- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#531
Jilid 16 [Part 371]
Spoiler for :
RADITE terkejut mengalami serangan yang tiba-tiba itu. Sebenarnya ia masih mengharap agar mereka tidak perlu mempergunakan kekerasan, apalagi dengan tetesan darah. Tetapi Umbaran telah menyerangnya. Dengan demikian ia tak dapat berbuat lain daripada melawannya. Maka sesaat kemudian kedua Pasingsingan itupun telah bertempur pula. Masing-masing memegang pisau belati panjang di tangannya.
Umbaran dan Radie adalah dua orang yang memiliki ilmu yang bersumber dari guru yang sama. Karena itu merekapun bertempur dengan ilmu yang sama pula. Tetapi ilmu mereka masing-masing telah mengalami beberapa perubahan sesuai dengan pengaruh keadaan dan waktu.
Ilmu Pasingsingan Umbaran telah berubah menjadi semakin kasar, keras dan kejam. Sedang ilmu Radite masih tetap dalam tataran yang bersih. Meksipun demikian tidak berarti bahwa Umbaran telah melampaui Radite dalam ketahanan tempurnya.
Dalam beberapa saat mereka telah lenyap dari bentuk mereka. Yang tampak hanyalah pusaran yang kelam dari jubah mereka yang abu-abu, di sela oleh cahaya kuning yang menyambar-nyambar mengerikan.
Umbaran yang mata gelap, bertempur dengan darah yang bergelora. Hatinya benar-benar telah dikuasai oleh nafsu yang ganas. Dan dari hidungnya seolah-olah terhirup udara maut. Dengan berteriak-teriak nyaring ia meloncat-loncat, menyerang dengan sengitnya. Pisaunya berputar-putar mengarah ke segenap bagian-bagian tubuh Radite.
Dalam kesibukan pertempuran antara hidup dan mati itu, terdengar Umbaran berteriak,
Radite diam saja. Namun ia bertempur terus. Sebenarnya dalam lekuk-lekuk hatinya yang terdalam, masih juga bermunculan perasaan sesal dan ngeri atas apa yang pernah terjadi pada dirinya. Tukar-menukar kehormatan. Tetapi ia sadar pula, bahwa apabila ia tidak cawe-cawe, maka Pasingsingan yang bernama Umbaran itu akan banyak menimbulkan bencana.
Kalau benar-benar ia berhasil memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, maka keadaan akan sangat berbahaya. Ia dapat menghadap Sultan Demak dengan laskar segelar sepapan, dan memaksanya untuk menyerahkan kekuasaan, setelah ia menyatakan diri sebagai pemilik pusaka-pusaka sipat kandel itu.
Dengan landasan kekuatan golongan hitam dan daerah-daerah yang didudukinya, beserta kesesatan pandangan beberapa orang kawula Demak atas kepercayaan mereka, bahwa siapa yang memiliki Nagasasra Sabuk Inten akan mampu merajai Nusantara, maka Umbaran akan mendapatkan pengikut-pengikutnya.
Atau orang yang berotak licin itu dapat menempuh jalan lain. Ia dapat menggerakkan laskar hitam untuk menimbulkan bencana. Sebagai Pasingsingan, ia dapat menggulung daerah demi daerah. Namun kemudian sebagai Umbaran yang berwajah manis, ia menghadap Sultan dengan menyerahkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dengan demikian ia akan mendapatkan banyak kepercayaan dari Sultan. Akhirnya ia dapat melawan kekuasaan Demak dari luar dan dari dalam. Sementara itu ia harus mencuri keris-keris itu kembali.
Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin sengit. Masing-masing bertekad untuk memenangkan pertempuran. Meskipun Umbaran bertempur dengan kasar dan bengis, namun Radite bukan anak-anak yang baru dapat berdiri. Radite memiliki kematangan ilmu melampaui Umbaran, meskipun pada dasarnya Umbaran berguru lebih dahulu kepada Pasingsingan Sepuh.
Tetapi karena Umbaran kurang dapat menepati ajaran-ajaran gurunya, maka akhirnya ia terpaksa menghentikan usahanya mengisap ilmu yang luar biasa itu. Dan kini, dua orang murid dari perguruan yang sama itu berhadapan dan bertempur mati-matian.
Selain mereka yang bertempur, tak seorangpun yang menggerakkan tubuhnya oleh ketegangan yang semakin memuncak. Perhatian mereka seolah-olah terikat erat-erat pada pertempuran itu.
Kesempatan yang demikian itulah yang ditunggu Jaka Soka. Kalau ia terlambat mempergunakan waktu, sehingga Mantingan dan kawan-kawannya berhasil menguasai diri mereka, maka akan celakalah nasibnya. Dengan diam-diam dan sangat hati-hati ia berkisar, setapak demi setapak. Ia telah menemukan arah yang baik untuk menyembunyikan diri dan kemudian meninggalkan tanah perdikan yang seolah-olah menjadi panas, sepanas bara api baginya. Maka, dengan tidak menarik perhatian, akhirnya Jaka Soka berhasil menyelinap ke dalam gelap dan kemudian menghilang dari halaman itu.
Bagi Jaka Soka, lebih baik hidup di antara anak buahnya dan perempuan-perempuan yang dikumpulkan selama ini, daripada mati di Banyubiru. Ia tidak peduli apa yang dikatakan orang atasnya. Apakah orang akan mengatakannya pengecut, apakah penakut, ia tidak keberatan. Sebab pada dasarnya, meskipun golongan hitam itu nampaknya bekerja bersama-sama, namun mereka sama sekali tak memiliki kesetiakawanan yang jujur. Apabila mereka terbentur pada kepentingan diri, maka kepentingan bersama dapat dianggapnya tidak berlaku.
Sementara itu, Arya Salaka memacu kudanya seperti angin topan. Meskipun demikian, tarasa betapa lambatnya perjalanan itu. Kuda yang dinaikinya betapa malasnya, sehingga berkali-kali ia terpaksa mencambuknya.
Ketika dari kejauhan tampak api yang menyala, terdengar giginya gemertak. Tangannya yang memegang tombak pusaka Banyubiru terasa gemetar. Ia menjadi marah sekali. Ia menyesal, bahwa ia terlambat.
MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara berpacu di belakangnya. Kedua orang itu pun tak kalah gelisahnya. Juga kedua orang itu menyesal kenapa Sawung Sariti tidak segera mengabarkan kepada mereka, bahwa ada serombongan orang-orang dari golongan hitam yang pergi ke Banyubiru. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memacu kuda mereka dengan darah yang bergolak. Suara kaki-kaki kuda mereka berderap memecah sepi malam di atas tanah-tanah berbatu padas. Orang-orang yang menutup pintu serapat-rapatnya di tepi-tepi jalan, menjadi semakin gelisah mendengar derap kuda itu. Mereka memeluk anak-anak mereka semakin erat di dada mereka sambil berdoa, semoga Yang Maha Kuasa melindungi mereka dari bencana. Arya Salaka melihat dua tiga orang menyelinap ke halaman ketika kudanya menghambur terbang, tetapi ia tidak memperdulikannya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak begitu tertarik kepada orang-orang itu. Tetapi ketika kemudian terdengar bunyi kentongan, mereka menyesal. Agaknya orang-orang itu adalah para pengawas, yang harus mengamat-amati kedatangan orang-orang Banyubiru. Namun mereka tak dapat memutar kuda mereka kembali. Dengan demikian waktu mereka akan semakin habis. Ketika Arya Salaka akan membelok ke arah api yang menyala-nyala, terdengar Mahesa Jenar berteriak,
Kembali Arya Salaka menggeretakkan giginya. Dengan cepatnya ia mencambuk kudanya dan berlari mengikuti gurunya. Mereka langsung pergi ke rumah kepala daerah perdikan yang sedang diguncang oleh peristiwa-peristiwa yang menyedihkan. Ketika mereka semakin lama menjadi semakin dekat, maka dada merekapun semakin berdebar-debar pula. Meskipun demikian, Arya masih belum sadar benar akan keadaannya, sehingga dengan berteriak ia bertanya,
Ia mengerti sekarang, bahwa bahaya yang sebenarnya tidak terletak di daerah api itu. Demikianlah mereka bertiga memacu kuda-kuda mereka semakin cepat dan cepat. Mereka berpacu bersama angin basah yang bertiup menghanyutkan awan yang kelabu. Kilat memancar-mancar di udara seperti sedang bersabung, diantar oleh bunyi guruh yang menggelegar memukul tebing-tebing perbukitan. Arya Salaka menjadi tidak sabar lagi. Ketika ia melihat sepasang beringin di alun-alun, hatinya seperti meronta-ronta. Tetapi dimuka regol rumahnya tak dilihatnya apapun yang mencurigakan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, adalah orang-orang yang telah memiliki pengalaman yang jauh lebih luas dari Arya Salaka. Karena itu mereka menghentikan kuda-kuda mereka dimuka halaman. Mereka harus memasuki halaman itu dalam kesiagaan penuh. Namun Arya Salaka tidak sempat berpikir demikian. Ia langsung melampaui Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara di atas kudanya yang masih berlari seperti di kejar hantu.
Tetapi Mahesa Jenar tak mampu menghentikannya. Seperti anak panah Arya langsung menyerbu masuk ke halaman. Di halaman itu masih bertempur dengan sengitnya, Sura Sarunggi melawan Anggara, dan Umbaran melawan Radite. Mereka bertempur dalam tingkat tertinggi dari ilmu-ilmu mereka. Yang paling gelisah dari mereka adalah Umbaran. Ia sadar sesadar-sadarnya, apabila datang orang-orang Banyubiru, maka akan berakhirlah kisah petualangannya. Karena itu, dalam kegelisahannya ia sempat memperhitungkan keadaan. Ia harus bertindak cepat dan menguntungkan. Karena itu ia memutuskan untuk membunuh salah seorang lawannya atau orang-orang Banyubiru yang datang untuk mengurangi lawannya. Sesudah itu, kalau perlu ia akan melarikan diri saja, meskipun kemungkinannyapun tipis pula. Tetapi kalau ia berhasil membunuh salah seorang dari mereka, ia akan dapat mempengaruhi keadaan, meskipun hanya sekejap. Dan kelebihan waktu yang sekejap itu harus dipergunakan sebaik-baiknya.
Demikianlah ketika ia mendengar derap kuda langsung memasuki halaman, ia melontar mundur beberapa langkah, kemudian dengan tak terduga Umbaran berteriak keras-keras, dan pisau belati panjangnya meluncur seperti tatit ke dada Arya Salaka. Arya terkejut melihat sinar kuning menyilaukan terbang kearahnya. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk mengelak. Kudanya sendiri berlari cepat menyongsong sinar yang berkilat-kilat itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut bukan kepalang. Maut yang menyambar itu demikian cepatnya sehingga mereka tak mampu berbuat apa-apa, selain berteriak keras,
Umbaran dan Radie adalah dua orang yang memiliki ilmu yang bersumber dari guru yang sama. Karena itu merekapun bertempur dengan ilmu yang sama pula. Tetapi ilmu mereka masing-masing telah mengalami beberapa perubahan sesuai dengan pengaruh keadaan dan waktu.
Ilmu Pasingsingan Umbaran telah berubah menjadi semakin kasar, keras dan kejam. Sedang ilmu Radite masih tetap dalam tataran yang bersih. Meksipun demikian tidak berarti bahwa Umbaran telah melampaui Radite dalam ketahanan tempurnya.
Dalam beberapa saat mereka telah lenyap dari bentuk mereka. Yang tampak hanyalah pusaran yang kelam dari jubah mereka yang abu-abu, di sela oleh cahaya kuning yang menyambar-nyambar mengerikan.
Umbaran yang mata gelap, bertempur dengan darah yang bergelora. Hatinya benar-benar telah dikuasai oleh nafsu yang ganas. Dan dari hidungnya seolah-olah terhirup udara maut. Dengan berteriak-teriak nyaring ia meloncat-loncat, menyerang dengan sengitnya. Pisaunya berputar-putar mengarah ke segenap bagian-bagian tubuh Radite.
Dalam kesibukan pertempuran antara hidup dan mati itu, terdengar Umbaran berteriak,
Quote:
“Kalau kau masih belum mampu melenyapkan diri dari tangkapan mataku, jangan mengharap keluar dari halaman ini dengan ragamu.”
Radite diam saja. Namun ia bertempur terus. Sebenarnya dalam lekuk-lekuk hatinya yang terdalam, masih juga bermunculan perasaan sesal dan ngeri atas apa yang pernah terjadi pada dirinya. Tukar-menukar kehormatan. Tetapi ia sadar pula, bahwa apabila ia tidak cawe-cawe, maka Pasingsingan yang bernama Umbaran itu akan banyak menimbulkan bencana.
Kalau benar-benar ia berhasil memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, maka keadaan akan sangat berbahaya. Ia dapat menghadap Sultan Demak dengan laskar segelar sepapan, dan memaksanya untuk menyerahkan kekuasaan, setelah ia menyatakan diri sebagai pemilik pusaka-pusaka sipat kandel itu.
Dengan landasan kekuatan golongan hitam dan daerah-daerah yang didudukinya, beserta kesesatan pandangan beberapa orang kawula Demak atas kepercayaan mereka, bahwa siapa yang memiliki Nagasasra Sabuk Inten akan mampu merajai Nusantara, maka Umbaran akan mendapatkan pengikut-pengikutnya.
Atau orang yang berotak licin itu dapat menempuh jalan lain. Ia dapat menggerakkan laskar hitam untuk menimbulkan bencana. Sebagai Pasingsingan, ia dapat menggulung daerah demi daerah. Namun kemudian sebagai Umbaran yang berwajah manis, ia menghadap Sultan dengan menyerahkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dengan demikian ia akan mendapatkan banyak kepercayaan dari Sultan. Akhirnya ia dapat melawan kekuasaan Demak dari luar dan dari dalam. Sementara itu ia harus mencuri keris-keris itu kembali.
Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin sengit. Masing-masing bertekad untuk memenangkan pertempuran. Meskipun Umbaran bertempur dengan kasar dan bengis, namun Radite bukan anak-anak yang baru dapat berdiri. Radite memiliki kematangan ilmu melampaui Umbaran, meskipun pada dasarnya Umbaran berguru lebih dahulu kepada Pasingsingan Sepuh.
Tetapi karena Umbaran kurang dapat menepati ajaran-ajaran gurunya, maka akhirnya ia terpaksa menghentikan usahanya mengisap ilmu yang luar biasa itu. Dan kini, dua orang murid dari perguruan yang sama itu berhadapan dan bertempur mati-matian.
Selain mereka yang bertempur, tak seorangpun yang menggerakkan tubuhnya oleh ketegangan yang semakin memuncak. Perhatian mereka seolah-olah terikat erat-erat pada pertempuran itu.
Kesempatan yang demikian itulah yang ditunggu Jaka Soka. Kalau ia terlambat mempergunakan waktu, sehingga Mantingan dan kawan-kawannya berhasil menguasai diri mereka, maka akan celakalah nasibnya. Dengan diam-diam dan sangat hati-hati ia berkisar, setapak demi setapak. Ia telah menemukan arah yang baik untuk menyembunyikan diri dan kemudian meninggalkan tanah perdikan yang seolah-olah menjadi panas, sepanas bara api baginya. Maka, dengan tidak menarik perhatian, akhirnya Jaka Soka berhasil menyelinap ke dalam gelap dan kemudian menghilang dari halaman itu.
Bagi Jaka Soka, lebih baik hidup di antara anak buahnya dan perempuan-perempuan yang dikumpulkan selama ini, daripada mati di Banyubiru. Ia tidak peduli apa yang dikatakan orang atasnya. Apakah orang akan mengatakannya pengecut, apakah penakut, ia tidak keberatan. Sebab pada dasarnya, meskipun golongan hitam itu nampaknya bekerja bersama-sama, namun mereka sama sekali tak memiliki kesetiakawanan yang jujur. Apabila mereka terbentur pada kepentingan diri, maka kepentingan bersama dapat dianggapnya tidak berlaku.
Sementara itu, Arya Salaka memacu kudanya seperti angin topan. Meskipun demikian, tarasa betapa lambatnya perjalanan itu. Kuda yang dinaikinya betapa malasnya, sehingga berkali-kali ia terpaksa mencambuknya.
Ketika dari kejauhan tampak api yang menyala, terdengar giginya gemertak. Tangannya yang memegang tombak pusaka Banyubiru terasa gemetar. Ia menjadi marah sekali. Ia menyesal, bahwa ia terlambat.
MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara berpacu di belakangnya. Kedua orang itu pun tak kalah gelisahnya. Juga kedua orang itu menyesal kenapa Sawung Sariti tidak segera mengabarkan kepada mereka, bahwa ada serombongan orang-orang dari golongan hitam yang pergi ke Banyubiru. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memacu kuda mereka dengan darah yang bergolak. Suara kaki-kaki kuda mereka berderap memecah sepi malam di atas tanah-tanah berbatu padas. Orang-orang yang menutup pintu serapat-rapatnya di tepi-tepi jalan, menjadi semakin gelisah mendengar derap kuda itu. Mereka memeluk anak-anak mereka semakin erat di dada mereka sambil berdoa, semoga Yang Maha Kuasa melindungi mereka dari bencana. Arya Salaka melihat dua tiga orang menyelinap ke halaman ketika kudanya menghambur terbang, tetapi ia tidak memperdulikannya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak begitu tertarik kepada orang-orang itu. Tetapi ketika kemudian terdengar bunyi kentongan, mereka menyesal. Agaknya orang-orang itu adalah para pengawas, yang harus mengamat-amati kedatangan orang-orang Banyubiru. Namun mereka tak dapat memutar kuda mereka kembali. Dengan demikian waktu mereka akan semakin habis. Ketika Arya Salaka akan membelok ke arah api yang menyala-nyala, terdengar Mahesa Jenar berteriak,
Quote:
“Terus ke rumahmu, Arya.”
Arya menarik kekang kudanya sekuat-kuatnya, sehingga kuda itu meringkik dan berdiri tegak di atas kedua kaki belakangnya.
“Api,” jawab Arya.
Pada saat itu kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berlari disampingnya, tidak ke arah api itu. Dan terdengarlah suara Mahesa Jenar tanpa menghentikan kudanya,
“Itu adalah suatu cara untuk memancing kita. Aku telah mengenal akal itu”.
Arya menarik kekang kudanya sekuat-kuatnya, sehingga kuda itu meringkik dan berdiri tegak di atas kedua kaki belakangnya.
“Api,” jawab Arya.
Pada saat itu kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berlari disampingnya, tidak ke arah api itu. Dan terdengarlah suara Mahesa Jenar tanpa menghentikan kudanya,
“Itu adalah suatu cara untuk memancing kita. Aku telah mengenal akal itu”.
Kembali Arya Salaka menggeretakkan giginya. Dengan cepatnya ia mencambuk kudanya dan berlari mengikuti gurunya. Mereka langsung pergi ke rumah kepala daerah perdikan yang sedang diguncang oleh peristiwa-peristiwa yang menyedihkan. Ketika mereka semakin lama menjadi semakin dekat, maka dada merekapun semakin berdebar-debar pula. Meskipun demikian, Arya masih belum sadar benar akan keadaannya, sehingga dengan berteriak ia bertanya,
Quote:
“Bagaimana dengan api itu paman?”.
Mahesa Jenar menoleh. Dilihatnya Arya telah menyusul dekat dibelakangnya,
“Jangan perdulikan”, jawabnya
“mereka hanya ingin menarik perhatian kita. Tempat yang menyala itu adalah tempat-tempat yang tak berarti. Mudah-mudahan laskarmu telah berusaha untuk menyelesaikannya. Bukankah api itu telah surut?”.
“Ya”, sahut Arya.
Mahesa Jenar menoleh. Dilihatnya Arya telah menyusul dekat dibelakangnya,
“Jangan perdulikan”, jawabnya
“mereka hanya ingin menarik perhatian kita. Tempat yang menyala itu adalah tempat-tempat yang tak berarti. Mudah-mudahan laskarmu telah berusaha untuk menyelesaikannya. Bukankah api itu telah surut?”.
“Ya”, sahut Arya.
Ia mengerti sekarang, bahwa bahaya yang sebenarnya tidak terletak di daerah api itu. Demikianlah mereka bertiga memacu kuda-kuda mereka semakin cepat dan cepat. Mereka berpacu bersama angin basah yang bertiup menghanyutkan awan yang kelabu. Kilat memancar-mancar di udara seperti sedang bersabung, diantar oleh bunyi guruh yang menggelegar memukul tebing-tebing perbukitan. Arya Salaka menjadi tidak sabar lagi. Ketika ia melihat sepasang beringin di alun-alun, hatinya seperti meronta-ronta. Tetapi dimuka regol rumahnya tak dilihatnya apapun yang mencurigakan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, adalah orang-orang yang telah memiliki pengalaman yang jauh lebih luas dari Arya Salaka. Karena itu mereka menghentikan kuda-kuda mereka dimuka halaman. Mereka harus memasuki halaman itu dalam kesiagaan penuh. Namun Arya Salaka tidak sempat berpikir demikian. Ia langsung melampaui Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara di atas kudanya yang masih berlari seperti di kejar hantu.
Quote:
“Arya!”, teriak Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar tak mampu menghentikannya. Seperti anak panah Arya langsung menyerbu masuk ke halaman. Di halaman itu masih bertempur dengan sengitnya, Sura Sarunggi melawan Anggara, dan Umbaran melawan Radite. Mereka bertempur dalam tingkat tertinggi dari ilmu-ilmu mereka. Yang paling gelisah dari mereka adalah Umbaran. Ia sadar sesadar-sadarnya, apabila datang orang-orang Banyubiru, maka akan berakhirlah kisah petualangannya. Karena itu, dalam kegelisahannya ia sempat memperhitungkan keadaan. Ia harus bertindak cepat dan menguntungkan. Karena itu ia memutuskan untuk membunuh salah seorang lawannya atau orang-orang Banyubiru yang datang untuk mengurangi lawannya. Sesudah itu, kalau perlu ia akan melarikan diri saja, meskipun kemungkinannyapun tipis pula. Tetapi kalau ia berhasil membunuh salah seorang dari mereka, ia akan dapat mempengaruhi keadaan, meskipun hanya sekejap. Dan kelebihan waktu yang sekejap itu harus dipergunakan sebaik-baiknya.
Demikianlah ketika ia mendengar derap kuda langsung memasuki halaman, ia melontar mundur beberapa langkah, kemudian dengan tak terduga Umbaran berteriak keras-keras, dan pisau belati panjangnya meluncur seperti tatit ke dada Arya Salaka. Arya terkejut melihat sinar kuning menyilaukan terbang kearahnya. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk mengelak. Kudanya sendiri berlari cepat menyongsong sinar yang berkilat-kilat itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut bukan kepalang. Maut yang menyambar itu demikian cepatnya sehingga mereka tak mampu berbuat apa-apa, selain berteriak keras,
Quote:
“Arya, bungkukkan badanmu”.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas