- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#559
Jilid 17 [Part 389]
Spoiler for :
BETAPA pedih hati Lembu Sora melihat api yang menelan rumah-rumah dan banjar-banjar desa, mendengar pekik tangis perempuan dan anak-anak yang berusaha untuk memperpanjang hidupnya.
Betapa ngeri perasaan anak-anak melihat darah yang bercucuran dan betapa tertekan jiwanya melihat ayahnya diseret ke jalan-jalan. Tetapi peperangan itu sendiri serasa menjadi sahabat yang paling karib dari manusia. Setiap kali akan datang kembali, mengunjungi sahabatnya. Kalau tidak, maka sahabatnya itulah yang bertingkah mengundangnya.
Ternyata dalam sejarah hidup manusia yang ditulis di lontar-lontar, kitab-kitab kidung dan di lontar-lontar yang lain, selalu akan berulang kembali kata-kata: perang, perang, perang! Meskipun setiap mulut akan mengutuknya sebagai hantu yang paling menakutkan, tetapi seperti juga kekasih yang selalu dirindukan. Tidak saja negara-negara besar di Nusantara sendiri yang timbul dan tenggelam setelah pacah perang-perang besar, seperti Mataram Lama, Jenggala, Kediri, Pajajaran, Majapahit, dan bahkan ceritera-ceritera yang dibawa oleh para perantau, para pelaut dan pedagang asing di pantai Nusantara.
Negara-negara Parangakik, Ngerum, negara-negara Cina dan Jepang yang berebut pengaruh, selalu diakhiri oleh tangis para janda dan anak-anak karena suami dan ayah mereka lenyap dengan mengerikan sekali dalam kebiadaban api peperangan. Peperangan yang paling terkutuk, yang selalu terjadi di bumi Nusantara sejak masa-masa pemerintahan Senduk di Mataram Lama, Jayabaya dan Jayasaba, sampai pada masa-masa pemerintahan Tumapel Kediri dan seterusnya, pecahnya Majapahit, adalah karena perang saudara. Pemberontakan Peregreg, dan sebagainya, adalah permulaan dari kemunduran Majapahit. Karena itulah, didasari pada kesadaran yang demikian, setelah kepalanya sendiri hampir terbentur hancur, Lembu Sora sempat melihat dalam dirinya. Ia tidak mau mengalami nasib yang demikian. Kehancuran mutlak atas Pamingit dan Banyubiru. Yang membelit dirinya kini adalah penyesalan. Penyesalan yang menghujam ke dalam jantung kalbunya.
Dan ia belum terlambat.
Gajah Sora pun kemudian telah bersiap sebagai seorang kakak yang baik. Sambil menepuk bahu adiknya, ia berkata perlahan-lahan.
Lembu Sora tidak bisa menjawab. Mulutnya tersumbat. Tetapi ia mengangguk dan melangkah ke pintu. Yang berada di pintu pun telah duduk kembali ke tempatnya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Gajah Alit dan Paningron, kemudian Arya Salaka, Wilis dan Widuri. Disusul kemudian Gajah Sora dan Lembu Sora, sedang yang terakhir kali menempati tempatnya adalah Ki Ageng Sora Dipayana.
Mula-mula terasa betapa hatinya bergelora ketika Ki Ageng Lembu Sora melihat siapa saja yang hadir di dalam ruangan itu. Apalagi ketika ia melihat dua orang yang berpakaian lengkap sebagai prajurit-prajurit Demak. Jelas terbayang di kepalanya, bagaimana ia dengan orang-orang golongan hitam, mencegat laskar Demak, lima enam tahun yang lampau. Bagaimana pada saat itu Mahesa Jenar telah menyergapnya.
Tetapi kemudian hati Lembu Sora menjadi sumeleh. Ia pasrah pada kekuasaan Yang Maha Kuasa. Ia akan menerima kebenaran tertinggi. Sebab kemudian ia yakin, bahwa kebenaran tidak dapat dipaksakan oleh manusia, meskipun manusia seluruh dunia mengakuinya. Namun oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kebenaran yang berjalan di atas firman-Nya.
Tetapi sesuatu telah terjadi di luar halaman banjar desa itu. Dua pasang mata telah menyaksikan betapa Ki Ageng Lembu Sora menangis. Dan wajah kedua orang itupun menjadi merah karena marah. Seorang berperawakan kokoh dengan jalur-jalur ototnya yang menjorok di seluruh permukaan kulitnya. Orang itu adalah Galunggung, sedang yang lain, seorang anak muda sebaya dengan Arya Salaka, putra Ki Ageng Lembu Sora sendiri.
Sawung Sariti tersenyum. Seolah-olah ia telah memastikan dirinya untuk menerima warisan dari ayahnya atas Pamingit dan dari pamannya Gajah Sora atas Banyubiru. Meskipun dengan demikian ia harus duduk di atas bangkai kakak sepupunya.
Keduanya pun melangkah pergi. Tak seorangpun yang mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Sawung Sariti. Dan keduanya pergi tanpa menarik perhatian seorang pun. Sebagaimana mereka datang dari dalam gelap, berhenti dan berdiri menyaksikan apa yang terjadi di halaman banjar desa dari dalam gelap, mereka pun lenyap ditelan oleh kegelapan.
Di Banjar Desa, pembicaraan-pembicaraan telah mulai berlangsung lancar sekali. Paningron, meskipun tidak dengan tegas, namun disindirnya, bahwa ia tidak akan mengambil suatu tindakan apapun terhadap Banyubiru dan Pamingit, karena peristiwa pencegatan lima tahun lampau, sebab menurut laporan yang masuk ke Demak, pencegatan itu dilakukan oleh golongan hitam.
Sesaat kemudian di halaman itupun dikejutkan oleh suara tawa yang tinggi nyaring. Kemudian masuklah ke halaman itu seorang tua yang bertubuh tinggi, kekurus-kurusan. Dengan suara yang berderai, ia bertanya kepada anak-anak yang duduk di halaman,
Yang ditanya oleh Ki Ageng Pandan Alas, kebetulan adalah anak-anak Banyubiru, yang memang mengenal Rara Wilis.
Dari lubang pintu mereka memang melihat gadis itu berada di dalam. Maka salah seorang menjawab,
Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas muncul. Bagitu saja ia langsung masuk ke dalam Banjar. Tetapi ia tertegun, ketika dilihatnya banyak orang lain. Di antaranya, bahkan dua orang prajurit dalam pakaiannya.
Ia berkata Ki Ageng Sora Dipayana, namun tangannya terancung kepada Gajah Sora. Dengan serta merta Gajah Sora menyambut salam itu, sambil membungkuk hormat ia menjawab,
Dengan hadirnya Ki Ageng Pandan Alas, ruangan itu bertambah ramai dan ribut. Namun juga bertambah panas. Apalagi sesaat kemudian Titis Anganten telah datang pula meramaikan pertemuan itu. Pertemuan dari sekelompok sahabat yang lama terpisah-pisah, namun kemudian berkumpul kembali dalam suasana yang menyenangkan.
Pembicaraan mereka berkisar kesana kemari tak menentu. Terasa seakan-akan waktu begitu sempit dan cepat. Karena itu mereka terpaksa menunda pembicaraan mereka sampai esok. Belum ada hal yang puas mereka dengar, baik dari Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara tentang Pasingsingan yang rangkap tiga. Juga dari Gajah Sora tentang pengalamannya di Demak, serta dari Ki Ageng Sora Dipayana, Pandan Alas dan Titis Anganten tentang lenyapnya laskar hitam dari Pamingit.
Betapa ngeri perasaan anak-anak melihat darah yang bercucuran dan betapa tertekan jiwanya melihat ayahnya diseret ke jalan-jalan. Tetapi peperangan itu sendiri serasa menjadi sahabat yang paling karib dari manusia. Setiap kali akan datang kembali, mengunjungi sahabatnya. Kalau tidak, maka sahabatnya itulah yang bertingkah mengundangnya.
Ternyata dalam sejarah hidup manusia yang ditulis di lontar-lontar, kitab-kitab kidung dan di lontar-lontar yang lain, selalu akan berulang kembali kata-kata: perang, perang, perang! Meskipun setiap mulut akan mengutuknya sebagai hantu yang paling menakutkan, tetapi seperti juga kekasih yang selalu dirindukan. Tidak saja negara-negara besar di Nusantara sendiri yang timbul dan tenggelam setelah pacah perang-perang besar, seperti Mataram Lama, Jenggala, Kediri, Pajajaran, Majapahit, dan bahkan ceritera-ceritera yang dibawa oleh para perantau, para pelaut dan pedagang asing di pantai Nusantara.
Negara-negara Parangakik, Ngerum, negara-negara Cina dan Jepang yang berebut pengaruh, selalu diakhiri oleh tangis para janda dan anak-anak karena suami dan ayah mereka lenyap dengan mengerikan sekali dalam kebiadaban api peperangan. Peperangan yang paling terkutuk, yang selalu terjadi di bumi Nusantara sejak masa-masa pemerintahan Senduk di Mataram Lama, Jayabaya dan Jayasaba, sampai pada masa-masa pemerintahan Tumapel Kediri dan seterusnya, pecahnya Majapahit, adalah karena perang saudara. Pemberontakan Peregreg, dan sebagainya, adalah permulaan dari kemunduran Majapahit. Karena itulah, didasari pada kesadaran yang demikian, setelah kepalanya sendiri hampir terbentur hancur, Lembu Sora sempat melihat dalam dirinya. Ia tidak mau mengalami nasib yang demikian. Kehancuran mutlak atas Pamingit dan Banyubiru. Yang membelit dirinya kini adalah penyesalan. Penyesalan yang menghujam ke dalam jantung kalbunya.
Dan ia belum terlambat.
Gajah Sora pun kemudian telah bersiap sebagai seorang kakak yang baik. Sambil menepuk bahu adiknya, ia berkata perlahan-lahan.
Quote:
“Masuklah Lembu Sora.”
Lembu Sora tidak bisa menjawab. Mulutnya tersumbat. Tetapi ia mengangguk dan melangkah ke pintu. Yang berada di pintu pun telah duduk kembali ke tempatnya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Gajah Alit dan Paningron, kemudian Arya Salaka, Wilis dan Widuri. Disusul kemudian Gajah Sora dan Lembu Sora, sedang yang terakhir kali menempati tempatnya adalah Ki Ageng Sora Dipayana.
Mula-mula terasa betapa hatinya bergelora ketika Ki Ageng Lembu Sora melihat siapa saja yang hadir di dalam ruangan itu. Apalagi ketika ia melihat dua orang yang berpakaian lengkap sebagai prajurit-prajurit Demak. Jelas terbayang di kepalanya, bagaimana ia dengan orang-orang golongan hitam, mencegat laskar Demak, lima enam tahun yang lampau. Bagaimana pada saat itu Mahesa Jenar telah menyergapnya.
Tetapi kemudian hati Lembu Sora menjadi sumeleh. Ia pasrah pada kekuasaan Yang Maha Kuasa. Ia akan menerima kebenaran tertinggi. Sebab kemudian ia yakin, bahwa kebenaran tidak dapat dipaksakan oleh manusia, meskipun manusia seluruh dunia mengakuinya. Namun oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kebenaran yang berjalan di atas firman-Nya.
Tetapi sesuatu telah terjadi di luar halaman banjar desa itu. Dua pasang mata telah menyaksikan betapa Ki Ageng Lembu Sora menangis. Dan wajah kedua orang itupun menjadi merah karena marah. Seorang berperawakan kokoh dengan jalur-jalur ototnya yang menjorok di seluruh permukaan kulitnya. Orang itu adalah Galunggung, sedang yang lain, seorang anak muda sebaya dengan Arya Salaka, putra Ki Ageng Lembu Sora sendiri.
Quote:
“Perempuan,” bisik Sawung Sariti.
“Ayah Angger Arya Salaka terlalu perasa,” sahut Galunggung.
“Apa yang kira-kira dilakukan Ayah? Menyerah kepada nasib? Atau malahan menyerahkan Pamingit sebagai tebusan dirinya?” Sawung Sariti meneruskan sambil mencibirkan bibirnya.
“Apa kira-kira yang akan dilakukan oleh dua orang prajurit dari Demak itu di sini?” tanya Galunggung tiba-tiba.
Sawung Sariti mengerutkan keningnya.
“Entahlah,” jawabnya,
“Mungkin ia akan menangkap Ayah, karena Ayah pernah mencegat laskar Demak, dahulu.”
Mata Galunggung yang seperti burung hantu itu tiba-tiba menjadi suram. Ia menarik nafas sambil mengeram, katanya,
“Kalau benar, aku kira lebih baik hancur daripada menyerah.”
“Apakah kau sangka yang dua orang itu mampu menghancurkan kita?” kata Sawung Sariti dengan nada yang tinggi.
GALUNGGUNG menyahut,
“Laskarnya, apakah kira-kira hanya dua orang itu saja?”
“Jangan pikirkan itu,” potong Sawung Sariti,
“Barangkali ia mengawal Paman Gajah Sora yang hanya sekadar boleh menengok keluarga. Tetapi yang penting bagiku adalah Arya Salaka. Apakah Paman Gajah Sora kembali memerintah di Banyubiru atau tidak, kalau Arya Salaka dapat aku lenyapkan, maka akhirnya Pamingit dan Banyubiru akan jatuh di tanganku dengan sendirinya.”
“Angger benar. Tak ada orang lain yang dapat mewarisi kedua daerah ini secara sah selain Angger Sawung Sariti,” jawab Galunggung.
“Ayah Angger Arya Salaka terlalu perasa,” sahut Galunggung.
“Apa yang kira-kira dilakukan Ayah? Menyerah kepada nasib? Atau malahan menyerahkan Pamingit sebagai tebusan dirinya?” Sawung Sariti meneruskan sambil mencibirkan bibirnya.
“Apa kira-kira yang akan dilakukan oleh dua orang prajurit dari Demak itu di sini?” tanya Galunggung tiba-tiba.
Sawung Sariti mengerutkan keningnya.
“Entahlah,” jawabnya,
“Mungkin ia akan menangkap Ayah, karena Ayah pernah mencegat laskar Demak, dahulu.”
Mata Galunggung yang seperti burung hantu itu tiba-tiba menjadi suram. Ia menarik nafas sambil mengeram, katanya,
“Kalau benar, aku kira lebih baik hancur daripada menyerah.”
“Apakah kau sangka yang dua orang itu mampu menghancurkan kita?” kata Sawung Sariti dengan nada yang tinggi.
GALUNGGUNG menyahut,
“Laskarnya, apakah kira-kira hanya dua orang itu saja?”
“Jangan pikirkan itu,” potong Sawung Sariti,
“Barangkali ia mengawal Paman Gajah Sora yang hanya sekadar boleh menengok keluarga. Tetapi yang penting bagiku adalah Arya Salaka. Apakah Paman Gajah Sora kembali memerintah di Banyubiru atau tidak, kalau Arya Salaka dapat aku lenyapkan, maka akhirnya Pamingit dan Banyubiru akan jatuh di tanganku dengan sendirinya.”
“Angger benar. Tak ada orang lain yang dapat mewarisi kedua daerah ini secara sah selain Angger Sawung Sariti,” jawab Galunggung.
Sawung Sariti tersenyum. Seolah-olah ia telah memastikan dirinya untuk menerima warisan dari ayahnya atas Pamingit dan dari pamannya Gajah Sora atas Banyubiru. Meskipun dengan demikian ia harus duduk di atas bangkai kakak sepupunya.
Quote:
“Marilah kita pergi,” ajak Sawung Sariti.
“Tidaklah Angger akan menghadap Pamanda Gajah Sora?” tanya Galunggung.
Sawung Sariti mencibirkan bibirnya, jawabnya,
“Buat apa?”
“Tidaklah Angger akan menghadap Pamanda Gajah Sora?” tanya Galunggung.
Sawung Sariti mencibirkan bibirnya, jawabnya,
“Buat apa?”
Keduanya pun melangkah pergi. Tak seorangpun yang mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Sawung Sariti. Dan keduanya pergi tanpa menarik perhatian seorang pun. Sebagaimana mereka datang dari dalam gelap, berhenti dan berdiri menyaksikan apa yang terjadi di halaman banjar desa dari dalam gelap, mereka pun lenyap ditelan oleh kegelapan.
Di Banjar Desa, pembicaraan-pembicaraan telah mulai berlangsung lancar sekali. Paningron, meskipun tidak dengan tegas, namun disindirnya, bahwa ia tidak akan mengambil suatu tindakan apapun terhadap Banyubiru dan Pamingit, karena peristiwa pencegatan lima tahun lampau, sebab menurut laporan yang masuk ke Demak, pencegatan itu dilakukan oleh golongan hitam.
Sesaat kemudian di halaman itupun dikejutkan oleh suara tawa yang tinggi nyaring. Kemudian masuklah ke halaman itu seorang tua yang bertubuh tinggi, kekurus-kurusan. Dengan suara yang berderai, ia bertanya kepada anak-anak yang duduk di halaman,
Quote:
“Siapakah yang berada di dalam?”
“Penuh, Ki Ageng,” jawab salah seorang.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Katanya,
“Seseorang memberitahu kepadaku, katanya Anakmas Mahesa Jenar telah datang, bersama-sama dengan beberapa orang lain, di antaranya dua orang gadis. Adakah Rara Wilis bersamanya?”
“Penuh, Ki Ageng,” jawab salah seorang.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Katanya,
“Seseorang memberitahu kepadaku, katanya Anakmas Mahesa Jenar telah datang, bersama-sama dengan beberapa orang lain, di antaranya dua orang gadis. Adakah Rara Wilis bersamanya?”
Yang ditanya oleh Ki Ageng Pandan Alas, kebetulan adalah anak-anak Banyubiru, yang memang mengenal Rara Wilis.
Dari lubang pintu mereka memang melihat gadis itu berada di dalam. Maka salah seorang menjawab,
Quote:
“Ya, Ki Ageng, salah seorang di antaranya adalah Rara Wilis.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa.
“Aku sudah rindu kepadanya,” katanya.
Dan suaranya itu terdengar dari dalam ruangan Banjar Desa. Maka berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana,
“Angger Rara Wilis agaknya eyangmu telah datang.”
“Ya, Eyang,” jawabnya,
“Aku sudah mendengar suaranya.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa.
“Aku sudah rindu kepadanya,” katanya.
Dan suaranya itu terdengar dari dalam ruangan Banjar Desa. Maka berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana,
“Angger Rara Wilis agaknya eyangmu telah datang.”
“Ya, Eyang,” jawabnya,
“Aku sudah mendengar suaranya.”
Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas muncul. Bagitu saja ia langsung masuk ke dalam Banjar. Tetapi ia tertegun, ketika dilihatnya banyak orang lain. Di antaranya, bahkan dua orang prajurit dalam pakaiannya.
Quote:
“Silahkan Ki Ageng,” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan.
“Uh!” sahut Ki Ageng Pandan Alas,
“Aku kira hanya orang-orang kita sendiri, tetapi agaknya ….” suaranya terputus, lalu sambil berjalan berjongkok ia maju ke depan Gajah Sora sambil berkata,
“Bukankah ini Angger Gajah Sora seperti yang kau katakan, Ki Ageng?”
“Uh!” sahut Ki Ageng Pandan Alas,
“Aku kira hanya orang-orang kita sendiri, tetapi agaknya ….” suaranya terputus, lalu sambil berjalan berjongkok ia maju ke depan Gajah Sora sambil berkata,
“Bukankah ini Angger Gajah Sora seperti yang kau katakan, Ki Ageng?”
Ia berkata Ki Ageng Sora Dipayana, namun tangannya terancung kepada Gajah Sora. Dengan serta merta Gajah Sora menyambut salam itu, sambil membungkuk hormat ia menjawab,
Quote:
“Terimakasih, Paman.”
Baru kemudian Ki Ageng Pandan Alas sempat menyapa cucunya Rara Wilis.
“Kau bertambah kurus Wilis,” katanya.
Rara Wilis menundukkan wajahnya.
“Tetapi jangan terlalu kau biarkan dirimu menjadi semakin kurus. Itu tidak baik. Apalagi bagi gadis-gadis,” kata eyangnya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Endang Widuri,
“Tidak Eyang, Bibi Wilis hampir setiap pagi dan sore minum jamu singset. Karena itu Bibi Wilis kian hari kian bertambah cantik.”
“Ah,” potong Wilis sambil mencubit lengan anak itu.
“Aduh!” Widuri mengaduh, namun ia tertawa-tawa saja.
Baru kemudian Ki Ageng Pandan Alas sempat menyapa cucunya Rara Wilis.
“Kau bertambah kurus Wilis,” katanya.
Rara Wilis menundukkan wajahnya.
“Tetapi jangan terlalu kau biarkan dirimu menjadi semakin kurus. Itu tidak baik. Apalagi bagi gadis-gadis,” kata eyangnya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Endang Widuri,
“Tidak Eyang, Bibi Wilis hampir setiap pagi dan sore minum jamu singset. Karena itu Bibi Wilis kian hari kian bertambah cantik.”
“Ah,” potong Wilis sambil mencubit lengan anak itu.
“Aduh!” Widuri mengaduh, namun ia tertawa-tawa saja.
Dengan hadirnya Ki Ageng Pandan Alas, ruangan itu bertambah ramai dan ribut. Namun juga bertambah panas. Apalagi sesaat kemudian Titis Anganten telah datang pula meramaikan pertemuan itu. Pertemuan dari sekelompok sahabat yang lama terpisah-pisah, namun kemudian berkumpul kembali dalam suasana yang menyenangkan.
Pembicaraan mereka berkisar kesana kemari tak menentu. Terasa seakan-akan waktu begitu sempit dan cepat. Karena itu mereka terpaksa menunda pembicaraan mereka sampai esok. Belum ada hal yang puas mereka dengar, baik dari Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara tentang Pasingsingan yang rangkap tiga. Juga dari Gajah Sora tentang pengalamannya di Demak, serta dari Ki Ageng Sora Dipayana, Pandan Alas dan Titis Anganten tentang lenyapnya laskar hitam dari Pamingit.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas