- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#554
Jilid 17 [Part 386]
Spoiler for :
MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara menjadi ragu. Demikian pula Arya Salaka. Memang Karebet pernah muncul di Banyubiru. Namun mereka berdiam diri.
Sesaat suasana menjadi sepi.
Masing-masing tenggelam dalam angan-angan sendiri.
Kemudian terdengar Paningron meneruskan,
Kembali mereka berdia diri. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya. Sedang Arya Salaka sibuk menebak. Namun ia gembira, kalau benar apa yang diucapkan Wali yang Waskita itu, maka sahabatnya akan menjadi raja.
Sedang Wulungan sama sekali tak mengetahui ujung dan pangkal pembicaraan itu. Angin malam bertiup semakin kencang. Kini udara sudah tidak terlalu panas. Awan di langit perlahan-lahan telah hanyut disapa angin pegunungan.
Akhirnya, merekapun merasakan kelelahan yang merayapi tubuh-tubuh mereka. Maka mereka berkeputusan untuk menunda ceritera mereka sampai besok. Kini mereka perlu beristirahat. Namun meskipun mereka berbaring, tetapi angan-angan mereka masing-masing masih membumbung tinggi.
Kebo Kanigara membayangkan betapa kemenakannya itu melakukan pelanggaran di halaman istana. “Ah, benar-benar anak nakal. Penyakitnya itu setiap saat dapat muncul dengan tiba-tiba. Seharusnya ia menghindari kesalahan ini, meskipun ia tidak bersalah seluruhnya,”pikirnya.
Sedang Arya Salaka sibuk membayangkan masa depannya disamping masa depan sahabatnya yang gemilang. Namun ia tidak iri hati. Kalau ia dapat kembali ke tanah pusakanya, maka ia telah mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kini ayahnya telah kembali kepadanya. Namun terdengar ia berdesah. Ia belum berhasil menemukan ibunya. Ia masih belum berani menyinggung-nyinggung keselamatan ibunya kepada ayahnya. Sebab ia masih belum menemuinya. Meskipun ia melihat pertanyaan tentang ibunya itu memancar dari rongga mata ayahnya, namun agaknya ayahnyapun berusaha menahan diri, di hadapan orang-orang lain ini. Memang demikianlah pertanyaan tentang isterinya itu melingkar-lingkar di hati Gajah Sora. Namun ia agak malu untuk melahirkannya.
Yang melayang-layang di dalam angan-angan Mahesa Jenar adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kalau orang berjubah abu-abu itu berkata bahwa Jaka Tingkir kelak akan merajai pulau Jawa, bagaimanakah dengan kedua pusaka itu? Apakah oleh Panembahan Ismaya, kedua pusaka itu akan diserahkan kepada Mas Karebet sebagai sipat kandel, dan apakah kedua pusaka itu akan luluh dalam dirinya. “Aku akan menanyakannya ke Karang Tumaritis kelak,” pikirnya. “Sekarang biarlah aku mengantar Arya sampai ke tempatnya. Tanah perdikan Banyubiru.”
Meskipun angan-angan mereka bertentangan kian kemari, namun mereka tetap berbaring diam.
Wulungan tidak ikut berbaring dengan mereka, tetapi ia berdiri dan melangkah keluar. Ia berjalan ke arah api di pojok desa, dan ia berbaring di antara anak buahnya. Kepada anak buahnya diceriterakannya apa yang dilihatnya, bahwa Ki Ageng Gajah Sora telah kembali diantar oleh dua orang prajurit istana. Sisa malam berjalan dengan tenangnya, dibungai oleh bintang pagi di tenggara, bertengger di atas punggung bukit. Mereka yang berbaring di bale-bale besar itupun telah lelap dibuai mimpi. Tetapi mereka tidak tidur terlalu lama.
Pagi-pagi benar, sebelum cahaya matahari memancar dari balik cakrawala, mereka telah bangun. Setelah bersembahyang Subuh, segera mereka bersiap-siap untuk pergi ke Pamingit. Wulunganpun segera mempersiapkan diri beserta beberapa orang laskarnya, untuk mengantar Mahesa Jenar dan kawan-kawannya ke Pamingit dan kini bahkan bertambah dengan Ki Ageng Gajah Sora, Paningron dan Gajah Alit. Rara Wilis dan Widuri pun terkejut bercampur gembira ketika mereka mengetahui bahwa ayah Arya Salaka telah kembali dengan selamat. Perjalanan di pagi yang segar itu terasa sangat menggembirakan bagi Widuri. Kudanya kadang-kadang berpacu mendahului, kadang-kadang berlari berputar di lapangan rumput terbuka mengejar kelinci yang berkeliaran. Arya Salaka pun sebenarnya tidak kalah gembiranya. Sebenarnya ia ingin berpacu pula, mengejar kuda Endang Widuri, tetapi ia tidak tahu, perasaan apa yang telah mencegahnya.
GAJAH SORA yang melihat gadis itu dengan lincahnya seolah-olah menari-nari di atas punggung kuda menjadi heran. Alangkah lincah dan tangkasnya.
Tetapi ia tidak kalah bangga melihat Arya Salaka yang duduk tenang di atas kuda di sampingnya. Anak itu tampak kokoh, kuat seperti Mahesa Jenar. Kalau dahulu, di gunung Tidar, kematangannya dalam menerapkan ilmu Lebur Saketi, satu lapis lebih tinggi dari Mahesa Jenar, maka kini ia yakin, bahwa anaknya sudah tak dapat dikalahkannya. Ilmunya sendiri, hampir tak berubah selama ia berada di Demak. Tetapi ia tidak menyesal. Bagi tanah perdikannya, Arya Salaka sudah akan mampu dibujurlintangkan apabila ada marabahaya datang.
Terhadap Mahesa Jenar pun, ia tak habis heran, dari mana ia dapat mematangkan ilmunya sehingga ia mampu membunuh Sima Rodra? Tak banyak yang mereka percakapkan dalam perjalanan itu. Sebenarnya mereka masing-masing ingin segera sampai, tapi tak seorangpun yang berkesan tergesa-gesa. Mereka berusaha menahan perasaan masing-masing.
Ketika mereka sampai di Jatisari, mereka melihat desa ini masih sepi. Beberapa rumah tampak rusak. Ketika mereka sampai disebuah rumah yang lebih besar daripada rumah-rumah yang lain, Wulungan berkata kepada Mahesa Jenar,
Ketika Wulungan membelokkan kudanya masuk ke halaman rumah Bahu Jatisari, rombongan itupun berhenti menunggu. Beberapa orang laskar anak buah Wulungan ikut masuk ke halaman rumah itu. Mereka berloncatan turun dari kuda mereka, dan bersama-sama dengan Wulungan memasuki rumah itu.
Tidak lama kemudian mereka telah keluar kembali. Tampak wajah mereka membayangkan kekecewaan dan kemarahan.
Sesaat kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan mereka melihat bekas-bekas keganasan gerombolan hitam yang telah menunggu daerah perdikan Pamingit. Juga di sepanjang jalan mereka ketemukan bekas-bekas rakyat Pamingit yang mengungsi.
Widuri yang berkuda paling depan, meloncat turun dari kudanya, ketika dilihatnya sebuah golek terkapar di tanah.
Sebagai seorang gadis Widuripun perasa, ia bersedih hati kalau ia melihat orang lain meneteskan air mata. Dan ia akan tertawa kalau ia melihat orang lain bergembira. Golek kecil itupun diselipkan di ikat pinggangnya. Kemudian dengan lincahnya ia meloncat ke atas punggung kuda. Dan Widuri pun berpacu kembali.
Setiap orang di dalam rombongan itu menyaksikan dengan sedih akibat keganasan gerombolan orang-orang dari golongan hitam, yang datang dari berbagai daerah untuk merusak sendi-sendi kehidupan di Pamingit. Tetapi Tuhan Maha Adil. Hampir seluruh tokoh-tokoh mereka itu dapat dihancurkan. Dengan demikian mereka tak akan mampu lagi untuk kembali mengadakan keributan, apalagi mimpi mereka tentang Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Sebenarnya jarak dari Pangrantunan ke Pamingit tidaklah begitu jauh. Dalam kecepatan sedang, jarak itu dapat ditempuh dalam setengah hari. Tapi rombongan ini tidak berjalan ajeg. Berkali-kali mereka harus berhenti, kalau mereka melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Bahkan sekali dua kali ditemuinya mayat yang masih belum terurus.
Dengan demikian mereka harus berhenti dan melaksanakan pemakaman sebagaimana seharusnya.
Karena itu maka perjalanan rombongan itu menjadi lambat. Ketika matahari telah jauh condong di sisi barat dan cahaya merah berpancaran di wajah langit yang kelabu, berdebar-debarlah setiap jantung semua orang dari rombongan itu. Di hadapan mereka, terbujur sebuah desa Banjar Panjang. Itulah Pamingit. Tanpa sengaja perjalanan rombongan itu menjadi kian cepat.
Dan dari mulut ke mulut, Ki Ageng Gajah Sora terdengar bergumam,
Quote:
“Mungkin kakang berdua tak mengetahuinya,” kata Gajah Alit.
Sesaat suasana menjadi sepi.
Masing-masing tenggelam dalam angan-angan sendiri.
Kemudian terdengar Paningron meneruskan,
Quote:
“Keluarga terdekat Dadung Ngawuk marah kepada Mas Karebet. Mereka berusaha untuk membunuhnya. Sebab dengan demikian mereka telah kehilangan harapan. Keluarga mereka yang ingin menompang mukti. Tetapi Mas Karebet bukan anak-anak yang dapat dibunuh seperti membunuh cacing. Ketika pada suatu saat, beberapa orang keluarga Dadung Ngawuk berhasil menemukan anak muda itu, maka mereka beramai-ramai mengeroyoknya. Pada saat itulah orang berjubah abu-abu itu muncul. Tak seorangpun mampu melawannya. Bahkan orang berjubah itu berkata, Jangan bunuh anak muda ini. Seorang Wali yang Waskita berkata, bahwa ia akan merajai pula Jawa.”
Kembali mereka berdia diri. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya. Sedang Arya Salaka sibuk menebak. Namun ia gembira, kalau benar apa yang diucapkan Wali yang Waskita itu, maka sahabatnya akan menjadi raja.
Sedang Wulungan sama sekali tak mengetahui ujung dan pangkal pembicaraan itu. Angin malam bertiup semakin kencang. Kini udara sudah tidak terlalu panas. Awan di langit perlahan-lahan telah hanyut disapa angin pegunungan.
Akhirnya, merekapun merasakan kelelahan yang merayapi tubuh-tubuh mereka. Maka mereka berkeputusan untuk menunda ceritera mereka sampai besok. Kini mereka perlu beristirahat. Namun meskipun mereka berbaring, tetapi angan-angan mereka masing-masing masih membumbung tinggi.
Kebo Kanigara membayangkan betapa kemenakannya itu melakukan pelanggaran di halaman istana. “Ah, benar-benar anak nakal. Penyakitnya itu setiap saat dapat muncul dengan tiba-tiba. Seharusnya ia menghindari kesalahan ini, meskipun ia tidak bersalah seluruhnya,”pikirnya.
Sedang Arya Salaka sibuk membayangkan masa depannya disamping masa depan sahabatnya yang gemilang. Namun ia tidak iri hati. Kalau ia dapat kembali ke tanah pusakanya, maka ia telah mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kini ayahnya telah kembali kepadanya. Namun terdengar ia berdesah. Ia belum berhasil menemukan ibunya. Ia masih belum berani menyinggung-nyinggung keselamatan ibunya kepada ayahnya. Sebab ia masih belum menemuinya. Meskipun ia melihat pertanyaan tentang ibunya itu memancar dari rongga mata ayahnya, namun agaknya ayahnyapun berusaha menahan diri, di hadapan orang-orang lain ini. Memang demikianlah pertanyaan tentang isterinya itu melingkar-lingkar di hati Gajah Sora. Namun ia agak malu untuk melahirkannya.
Yang melayang-layang di dalam angan-angan Mahesa Jenar adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kalau orang berjubah abu-abu itu berkata bahwa Jaka Tingkir kelak akan merajai pulau Jawa, bagaimanakah dengan kedua pusaka itu? Apakah oleh Panembahan Ismaya, kedua pusaka itu akan diserahkan kepada Mas Karebet sebagai sipat kandel, dan apakah kedua pusaka itu akan luluh dalam dirinya. “Aku akan menanyakannya ke Karang Tumaritis kelak,” pikirnya. “Sekarang biarlah aku mengantar Arya sampai ke tempatnya. Tanah perdikan Banyubiru.”
Meskipun angan-angan mereka bertentangan kian kemari, namun mereka tetap berbaring diam.
Wulungan tidak ikut berbaring dengan mereka, tetapi ia berdiri dan melangkah keluar. Ia berjalan ke arah api di pojok desa, dan ia berbaring di antara anak buahnya. Kepada anak buahnya diceriterakannya apa yang dilihatnya, bahwa Ki Ageng Gajah Sora telah kembali diantar oleh dua orang prajurit istana. Sisa malam berjalan dengan tenangnya, dibungai oleh bintang pagi di tenggara, bertengger di atas punggung bukit. Mereka yang berbaring di bale-bale besar itupun telah lelap dibuai mimpi. Tetapi mereka tidak tidur terlalu lama.
Pagi-pagi benar, sebelum cahaya matahari memancar dari balik cakrawala, mereka telah bangun. Setelah bersembahyang Subuh, segera mereka bersiap-siap untuk pergi ke Pamingit. Wulunganpun segera mempersiapkan diri beserta beberapa orang laskarnya, untuk mengantar Mahesa Jenar dan kawan-kawannya ke Pamingit dan kini bahkan bertambah dengan Ki Ageng Gajah Sora, Paningron dan Gajah Alit. Rara Wilis dan Widuri pun terkejut bercampur gembira ketika mereka mengetahui bahwa ayah Arya Salaka telah kembali dengan selamat. Perjalanan di pagi yang segar itu terasa sangat menggembirakan bagi Widuri. Kudanya kadang-kadang berpacu mendahului, kadang-kadang berlari berputar di lapangan rumput terbuka mengejar kelinci yang berkeliaran. Arya Salaka pun sebenarnya tidak kalah gembiranya. Sebenarnya ia ingin berpacu pula, mengejar kuda Endang Widuri, tetapi ia tidak tahu, perasaan apa yang telah mencegahnya.
GAJAH SORA yang melihat gadis itu dengan lincahnya seolah-olah menari-nari di atas punggung kuda menjadi heran. Alangkah lincah dan tangkasnya.
Quote:
“Ah, tidaklah aneh,” bisik hatinya,
“Ayahnya, Kakang Kebo Kanigara telah mampu membunuh Nagapasa.”
Dan tiba-tiba saja hatinya menjadi sangat tertarik pada gadis itu.
“Sayang,” hatinya berbisik terus,
“Aku tak punya anak gadis seperti itu.”
“Ayahnya, Kakang Kebo Kanigara telah mampu membunuh Nagapasa.”
Dan tiba-tiba saja hatinya menjadi sangat tertarik pada gadis itu.
“Sayang,” hatinya berbisik terus,
“Aku tak punya anak gadis seperti itu.”
Tetapi ia tidak kalah bangga melihat Arya Salaka yang duduk tenang di atas kuda di sampingnya. Anak itu tampak kokoh, kuat seperti Mahesa Jenar. Kalau dahulu, di gunung Tidar, kematangannya dalam menerapkan ilmu Lebur Saketi, satu lapis lebih tinggi dari Mahesa Jenar, maka kini ia yakin, bahwa anaknya sudah tak dapat dikalahkannya. Ilmunya sendiri, hampir tak berubah selama ia berada di Demak. Tetapi ia tidak menyesal. Bagi tanah perdikannya, Arya Salaka sudah akan mampu dibujurlintangkan apabila ada marabahaya datang.
Terhadap Mahesa Jenar pun, ia tak habis heran, dari mana ia dapat mematangkan ilmunya sehingga ia mampu membunuh Sima Rodra? Tak banyak yang mereka percakapkan dalam perjalanan itu. Sebenarnya mereka masing-masing ingin segera sampai, tapi tak seorangpun yang berkesan tergesa-gesa. Mereka berusaha menahan perasaan masing-masing.
Ketika mereka sampai di Jatisari, mereka melihat desa ini masih sepi. Beberapa rumah tampak rusak. Ketika mereka sampai disebuah rumah yang lebih besar daripada rumah-rumah yang lain, Wulungan berkata kepada Mahesa Jenar,
Quote:
“Baiklah aku melihat rumah Bahu Jatisari ini.”
“Lihatlah,” jawab Mahesa Jenar,
“Rumah itu masih tampak sepi.”
“Lihatlah,” jawab Mahesa Jenar,
“Rumah itu masih tampak sepi.”
Ketika Wulungan membelokkan kudanya masuk ke halaman rumah Bahu Jatisari, rombongan itupun berhenti menunggu. Beberapa orang laskar anak buah Wulungan ikut masuk ke halaman rumah itu. Mereka berloncatan turun dari kuda mereka, dan bersama-sama dengan Wulungan memasuki rumah itu.
Tidak lama kemudian mereka telah keluar kembali. Tampak wajah mereka membayangkan kekecewaan dan kemarahan.
Quote:
“Apa yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar, ketika Wulungan telah berada di dalam rombongan itu kembali.
“Perampokan yang biadab,” jawab Wulungan,
“Rumah itu telah hampir kosong. Orang-orang golongan hitam telah merampoknya.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Yang berkata kemudian Ki Ageng Gajah Sora,
“Kasihan rakyat Pamingit.”
“Perampokan yang biadab,” jawab Wulungan,
“Rumah itu telah hampir kosong. Orang-orang golongan hitam telah merampoknya.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Yang berkata kemudian Ki Ageng Gajah Sora,
“Kasihan rakyat Pamingit.”
Sesaat kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan mereka melihat bekas-bekas keganasan gerombolan hitam yang telah menunggu daerah perdikan Pamingit. Juga di sepanjang jalan mereka ketemukan bekas-bekas rakyat Pamingit yang mengungsi.
Widuri yang berkuda paling depan, meloncat turun dari kudanya, ketika dilihatnya sebuah golek terkapar di tanah.
Quote:
“Apa yang kau ambil itu?” tanya ayahnya, Kebo Kanigara.
“Golek,” jawab Widuri.
“Anak yang mempunyai golek ini mesti mencarinya. Mungkin pada waktu itu ia didukung oleh ibunya berlari-lari, menghindarkan diri dari api peperangan. Semalam suntuk anak itu pasti menangis mencari goleknya ini.”
“Kepada siapa golek itu akan kau kembalikan?” tanya ayahnya.
“Di pengungsian akan aku ketemukan,” jawab Widuri,
“Gadis kecil yang manis.”
Ayahnya tersenyum.
“Golek,” jawab Widuri.
“Anak yang mempunyai golek ini mesti mencarinya. Mungkin pada waktu itu ia didukung oleh ibunya berlari-lari, menghindarkan diri dari api peperangan. Semalam suntuk anak itu pasti menangis mencari goleknya ini.”
“Kepada siapa golek itu akan kau kembalikan?” tanya ayahnya.
“Di pengungsian akan aku ketemukan,” jawab Widuri,
“Gadis kecil yang manis.”
Ayahnya tersenyum.
Sebagai seorang gadis Widuripun perasa, ia bersedih hati kalau ia melihat orang lain meneteskan air mata. Dan ia akan tertawa kalau ia melihat orang lain bergembira. Golek kecil itupun diselipkan di ikat pinggangnya. Kemudian dengan lincahnya ia meloncat ke atas punggung kuda. Dan Widuri pun berpacu kembali.
Setiap orang di dalam rombongan itu menyaksikan dengan sedih akibat keganasan gerombolan orang-orang dari golongan hitam, yang datang dari berbagai daerah untuk merusak sendi-sendi kehidupan di Pamingit. Tetapi Tuhan Maha Adil. Hampir seluruh tokoh-tokoh mereka itu dapat dihancurkan. Dengan demikian mereka tak akan mampu lagi untuk kembali mengadakan keributan, apalagi mimpi mereka tentang Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Sebenarnya jarak dari Pangrantunan ke Pamingit tidaklah begitu jauh. Dalam kecepatan sedang, jarak itu dapat ditempuh dalam setengah hari. Tapi rombongan ini tidak berjalan ajeg. Berkali-kali mereka harus berhenti, kalau mereka melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Bahkan sekali dua kali ditemuinya mayat yang masih belum terurus.
Dengan demikian mereka harus berhenti dan melaksanakan pemakaman sebagaimana seharusnya.
Karena itu maka perjalanan rombongan itu menjadi lambat. Ketika matahari telah jauh condong di sisi barat dan cahaya merah berpancaran di wajah langit yang kelabu, berdebar-debarlah setiap jantung semua orang dari rombongan itu. Di hadapan mereka, terbujur sebuah desa Banjar Panjang. Itulah Pamingit. Tanpa sengaja perjalanan rombongan itu menjadi kian cepat.
Dan dari mulut ke mulut, Ki Ageng Gajah Sora terdengar bergumam,
Quote:
“Pamingit!”
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas