Teh Yuyun menyuruhku untuk bersiap, sementara aku tak mengerti apa yang dia maksud.
Wajah-wajah yang terlihat lega, kini kembali menegang menatapku, tatapan mereka panik dan bertanya-tanya.
Yang dapat aku lakukan, hanya menjawab tatapan penasaran itu dengan gelengan kepala.
"Maksudnya gim..."
Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, bau amis tercium menyengat, diiringi dengan gempa kecil.
Belum saja gempa selesai, Winda kembali membuka mata, ia melototi teh Yuyun dengan benci.
"hahaha ternyata Yuyun! Dasar jalang! Masih saja kau mengusik kami!"
Suara itu seperti suara laki-laki tua, tapi suaranya tidaklah serak. Suara itu entah bagaimana aku menyebutnya, terdengar mempunyai wibawa.
"Tua bangka Han!! Belum mati juga kau!!"
Teh Yuyun benar-benar terlihat marah.
Gempa kecilnya berhenti.
Sementara Winda berdiri tegak, matanya kini tertutup, rambut panjang menutupi sebagian besar wajahnya & hanya menyisakan hidung hingga mulut yang dapat kulihat.
Winda tersenyum lebar!
Senyuman itu membuatku ketakutan.
Pak Iyat beringsut, ia bermaksud menghampiri Winda.
Namun aku menahannya & menggeleng kepala tanda agar ia mengurungkan niatnya.
Winda menoleh kami dengan cepat, ia melipat tangannya di punggung. Berjalan menjauh membelakangi kami lalu berkata.
"Aku pinjam anakmu sebentar. Meskipun nantinya aku akan mengambilnya juga. HAHAHA!!"
Bu Nur menangis histeris, ia berteriak.
"Lepaskan anakku!"
Rini mencoba menenangkan ibunya, Pak Iyat mengepalkan tangannya dengan kuat.
Tanpa aba-aba, Teh Yuyun berlari ke arah Winda, menarik rambutnya hingga tubuh Winda terjembab ke belakang dengan keras, lalu lehernya dicekik dengan cepat.
"Bodoh! Bunuh saja! HAHAHA!"
Teh Yuyun terlihat masih menekan leher Winda, meski wajahnya terlihat buas, bibirnya bergerak, ia lagi-lagi membaca sesuatu dengan bahasa yang tidak aku pahami.
"Re! Tekan kakinya! Cepat!"
Teh Yuyun memberiku perintah.
Dengan ragu & takut, aku menurutinya. Baru saja kusentuh betis Winda, kakinya mengejang menendang tepat di ulu hati.
Aku terdorong ke belakang, memegang perutku yang terasa sakit bercampur mual.
Sementara winda masih tertawa terbahak-bahak. Pak Iyat yang sedari tadi menahan diri, kini turut membantuku, begitupun Bu Nur yang lalu mengusap wajah Winda.
Teh Yuyun masih mencekik Winda sambil terus membaca mantra.
Selang beberapa lama, tubuh Winda terlihat mengendur. Cekikan Teh Yuyun juga ia lepaskan, semuanya juga saling melemaskan badan lalu terduduk mengitari tubuh Winda.
Sial bagi kami,
Rini yang sedari tadi hanya memperhatikan, tiba-tiba berteriak histeris.
"Aaaaahhhh!!!!"
Aku melihatnya kebingungan, namun samar ada bayangan yang seolah memeluk Rini dari belakangnya.
Sebelum aku dapat memberitahu Teh Yuyun.
Ia langsung lompat dan menarik tangan Rini ke depan hingga menyebabkan keduanya jatuh bersamaan.
"hihihi...hiii....hiiii"
Suara tawa wanita menggema di kamar ini. Kami semua jelas mendengarnya.
Aku yang masih merasakan sakit di sekitar perut, mencoba mencari darimana suara itu berasal.
& Tatapan Bu Nur menjawab rasa penasaranku.
Bu Nur melihat ke arah belakangku dimana ada jendela yang memperlihatkan pemandangan halaman samping rumah ini.
Saat kutengok, ada sesosok wanita sedang menempelkan wajahnya di jendela itu. Matanya berwarna putih seluruhnya, wajahnya pucat pasi. Darah yang keluar dari mata, hidung, & mulut sosok itu deras mengalir mengotori kaca jendela.
Ia tertawa seolah puas!
Lalu melayang menjauh, memperlihatkan gaunnya yang berwarna merah. Lalu hilang begitu saja.
Setelah kejadian itu, barulah dapat kulihat wajah Teh Yuyun yang sedikit tenang.
Mungkin perasaanku, teror yang terjadi bertubi-tubi ini seolah memakan waktu banyak.
Namun saat kulihat angka di jam tanganku, itu hanyalah berlangsung kurang dari 10 menit.
Sungguh gila!
"Nur, tunggui anakmu sambil terus baca ayat suci sampai subuh, gantian sama si Iyat."
Kata-kata Teh Yuyun memecah keheningan kami.
"Muhun, Nin."
Bu Nur menyanggupi.
Teh Yuyun berdiri lalu melangkah keluar dari kamar, aku, Pak Iyat & Rini mengikutinya.
Setibanya kami di ruang tengah lantai bawah, Rini sigap membuatkan kopi hitam untuk Teh Yuyun.
"Jadi gimana, Nin? Selesai?"
Tanya Pak Iyat sesaat ketika kami baru saja duduk.
"Anggap saja selesai. Makhluk-makhluk itu gak bakal ganggu Winda lagi."
Jawab Teh Yuyun.
"Dikemanin teh?"
Aku penasaran.
"Gak usah tahu!"
Bentaknya.
Aku menunduk malu mendengar jawabannya.
"Maaf Nin, kalo uang si teteh bagusnya dikemanain ya?"
Kini Rini yang bertanya.
"Kasih aja ke si Re."
Jawabnya acuh.
Rini berlari kecil menaiki tangga, lalu kembali dengan cepat seraya memberiku amplop dengan noda darah.
"Yang bener aja teh."
Aku enggan mengambilnya, mengingat ini adalah media agar dapat menumbalkan Winda.
"Di pikiranmu cuma duit aja, udah terima. Aman itu."
Ujarnya dengan galak.
Daripada lebih malu, kuterima amplop itu. Lalu ku taruh diatas meja. Baru saja kuletakkan, noda darahnya perlahan hilang, seolah terhapus.
Melihat gelagatku, teh yuyun hanya tersenyum kecil. Sementara pak Iyat maupun Rini sama sekali tak menyadarinya.
"Yasudah, ini sudah selesai. Si Winda jangan lagi kerja disitu."
Teh Yuyun bersiap pergi.
Akupun mengerti untuk segera menyiapkan motor.
"Baik Nin. Sekali lagi terimakasih."
Ucap Pak Iyat sambil menyalami Teh Yuyun.
Tak disangka, Pak Iyat menyelipkan amplop putih ke tangan teh Yuyun. & Hal itu membuat Teh Yuyun marah.
"Sia ngahina aing?!"
("Kau menghinaku?!")
Bentak Teh Yuyun padanya.
"Maaf Nin, gak maksud."
Merasa ditolak Pak Iyat segera memasukkan amplop itu ke saku celananya dengan malu.
Dengan kesal Teh Yuyun keluar dari rumah itu.
Hanya aku yang berpamitan kepada pak Iyat & Rini.
Karena tak lagi terburu, aku memacu motorku pelan.
"Teh, saya kok masih agak kurang paham ya?"
Aku membuka obrolan di jalan karena penasaran yang tak dapat lagi ditahan.
"Getih Laris."