhatian mereka seluruhnya terampas oleh usaha mereka mempertahankan diri, terjadilah suatu peristiwa yang tak mereka duga-duga.
Galunggung, yang duduk lemas ditanah yang becek, ketika melihat kehadiran hantu dari Gunung Cerme itu, menjadi seakan-akan membeku.
Ia tahu benar siapakah Bugel Kaliki. Dengan demikian ia menjadi putus asa. Semua impiannya kini telah benar-benar menjadi lenyap seperti awan disapu angin. Impiannya tentang tanah yang berpuluh-puluh bahu. Kekuasaan atas Pamingit dan Banyubiru. Kekayaan dan kemewahan. Sebab dengan kehadiran hantu bongkok itu harapan untuk hidup bagi Sawung Sariti menjadi semakin tipis.
Tetapi ketika ia melihat pertempuran di antara mereka, di antara Bugel Kaliki melawan ketiga anak-anak muda itu hatinya menjadi hidup kembali. Darahnya serasa mulai mengalir. Ia melihat bagaimana ketiga anak muda itu dengan gigih mempertahankan diri mereka. Bahkan anak muda yang bernama Karebet itu dapat bergerak menyambar-nyambar seperti burung alap-alap di langit. Dengan demikian pikirannya perlahan-lahan dapat berjalan kembali. Mula-mula ia ingin mencoba membantu melawan Bugel Kaliki namun hal itu tidak akan berarti. Apalagi senjatanya kini tidak ada di tangannya lagi.
Tiba-tiba timbullah pikirannya yang bersih. Dengan sagat hati-hati ia merangkak masuk ke dalam tanaman jagung muda itu semakin dalam. Kemudian tiba-tiba kekuatannya seperti kembali menjalari tubuh. Dengan serta merta, ketika ia sudah cukup dalam di balik pohon-pohon jatung itu Galunggung meloncat dan berlari sekencang-kencangnya seperti dikejar hantu, kembali ke Pamingit. Siapa pun yang akan dijumpainya pertama-tama, akan diberitahukan kepadanya bahwa Arya Salaka dan Sawung Sariti sedang bertempur melawan Bugel Kaliki.
Pada saat itu keadaan Sawung Sariti telah bertambah payah. Perlawanannya telah menjadi semakin kendor. Kedua pedangnya yang semula bergerak seperti gumpalan asap yang bergulung-gulung melindungi dirinya, kian lama menjadi kian kendor. Sedangkan serangan Bugel Kaliki menjadi semakin garang. Demikianlah, pada suatu saat Bugel Kaliki berhasil menerobos lawan-lawannya langsung menyerang Sawung Sariti. Dengan kecepatan yang masih dapat dilakukan, Sawung Sariti menyilangkan kedua pedangnya dengan kekuatan raksasanya, sehingga tiba-tiba kedua pedangnya itu pun bergetar dan jatuh di tanah.
Sawung Sariti menjadi gugup. Pada saat itu Bugel Kaliki mengulangi serangannya langsung ke dada Sawung Sariti. Serangan itu datang sedemikian cepatnya, sehingga Sawung Sariti telah benar-benar kehilangan kesempatan untuk menghindar.
Karang Tunggal dan Arya menjadi terkejut pula melihat Bugel Kaliki dapat bergerak secepat itu, menerobos serangan-serangan mereka. Dengan secepat yang dapat dilakukan, Karang Tunggal meloncat menyerang sejadi-jadinya. Kyai Sangkelat langsung terjulur lurus ke lambung Bugel Kaliki. Sedang Arya, yang berada dalam jarak yang lebih jauh, tak mampu meloncat mencapai lawannya. Maka ia hanya berusaha untuk menyelamatkan Sawung Sariti yang sedang kehilangan keseimbangannya. Dengan cepat ia mendorong adiknya ke samping.
Kedua gerakan Karebet dan Arya ada juga pengaruhnya, Bugel Kaliki terpaksa menggeliat menghindari Kyai Sangkelat. Namun sentuhan itu mengenai dada kiri Sawung Sariti. Tetapi sentuhan itu adalah sentuhan tangan iblis ganas dari Gunung Cerme. Karena itu akibatnya pun mengerikan.
Dada Sawung Sariti sebelah kiri yang tersentuh tangan Bugel Kaliki itu serasa seperti terhantam reruntuhan bukit Merbabu. Karena itu Sawung Sariti terlempar dan terbanting di tanah. Sebuah keluhan yang pendek terdengar. Sekali ia menggeliat kemudian terdengar ia mengerang kesakitan.
Bugel Kaliki yang telah berhasil menjatuhkan satu lawannya tertawa berderai, membelah sepi malam.
Ia yakin, bahwa anak kepala daerah perdikan Pamingit itu tak akan mampu bertahan diri meskipun hanya ujung jarinya saja yang menyentuhnya.
Pertempuran itu untuk sesaat terhenti dengan sendirinya. Sawung Sariti masih bergerak-gerak menahan sakit. Namun dari mulutnya telah mengalir darah yang merah. Sesaat kemudian, ketika Arya Salaka menyadari apa yang terjadi, menggelegaklah dadanya seperti akan meledak. Betapa prasangka yang tersimpan di dalam hatinya terhadap adik sepupunya itu, namun gumpalan darah dagingnya itu telah menuntut pembelaan padanya.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas