- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#563
Jilid 17 [Part 391]
Spoiler for :
SAWUNG SARITI mencibirkan alisnya. Ia berpikir sejenak. Kemudia ia berkata,
Maka kemudian pergilah mereka bertiga berjalan beriring-iringan. Galunggung sambil menyeret pedangnya yang tersangkut di lambungnya. Sekali-kali Arya mengerling kepada adiknya itu. Pedangnya berjuntai-juntai hampir menggores tanah. Pedang itu hampir setiap keadaan tak pernah terlepas dari pinggangnya.
Sebenarnya kalau Arya bercuriga, itupun cukup beralasan. Ia menyesal bahwa ia tidak membawa tombak pusaka Banyubiru. Namun hatinya kemudian menjadi besar, ketika terasa didalam bajunya terselip sebuah pisau belati panjang terbalut dengan klika kayu. Pisau belati pusaka Pasingsingan yang bernama Kiai Suluh.
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu" pikirnya.
Dan kadang-kadang ia terpaksa tersenyum sendiri atas kecurigaannya itu.
Sedang Sawung Sariti berjalan saja dengan enaknya, melenggang dalam dingin malam.
Tetapi tiba-tiba Arya mengangkat alisnya.
Tetapi Arya adalah seorang muda yang hampir seluruh hidupnya berada dalam perjalanan. Iapun tahu benar, bahwa Titis Anganten adalah seorang perantau, sehingga ia yakin bahwa tak mungkin orang tua itu salah.
Karena keyakinannya itu maka Arya menjawab
Memang, sebenarnyalah demikian.
Seharusnya Arya percaya bahwa Sawung Sariti mengenal daerah ini dengan baik. Tetapi ada sesuatu dipojok hatinya yang berbisik "Pilihlah jalan sendiri."
Karena itu Arya berkata
Arya menjadi beragu. Untuk beberapa saat ia berdiam diri. Agak sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu.
Meskipun demikian akhirnya ditemukannya juga jawabannya
Wajah Sawung Sariti menjadi panas. Terasa sindiran halus pada kata-kata Arya. memang sebenarnya bahwa jalan terdekat ke Sarapadan adalah jalan kecil diantara sepasang pohon Siwalan itu. Karena agaknya Arya Salaka telah berkeras hati untuk menempuh jalan itu, maka akhirnya ia berkata
Tetapi ia tidak sempat berbicara lagi. Sawung Sariti telah pergi meninggalkannya. Galunggung berjalan di belakangnya hampir meloncat-loncat. Sekali dua kali dilihatnya kedua orang itu menoleh, tetapi lalu berjalan semakin cepat.
Perlahan-lahan Arya memutar tubuhnya. Ia melangkah kembali ke jalan kecil di antara pohon Siwalan itu. Ia harus berjalan terus ke selatan, kemudian di simpang tiga ia harus membelok ke kiri. Setelah beberapa langka akan ditemuinya parit. Ia dapat menempuh dua jalan. Terus lewat jalan kecil itu, atau menyusur tepi parit. Namun kedua jalan itu akan bertemu kembali di bawah pohon nyamplung yang besar di tepi sebuah sungai kecil. Setelah itu, ia hanya akan menyusur satu jalan terus sampai dimasukinya desa Sarapadan.
“Mungkin Adi Sawung Sariti benar,” pikirnya,
“Jalan itupun akan sampai ke Sarapadan.”
Dengan demikian Arya agak menyesal. Mungkin ia terlalu berprasangka.
Namun sebenarnya Arya telah berbuat hati-hati. Firasatnya telah dapat memberinya beberapa pertimbangan dalam mengambil keputusan. Kalau ia berjalan bersama-sama dengan Sawung Sariti, akibatnya akan berbahaya sekali. Sawung Sariti telah membawanya lewat jalan yang sepi, menyusur lewat pereng yang terjal. Di sana segala sesuatu akan dapat terjadi. Satu sentuhan di kakinya, akan dapat mengantarkannya ke dasar jurang yang dalam dan berdinding runcing seperti gerigi. Dan hal yang demikian itu, akan dapat terjadi. Untunglah, Tuhan telah membawanya lewat jalan lain.
Di jalan itu, Sawung Sariti berjalan sambil mengumpat-umpat. Sedang Galunggung pun menggeram tak habis-habisnya. Ketika Sawung Sariti membelok, dan memilih jalan itu, hatinya yang kelam segera dapat menebak maksud momongannya. Bahkan ia telah bersiap di belakang Arya, menyentuhnya sedikit dan kemudian bergegas-gegas berlari-lari ke Pamingit, memberitahukan kecelakaan yang terjadi, bahwa Arya Salaka terpeleset ke dalam jurang, atau dibiarkannya, tak seorangpun mengetahuinya.
Namun rencananya ternyata urung. Arya memilih jalan lain. Karena itupun mereka harus mempunyai rencana lain. Namun telah terpateri di dalam kepala anak muda dari Pamingit itu, bahwa Arya Salaka harus dilenyapkan. Sudah tentu dengan diam-diam. Dengan demikian kedatangan Gajah Sora tak akan berpengaruh. Kelak, sudah pasti bahwa Pamingit dan Banyubiru akan dikuasainya. Apalagi kini golongan hitam yang menghantui mereka telah lenyap pula.
Sawung Sariti berpikir sejenak. Hatinya benar-benar sudah dikuasai oleh nafsu yang menyala-nyala. Yang berada di dalam kepalanya hanyalah usaha terakhir untuk menyingkirkan kakak sepupunya.
Galunggung dapat mengetahui apa yang bergolak di dalam hati anak muda itu. Karena itu iapun turut berpikir. Ia mengharap bahwa Sawung Sariti kelak benar-benar dapat menguasai Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia pun akan mendapat tempat yang baik. Jauh lebih baik daripada yang sekarang dimiliki. Mungkin akan didapatnya tanah dua kali lipat dari tanah yang diterimanya sekarang. Juga kekuasaan yang diperoleh akan berlipat-lipat pula.
Setelah mereka berdiam diri sejenak, maka berkatalah Galunggung,
Sawung Sariti tidak menunggu jawaban Galunggung. Cepat ia meloncati parit kecil di tepi jalan. Kemudian menyusur pematang, menyusup di antara batang-batang jagung muda. Namun meskipun demikian, Sawung Sariti harus berhati-hati, supaya Arya tak dapat melihatnya.
Quote:
“Aku pergi bersama-sama dengan Kakang.”
Arya menarik nafas. Ia pasti tidak akan dapat menolak. Karena itu ia menjawab,
“Suatu kebetulan bagiku, Adi. Aku belum pernah melihat tempat itu. Sekarang kalau kau akan menemani aku, aku akan berterima kasih.”
Sawung Sariti mengangkat wajahnya. Dengan sudut matanya ia memandang wajah kasar orang kepercayaannya. Kemudian terdengar ia berkata,
“Kita ikut.”
“Marilah Angger.” Terdengar suara Galunggung berat.
Arya menarik nafas. Ia pasti tidak akan dapat menolak. Karena itu ia menjawab,
“Suatu kebetulan bagiku, Adi. Aku belum pernah melihat tempat itu. Sekarang kalau kau akan menemani aku, aku akan berterima kasih.”
Sawung Sariti mengangkat wajahnya. Dengan sudut matanya ia memandang wajah kasar orang kepercayaannya. Kemudian terdengar ia berkata,
“Kita ikut.”
“Marilah Angger.” Terdengar suara Galunggung berat.
Maka kemudian pergilah mereka bertiga berjalan beriring-iringan. Galunggung sambil menyeret pedangnya yang tersangkut di lambungnya. Sekali-kali Arya mengerling kepada adiknya itu. Pedangnya berjuntai-juntai hampir menggores tanah. Pedang itu hampir setiap keadaan tak pernah terlepas dari pinggangnya.
Sebenarnya kalau Arya bercuriga, itupun cukup beralasan. Ia menyesal bahwa ia tidak membawa tombak pusaka Banyubiru. Namun hatinya kemudian menjadi besar, ketika terasa didalam bajunya terselip sebuah pisau belati panjang terbalut dengan klika kayu. Pisau belati pusaka Pasingsingan yang bernama Kiai Suluh.
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu" pikirnya.
Dan kadang-kadang ia terpaksa tersenyum sendiri atas kecurigaannya itu.
Sedang Sawung Sariti berjalan saja dengan enaknya, melenggang dalam dingin malam.
Tetapi tiba-tiba Arya mengangkat alisnya.
Quote:
Dan berkatalah ia dengan serta merta
"Adi apakah benar jalan ini jalan ke Sarapadan?"
Sawung Sariti menoleh. Ia berhenti melangkah, kemudian menjawab pertanyaan Arya dengan heran
"Ya inilah jalan itu. Kenapa?"
Arya mengamat-amati keadaan sekelilingnya. Dikejauhan di wajah taburan bintang dilangit ia melihat sepasang pohon siwalan.
Katanya
"bukankah kita harus melewati jalan kecil diantara pohon siwalan itu?"
"Siapa bilang ?" bertanya Sawung Sariti.
"Eyang Titis Anganten" jawab Arya Salaka.
"Eyang Titis Anganten keliru" sahut Sawung Sariti.
"Adi apakah benar jalan ini jalan ke Sarapadan?"
Sawung Sariti menoleh. Ia berhenti melangkah, kemudian menjawab pertanyaan Arya dengan heran
"Ya inilah jalan itu. Kenapa?"
Arya mengamat-amati keadaan sekelilingnya. Dikejauhan di wajah taburan bintang dilangit ia melihat sepasang pohon siwalan.
Katanya
"bukankah kita harus melewati jalan kecil diantara pohon siwalan itu?"
"Siapa bilang ?" bertanya Sawung Sariti.
"Eyang Titis Anganten" jawab Arya Salaka.
"Eyang Titis Anganten keliru" sahut Sawung Sariti.
Tetapi Arya adalah seorang muda yang hampir seluruh hidupnya berada dalam perjalanan. Iapun tahu benar, bahwa Titis Anganten adalah seorang perantau, sehingga ia yakin bahwa tak mungkin orang tua itu salah.
Karena keyakinannya itu maka Arya menjawab
Quote:
"Adi, eyang Titis Anganten adalah seorang perantau, yang kerjanya berjalan dari satu ujung, kelain ujung dari pula ini. Karena itu apakah eyang Titis Anganten akan salah jalan dalam jarak empat lima bulak saja?"
"Aku adalah anak Pamingit" jawab Sawung Sariti
"sejak bayi aku bermain-main ditempat ini. Adakah aku tidak mengenal Sarapadan?"
"Aku adalah anak Pamingit" jawab Sawung Sariti
"sejak bayi aku bermain-main ditempat ini. Adakah aku tidak mengenal Sarapadan?"
Memang, sebenarnyalah demikian.
Seharusnya Arya percaya bahwa Sawung Sariti mengenal daerah ini dengan baik. Tetapi ada sesuatu dipojok hatinya yang berbisik "Pilihlah jalan sendiri."
Karena itu Arya berkata
Quote:
"Adi, barangkali ada jalan lain ke Sarapadan. Jalan yang barangkali ditempuh oleh Eyang Titis Anganten pada saat itu."
"Agaknya kakang Arya Salaka lebih percaya kepada orang tua itu daripada kepadaku?" bertanya Sawung Sariti.
"Agaknya kakang Arya Salaka lebih percaya kepada orang tua itu daripada kepadaku?" bertanya Sawung Sariti.
Arya menjadi beragu. Untuk beberapa saat ia berdiam diri. Agak sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu.
Meskipun demikian akhirnya ditemukannya juga jawabannya
Quote:
"Adi, baiklah aku mencoba membuktikan, apakah Eyang Titis Anganten benar-benar seorang perantau yang baik. Sedangkan apabila nanti jalan itu tak aku ketemukan, aku akan kembali ke Pamingit. Mengajak orang tua itu pergi bersama-sama dan mengatakan kepadanya, bahwa perantau itu kini telah menjadi pelupa dan tak dapat mengenal jalan antara Pamingit dan Sarapadan meskipun ia dapat menemukan jalan kembali ke Banyuwangi yang menurut eyang Titis Anganten jaraknya beribu-ribu kali lipat."
Wajah Sawung Sariti menjadi panas. Terasa sindiran halus pada kata-kata Arya. memang sebenarnya bahwa jalan terdekat ke Sarapadan adalah jalan kecil diantara sepasang pohon Siwalan itu. Karena agaknya Arya Salaka telah berkeras hati untuk menempuh jalan itu, maka akhirnya ia berkata
Quote:
"Baiklah kakang Arya, kau lewat jalanmu, aku lewat jalan yang sudah aku kenal baik-baik. Meskipun barangkali kakang akan sampai ke Sarapadan, namun jalan yang akan kau tempuh itu agak terlalu jauh."
"Tidak apalah adi" jawab Arya
"lalu bagaimana dengan adi Sawung Sariti?"
"Aku akan mengambil jalan ini" sahut Sawung Sariti.
"Baik. Kalau demikian biarlah kita berjanji untuk saling menunggu di tempat pengungsian ibu kami, supaya kita bisa pulang bersama-sama" berkata Arya Salaka.
"Tidak perlu" jawab Sawung Sariti
"kita sudah berselisih jalan disini. Biarlah kita jemput ibu kita masing-masing. Aku jemput ibuku, kau jemput ibumu."
ARYA menarik nafas panjang. Adiknya memang terlalu kaku. Namun Arya masih mencoba berkata,
“Apakah kata ibu-ibu kita itu nanti. Mereka mengungsi bersama-sama, biarlah mereka pulang bersama-sama.”
“Ibuku bukan perempuan cengeng,” jawab Sawung Sariti,
“Kalau ibuku tak mau, biarlah ia pulang sendiri tanpa Sawung Sariti.”
“Hem!” terdengar Arya mengeluh.
"Tidak apalah adi" jawab Arya
"lalu bagaimana dengan adi Sawung Sariti?"
"Aku akan mengambil jalan ini" sahut Sawung Sariti.
"Baik. Kalau demikian biarlah kita berjanji untuk saling menunggu di tempat pengungsian ibu kami, supaya kita bisa pulang bersama-sama" berkata Arya Salaka.
"Tidak perlu" jawab Sawung Sariti
"kita sudah berselisih jalan disini. Biarlah kita jemput ibu kita masing-masing. Aku jemput ibuku, kau jemput ibumu."
ARYA menarik nafas panjang. Adiknya memang terlalu kaku. Namun Arya masih mencoba berkata,
“Apakah kata ibu-ibu kita itu nanti. Mereka mengungsi bersama-sama, biarlah mereka pulang bersama-sama.”
“Ibuku bukan perempuan cengeng,” jawab Sawung Sariti,
“Kalau ibuku tak mau, biarlah ia pulang sendiri tanpa Sawung Sariti.”
“Hem!” terdengar Arya mengeluh.
Tetapi ia tidak sempat berbicara lagi. Sawung Sariti telah pergi meninggalkannya. Galunggung berjalan di belakangnya hampir meloncat-loncat. Sekali dua kali dilihatnya kedua orang itu menoleh, tetapi lalu berjalan semakin cepat.
Perlahan-lahan Arya memutar tubuhnya. Ia melangkah kembali ke jalan kecil di antara pohon Siwalan itu. Ia harus berjalan terus ke selatan, kemudian di simpang tiga ia harus membelok ke kiri. Setelah beberapa langka akan ditemuinya parit. Ia dapat menempuh dua jalan. Terus lewat jalan kecil itu, atau menyusur tepi parit. Namun kedua jalan itu akan bertemu kembali di bawah pohon nyamplung yang besar di tepi sebuah sungai kecil. Setelah itu, ia hanya akan menyusur satu jalan terus sampai dimasukinya desa Sarapadan.
“Mungkin Adi Sawung Sariti benar,” pikirnya,
“Jalan itupun akan sampai ke Sarapadan.”
Dengan demikian Arya agak menyesal. Mungkin ia terlalu berprasangka.
Namun sebenarnya Arya telah berbuat hati-hati. Firasatnya telah dapat memberinya beberapa pertimbangan dalam mengambil keputusan. Kalau ia berjalan bersama-sama dengan Sawung Sariti, akibatnya akan berbahaya sekali. Sawung Sariti telah membawanya lewat jalan yang sepi, menyusur lewat pereng yang terjal. Di sana segala sesuatu akan dapat terjadi. Satu sentuhan di kakinya, akan dapat mengantarkannya ke dasar jurang yang dalam dan berdinding runcing seperti gerigi. Dan hal yang demikian itu, akan dapat terjadi. Untunglah, Tuhan telah membawanya lewat jalan lain.
Di jalan itu, Sawung Sariti berjalan sambil mengumpat-umpat. Sedang Galunggung pun menggeram tak habis-habisnya. Ketika Sawung Sariti membelok, dan memilih jalan itu, hatinya yang kelam segera dapat menebak maksud momongannya. Bahkan ia telah bersiap di belakang Arya, menyentuhnya sedikit dan kemudian bergegas-gegas berlari-lari ke Pamingit, memberitahukan kecelakaan yang terjadi, bahwa Arya Salaka terpeleset ke dalam jurang, atau dibiarkannya, tak seorangpun mengetahuinya.
Namun rencananya ternyata urung. Arya memilih jalan lain. Karena itupun mereka harus mempunyai rencana lain. Namun telah terpateri di dalam kepala anak muda dari Pamingit itu, bahwa Arya Salaka harus dilenyapkan. Sudah tentu dengan diam-diam. Dengan demikian kedatangan Gajah Sora tak akan berpengaruh. Kelak, sudah pasti bahwa Pamingit dan Banyubiru akan dikuasainya. Apalagi kini golongan hitam yang menghantui mereka telah lenyap pula.
Quote:
“Kakang Arya akan membelok di simpang tiga,” bisik Sawung Sariti.
“Ya,”jawab Galunggung singkat.
“Lalu, mungkin akan dipilihnya jalan di tepi parit,” Sawung Sariti meneruskan.
“Ya,”jawab Galunggung singkat.
“Lalu, mungkin akan dipilihnya jalan di tepi parit,” Sawung Sariti meneruskan.
Sawung Sariti berpikir sejenak. Hatinya benar-benar sudah dikuasai oleh nafsu yang menyala-nyala. Yang berada di dalam kepalanya hanyalah usaha terakhir untuk menyingkirkan kakak sepupunya.
Galunggung dapat mengetahui apa yang bergolak di dalam hati anak muda itu. Karena itu iapun turut berpikir. Ia mengharap bahwa Sawung Sariti kelak benar-benar dapat menguasai Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia pun akan mendapat tempat yang baik. Jauh lebih baik daripada yang sekarang dimiliki. Mungkin akan didapatnya tanah dua kali lipat dari tanah yang diterimanya sekarang. Juga kekuasaan yang diperoleh akan berlipat-lipat pula.
Setelah mereka berdiam diri sejenak, maka berkatalah Galunggung,
Quote:
“Angger Sawung Sariti. Kita masih mempunyai kesempatan. Kita dapat menempuh jalan memisah, lewat pematang dan menyusup di bawah uwot parit sebelah."
“Aku juga berpikir demikian,” sahut Sawung Sariti,
“Kita cegat Kakang Arya di simpang tiga, sebelum kita harus memilih jalan mana yang dilewati.”
“Terlalu tergesa-gesa,” jawab Galunggung,
“Kita cegat Angger Arya di sebelah pohon nyamplung.”
Kembali Sawung Sariti berpikir. Kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata,
“Mungkin baik juga.”
“Kalau demikian,” Sawung Sariti meneruskan,
“Kita harus segera menyusul Kakang Arya Salaka. Kita ambil jalan pematang.”
“Aku juga berpikir demikian,” sahut Sawung Sariti,
“Kita cegat Kakang Arya di simpang tiga, sebelum kita harus memilih jalan mana yang dilewati.”
“Terlalu tergesa-gesa,” jawab Galunggung,
“Kita cegat Angger Arya di sebelah pohon nyamplung.”
Kembali Sawung Sariti berpikir. Kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata,
“Mungkin baik juga.”
“Kalau demikian,” Sawung Sariti meneruskan,
“Kita harus segera menyusul Kakang Arya Salaka. Kita ambil jalan pematang.”
Sawung Sariti tidak menunggu jawaban Galunggung. Cepat ia meloncati parit kecil di tepi jalan. Kemudian menyusur pematang, menyusup di antara batang-batang jagung muda. Namun meskipun demikian, Sawung Sariti harus berhati-hati, supaya Arya tak dapat melihatnya.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas