- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#545
Jilid 16 [Part 381]
Spoiler for :
ARYA SALAKA menjadi cemas. Orang yang membawa obor itu tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan orang yang membawa obor itu mungkin seorang atau dua orang laskar biasa, sehingga apabila ia mendapat serangan yang tiba-tiba, maka akan terancamlah jiwanya. Karena itu Arya tidak mau membiarkan hal itu terjadi, sehingga ia harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Tetapi sampai saat ini ia masih sibuk melayani lawannya yang menyerangnya seperti air sungai yang mengalir tak henti-hentinya.
Karena itu tiba-tiba dalam kecemasannya mengenai nasib orang yang membawa obor itu, Arya Salaka berteriak,
Arya melihat obor di kejauhan itu menjadi semakin jauh. Malahan kemudian tampak obor itu terbang cepat sekali. Agaknya orang yang membawa obor itu telah berlari sekencang-kencangnya.
Ketika obor itu telah hilang di balik bayangan pohon-pohonan, Arya berkata,
Orang bertopeng itu tertawa. Ia tidak menjawab, tetapi serangannya menjadi semakin sengit. Namun perlawanan Arya menjadi semakin rapat dan serangan-serangan balasan Arya pun datang seperti ombak di lautan, beruntun menghantam tebing. Semakin lama tampaklah tenaga Arya Salaka semakin mantap. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya, setelah ia mengetahui kekuatan dan kekurangan tata gerak lawannya. Hal inipun dirasakan pula oleh lawannya, berkali-kali ia terpaksa melontarkan diri surut, berputar dan menghindar. Meskipun ia berusaha sekuat tenaganya, namun ia tak dapat menekan Arya Salaka yang muda itu. Meskipun demikian, orang di balik pagar itu tidak muncul untuk membantu kawannya. Sehingga Arya menjadi bertambah pusing. Kalau orang itu ingin membinasakan, kenapa orang di balik pagar yang barangkali lebih dari seorang itu tidak menyerangnya bersama-sama.
Namun ia tidak boleh lengah. Ia harus tetap waspada, apabila orang-orang di balik pagar itu menunggu saat yang setepat-tepatnya bagi mereka. Ataukah ia berhadapan dengan laki-laki yang tinggi hati?
Demikianlah pertempuran itu berlangsung terus. Bertempur sambil berteka-teki. Orang yang membawa obor itu adalah orang Pangrantunan. Ia bukanlah laskar Pamingit. Karena itu ketika ia mendengar teriakan Arya, ia menjadi ketakutan. Sebenarnya ia hanya ingin ke sungai, ketika perutnya tak dapat diajak menunggu sampai besok. Ketika ia berlari-lari, dijumpainya dua orang laskar yang sedang nganglang. Sambil terengah-engah ia berkata,
Kedua orang itupun cepat-cepat berputar lewat jalan lain menuju ke pondok Wulungan. Di sana ditemuinya Wulungan berdiri dihalaman bersama Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Ketika Wulungan melihat orang itu bergegas, bertanyalah ia,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera melangkah pergi. Sedang Wulungan tetap berdiri di halaman untuk mengamati keadaan di sekitarnya. Diperintahkannya memanggil beberapa orang yang masih enak-enak duduk di samping perapian sambil merebus jagung muda. Kepada mereka Wulungan minta, agar mereka meningkatkan kewaspadaan. Setiap saat dapat terjadi hal-hal yang tak mereka kehendaki.
MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara tidak mau mendekati tempat yang ditunjukkan oleh kedua orang laskar Pamingit itu lewat jalan desa. Sebagai seorang yang banyak makan garam, mereka sadar bahwa jalan itu berbahaya. Karena itu mereka justru memilih kebun dan gerumbul-gerumbul kecil sebagai jalan yang sebaik-baiknya.
Arya Salaka masih saja sibuk melayani lawannya. Namun lambat laun, terasa bahwa nafasnya agak mulai lebih baik daripada nafas lawannya. Perlahan-lahan namun pasti, ia mulai mendesak orang bertopeng itu, meskipun untuk berbuat demikian Arya harus berjuang ngetog kekuatan dan ilmunya.
Disamping kemenangannya yang datang lambat sekali itu, Arya masih harus memperhitungkan apa yang kira-kira dapat dilakukan apabila orang-orang di balik pagar itu datang membantu. Tetapi apa yang ditunggunya itu akhirnya datang. Orang-orang di balik pagar itu benar-benar meloncat dari dalam kelam.
Seorang, lalu disusul seorang lagi. Melihat mereka, Arya segera menyiapkan diri. Arya belum pernah melihat mereka berdua. Yang seorang agak pendek bulat, yang seorang bertubuh gagah, tinggi. Menilik gerak mereka, Arya mencoba untuk menjajagi keprigelan mereka.
Di dalam gelap malam, Arya tidak memperhatikan wajah-wajah mereka dengan seksama. Apalagi Arya masih harus bertempur pula. Karena itu ia sama sekali tidak mendapat kesan apa-apa mengenai wajah kedua orang itu. Karena itu maka sekali lagi Arya ingin mendapat kepastian dari lawan-lawan mereka, sebelum ia mengambil sikap terakhir.
Arya bertambah curiga. Ia ingat kemauan yang tak terkendalikan dari adik sepupunya. Apakah orang ini benar-benar adiknya yang membawa orang-orang asing untuk membunuhnya?
Sedang dalam pada itu kedua kawan-kawannya pun telah bergerak pula mendekati titik perkelahian itu. Arya kini benar-benar harus menentukan sikap terakhir. Siapapun yang berdiri di hadapannya, kalau orang-orang itu benar-benar akan membinasakannya apapun alasannya ia harus membela dirinya mati-matian.
Sebagai seorang laki-laki yang diasuh oleh Mahesa Jenar, sebenarnya Arya cukup berlapang dada. Namun iapun tak mau mati. Meskipun dalam keraguan, ia berusaha untuk tidak berprasangka terhadap Sawung Sariti. Tubuhnya, suaranya dan kata-katanya bukan tubuh suara dan kata-kata adiknya. Adiknya tidak berkata sekasar itu, namun lebih licin, licik dan menyakitkan hati. Tatageraknya pun agak berbeda.
Adiknya licin dan cekatan, orang itu tangguh meskipun cepat bergerak pula. Tetapi akhirnya ia tidak peduli lagi, siapapun yang dihadapi. Ketika dua orang kawannya mulai bergerak, Arya tidak mempunyai pilihan lain daripada mempertaruhkan segenap ilmunya. Kedua orang yang membantu orang bertopeng itu ternyata bertatagerak lain. Lain sekali dengan orang bertopeng itu. Mereka agaknya sama sekali tak ada hubungan perguruan.
Dalam saat-saat terakhir terasa bahwa Arya tak dapat mampu mempertahankan dirinya. Maka daripada mati sebelum segenap tugasnya selesai, Arya telah memilih keputusan yang terakhir. Ia melontar mundur agak jauh dari lawannya, dipusatkannya segala daya kekuatannya, pikirannya dan diaturnya nafasnya menurut saluran ilmu terakhirnya, Sasra Birawa.
Tetapi kembali ia dikejutkan oleh peristiwa yang tak dapat dimengertinya. Ketiga orang itu sama sekali tak mengejarnya. Bahkan orang bertopeng itu tiba-tiba berteriak,
Pemusatan pikiran Arya agak terganggu. Namun kembali ia mengatur tata pernafasannya. Ia tidak mau gagal karena pengaruh perasaannya. Namun kali ini ia benar-benar terpaksa mengurungkan niatnya, sebelum getaran di dadanya menjalar ke sisi telapak tangan kanannya.
Tiba-tiba dari dalam kelam di balik pepohonan terdengar suara,
Dalam hal yang demikian, Arya tak dapat berbuat lain daripada menurut perintah itu. Kakinya yang hampir diangkatnya, diletakkannya kembali di atas tanah. Kemudian tangan kanannya yaag sudah mulai bergerak, disilangkannya di muka dadanya untuk meredakan getaran-getaran yang telah mulai bergerak di dalam dirinya. Perlahan-lahan ilmu yang dahsyat itu mengendor kembali sebelum menguasai tubuh Arya sepenuhnya.
Karena itu tiba-tiba dalam kecemasannya mengenai nasib orang yang membawa obor itu, Arya Salaka berteriak,
Quote:
“Hai, siapa yang membawa obor itu?”
“Kenapa kau berteriak-teriak?” tanya orang yang bertopeng.
“Hai, orang yang membawa obor itu. Jangan mendekat. Bahaya sedang menanti di sini,” sambung Arya tanpa memperdulikan kata-kata orang bertopeng.
“Kau mencari kawan?” sindir orang bertopeng itu.
Arya tidak menjawab. Yang terdengar di kejauhan suara orang yang membawa obor,
“Ada apa di situ?”
“Jangan mendekat,” teriak Arya sambil bertempur terus.
Obor itu berhenti. Arya menjadi agak berlega hati. Namun terdengar orang di balik pagar berdesis,
“Curang. Kau tidak memberi kesempatan aku bertempur.”
“Siapa kau?” tanya Arya.
“Jangan ribut!” bentak orang di balik pagar itu.
“Kenapa kau berteriak-teriak?” tanya orang yang bertopeng.
“Hai, orang yang membawa obor itu. Jangan mendekat. Bahaya sedang menanti di sini,” sambung Arya tanpa memperdulikan kata-kata orang bertopeng.
“Kau mencari kawan?” sindir orang bertopeng itu.
Arya tidak menjawab. Yang terdengar di kejauhan suara orang yang membawa obor,
“Ada apa di situ?”
“Jangan mendekat,” teriak Arya sambil bertempur terus.
Obor itu berhenti. Arya menjadi agak berlega hati. Namun terdengar orang di balik pagar berdesis,
“Curang. Kau tidak memberi kesempatan aku bertempur.”
“Siapa kau?” tanya Arya.
“Jangan ribut!” bentak orang di balik pagar itu.
Arya melihat obor di kejauhan itu menjadi semakin jauh. Malahan kemudian tampak obor itu terbang cepat sekali. Agaknya orang yang membawa obor itu telah berlari sekencang-kencangnya.
Ketika obor itu telah hilang di balik bayangan pohon-pohonan, Arya berkata,
Quote:
“Nah, jangan menunggu laskar-laskar yang tak tahu-menahu itu terjebak. Sekali lagi aku bertanya, siapakah kalian?”
Orang bertopeng itu tertawa. Ia tidak menjawab, tetapi serangannya menjadi semakin sengit. Namun perlawanan Arya menjadi semakin rapat dan serangan-serangan balasan Arya pun datang seperti ombak di lautan, beruntun menghantam tebing. Semakin lama tampaklah tenaga Arya Salaka semakin mantap. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya, setelah ia mengetahui kekuatan dan kekurangan tata gerak lawannya. Hal inipun dirasakan pula oleh lawannya, berkali-kali ia terpaksa melontarkan diri surut, berputar dan menghindar. Meskipun ia berusaha sekuat tenaganya, namun ia tak dapat menekan Arya Salaka yang muda itu. Meskipun demikian, orang di balik pagar itu tidak muncul untuk membantu kawannya. Sehingga Arya menjadi bertambah pusing. Kalau orang itu ingin membinasakan, kenapa orang di balik pagar yang barangkali lebih dari seorang itu tidak menyerangnya bersama-sama.
Namun ia tidak boleh lengah. Ia harus tetap waspada, apabila orang-orang di balik pagar itu menunggu saat yang setepat-tepatnya bagi mereka. Ataukah ia berhadapan dengan laki-laki yang tinggi hati?
Demikianlah pertempuran itu berlangsung terus. Bertempur sambil berteka-teki. Orang yang membawa obor itu adalah orang Pangrantunan. Ia bukanlah laskar Pamingit. Karena itu ketika ia mendengar teriakan Arya, ia menjadi ketakutan. Sebenarnya ia hanya ingin ke sungai, ketika perutnya tak dapat diajak menunggu sampai besok. Ketika ia berlari-lari, dijumpainya dua orang laskar yang sedang nganglang. Sambil terengah-engah ia berkata,
Quote:
“Ki Sanak, ada bahaya di jalan ini.”
Laskar itu pun bertanya,
“Dari mana kau tahu?”
“Aku akan lewat di jalan ini. Tetapi dikejauhan aku mendengar seseorang berteriak, Jangan mendekat…!” jawab orang itu.
Kedua orang itu mengangguk-angguk.
“Marilah kita bawa Kakang Wulungan.”
“Ayolah,” jawab yang pertama.
Laskar itu pun bertanya,
“Dari mana kau tahu?”
“Aku akan lewat di jalan ini. Tetapi dikejauhan aku mendengar seseorang berteriak, Jangan mendekat…!” jawab orang itu.
Kedua orang itu mengangguk-angguk.
“Marilah kita bawa Kakang Wulungan.”
“Ayolah,” jawab yang pertama.
Kedua orang itupun cepat-cepat berputar lewat jalan lain menuju ke pondok Wulungan. Di sana ditemuinya Wulungan berdiri dihalaman bersama Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Ketika Wulungan melihat orang itu bergegas, bertanyalah ia,
Quote:
“Apa yang terjadi?”
Laskar itu melaporkan apa yang didengarnya.
“Nah, itulah…” sahut Mahesa Jenar,
“Kami juga mendengar seseorang berteriak. Tetapi tidak jelas apa yang diteriakkan.”
“Marilah kita lihat,” desis Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar mengangguk, katanya kepada Wulungan,
“Kau tetap di sini. Jaga setiap kemungkinan. Bunyikan tanda kalau kau perlukan kami.”
Laskar itu melaporkan apa yang didengarnya.
“Nah, itulah…” sahut Mahesa Jenar,
“Kami juga mendengar seseorang berteriak. Tetapi tidak jelas apa yang diteriakkan.”
“Marilah kita lihat,” desis Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar mengangguk, katanya kepada Wulungan,
“Kau tetap di sini. Jaga setiap kemungkinan. Bunyikan tanda kalau kau perlukan kami.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera melangkah pergi. Sedang Wulungan tetap berdiri di halaman untuk mengamati keadaan di sekitarnya. Diperintahkannya memanggil beberapa orang yang masih enak-enak duduk di samping perapian sambil merebus jagung muda. Kepada mereka Wulungan minta, agar mereka meningkatkan kewaspadaan. Setiap saat dapat terjadi hal-hal yang tak mereka kehendaki.
MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara tidak mau mendekati tempat yang ditunjukkan oleh kedua orang laskar Pamingit itu lewat jalan desa. Sebagai seorang yang banyak makan garam, mereka sadar bahwa jalan itu berbahaya. Karena itu mereka justru memilih kebun dan gerumbul-gerumbul kecil sebagai jalan yang sebaik-baiknya.
Arya Salaka masih saja sibuk melayani lawannya. Namun lambat laun, terasa bahwa nafasnya agak mulai lebih baik daripada nafas lawannya. Perlahan-lahan namun pasti, ia mulai mendesak orang bertopeng itu, meskipun untuk berbuat demikian Arya harus berjuang ngetog kekuatan dan ilmunya.
Disamping kemenangannya yang datang lambat sekali itu, Arya masih harus memperhitungkan apa yang kira-kira dapat dilakukan apabila orang-orang di balik pagar itu datang membantu. Tetapi apa yang ditunggunya itu akhirnya datang. Orang-orang di balik pagar itu benar-benar meloncat dari dalam kelam.
Seorang, lalu disusul seorang lagi. Melihat mereka, Arya segera menyiapkan diri. Arya belum pernah melihat mereka berdua. Yang seorang agak pendek bulat, yang seorang bertubuh gagah, tinggi. Menilik gerak mereka, Arya mencoba untuk menjajagi keprigelan mereka.
Quote:
“Setidak-tidaknya mereka bertiga ini setingkat,” pikir Arya,
“Kalau demikian aku akan mengalami kesulitan untuk melawannya.”
“Kalau demikian aku akan mengalami kesulitan untuk melawannya.”
Di dalam gelap malam, Arya tidak memperhatikan wajah-wajah mereka dengan seksama. Apalagi Arya masih harus bertempur pula. Karena itu ia sama sekali tidak mendapat kesan apa-apa mengenai wajah kedua orang itu. Karena itu maka sekali lagi Arya ingin mendapat kepastian dari lawan-lawan mereka, sebelum ia mengambil sikap terakhir.
Quote:
“Ki Sanak, apapun yang akan kalian lakukan, berkatalah siapakah kalian dan apakah maksud kalian?”
Orang bertopeng itu berdesis, jawabnya,
“Tutup mulutmu.”
“Adakah kalian benar-benar bermaksud jahat?” Arya meneruskan seperti tak mendengar jawaban orang bertopeng itu.
“Apa salahku, dan apakah hubungan antara kita?” sahut Arya.
“Kau mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru. Tanah itu akan aku miliki,” jawab orang bertopeng itu.
“Jangan mengigau. Marilah kita berbicara, tidak bertempur. Kalau kau benar-benar ingin tanah ini, mengakulah siapa kau.”
Orang bertopeng itu berdesis, jawabnya,
“Tutup mulutmu.”
“Adakah kalian benar-benar bermaksud jahat?” Arya meneruskan seperti tak mendengar jawaban orang bertopeng itu.
“Apa salahku, dan apakah hubungan antara kita?” sahut Arya.
“Kau mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru. Tanah itu akan aku miliki,” jawab orang bertopeng itu.
“Jangan mengigau. Marilah kita berbicara, tidak bertempur. Kalau kau benar-benar ingin tanah ini, mengakulah siapa kau.”
Arya bertambah curiga. Ia ingat kemauan yang tak terkendalikan dari adik sepupunya. Apakah orang ini benar-benar adiknya yang membawa orang-orang asing untuk membunuhnya?
Quote:
“Tutup mulutmu. Kami bertiga sudah siap membunuhmu,” bentak orang bertopeng itu.
Sedang dalam pada itu kedua kawan-kawannya pun telah bergerak pula mendekati titik perkelahian itu. Arya kini benar-benar harus menentukan sikap terakhir. Siapapun yang berdiri di hadapannya, kalau orang-orang itu benar-benar akan membinasakannya apapun alasannya ia harus membela dirinya mati-matian.
Sebagai seorang laki-laki yang diasuh oleh Mahesa Jenar, sebenarnya Arya cukup berlapang dada. Namun iapun tak mau mati. Meskipun dalam keraguan, ia berusaha untuk tidak berprasangka terhadap Sawung Sariti. Tubuhnya, suaranya dan kata-katanya bukan tubuh suara dan kata-kata adiknya. Adiknya tidak berkata sekasar itu, namun lebih licin, licik dan menyakitkan hati. Tatageraknya pun agak berbeda.
Adiknya licin dan cekatan, orang itu tangguh meskipun cepat bergerak pula. Tetapi akhirnya ia tidak peduli lagi, siapapun yang dihadapi. Ketika dua orang kawannya mulai bergerak, Arya tidak mempunyai pilihan lain daripada mempertaruhkan segenap ilmunya. Kedua orang yang membantu orang bertopeng itu ternyata bertatagerak lain. Lain sekali dengan orang bertopeng itu. Mereka agaknya sama sekali tak ada hubungan perguruan.
Dalam saat-saat terakhir terasa bahwa Arya tak dapat mampu mempertahankan dirinya. Maka daripada mati sebelum segenap tugasnya selesai, Arya telah memilih keputusan yang terakhir. Ia melontar mundur agak jauh dari lawannya, dipusatkannya segala daya kekuatannya, pikirannya dan diaturnya nafasnya menurut saluran ilmu terakhirnya, Sasra Birawa.
Tetapi kembali ia dikejutkan oleh peristiwa yang tak dapat dimengertinya. Ketiga orang itu sama sekali tak mengejarnya. Bahkan orang bertopeng itu tiba-tiba berteriak,
Quote:
“Arya, jangan. Jangan.”
Pemusatan pikiran Arya agak terganggu. Namun kembali ia mengatur tata pernafasannya. Ia tidak mau gagal karena pengaruh perasaannya. Namun kali ini ia benar-benar terpaksa mengurungkan niatnya, sebelum getaran di dadanya menjalar ke sisi telapak tangan kanannya.
Tiba-tiba dari dalam kelam di balik pepohonan terdengar suara,
Quote:
“Jangan Arya. Salurkan ilmumu kembali, redakan getaran di dalam dirimu sebelum kau terbenam di dalamnya.”
Dalam hal yang demikian, Arya tak dapat berbuat lain daripada menurut perintah itu. Kakinya yang hampir diangkatnya, diletakkannya kembali di atas tanah. Kemudian tangan kanannya yaag sudah mulai bergerak, disilangkannya di muka dadanya untuk meredakan getaran-getaran yang telah mulai bergerak di dalam dirinya. Perlahan-lahan ilmu yang dahsyat itu mengendor kembali sebelum menguasai tubuh Arya sepenuhnya.
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas