- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#568
Jilid 17 [Part 392]
Spoiler for :
DEMIKIANLAH, dengan bergegas-gegas kedua orang itu berjalan memotong arah. Mereka berjalan di atas pematang-pematang, tanggul-tanggul parit untuk dapat mendahului Arya Salaka. Karena Sawung Sariti telah terlalu biasa dengan daerah ini, maka ia dapat memperhitungkan jarak yang dilewatinya itu cukup jauh dari jalan yang dilalui Arya, sehingga ia tidak usah khawatir dapat diketahuinya. Ketika mereka harus memotong jalan, barulah mereka berjalan dengan sangat hati- hati, menyusur batang-batang jagung sambil membungkuk-bungkuk. Akhirnya mereka terjun ke anak sungai, dan lewat di bawah uwot dari kayu yang bersilang di atas anak sungai itu, mereka memotong jalan. Mereka mengharap, bahwa dengan demikian mereka akan dapat mendahului Arya Salaka sampai di bawah pohon nyamplung.
Arya Salaka yang tidak tahu, apa yang sedang direncanakan oleh adik sepupunya, berjalan seenaknya sambil menikmati angin malam. Langit tidak terlalu bersih, namun di beberapa sudut bintang masih tampak berkeredipan menghias malam. Dengan cermatnya ia memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh Titis Anganten. Jalan manakah yang seharusnya dilewatinya. Namun jalan itu tidak terlalu sulit baginya. Sehingga ia pun tidak usah cemas, bahwa ia akan tersesat.
Kemudian Arya sampai di simpang tiga. Di simpang tiga, ia membelok ke kiri. Beberapa langkah kemudian ditemuinya parit. Dan ia harus memilih, apakah akan berjalan di sepanjang jalan kecil itu, ataukah akan memilih jalan tanggul di sepanjang parit. Arya kemudian berhenti sejenak. Dilihatnya air yang memercik di dalam parit itu. Mengalir dengan tenangnya. Maka timbullah keinginannya untuk berjalan menyusur parit itu sambil memperhatikan airnya.
Dalam pada itu, Sawung Sariti telah sampai di bawah pohon Nyamplung. Dengan hati-hati ia menempatkan dirinya di tepi jalan. Telah diperhitungkannya, bahwa dengan satu loncatan, ia harus sudah dapat mencapai Arya Salaka dengan pedangnya. Demikian juga Galunggung, harus sudah siap.
Meskipun kemampuan bertempur Galunggung jauh berada di bawah kemampuan Arya Salaka, namun dengan menyerangnya secara tiba-tiba bersama-sama dengan Sawung Sariti maka mereka mengharap, bahwa mereka tidak usah mengulangi dengan serangan kedua. Dengan demikian, Sawung Sariti dan Galunggung dengan tenangnya mengendap di tepi jalan, di bawah pohon Nyamplung yang rimbun.
Gemersik angin malam yang mengusik daun-daun di atasnya, terdengar seperti keluh kesah yang sedih. Bahkan kemudian terdengar seperti orang yang berbisik-bisik, menyampaikan kabar yang mengerikan.
Beberapa saat Sawung Sariti dan Galunggung mengendap di sisi jalan itu, terasa betapa waktu berjalan lambat sekali. Menunggu memang merupakan pekerjaan yang menjemukan. Apalagi mereka berdua dicekam oleh ketegangan yang setiap saat menjadi semakin memuncak. Mata mereka seperti tersangkut di tikungan jalan di samping parit yang menyilang jalan kecil. Dari sanalah Arya Salaka akan muncul. Kalau tidak dari jalan kecil itu, pasti akan muncul dari tanggul di tepi parit.
Tetapi Arya Salaka agaknya berjalan terlalu lambat. Seharusnya ia kini telah muncul dan berjalan lurus di hadapan mereka yang menunggunya dengan gelisah. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa tiba-tiba saja Arya ingin mencuci kakinya di dalam parit yang bersih itu dan untuk beberapa saat ia bermain-main dengan percikan airnya.
Tetapi, kemudian dari balik tikungan itupun muncul sebuah bayangan. Seorang yang berjalan melenggang dalam keremangan malam. Bayangan itu berjalan dengan tergesa-gesa, lewat jalan kecil di muka pohon nyamplung itu. Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bertambah gelisah. Segera mereka menarik pedang masing-masing, dengan sangat berhati-hati. Sesaat yang akan datang, pedang mereka harus melakukan tugas-tugas mereka yang berat. Tetapi mata Sawung Sariti yang tajam itu menjadi liar. Ia melihat perbedaan yang kecil pada bayangan itu. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah orang itu Arya Salaka. Beberapa kali Sawung Sariti mengedipkan matanya, namun ia menjadi bertambah bimbang. Semakin dekat bayangan itu, semakin gelisah hati Sawung Sariti, sebab ia menjadi semakin yakin, bahwa bayangan itu sama sekali bukan Arya Salaka. Meskipun orang yang datang itu juga bertubuh tegap, namun Sawung Sariti dapat membedakan, bahwa Arya Salaka berjalan dengan gaya yang berbeda.
Ketika beberapa langkah orang itu menjadi semakin dekat, makin jelas, bahwa orang itu memakai pakaian yang lain. Galunggung pun akhirnya mengetahui juga, bahwa yang datang itu bukanlah yang mereka tunggu.
Dengan nafas yang memburu ia berbisik perlahan,
Galunggung pun kemudian berdiam diri.
Orang itu sudah semakin dekat. Sawung Sariti menahan nafasnya. Biarlah orang itu berlalu. Kemudian orang yang lewat di belakangnya, pastilah Arya Salaka.
Tetapi Sawung Sariti menjadi marah, ketika tiba-tiba orang itu berhenti. Ia menoleh ke belakang, seakan-akan ada yang ditunggu-tunggunya. Bahkan kemudian dengan enaknya orang itu duduk di bawah pohon nyamplung itu, di sisi jalan yang lain, sambil memeluk lututnya.
Sawung Sariti menggeram perlahan-lahan.
“Gila!” pikirnya,
“Apa kerjaannya orang itu?”
Namun disabarkannya hatinya untuk sesaat. Barangkali orang itu akan segera pergi. Sebab, pada saat orang itu muncul di tikungan, nampaknya ia akan tergesa-gesa. Namun kenapa tiba-tiba orang itu duduk saja dengan enaknya di hadapannya? Sesaat sudah berlalu. Sawung Sariti masih mencoba menunggu. Tetapi akhirnya ia menjadi gelisah dan semakin marah. Arya Salaka pasti hampir tiba. Kalau orang itu masih duduk di situ, maka ia dapat mengganggu pekerjaannya, atau kalau terpaksa orang itu pun harus ditiadakan, untuk menghilangkan jejak. Maka akhirnya Sawung Sariti tidak sabar lagi. Ia takut kalau Arya Salaka segera akan datang. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat dengan garangnya, sambil mengacungkan pedangnya kedada orang itu.
Orang itu menjadi bingung. Karena itu malahan ia berdiri saja seperti patung. Galunggung akhirnya tidak sabar sama sekali melihat orang itu masih berdiri di sana dengan mulut ternganga.
Ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata,
Ia takut kalau Arya mendengarnya. Namun dengan demikian waktu mereka menjadi semakin sempit. Dan sejalan dengan itu, pikiran Sawung Sariti pun menjadi semakin kisruh. Ia tidak mau gagal kali ini. Karena itu, akhirnya ia sependapat dengan Galunggung. Orang itu harus disingkirkan.
Meskipun demikian ia masih mencoba sekali lagi membentaknya,
Tetapi orang itu tidak segera pergi. Ia masih berdiri saja seperti orang yang kehilangan kesadaran.
Karena itu maka Sawung Sariti tidak bisa berbuat lain daripada menyingkirkannya dengan paksa.
Karena itu katanya,
Galunggung yang sejak tadi sudah kehilangan kesabaran segera menggeram sambil meloncat. Pedangnya tepat mengarah ke hulu hati orang yang masih berdiri kebingungan itu. Tetapi terjadilah suatu peristiwa yang tak pernah dibayangkan. Dalam mimpi pun tidak. Orang itu, dengan tangkasnya memiringkan tubuhnya. Dengan demikian, maka pedang Galunggung menyentuhpun tidak. Sehingga Galunggung terseret oleh kekuatan sendiri dan terhuyung-huyung beberapa langkah ke depan.
Pada saat ia berusaha memperbaiki keseimbangannya, tiba-tiba terasa sebuah genggaman mencengkam rambutnya. Dan oleh sebuah tarikan yang kuat, ia terseret kedepan. Ia kemudian tidak mampu menolong dirinya, ketika tiba-tiba terbanting tertelungkup, masuk persawahan yang basah.
Arya Salaka yang tidak tahu, apa yang sedang direncanakan oleh adik sepupunya, berjalan seenaknya sambil menikmati angin malam. Langit tidak terlalu bersih, namun di beberapa sudut bintang masih tampak berkeredipan menghias malam. Dengan cermatnya ia memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh Titis Anganten. Jalan manakah yang seharusnya dilewatinya. Namun jalan itu tidak terlalu sulit baginya. Sehingga ia pun tidak usah cemas, bahwa ia akan tersesat.
Kemudian Arya sampai di simpang tiga. Di simpang tiga, ia membelok ke kiri. Beberapa langkah kemudian ditemuinya parit. Dan ia harus memilih, apakah akan berjalan di sepanjang jalan kecil itu, ataukah akan memilih jalan tanggul di sepanjang parit. Arya kemudian berhenti sejenak. Dilihatnya air yang memercik di dalam parit itu. Mengalir dengan tenangnya. Maka timbullah keinginannya untuk berjalan menyusur parit itu sambil memperhatikan airnya.
Dalam pada itu, Sawung Sariti telah sampai di bawah pohon Nyamplung. Dengan hati-hati ia menempatkan dirinya di tepi jalan. Telah diperhitungkannya, bahwa dengan satu loncatan, ia harus sudah dapat mencapai Arya Salaka dengan pedangnya. Demikian juga Galunggung, harus sudah siap.
Meskipun kemampuan bertempur Galunggung jauh berada di bawah kemampuan Arya Salaka, namun dengan menyerangnya secara tiba-tiba bersama-sama dengan Sawung Sariti maka mereka mengharap, bahwa mereka tidak usah mengulangi dengan serangan kedua. Dengan demikian, Sawung Sariti dan Galunggung dengan tenangnya mengendap di tepi jalan, di bawah pohon Nyamplung yang rimbun.
Gemersik angin malam yang mengusik daun-daun di atasnya, terdengar seperti keluh kesah yang sedih. Bahkan kemudian terdengar seperti orang yang berbisik-bisik, menyampaikan kabar yang mengerikan.
Beberapa saat Sawung Sariti dan Galunggung mengendap di sisi jalan itu, terasa betapa waktu berjalan lambat sekali. Menunggu memang merupakan pekerjaan yang menjemukan. Apalagi mereka berdua dicekam oleh ketegangan yang setiap saat menjadi semakin memuncak. Mata mereka seperti tersangkut di tikungan jalan di samping parit yang menyilang jalan kecil. Dari sanalah Arya Salaka akan muncul. Kalau tidak dari jalan kecil itu, pasti akan muncul dari tanggul di tepi parit.
Tetapi Arya Salaka agaknya berjalan terlalu lambat. Seharusnya ia kini telah muncul dan berjalan lurus di hadapan mereka yang menunggunya dengan gelisah. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa tiba-tiba saja Arya ingin mencuci kakinya di dalam parit yang bersih itu dan untuk beberapa saat ia bermain-main dengan percikan airnya.
Tetapi, kemudian dari balik tikungan itupun muncul sebuah bayangan. Seorang yang berjalan melenggang dalam keremangan malam. Bayangan itu berjalan dengan tergesa-gesa, lewat jalan kecil di muka pohon nyamplung itu. Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bertambah gelisah. Segera mereka menarik pedang masing-masing, dengan sangat berhati-hati. Sesaat yang akan datang, pedang mereka harus melakukan tugas-tugas mereka yang berat. Tetapi mata Sawung Sariti yang tajam itu menjadi liar. Ia melihat perbedaan yang kecil pada bayangan itu. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah orang itu Arya Salaka. Beberapa kali Sawung Sariti mengedipkan matanya, namun ia menjadi bertambah bimbang. Semakin dekat bayangan itu, semakin gelisah hati Sawung Sariti, sebab ia menjadi semakin yakin, bahwa bayangan itu sama sekali bukan Arya Salaka. Meskipun orang yang datang itu juga bertubuh tegap, namun Sawung Sariti dapat membedakan, bahwa Arya Salaka berjalan dengan gaya yang berbeda.
Ketika beberapa langkah orang itu menjadi semakin dekat, makin jelas, bahwa orang itu memakai pakaian yang lain. Galunggung pun akhirnya mengetahui juga, bahwa yang datang itu bukanlah yang mereka tunggu.
Dengan nafas yang memburu ia berbisik perlahan,
Quote:
“Bukan itu orangnya, Angger.”
“SETAN!” Sawung Sariti mengumpat,
“Ada juga malam-malam orang berkeliaran di daerah yang masih belum tenang sama sekali ini.”
“Agaknya ia akan mengairi sawah,” bisik Galunggung.
“Tidak. Tidak ada orang yang mempertaruhkan nyawanya untuk keperluan yang dapat dilakukan siang hari,” sahut Galunggung.
“Lalu siapakah dia?” tanya Galunggung pula.
“Apa pedulimu terhadap orang itu. Yang penting kita tunggu Arya Salaka,” jawab Sawung Sariti.
“SETAN!” Sawung Sariti mengumpat,
“Ada juga malam-malam orang berkeliaran di daerah yang masih belum tenang sama sekali ini.”
“Agaknya ia akan mengairi sawah,” bisik Galunggung.
“Tidak. Tidak ada orang yang mempertaruhkan nyawanya untuk keperluan yang dapat dilakukan siang hari,” sahut Galunggung.
“Lalu siapakah dia?” tanya Galunggung pula.
“Apa pedulimu terhadap orang itu. Yang penting kita tunggu Arya Salaka,” jawab Sawung Sariti.
Galunggung pun kemudian berdiam diri.
Orang itu sudah semakin dekat. Sawung Sariti menahan nafasnya. Biarlah orang itu berlalu. Kemudian orang yang lewat di belakangnya, pastilah Arya Salaka.
Tetapi Sawung Sariti menjadi marah, ketika tiba-tiba orang itu berhenti. Ia menoleh ke belakang, seakan-akan ada yang ditunggu-tunggunya. Bahkan kemudian dengan enaknya orang itu duduk di bawah pohon nyamplung itu, di sisi jalan yang lain, sambil memeluk lututnya.
Sawung Sariti menggeram perlahan-lahan.
“Gila!” pikirnya,
“Apa kerjaannya orang itu?”
Namun disabarkannya hatinya untuk sesaat. Barangkali orang itu akan segera pergi. Sebab, pada saat orang itu muncul di tikungan, nampaknya ia akan tergesa-gesa. Namun kenapa tiba-tiba orang itu duduk saja dengan enaknya di hadapannya? Sesaat sudah berlalu. Sawung Sariti masih mencoba menunggu. Tetapi akhirnya ia menjadi gelisah dan semakin marah. Arya Salaka pasti hampir tiba. Kalau orang itu masih duduk di situ, maka ia dapat mengganggu pekerjaannya, atau kalau terpaksa orang itu pun harus ditiadakan, untuk menghilangkan jejak. Maka akhirnya Sawung Sariti tidak sabar lagi. Ia takut kalau Arya Salaka segera akan datang. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat dengan garangnya, sambil mengacungkan pedangnya kedada orang itu.
Quote:
“Apa pekerjaanmu di sini?” bentaknya.
Orang itu terkejut bukan main. Tiba-tiba ia menjadi gemetar, jawabnya,
“Aku, aku tidak apa-apa.”
“Kalau begitu. Tinggalkan tempat ini segera,” perintah Sawung Sariti.
“Kenapa?” tanya orang itu.
“Tidak ada-apa,” jawab Sawung Sariti
“Tetapi pergi sekarang.”
Orang itu pun berdiri dan akan melangkah pergi ke arah darimana ia datang.
“Jangan ke sana,” bentak Sawung Sariti.
Ia takut kalau orang itu akan berpapasan dengan Arya Salaka dan akan memberitahukan apa yang terjadi dengan dirinya.
“Ke mana?” tanya orang itu.
“Ke sana,” kata Sawung Sariti menunjuk ke arah yang berlawanan.
“Aku tidak punya keperluan di sana,” jawab orang itu.
“Aku tidak peduli. Pergi ke sana, cepat,” Sawung Sariti menjadi semakin marah
“Kau datang dari arah sana, kemudian apa perlumu kalau kau tidak mempunyai keperluan ke arah yang lain.”
“Aku hanya akan datang ke bawah pohon nyamplung ini,” jawab orang itu,
“Aku telah bermimpi, bahwa aku pada saat ini harus berada di sini.”
“Jangan banyak cakap. Pergi sekarang,” bentak Sawung Sariti.
Orang itu terkejut bukan main. Tiba-tiba ia menjadi gemetar, jawabnya,
“Aku, aku tidak apa-apa.”
“Kalau begitu. Tinggalkan tempat ini segera,” perintah Sawung Sariti.
“Kenapa?” tanya orang itu.
“Tidak ada-apa,” jawab Sawung Sariti
“Tetapi pergi sekarang.”
Orang itu pun berdiri dan akan melangkah pergi ke arah darimana ia datang.
“Jangan ke sana,” bentak Sawung Sariti.
Ia takut kalau orang itu akan berpapasan dengan Arya Salaka dan akan memberitahukan apa yang terjadi dengan dirinya.
“Ke mana?” tanya orang itu.
“Ke sana,” kata Sawung Sariti menunjuk ke arah yang berlawanan.
“Aku tidak punya keperluan di sana,” jawab orang itu.
“Aku tidak peduli. Pergi ke sana, cepat,” Sawung Sariti menjadi semakin marah
“Kau datang dari arah sana, kemudian apa perlumu kalau kau tidak mempunyai keperluan ke arah yang lain.”
“Aku hanya akan datang ke bawah pohon nyamplung ini,” jawab orang itu,
“Aku telah bermimpi, bahwa aku pada saat ini harus berada di sini.”
“Jangan banyak cakap. Pergi sekarang,” bentak Sawung Sariti.
Orang itu menjadi bingung. Karena itu malahan ia berdiri saja seperti patung. Galunggung akhirnya tidak sabar sama sekali melihat orang itu masih berdiri di sana dengan mulut ternganga.
Ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata,
Quote:
“Binasakan saja orang itu, sebelum anak itu datang.”
“Jangan, jangan!” teriak orang itu.
“Jangan berteriak,” bentak Sawung Sariti.
“Jangan, jangan!” teriak orang itu.
“Jangan berteriak,” bentak Sawung Sariti.
Ia takut kalau Arya mendengarnya. Namun dengan demikian waktu mereka menjadi semakin sempit. Dan sejalan dengan itu, pikiran Sawung Sariti pun menjadi semakin kisruh. Ia tidak mau gagal kali ini. Karena itu, akhirnya ia sependapat dengan Galunggung. Orang itu harus disingkirkan.
Meskipun demikian ia masih mencoba sekali lagi membentaknya,
Quote:
“Pergi, cepat!”
Tetapi orang itu tidak segera pergi. Ia masih berdiri saja seperti orang yang kehilangan kesadaran.
Karena itu maka Sawung Sariti tidak bisa berbuat lain daripada menyingkirkannya dengan paksa.
Karena itu katanya,
Quote:
“Singkirkan dia, Galunggung.”
Galunggung yang sejak tadi sudah kehilangan kesabaran segera menggeram sambil meloncat. Pedangnya tepat mengarah ke hulu hati orang yang masih berdiri kebingungan itu. Tetapi terjadilah suatu peristiwa yang tak pernah dibayangkan. Dalam mimpi pun tidak. Orang itu, dengan tangkasnya memiringkan tubuhnya. Dengan demikian, maka pedang Galunggung menyentuhpun tidak. Sehingga Galunggung terseret oleh kekuatan sendiri dan terhuyung-huyung beberapa langkah ke depan.
Pada saat ia berusaha memperbaiki keseimbangannya, tiba-tiba terasa sebuah genggaman mencengkam rambutnya. Dan oleh sebuah tarikan yang kuat, ia terseret kedepan. Ia kemudian tidak mampu menolong dirinya, ketika tiba-tiba terbanting tertelungkup, masuk persawahan yang basah.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas