- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#575
Jilid 17 [Part 395]
Spoiler for :
ARYA tidak sempat menjawab ketika ia melihat Sawung Sariti meloncat maju ke hadapannya. Beberapa langkah saja dimukanya dengan pedang yang terjulur lurus ke depan. Dengan gerak naluriah Arya mundur selangkah. Tangannya sudah siap mencabut pusaka Kyai Suluh.
Namun sebelum itu dilakukan terdengarlah Karang Tunggal berkata,
Sawung Sariti dan Arya Salaka tidak segera menjawab. Mereka masih berdiri di atas kaki masing-masing yang renggang. Namun sepintas lalu, berkisarlah di otak Karang Tunggal. Ia telah mendengar ilmu Sasra Birawa yang dimiliki oleh Arya Salaka dan ilmu Lebur Saketi di dalam diri Sawung Sariti. Agaknya kedua ilmu itu lebih berbahaya daripada pedang. Dengan demikian mereka tidak akan mempergunakan ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Apabila mereka akan mempergunakan, mereka harus melepaskan senjatanya, sehingga dengan demikian ada kesempatan padanya untuk mencegah terbenturnya kedua ilmu itu.
Sedang pertempuran dengan pedang antara dua orang yang selincah Sawung Sariti dan Arya Salaka, biasanya tidak akan sampai pada bahaya yang sebenarnya terhadap jiwa mereka. Ia akan dapat mencegahnya apabila perlu, juga apabila salah seorang darinya telah terluka dan meneteskan darah.
Karena itu, segera ia berkata,
Karang Tunggal tidak menunggu jawaban. Segera ia meloncat dan menyerahkan pedang Galunggung kepada Arya Salaka. Seperti orang yang terbius oleh keadaan yang dihadapinya, Arya menerima pedang itu dengan hati yang kosong.
Arya Salaka dapat mengerti arti kata-kata Karang Tunggal. Namun Sawung Sariti sudah tidak mau mendengarnya. Ketika ditangan Arya telah tergenggam pedang, maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan kecepatan kilat ia meloncat dan menusuk dada kakak sepupunya.
Namun Arya Salaka telah membayangkan bahwa hal yang demikian itu akan terjadi. Karena itu segera ia menghindar. Pedang Galunggung di tangannya itupun segara bergerak menyambar seperti elang di udara. Sawung Sariti segara meloncat ke samping. Matanya telah menjadi merah oleh api kemarahan dan nafsu. Karena itu kemudian kembali ia melontarkan dirinya menyerang Arya Salaka seperti datangnya angin ribut.
Demikianlah maka keduanya tenggelam dalam perkelahian yang dahsyat. Arya Salaka dan Sawung Sariti adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh. Tenaga jasmaniah mereka sedang berkembang dengan suburnya. Perkembangan tubuh yang selalu dipupuk dan dipelihara dalam cara masing-masing.
Arya Salaka telah berkembang dalam lingkaran ilmu keturunan Pengging, sedang Sawung Sariti menjadi perkasa karena ilmu keturunan Pangrantunan. Dua ilmu yang dahsyat, yang pada masa-masa lampau menjadi pasangan yang mengerikan untuk menghadapi kekuatan golongan hitam.
Karang Tunggal menyaksikan pertempuran itu dengan seksama. Ia melihat betapa keduanya sambar-menyambar dengan tangkasnya seperti sepasang burung rajawali yang bertempur di udara. Namun sesaat kemudian keduanya telah berubah menjadi seekor harimau yang garang dengan kuku-kukunya yang tajam melawan seekor banteng yang kokoh kuat dengan tanduk-tanduknya yang runcing mengerikan.
Tetapi Karang Tunggal sama sekali tidak mencemaskan mereka. Ia melihat kekuatan dan ketangkasan pada kedua belah pihak. Karena itu ia bersyukur bahwa keduanya telah bertempur dengan senjata. Kalau saja mereka bertempur dengan tangan mereka, maka ia pasti akan melihat bahwa tiba-tiba saja akan berbenturanlah ilmu Sasra Birawa dan Lebur Saketi. Kalau ilmu itu tidak seimbang maka salah seorang di antaranya pasti akan hancur lumat bagian dalam tubuhnya.
PEDANG di tangan Sawung Sariti berputar dengan cepatnya. Semakin lama menjadi semakin cepat dan membingungkan. Bahkan kemudian seakan-akan berubah menjadi ribuan mata pedang yang menusuk dari ribuan arah.
Namun Arya Salaka adalah murid dari perguruan Pengging lewat seorang yang bernama Mahesa Jenar. Karena itu pedangnya pun mampu membentengi dirinya seperti sebuah bola baja yang melingkari tubuhnya. Tak seujung jarum pun dapat ditembus oleh tajam pedang lawannya. Bahkan Arya Salaka tidak saja mampu mengurung dirinya dengan bola baja yang kokoh dan kuat, namun sekali-kali serangannya pun menyambar dengan dahsyatnya. Tidak terlalu sering, namun setiap sambaran pedangnya cukup mendebarkan hati lawannya. Demikianlah mereka tenggelam semakin dalam, dalam pertempuran yang menyeramkan itu. Masing-masing telah mengerahkan segala tenaga dan kemampuannya. Mereka melingkar-lingkar dan berputar-putar dalam satu daerah yang dilindungi oleh rimbunnya pohon nyamplung. Sekali-kali mereka berloncatan sambar-menyambar, mengelilingi pokok pohon nyamplung yang besar itu.
Pedang mereka berkilat-kilat seperti tatit yang beterbangan di langit. Benturan-benturan kedua senjata itu sedemikian dahsyatnya sehingga bunga api memercik di udara.
Karang Tunggal akhirnya mengagumi juga ketangkasan mereka. Kelincahan dan keprigelan Sawung Sariti dan ketangguhan serta ketangkasan Arya Salaka merupakan tanding yang dapat menghentikan denyut jatung. Namun kekuatan jasmaniah Arya Salaka ternyata melampaui kemampuan Sawung Sariti. Tempaan yang bertahun-tahun disepanjang perantauan, menuruni lembah dan tebing-tebing, perburuan di hutan-hutan dan pergulatan melawan ombak lautan, telah menjadikan tubuh Arya Salaka sekokoh belit karang. Otot-ototnya seakan-akan telah mengeras, sekeras besi. Kulitnya yang merah kehitam-hitaman terbakar matahari setiap hari itu seolah-olah menjadi lapisan tembaga yang melindungi tubuhnya dari setiap bahaya yang menyentuhnya. Karena itulah maka akhirnya kesegaran tubuh Arya Salaka telah ikut serta menentukan pertempuran itu. Benturan-benturan yang terjadi di antara kedua pedang itu tampak, bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada Sawung Sariti.
Demikianlah pada suatu ketika, Sawung Sariti kehilangan keseimbangan sesaat setelah pedangnya beradu dengan pedang Arya Salaka. Karena dorongan yang keras, Sawung Sariti terdesak selangkah surut, serta tubuhnya terputar setengah lingkaran. Pada saat yang demikian, dengan kecepatan yang luar biasa pedang Arya Salaka terjulur ke dadanya. Sawung Sariti cepat berusaha menghindarkan diri. Ia memutar tubuhnya setengah lingkaran pula dalam arah yang sama, sedang ia mengangkat pedangnya, berusaha untuk menangkis serangan lawannya. Sebagian Sawung Sariti berhasil.
Pedangnya memukul pedang Arya Salaka ke samping.
Namun kekuatan Sawung Sariti pada saat ia melingkar tidaklah sepenuh kekuatan Arya Salaka. Sehingga dengan demikian, pedang Arya masih menyentuh pundak kanannya. Sebuah goresan telah menyobek kulit Sawung Sariti. Dan dari luka itu melelehlah cairan yang berwarna merah segar. Darah. Sawung Sariti terkejut, ketika terasa sebuah goresan menyengat pundaknya. Ia segera meloncat mundur. Tanpa disengaja tangan kirinya meraba pundaknya. Dan cairan yang hangat terasa di telapak tangannya. Terdengarlah ia menggeram dan giginya gemeretak.
Pada saat itu Karang Tunggal meloncat ke depan dan berdiri di antara mereka. Dengan lantang ia berkata,
Sawung Sariti memandang Karang Tunggal dengan mata yang berapi-api. Darahnya serasa mendidih di dalam dadanya. Katanya tidak kalah lantangnya,
Karang Tunggal mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Betapa besar jiwa sahabatnya itu.
Namun sebelum itu dilakukan terdengarlah Karang Tunggal berkata,
Quote:
“Biarlah perkelahian ini menjadi adil. Kalian berdua tidak bersenjata, atau kalian berdua memegang pedang.”
Sawung Sariti dan Arya Salaka tidak segera menjawab. Mereka masih berdiri di atas kaki masing-masing yang renggang. Namun sepintas lalu, berkisarlah di otak Karang Tunggal. Ia telah mendengar ilmu Sasra Birawa yang dimiliki oleh Arya Salaka dan ilmu Lebur Saketi di dalam diri Sawung Sariti. Agaknya kedua ilmu itu lebih berbahaya daripada pedang. Dengan demikian mereka tidak akan mempergunakan ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Apabila mereka akan mempergunakan, mereka harus melepaskan senjatanya, sehingga dengan demikian ada kesempatan padanya untuk mencegah terbenturnya kedua ilmu itu.
Sedang pertempuran dengan pedang antara dua orang yang selincah Sawung Sariti dan Arya Salaka, biasanya tidak akan sampai pada bahaya yang sebenarnya terhadap jiwa mereka. Ia akan dapat mencegahnya apabila perlu, juga apabila salah seorang darinya telah terluka dan meneteskan darah.
Karena itu, segera ia berkata,
Quote:
“Adi Arya, pakailah pedang ini.”
Karang Tunggal tidak menunggu jawaban. Segera ia meloncat dan menyerahkan pedang Galunggung kepada Arya Salaka. Seperti orang yang terbius oleh keadaan yang dihadapinya, Arya menerima pedang itu dengan hati yang kosong.
Quote:
“Nah, di tangan kalian telah tergenggam pedang,” kata Karang Tunggal,
“Terserah kapan kalian akan mulai. Tetapi setetes darah yang mengalir dari tubuh kalian, akan merupakan keputusan jantan. Dan kalian harus menerima keputusan itu tanpa syarat.”
“Terserah kapan kalian akan mulai. Tetapi setetes darah yang mengalir dari tubuh kalian, akan merupakan keputusan jantan. Dan kalian harus menerima keputusan itu tanpa syarat.”
Arya Salaka dapat mengerti arti kata-kata Karang Tunggal. Namun Sawung Sariti sudah tidak mau mendengarnya. Ketika ditangan Arya telah tergenggam pedang, maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan kecepatan kilat ia meloncat dan menusuk dada kakak sepupunya.
Namun Arya Salaka telah membayangkan bahwa hal yang demikian itu akan terjadi. Karena itu segera ia menghindar. Pedang Galunggung di tangannya itupun segara bergerak menyambar seperti elang di udara. Sawung Sariti segara meloncat ke samping. Matanya telah menjadi merah oleh api kemarahan dan nafsu. Karena itu kemudian kembali ia melontarkan dirinya menyerang Arya Salaka seperti datangnya angin ribut.
Demikianlah maka keduanya tenggelam dalam perkelahian yang dahsyat. Arya Salaka dan Sawung Sariti adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh. Tenaga jasmaniah mereka sedang berkembang dengan suburnya. Perkembangan tubuh yang selalu dipupuk dan dipelihara dalam cara masing-masing.
Arya Salaka telah berkembang dalam lingkaran ilmu keturunan Pengging, sedang Sawung Sariti menjadi perkasa karena ilmu keturunan Pangrantunan. Dua ilmu yang dahsyat, yang pada masa-masa lampau menjadi pasangan yang mengerikan untuk menghadapi kekuatan golongan hitam.
Karang Tunggal menyaksikan pertempuran itu dengan seksama. Ia melihat betapa keduanya sambar-menyambar dengan tangkasnya seperti sepasang burung rajawali yang bertempur di udara. Namun sesaat kemudian keduanya telah berubah menjadi seekor harimau yang garang dengan kuku-kukunya yang tajam melawan seekor banteng yang kokoh kuat dengan tanduk-tanduknya yang runcing mengerikan.
Tetapi Karang Tunggal sama sekali tidak mencemaskan mereka. Ia melihat kekuatan dan ketangkasan pada kedua belah pihak. Karena itu ia bersyukur bahwa keduanya telah bertempur dengan senjata. Kalau saja mereka bertempur dengan tangan mereka, maka ia pasti akan melihat bahwa tiba-tiba saja akan berbenturanlah ilmu Sasra Birawa dan Lebur Saketi. Kalau ilmu itu tidak seimbang maka salah seorang di antaranya pasti akan hancur lumat bagian dalam tubuhnya.
PEDANG di tangan Sawung Sariti berputar dengan cepatnya. Semakin lama menjadi semakin cepat dan membingungkan. Bahkan kemudian seakan-akan berubah menjadi ribuan mata pedang yang menusuk dari ribuan arah.
Namun Arya Salaka adalah murid dari perguruan Pengging lewat seorang yang bernama Mahesa Jenar. Karena itu pedangnya pun mampu membentengi dirinya seperti sebuah bola baja yang melingkari tubuhnya. Tak seujung jarum pun dapat ditembus oleh tajam pedang lawannya. Bahkan Arya Salaka tidak saja mampu mengurung dirinya dengan bola baja yang kokoh dan kuat, namun sekali-kali serangannya pun menyambar dengan dahsyatnya. Tidak terlalu sering, namun setiap sambaran pedangnya cukup mendebarkan hati lawannya. Demikianlah mereka tenggelam semakin dalam, dalam pertempuran yang menyeramkan itu. Masing-masing telah mengerahkan segala tenaga dan kemampuannya. Mereka melingkar-lingkar dan berputar-putar dalam satu daerah yang dilindungi oleh rimbunnya pohon nyamplung. Sekali-kali mereka berloncatan sambar-menyambar, mengelilingi pokok pohon nyamplung yang besar itu.
Pedang mereka berkilat-kilat seperti tatit yang beterbangan di langit. Benturan-benturan kedua senjata itu sedemikian dahsyatnya sehingga bunga api memercik di udara.
Karang Tunggal akhirnya mengagumi juga ketangkasan mereka. Kelincahan dan keprigelan Sawung Sariti dan ketangguhan serta ketangkasan Arya Salaka merupakan tanding yang dapat menghentikan denyut jatung. Namun kekuatan jasmaniah Arya Salaka ternyata melampaui kemampuan Sawung Sariti. Tempaan yang bertahun-tahun disepanjang perantauan, menuruni lembah dan tebing-tebing, perburuan di hutan-hutan dan pergulatan melawan ombak lautan, telah menjadikan tubuh Arya Salaka sekokoh belit karang. Otot-ototnya seakan-akan telah mengeras, sekeras besi. Kulitnya yang merah kehitam-hitaman terbakar matahari setiap hari itu seolah-olah menjadi lapisan tembaga yang melindungi tubuhnya dari setiap bahaya yang menyentuhnya. Karena itulah maka akhirnya kesegaran tubuh Arya Salaka telah ikut serta menentukan pertempuran itu. Benturan-benturan yang terjadi di antara kedua pedang itu tampak, bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada Sawung Sariti.
Demikianlah pada suatu ketika, Sawung Sariti kehilangan keseimbangan sesaat setelah pedangnya beradu dengan pedang Arya Salaka. Karena dorongan yang keras, Sawung Sariti terdesak selangkah surut, serta tubuhnya terputar setengah lingkaran. Pada saat yang demikian, dengan kecepatan yang luar biasa pedang Arya Salaka terjulur ke dadanya. Sawung Sariti cepat berusaha menghindarkan diri. Ia memutar tubuhnya setengah lingkaran pula dalam arah yang sama, sedang ia mengangkat pedangnya, berusaha untuk menangkis serangan lawannya. Sebagian Sawung Sariti berhasil.
Pedangnya memukul pedang Arya Salaka ke samping.
Namun kekuatan Sawung Sariti pada saat ia melingkar tidaklah sepenuh kekuatan Arya Salaka. Sehingga dengan demikian, pedang Arya masih menyentuh pundak kanannya. Sebuah goresan telah menyobek kulit Sawung Sariti. Dan dari luka itu melelehlah cairan yang berwarna merah segar. Darah. Sawung Sariti terkejut, ketika terasa sebuah goresan menyengat pundaknya. Ia segera meloncat mundur. Tanpa disengaja tangan kirinya meraba pundaknya. Dan cairan yang hangat terasa di telapak tangannya. Terdengarlah ia menggeram dan giginya gemeretak.
Pada saat itu Karang Tunggal meloncat ke depan dan berdiri di antara mereka. Dengan lantang ia berkata,
Quote:
“Keputusan telah jatuh. Darah telah menetes dari luka.”
Sawung Sariti memandang Karang Tunggal dengan mata yang berapi-api. Darahnya serasa mendidih di dalam dadanya. Katanya tidak kalah lantangnya,
Quote:
“Apa maksudmu?”
“Perjanjian kita mengatakan, keputusan diambil secara jantan. Kalau darah telah menetes, pertempuran berakhir, dan selesailah persoalan kalian,” sahut Karang Tunggal.
“Apa keputusan itu?” tanya Sawung Sariti.
“Seperti yang kita janjikan. Bukankah kalian sedang bertaruh di atas tanah Pamingit dan Banyubiru?” jawab Karang Tunggal.
Mata Sawung Sariti menjadi semakin menyala. Kemarahannya kini telah benar-benar memuncak.
“Tidak ada pertaruhan apa-apa!”
Tiba-tiba terdengar suara Arya Salaka yang sudah berhasil menenangkan diri.
“Marilah kita lupakan persoalan kita.”
“Perjanjian kita mengatakan, keputusan diambil secara jantan. Kalau darah telah menetes, pertempuran berakhir, dan selesailah persoalan kalian,” sahut Karang Tunggal.
“Apa keputusan itu?” tanya Sawung Sariti.
“Seperti yang kita janjikan. Bukankah kalian sedang bertaruh di atas tanah Pamingit dan Banyubiru?” jawab Karang Tunggal.
Mata Sawung Sariti menjadi semakin menyala. Kemarahannya kini telah benar-benar memuncak.
“Tidak ada pertaruhan apa-apa!”
Tiba-tiba terdengar suara Arya Salaka yang sudah berhasil menenangkan diri.
“Marilah kita lupakan persoalan kita.”
Karang Tunggal mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Betapa besar jiwa sahabatnya itu.
Quote:
“Bagus,” katanya,
“Kalian tetap pada kedudukan kalian masing-masing sebagai putra kepala daerah perdikan yang terpisah.”
“Kalian tetap pada kedudukan kalian masing-masing sebagai putra kepala daerah perdikan yang terpisah.”
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas