- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#542
Jilid 16 [Part 379]
Spoiler for :
BEBERAPA saat kemudian tampaklah di kejauhan api yang menyala. Agaknya itu adalah perapian dari anak-anak Pamingit atau Banyubiru di Pangrantunan. Karena itu kuda mereka berlari semakin cepat. Perapian itu tampaknya hanya satu dua saja. Tidak seperti kemarin. Berpuluh-puluh di sekitar desa Pangrantunan. Ketika kuda Arya memasuki daerah itu, ia benar-benar terkejut. Yang dilihatnya hanyalah beberapa kelompok orang-orang yang sedang menghangatkan diri. Ke manakah laskar Pamingit dan Banyubiru yang banyak itu? Arya menarik kekang kudanya. Ia berhenti agak jauh dari desa. Wilis dan Widuri pun berhenti pula. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendahuluinya sampai ke tempat Arya Salaka berhenti.
Kembali mereka berdiam diri. Dengan tajamnya Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mencoba untuk mengetahui apa yang sedang dihadapinya. Juga orang-orang yang kemudian berdiri di samping perapian itu. Apakah mereka kawan apakah lawan. Sedang orang-orang yang berada di perapian itu pun bersiaga ketika mereka mengetahui ada rombongan orang-orang berkuda datang ke dekat mereka.
Mahesa Jenar mendorong kudanya beberapa langkah maju. Dan orang-orang di tepi perapian itupun menyongsongnya dengan tombak yang tunduk.
Kini Mahesa Jenar tidak ragu-ragu lagi. Menilik bayangan pakaian yang melekat di tubuh mereka, pastilah mereka bukan dari golongan hitam. Karena itu ia menyahut,
Namun nampaknya orang itu sedemikian tenang sehingga Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendapat kesan yang baik. Mahesa Jenar beserta rombongannya kemudian mengikuti orang yang mempersilahkan itu. Mereka dibawa ke pondok yang semula dipergunakan untuk Ki Ageng Sora Dipayana selagi memegang pimpinan pertempuran.
Ketika mereka memasuki halaman, muncullah seseorang di muka pintu pondok itu. Dengan bergegas dan hormat ia berkata,
Arya Salaka dan rombongan, telah mengenal orang itu, Wulungan.
Karena itu Arya Salaka menjadi semakin tenang dan tidak berprasangka. Maka segera mereka meloncat turun dari kuda-kuda mereka dan langsung masuk ke dalam pondok itu, duduk di atas bale-bale yang besar, hampir memenuhi ruangan.
Kemudian Wulungan meninggalkan mereka untuk beristirahat. Awan yang basah di langit telah bersih disapu oleh angin. Tetapi udara terasa betapa panasnya.
Arya Salaka, yang tidak begitu tahan akan udara yang panas itu, bangkit berdiri. Maksudnya hanya untuk menyejukkan diri di luar pintu. Namun kemudian ia tertarik untuk berjalan-jalan di halaman. Di kejauhan, api masih tampak menyala-nyala. Agaknya laskar Pamingit itu masih merasa perlu untuk menghangatkan tubuh. Memang di udara yang terbuka, udara terasa lebih sejuk dan dingin daripada di dalam rumah. Selain itu, agaknya mereka sedang merebus jagung.
Arya berjalan saja tanpa tujuan. Ketika ia sampai di jalur-jalur jalan desa, ia pun mengikutinya. Kedua senjatanya ditinggalkan di pondoknya. Sebab ia mengira bahwa keadaan di Pangrantunan itu telah benar-benar aman. Dengan demikian ia berjalan saja seenaknya tanpa kecurigaan apa-apa. Namun yang tak diketahuinya, beberapa pasang mata sedang mengikutinya. Kemana ia berjalan, berpasang-pasang mata itupun lalu menyertainya. Mereka berlindung di balik pepohonan dan bayang-bayang gerumbul-gerumbul kecil di kiri-kanan jalan desa itu. Menilik gerak-gerik mereka, mereka bukanlah orang-orang yang dapat diabaikan. Ternyata telah sekian lama mereka mengikuti langkah Arya Salaka. Arya masih belum menyadarinya.
Sehingga dengan demikian, orang-orang itupun semakin lama menjadi semakin berani. Mereka kini lebih merapat lagi di belakang Arya Salaka yang sedang kehilangan kewaspadaan. Tetapi pancaindera Arya Salaka ternyata telah benar-benar terlatih. Meskipun ia tidak berprasangka apa-apa, namun didengarnya gemersik daun-daun kering di kiri-kanan jalan sempit itu. Dan gemersik itu selalu mengikutinya kemana ia pergi. Arya Salaka tidak segera menoleh atau mengamat-amati suara itu. Ia masih akan meyakinkan tanpa diketahui orang lain, bahkan seandainya ada orang yang mengikuti, orang itu pun tidak akan mengetahuinya bahwa Arya Salaka telah menyadari kehadiran mereka.
Kalau Arya Salaka mempercepat langkahnya, gemersik itupun menjadi semakin cepat, dan apabila Arya memperlambatnya dengan pura-pura memperhatikan sesuatu pada tubuhnya, gemersik itupun lambat pula. Akhirnya Arya berhenti, perlahan-lahan ia memutuar tubuhnya yang berjalan kembali lewat jalan itu pula.
Suara gemersik itupun berhenti dan berputar pula mengikutinya. Namun Arya telah berbuat sesuatu dengan perhitungan. Ia mengharap teka-teki itu segera dapat ditebaknya. Kalau orang itu akan menyerang atau berkepentingan dengan dirinya, maka orang itu pasti akan segera melakukannya, sebelum ia menjadi semakin dekat dengan pondoknya. Tetapi seandainya orang-orang itu hanya akan mengintainya, suara itu pasti akan lenyap dan berhenti. Dengan demikian menjadi kewajibannya untuk mengejar dan menangkap mereka atau salah satu dari mereka. Apa yang diharapkan Arya itupun terjadi. Agaknya orang yang mengikuti Arya Salaka itu tak membuang waktu, dan tak mau menunggu sampai Arya menjadi semakin dekat dengan pondoknya, di mana telah menunggu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi. Tiba-tiba Arya mendengar langkah yang menjadi semakin jelas, dan tiba-tiba seseorang telah meloncat tepat di belakangnya. Arya adalah seorang yang cukup memiliki bekal pengetahuan beladiri. Apalagi ia telah sengaja memancing orang itu keluar dari persembunyiannya. Karena itu, segera ia memutar diri menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang. Tetapi ketika ia melihat orang yang berdiri di hadapannya, ia menjadi terkejut bukan buatan. Bagaimanapun beraninya, namun dada Arya Salaka berdesir pula.
Di hadapannya kini berdiri seseorang berkerudung kain yang kehitam-hitaman dan bertopeng kulit kayu kasar.
Arya menyadari kesalahannya. Pasingsingan memiliki tanda-tanda khusus. Jubah abu-abu dan topeng kayu yang jelek dan kasar. Sedangkan orang yang berdiri di hadapannya itu berciri lain. Ia tidak mengenakan jubah, dan topengnya dibuat dari klika kayu yang sangat sederhana.
Quote:
“Kenapa sesepi ini, Paman…?” bisik Arya.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengamati keadaan dengan seksama. Kata Mahesa Jenar,
“Apakah orang-orang itu orang-orang Pamingit atau Banyubiru…?”
“Entahlah,” jawab Arya.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengamati keadaan dengan seksama. Kata Mahesa Jenar,
“Apakah orang-orang itu orang-orang Pamingit atau Banyubiru…?”
“Entahlah,” jawab Arya.
Kembali mereka berdiam diri. Dengan tajamnya Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mencoba untuk mengetahui apa yang sedang dihadapinya. Juga orang-orang yang kemudian berdiri di samping perapian itu. Apakah mereka kawan apakah lawan. Sedang orang-orang yang berada di perapian itu pun bersiaga ketika mereka mengetahui ada rombongan orang-orang berkuda datang ke dekat mereka.
Mahesa Jenar mendorong kudanya beberapa langkah maju. Dan orang-orang di tepi perapian itupun menyongsongnya dengan tombak yang tunduk.
Quote:
“Siapakah kalian?” tanya salah seorang dari mereka.
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia membiarkan orang-orang itu menjadi semakin dekat.
“Siapakah kalian…?” terdengar kembali pertanyaan salah seorang dari mereka.
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia membiarkan orang-orang itu menjadi semakin dekat.
“Siapakah kalian…?” terdengar kembali pertanyaan salah seorang dari mereka.
Kini Mahesa Jenar tidak ragu-ragu lagi. Menilik bayangan pakaian yang melekat di tubuh mereka, pastilah mereka bukan dari golongan hitam. Karena itu ia menyahut,
Quote:
“Mahesa Jenar bersama Arya Salaka dan rombongan.”
“O….” sahut orang itu, dan tombak mereka menjadi semakin tunduk.
“Laskar manakah kau?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Pamingit,” jawab orang itu,
“Kami mendapat tugas untuk menanti kedatangan Tuan.”
Mahesa Jenar menjadi berlega hati. Dengan isyarat tangan ia memanggil Arya, Wilis dan Widuri. Segera mereka pun mendekat.
“Kenapa sepi?” tanya Arya Salaka.
“Silahkanlah Tuan singgah sebentar. Kami mendapat tugas untuk menanti Tuan-tuan dan membawa Tuan-tuan ke induk pasukan,” jawab orang itu.
“O….” sahut orang itu, dan tombak mereka menjadi semakin tunduk.
“Laskar manakah kau?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Pamingit,” jawab orang itu,
“Kami mendapat tugas untuk menanti kedatangan Tuan.”
Mahesa Jenar menjadi berlega hati. Dengan isyarat tangan ia memanggil Arya, Wilis dan Widuri. Segera mereka pun mendekat.
“Kenapa sepi?” tanya Arya Salaka.
“Silahkanlah Tuan singgah sebentar. Kami mendapat tugas untuk menanti Tuan-tuan dan membawa Tuan-tuan ke induk pasukan,” jawab orang itu.
Namun nampaknya orang itu sedemikian tenang sehingga Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendapat kesan yang baik. Mahesa Jenar beserta rombongannya kemudian mengikuti orang yang mempersilahkan itu. Mereka dibawa ke pondok yang semula dipergunakan untuk Ki Ageng Sora Dipayana selagi memegang pimpinan pertempuran.
Ketika mereka memasuki halaman, muncullah seseorang di muka pintu pondok itu. Dengan bergegas dan hormat ia berkata,
Quote:
“Silahkan Tuan-tuan.”
Arya Salaka dan rombongan, telah mengenal orang itu, Wulungan.
Karena itu Arya Salaka menjadi semakin tenang dan tidak berprasangka. Maka segera mereka meloncat turun dari kuda-kuda mereka dan langsung masuk ke dalam pondok itu, duduk di atas bale-bale yang besar, hampir memenuhi ruangan.
Quote:
“Sehari penuh kami menunggu Tuan-tuan,” kata Wulungan.
“Kami mengira bahwa Tuan akan datang pagi tadi. Karena itu, ketika Tuan-tuan tidak segera datang, kami menjadi cemas. Ki Ageng Sora Dipayana berpesan, apabila malam nanti Tuan-tuan tidak datang, kami harus menyusul bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri.”
“Atas pangestumu, kami selamat, Wulungan,” sahut Mahesa Jenar, kemudian ia bertanya,
“Kami terkejut ketika kami melihat daerah ini sedemikian sepi."
“Semuanya sudah selesai,” jawab Wulungan.
“Selesai…?” ulang Arya Salaka.
“Ya. Pekerjaan kami sudah selesai. Orang-orang dari golongan hitam telah meninggalkan seluruh daerah Pamingit. Mereka menghindarkan diri dari pertempuran kemarin. Ketika kami maju ke garis perang, pertahanan mereka telah kosong. Seorang pengawas melihat, sekelompok demi sekelompok, mereka meninggalkan daerah ini, namun pengawas itu belum yakin bahwa mereka seluruhnya telah pergi,” jawab Wulungan.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menarik nafas. Namun Widuri nampak mengernyitkan alisnya, katanya,
“Jadi aku sudah terlambat?”
“Apa yang terlambat?” tanya ayahnya.
“Aku tidak dapat melihat pertempuran itu,” sahut Widuri.
“Beruntunglah kau,” kata ayahnya pula.
“Salah ayah. Kenapa aku tidak boleh berangkat dahulu bersama-sama dengan laskar Banyubiru beberapa hari yang lalu,” jawab Widuri.
“Beruntunglah kau,” ulang ayahnya,
“Kau akan ngeri melihat pertempuran itu. Kau akan melihat darah mengalir, melihat orang mengerang kesakitan karena terluka.”
“Beruntunglah aku, karena aku hampir mati ditelan Pasingsingan,” Widuri meneruskan.
Kebo Kanigara tersenyum, Mahesa Jenar pun tersenyum.
“Tetapi bukankah kau masih utuh?” sambung ayahnya.
Widuri tidak berkata-kata lagi. Yang lain pun untuk sesaat berdiam diri sehingga ruangan itu menjadi sepi.
“Nah, Tuan-tuan…” Wulungan memecah kesepian,
“Beristirahatlah. Besok pagi-pagi Tuan-tuan kami antar ke Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora dan tamu-tamu mereka menunggu Tuan-tuan."
“SIAPAKAH tamu-tamu itu?” tanya Arya.
“Bukan tamu baru. Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten" jawab Wulungan.
“Kami mengira bahwa Tuan akan datang pagi tadi. Karena itu, ketika Tuan-tuan tidak segera datang, kami menjadi cemas. Ki Ageng Sora Dipayana berpesan, apabila malam nanti Tuan-tuan tidak datang, kami harus menyusul bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri.”
“Atas pangestumu, kami selamat, Wulungan,” sahut Mahesa Jenar, kemudian ia bertanya,
“Kami terkejut ketika kami melihat daerah ini sedemikian sepi."
“Semuanya sudah selesai,” jawab Wulungan.
“Selesai…?” ulang Arya Salaka.
“Ya. Pekerjaan kami sudah selesai. Orang-orang dari golongan hitam telah meninggalkan seluruh daerah Pamingit. Mereka menghindarkan diri dari pertempuran kemarin. Ketika kami maju ke garis perang, pertahanan mereka telah kosong. Seorang pengawas melihat, sekelompok demi sekelompok, mereka meninggalkan daerah ini, namun pengawas itu belum yakin bahwa mereka seluruhnya telah pergi,” jawab Wulungan.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menarik nafas. Namun Widuri nampak mengernyitkan alisnya, katanya,
“Jadi aku sudah terlambat?”
“Apa yang terlambat?” tanya ayahnya.
“Aku tidak dapat melihat pertempuran itu,” sahut Widuri.
“Beruntunglah kau,” kata ayahnya pula.
“Salah ayah. Kenapa aku tidak boleh berangkat dahulu bersama-sama dengan laskar Banyubiru beberapa hari yang lalu,” jawab Widuri.
“Beruntunglah kau,” ulang ayahnya,
“Kau akan ngeri melihat pertempuran itu. Kau akan melihat darah mengalir, melihat orang mengerang kesakitan karena terluka.”
“Beruntunglah aku, karena aku hampir mati ditelan Pasingsingan,” Widuri meneruskan.
Kebo Kanigara tersenyum, Mahesa Jenar pun tersenyum.
“Tetapi bukankah kau masih utuh?” sambung ayahnya.
Widuri tidak berkata-kata lagi. Yang lain pun untuk sesaat berdiam diri sehingga ruangan itu menjadi sepi.
“Nah, Tuan-tuan…” Wulungan memecah kesepian,
“Beristirahatlah. Besok pagi-pagi Tuan-tuan kami antar ke Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora dan tamu-tamu mereka menunggu Tuan-tuan."
“SIAPAKAH tamu-tamu itu?” tanya Arya.
“Bukan tamu baru. Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten" jawab Wulungan.
Kemudian Wulungan meninggalkan mereka untuk beristirahat. Awan yang basah di langit telah bersih disapu oleh angin. Tetapi udara terasa betapa panasnya.
Arya Salaka, yang tidak begitu tahan akan udara yang panas itu, bangkit berdiri. Maksudnya hanya untuk menyejukkan diri di luar pintu. Namun kemudian ia tertarik untuk berjalan-jalan di halaman. Di kejauhan, api masih tampak menyala-nyala. Agaknya laskar Pamingit itu masih merasa perlu untuk menghangatkan tubuh. Memang di udara yang terbuka, udara terasa lebih sejuk dan dingin daripada di dalam rumah. Selain itu, agaknya mereka sedang merebus jagung.
Arya berjalan saja tanpa tujuan. Ketika ia sampai di jalur-jalur jalan desa, ia pun mengikutinya. Kedua senjatanya ditinggalkan di pondoknya. Sebab ia mengira bahwa keadaan di Pangrantunan itu telah benar-benar aman. Dengan demikian ia berjalan saja seenaknya tanpa kecurigaan apa-apa. Namun yang tak diketahuinya, beberapa pasang mata sedang mengikutinya. Kemana ia berjalan, berpasang-pasang mata itupun lalu menyertainya. Mereka berlindung di balik pepohonan dan bayang-bayang gerumbul-gerumbul kecil di kiri-kanan jalan desa itu. Menilik gerak-gerik mereka, mereka bukanlah orang-orang yang dapat diabaikan. Ternyata telah sekian lama mereka mengikuti langkah Arya Salaka. Arya masih belum menyadarinya.
Sehingga dengan demikian, orang-orang itupun semakin lama menjadi semakin berani. Mereka kini lebih merapat lagi di belakang Arya Salaka yang sedang kehilangan kewaspadaan. Tetapi pancaindera Arya Salaka ternyata telah benar-benar terlatih. Meskipun ia tidak berprasangka apa-apa, namun didengarnya gemersik daun-daun kering di kiri-kanan jalan sempit itu. Dan gemersik itu selalu mengikutinya kemana ia pergi. Arya Salaka tidak segera menoleh atau mengamat-amati suara itu. Ia masih akan meyakinkan tanpa diketahui orang lain, bahkan seandainya ada orang yang mengikuti, orang itu pun tidak akan mengetahuinya bahwa Arya Salaka telah menyadari kehadiran mereka.
Kalau Arya Salaka mempercepat langkahnya, gemersik itupun menjadi semakin cepat, dan apabila Arya memperlambatnya dengan pura-pura memperhatikan sesuatu pada tubuhnya, gemersik itupun lambat pula. Akhirnya Arya berhenti, perlahan-lahan ia memutuar tubuhnya yang berjalan kembali lewat jalan itu pula.
Suara gemersik itupun berhenti dan berputar pula mengikutinya. Namun Arya telah berbuat sesuatu dengan perhitungan. Ia mengharap teka-teki itu segera dapat ditebaknya. Kalau orang itu akan menyerang atau berkepentingan dengan dirinya, maka orang itu pasti akan segera melakukannya, sebelum ia menjadi semakin dekat dengan pondoknya. Tetapi seandainya orang-orang itu hanya akan mengintainya, suara itu pasti akan lenyap dan berhenti. Dengan demikian menjadi kewajibannya untuk mengejar dan menangkap mereka atau salah satu dari mereka. Apa yang diharapkan Arya itupun terjadi. Agaknya orang yang mengikuti Arya Salaka itu tak membuang waktu, dan tak mau menunggu sampai Arya menjadi semakin dekat dengan pondoknya, di mana telah menunggu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi. Tiba-tiba Arya mendengar langkah yang menjadi semakin jelas, dan tiba-tiba seseorang telah meloncat tepat di belakangnya. Arya adalah seorang yang cukup memiliki bekal pengetahuan beladiri. Apalagi ia telah sengaja memancing orang itu keluar dari persembunyiannya. Karena itu, segera ia memutar diri menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang. Tetapi ketika ia melihat orang yang berdiri di hadapannya, ia menjadi terkejut bukan buatan. Bagaimanapun beraninya, namun dada Arya Salaka berdesir pula.
Di hadapannya kini berdiri seseorang berkerudung kain yang kehitam-hitaman dan bertopeng kulit kayu kasar.
Quote:
“Pasingsingan,” desis Arya. Orang itu tertawa.
Suaranya berat dan kasar. Katanya,
“Apakah hanya Pasingsingan yang memiliki topeng di dunia ini?”
Suaranya berat dan kasar. Katanya,
“Apakah hanya Pasingsingan yang memiliki topeng di dunia ini?”
Arya menyadari kesalahannya. Pasingsingan memiliki tanda-tanda khusus. Jubah abu-abu dan topeng kayu yang jelek dan kasar. Sedangkan orang yang berdiri di hadapannya itu berciri lain. Ia tidak mengenakan jubah, dan topengnya dibuat dari klika kayu yang sangat sederhana.
Quote:
“Siapa kau?” tanya Arya Salaka.
“Aku kleyang kabur kanginan. Berkandang langit, berselimut mega,” jawabnya.
“Jangan banyak berputar-putar. Kalau kau sengaja menyembunyikan dirimu, apa maksudmu?” tanya Arya pula.
“Bukankah kau Arya Salaka…?” tanya orang bertopeng itu.
Ia pun menjawab dengan jujur,
“Ya, aku Arya Salaka.”
“Aku kleyang kabur kanginan. Berkandang langit, berselimut mega,” jawabnya.
“Jangan banyak berputar-putar. Kalau kau sengaja menyembunyikan dirimu, apa maksudmu?” tanya Arya pula.
“Bukankah kau Arya Salaka…?” tanya orang bertopeng itu.
Ia pun menjawab dengan jujur,
“Ya, aku Arya Salaka.”
fakhrie... dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas