- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#528
Jilid 16 [Part 370]
Spoiler for :
JAKA SOKA tidak peduli lagi apa yang akan terjadi dengan golongan hitam yang lain. Dengan laskar Mentaok, Rawa Pening, Gunung Tidar dan lain-lainnya di Pamingit. Karena itu selama ia masih mendapat kemungkinan, ia harus menyingkir dari halaman itu.
Sementara itu Pasingsingan Guru Lawa Ijo telah mempersiapkan dirinya pula. Ia melihat betapa sahabatnya telah terlibat dalam suatu pertempuran yang menentukan. Karena itu ia menggeram dengan marahnya,
Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih berdiam diri, meskipun ia mengikuti pertempuran itu dengan seksama. Namun tak ada tanda-tanda padanya, bahwa ia pun akan segera mulai bertempur.
Tetapi justru karena itulah maka guru Lawa Ijo itu menjadi semakin gelisah. Untuk merapati kegelisahannya, ia berkata,
Dada guru Lawa Ijo berdesir keras. Tetapi ia takut melihat kepada dirinya sendiri. Ia menjadi takut, bahwa akhirnya ia benar-benar menyadari keadaannya. Karena itu ia berteriak,
Mendengar nama itu, darah guru Lawa Ijo serasa berhenti mengalir. Telah bertahun-tahun ia tidak mendengarnya orang memanggil nama yang diberikan oleh ayah bundanya. Ia lebih senang dan bangga apabila orang menyebutnya dengan ketakutan, “Pasingsingan.” Karena itu tiba-tiba ia menjadi bingung.
Dalam kebingungan itulah ia berteriak,
Darahnya yang beku itu tiba-tiba mendidih kembali. Radite dan Anggara yang lenyap dari percaturan orang-orang sakti itu tak akan mampu menambah ilmunya. Karena itu, ia pasti akan dapat mengatasinya. Tetapi ia menjadi gelisah kembali ketika orang yang dibentak-bentaknya itu masih tetap tenang dan berkata,
Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, namun cukup jelas bagi guru Lawa Ijo. Kata demi kata, yang seolah-olah menyusup ke tulang sungsumnya. Tetapi hatinya yang selama ini telah dibalut oleh nafsu yang bergelora berlebih- lebihan, kini benar-benar telah menjadi sekeras batu, meskipun dengan sekuat tenaga ia berusaha membendungnya. Bahkan akhirnya ia berkata lantang,
Namun kemudian ia menundukkan wajahnya. Tangan kirinya perlahan-lahan diangkatnya mengusap dadanya yang bergelora.
PASINGSINGAN guru Lawa Ijo itu tertawa panjang sampai tubuhnya terguncang-guncang. Ia tertawa dan tertawa untuk memuaskan hatinya. Sambil menunjuk kepada Sura Sarunggi dan lawannya ia berkata,
Orang yang berdiri di samping Mantingan itu tidak menjawab. Tetapi ia mengangkat wajahnya, dan memandang kepada adik seperguruannya yang sedang bertempur.
Mereka berputar-putar dengan lincahnya, lontar-melontar seperti sepasang garuda yang sedang berlaga. Tangan mereka berkembang seperti sayap dengan senjata masing-masing.
Cemeti Sura Sarunggi meledak-ledak mengerikan, sedangkan sinar kuning pisau belati lawannya menyambar-nyambar seperti petir di langit yang kelam. Ujung cemeti Sura Sarunggi itu seolah-olah memiliki penglihatan, ke mana ia harus mematuk. Namun ujung belati lawannya seperti mempunyai mata, yang dapat melihat setiap serangan dari arah manapun juga.
Maka pertempuran itu menjadi semakin dahsyat dan dahsyat. Sura Sarunggi bertempur dengan kasar dan bengis, sedang Anggara melayaninya dengan tangkas dan tangguh.
Ketika mereka sudah berkelahi beberapa saat, Sura Sarunggi menjadi semakin heran. Lawannya dapat bertempur dengan gigihnya. Bahkan beberapa macam geraknya telah dikenalnya. Mirip dengan Pasingsingan sahabatnya itu. Karena itu timbullah beberapa pertanyaan di dalam dirinya, apakah orang ini benar-benar Pasingsingan…?
“Tidak mungkin!”Pertanyaan itu dibantahnya sendiri.
Anggara pada saat itu memang sengaja bertempur dengan ciri-ciri perguruan Pasingsingan. Ia sengaja menunjukkan, bahwa dirinyapun memiliki ilmu seperti ilmu-ilmu ajaib dari orang yang bernama Pasingsingan itu. Bahkan beberapa gerak diulangnya supaya menjadi jelas bagi lawannya.
Guru Lawa Ijo masih tertawa keras-keras. Dan Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih memandangi Sura Sarunggi dan Anggara.
Sengaja ia ingin memanaskan hati Radite. Mempengaruhinya dengan kelemahan-kelemahannya.
Tetapi dengan demikian Radite menjadi marah. Peristiwa itu adalah peristiwa yang paling pedih dalam hidupnya, karena itu setiap kali ia dihadapkan pada kenangan itu, setiap kali ia kehilangan kesabaran.
Umbaran menjadi berdebar-debar. Apakah Radite benar-benar akan marah dan menyerangnya? Tetapi tak ada pilihan lain. Sura Sarunggi telah bertempur dengan gigihnya.
Keduanya berdiri tegak dengan tenangnya. Radite masih berusaha menguasai perasaannya, sedang Umbaran menjadi berdebar-debar menghadapi kemungkinan yang berat.
Ia tidak segarang biasanya, yang langsung menikam lambung lawannya. Kali ini ia benar-benar memperhitungkan keadaan. Karena keragu-raguannya itulah ia masih berdiri tegak.
Ketika keduanya sedang berusaha menekan perasaan masing-masing, tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi kentongan, yang dipukul bergelombang-gelombang. Rog-rog asem.
Radite mengangkat wajahnya. Lamat-lamat terdengar kentongan itu menjalar. Ia tidak tahu tanda apakah itu. Karena itu, ia harus memperhitungkan setiap kemungkinan.
Namun karena itulah maka Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi bertambah bingung. Akhirnya ia kehilangan kejernihan dan kelicinan otaknya. Ia tahu benar, bahwa tanda itu mengabarkan kedatangan orang Banyubiru atau Pamingit. Mahesa Jenar atau Sora Dipayana dan kawan-kawannya. Akhirnya ia menjadi mata gelap. Sebab menyingkirpun tak ada kesempatan.
Karena itu, tanpa diduga-duga, ia meloncat dengan garangnya sambil berteriak nyaring. Pedangnya berkilauan menyambar leher Radite.
Sementara itu Pasingsingan Guru Lawa Ijo telah mempersiapkan dirinya pula. Ia melihat betapa sahabatnya telah terlibat dalam suatu pertempuran yang menentukan. Karena itu ia menggeram dengan marahnya,
Quote:
“Lihatlah betapa orang yang berani menyebut dirinya Pasingsingan itu akan hancur lumat oleh cemeti Sura Sarunggi.”
Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih berdiam diri, meskipun ia mengikuti pertempuran itu dengan seksama. Namun tak ada tanda-tanda padanya, bahwa ia pun akan segera mulai bertempur.
Tetapi justru karena itulah maka guru Lawa Ijo itu menjadi semakin gelisah. Untuk merapati kegelisahannya, ia berkata,
Quote:
“Hai orang yang sombong, yang berani mengaku bernama Pasingsingan, bersiaplah menghadapi saat-saat terakhirmu.”
“Jangan berkata demikian,” jawabnya perlahan-lahan,
“Apakah kau juga sekasar Sura Sarunggi itu?”
“Jangan mencoba melunakkan hatiku,” sahut guru Lawa Ijo.
“Aku tahu bahwa hatimu tak selunak yang aku harapkan,” kata Pasingsingan di samping Mantingan.
“Tetapi jangan terlalu lama mengelabuhi dirimu. Aku yakin bahwa kau telah mengenal aku.”
“Jangan berkata demikian,” jawabnya perlahan-lahan,
“Apakah kau juga sekasar Sura Sarunggi itu?”
“Jangan mencoba melunakkan hatiku,” sahut guru Lawa Ijo.
“Aku tahu bahwa hatimu tak selunak yang aku harapkan,” kata Pasingsingan di samping Mantingan.
“Tetapi jangan terlalu lama mengelabuhi dirimu. Aku yakin bahwa kau telah mengenal aku.”
Dada guru Lawa Ijo berdesir keras. Tetapi ia takut melihat kepada dirinya sendiri. Ia menjadi takut, bahwa akhirnya ia benar-benar menyadari keadaannya. Karena itu ia berteriak,
Quote:
“Jangan mencoba meringankan kesalahanmu. Bersiaplah aku akan mulai.”
“Umbaran…” tiba-tiba terdengar suara yang lunak, selunak suara seorang kakak terhadap adiknya.
“Umbaran…” tiba-tiba terdengar suara yang lunak, selunak suara seorang kakak terhadap adiknya.
Mendengar nama itu, darah guru Lawa Ijo serasa berhenti mengalir. Telah bertahun-tahun ia tidak mendengarnya orang memanggil nama yang diberikan oleh ayah bundanya. Ia lebih senang dan bangga apabila orang menyebutnya dengan ketakutan, “Pasingsingan.” Karena itu tiba-tiba ia menjadi bingung.
Dalam kebingungan itulah ia berteriak,
Quote:
“Jangan mengigau. Umbaran telah mati. Aku, Pasingsingan, yang telah membunuhnya.”
“Ya, Umbaran telah tak ada lagi,” jawab orang berjubah itu,
“Yang ada kemudian adalah Pasingsingan. Tetapi, baginya masih ada jalan kembali.”
“Diam!” bentak guru Lawa Ijo.
“Ya, Umbaran telah tak ada lagi,” jawab orang berjubah itu,
“Yang ada kemudian adalah Pasingsingan. Tetapi, baginya masih ada jalan kembali.”
“Diam!” bentak guru Lawa Ijo.
Darahnya yang beku itu tiba-tiba mendidih kembali. Radite dan Anggara yang lenyap dari percaturan orang-orang sakti itu tak akan mampu menambah ilmunya. Karena itu, ia pasti akan dapat mengatasinya. Tetapi ia menjadi gelisah kembali ketika orang yang dibentak-bentaknya itu masih tetap tenang dan berkata,
Quote:
“Jangan marah Umbaran. Aku datang kepadamu dengan maksud baik. Kau masih mempunyai kesempatan kembali ke perguruan kita. Guru kita yang bergelar Pasingsingan dengan cita-cita yang putih.”
“Diam!” Pasingsingan berteriak semakin keras.
“Sayang, bahwa kau tak dapat mengikuti jejaknya. Kau tak mampu menangkap ajaran- ajarannya, sehingga kau salah duga terhadapnya. Kau menganggap bahwa guru kita telah kehilangan kegairahannya terhadap hidup dan kehidupan. Karena itu kau memilih jalanmu sendiri.”
“Omong kosong,” bantah guru Lawa Ijo,
“Apakah kau selama ini juga mentaati ajaran-ajarannya? Apakah kau selama ini bersih dari noda-noda yang dilemparkan oleh kehidupan disekitar kita kepadamu?”
“Tidak, Umbaran,” jawab orang itu.
“Aku merasa, betapa kotornya hati dan ragaku. Namun aku telah berusaha untuk mengurangi kesalahanku, setidak-tidaknya mengurangi kesalahan-kesalahan baru yang akan menambah beban kehidupan sukmaku.”
“Aku bukan orang yang puas dengan keadaanku sekarang. Tetapi aku berhak menuntut masa depanku sebaik-baiknya,” kata guru Lawa Ijo.
“Aku bangga terhadap mereka yang berjuang buat masa depannya. Namun mereka jangan mengorbankan masa depan orang lain sebagai pupuk bagi masa depannya itu.”
“Diam!” Pasingsingan berteriak semakin keras.
“Sayang, bahwa kau tak dapat mengikuti jejaknya. Kau tak mampu menangkap ajaran- ajarannya, sehingga kau salah duga terhadapnya. Kau menganggap bahwa guru kita telah kehilangan kegairahannya terhadap hidup dan kehidupan. Karena itu kau memilih jalanmu sendiri.”
“Omong kosong,” bantah guru Lawa Ijo,
“Apakah kau selama ini juga mentaati ajaran-ajarannya? Apakah kau selama ini bersih dari noda-noda yang dilemparkan oleh kehidupan disekitar kita kepadamu?”
“Tidak, Umbaran,” jawab orang itu.
“Aku merasa, betapa kotornya hati dan ragaku. Namun aku telah berusaha untuk mengurangi kesalahanku, setidak-tidaknya mengurangi kesalahan-kesalahan baru yang akan menambah beban kehidupan sukmaku.”
“Aku bukan orang yang puas dengan keadaanku sekarang. Tetapi aku berhak menuntut masa depanku sebaik-baiknya,” kata guru Lawa Ijo.
“Aku bangga terhadap mereka yang berjuang buat masa depannya. Namun mereka jangan mengorbankan masa depan orang lain sebagai pupuk bagi masa depannya itu.”
Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, namun cukup jelas bagi guru Lawa Ijo. Kata demi kata, yang seolah-olah menyusup ke tulang sungsumnya. Tetapi hatinya yang selama ini telah dibalut oleh nafsu yang bergelora berlebih- lebihan, kini benar-benar telah menjadi sekeras batu, meskipun dengan sekuat tenaga ia berusaha membendungnya. Bahkan akhirnya ia berkata lantang,
Quote:
“Jangan menggurui aku. Guruilah dirimu sendiri. Bukankah kau menjelang kebahagiaan masa depanmu dengan mengorbankan orang lain pula? Manakah perempuan yang aku hadiahkan kepadamu itu? Bukankah ia mati karena ketamakanmu?”
“Umbaran!” potong orang berjubah yang berdiri disamping Mantingan.
“Aku minta jangan kau sebut-sebut itu lagi.”
“Ha, kau menjadi ketakutan? Kau lihat noda-noda yang melekat di tubuhku, namun tak kau lihat kotoran-kotoran yang bergumpal-gumpal di wajahmu? Di pelupuk matamu? Mana perempuan itu? Mana…?”
“Jangan kau sebut itu, Umbaran,” kata orang itu.
“Biar, biar aku ulang seribu kali,” sahut guru Lawa Ijo.
“Perempuan itu kau tukar dengan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan kita. Dan kau berjanji tidak akan mengganggu gugat lagi. Sekarang perempuan itu mati. Mati. Mati….”
“Cukup!”potong orang itu keras-keras.
“Umbaran!” potong orang berjubah yang berdiri disamping Mantingan.
“Aku minta jangan kau sebut-sebut itu lagi.”
“Ha, kau menjadi ketakutan? Kau lihat noda-noda yang melekat di tubuhku, namun tak kau lihat kotoran-kotoran yang bergumpal-gumpal di wajahmu? Di pelupuk matamu? Mana perempuan itu? Mana…?”
“Jangan kau sebut itu, Umbaran,” kata orang itu.
“Biar, biar aku ulang seribu kali,” sahut guru Lawa Ijo.
“Perempuan itu kau tukar dengan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan kita. Dan kau berjanji tidak akan mengganggu gugat lagi. Sekarang perempuan itu mati. Mati. Mati….”
“Cukup!”potong orang itu keras-keras.
Namun kemudian ia menundukkan wajahnya. Tangan kirinya perlahan-lahan diangkatnya mengusap dadanya yang bergelora.
PASINGSINGAN guru Lawa Ijo itu tertawa panjang sampai tubuhnya terguncang-guncang. Ia tertawa dan tertawa untuk memuaskan hatinya. Sambil menunjuk kepada Sura Sarunggi dan lawannya ia berkata,
Quote:
“Lihat, apa yang bisa dilakukan oleh Anggara, penjagamu itu. Lihatlah, sebentar lagi ia akan binasa.”
Orang yang berdiri di samping Mantingan itu tidak menjawab. Tetapi ia mengangkat wajahnya, dan memandang kepada adik seperguruannya yang sedang bertempur.
Mereka berputar-putar dengan lincahnya, lontar-melontar seperti sepasang garuda yang sedang berlaga. Tangan mereka berkembang seperti sayap dengan senjata masing-masing.
Cemeti Sura Sarunggi meledak-ledak mengerikan, sedangkan sinar kuning pisau belati lawannya menyambar-nyambar seperti petir di langit yang kelam. Ujung cemeti Sura Sarunggi itu seolah-olah memiliki penglihatan, ke mana ia harus mematuk. Namun ujung belati lawannya seperti mempunyai mata, yang dapat melihat setiap serangan dari arah manapun juga.
Maka pertempuran itu menjadi semakin dahsyat dan dahsyat. Sura Sarunggi bertempur dengan kasar dan bengis, sedang Anggara melayaninya dengan tangkas dan tangguh.
Ketika mereka sudah berkelahi beberapa saat, Sura Sarunggi menjadi semakin heran. Lawannya dapat bertempur dengan gigihnya. Bahkan beberapa macam geraknya telah dikenalnya. Mirip dengan Pasingsingan sahabatnya itu. Karena itu timbullah beberapa pertanyaan di dalam dirinya, apakah orang ini benar-benar Pasingsingan…?
“Tidak mungkin!”Pertanyaan itu dibantahnya sendiri.
Anggara pada saat itu memang sengaja bertempur dengan ciri-ciri perguruan Pasingsingan. Ia sengaja menunjukkan, bahwa dirinyapun memiliki ilmu seperti ilmu-ilmu ajaib dari orang yang bernama Pasingsingan itu. Bahkan beberapa gerak diulangnya supaya menjadi jelas bagi lawannya.
Guru Lawa Ijo masih tertawa keras-keras. Dan Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih memandangi Sura Sarunggi dan Anggara.
Quote:
“Jangan membeku seperti batu,” tegur Umbaran,
“Sekarang apa katamu?”
Orang yang bernama Radite itu perlahan-lahan menoleh ke arah Umbaran, jawabnya,
“Marilah kita lupakan masa lampau. Marilah kita bina bersama masa depan perguruan kita.”
“Masa depanku jauh berbeda dengan masa depanmu. Jangan mengigau lagi. Pergi dan bawa adikmu itu, atau kau berdua binasa.”
Umbaran meneruskan,
“Jangan mimpi aku berlutut di bawah kakimu dan menyerahkan perempuan untuk kedua kalinya.”
“Jangan bicara tentang perempuan!” Radite membentak.
Kesabarannya telah menjadi semakin tipis. Hatinya yang luka karena perempuan, kini terungkap kembali.
“Aku bicara tentang perempuan, supaya kau teringat kembali akan perjanjian kita. Kita tidak akan saling mengganggu,” sahut Umbaran.
“Aku tidak akan mengganggu gugat pusaka-pusaka yang telah kau miliki, ciri-ciri khusus Pasingsingan yang kau pakai, sedang kau tak akan mengganggu gugat perempuan itu,” jawab Radite.
“Tetapi aku berhak mengganggu gugat segala perbuatanmu yang terkutuk.”
“Kau iri hati,” kata Umbaran.
“Tidak,” jawab Radite,
“Aku mempunyai kepentingan sendiri. Aku tidak mau menanggung beban dosamu lebih banyak lagi karena kesalahanku, menyerahkan kesaktian Pasingsingan kepadamu. Sebab dengan demikian kau telah menarik diri dari persahabatanku dengan Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis Angganten dan lain-lain. Bahkan kau telah menempatkan dirimu sebagai lawan. Nah, aku akan menghentikan semuanya itu.”
“Ha, itulah akibat nafsu gilamu kepada perempuan?” jawab Umbaran.
“Sekarang apa katamu?”
Orang yang bernama Radite itu perlahan-lahan menoleh ke arah Umbaran, jawabnya,
“Marilah kita lupakan masa lampau. Marilah kita bina bersama masa depan perguruan kita.”
“Masa depanku jauh berbeda dengan masa depanmu. Jangan mengigau lagi. Pergi dan bawa adikmu itu, atau kau berdua binasa.”
Umbaran meneruskan,
“Jangan mimpi aku berlutut di bawah kakimu dan menyerahkan perempuan untuk kedua kalinya.”
“Jangan bicara tentang perempuan!” Radite membentak.
Kesabarannya telah menjadi semakin tipis. Hatinya yang luka karena perempuan, kini terungkap kembali.
“Aku bicara tentang perempuan, supaya kau teringat kembali akan perjanjian kita. Kita tidak akan saling mengganggu,” sahut Umbaran.
“Aku tidak akan mengganggu gugat pusaka-pusaka yang telah kau miliki, ciri-ciri khusus Pasingsingan yang kau pakai, sedang kau tak akan mengganggu gugat perempuan itu,” jawab Radite.
“Tetapi aku berhak mengganggu gugat segala perbuatanmu yang terkutuk.”
“Kau iri hati,” kata Umbaran.
“Tidak,” jawab Radite,
“Aku mempunyai kepentingan sendiri. Aku tidak mau menanggung beban dosamu lebih banyak lagi karena kesalahanku, menyerahkan kesaktian Pasingsingan kepadamu. Sebab dengan demikian kau telah menarik diri dari persahabatanku dengan Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis Angganten dan lain-lain. Bahkan kau telah menempatkan dirimu sebagai lawan. Nah, aku akan menghentikan semuanya itu.”
“Ha, itulah akibat nafsu gilamu kepada perempuan?” jawab Umbaran.
Sengaja ia ingin memanaskan hati Radite. Mempengaruhinya dengan kelemahan-kelemahannya.
Tetapi dengan demikian Radite menjadi marah. Peristiwa itu adalah peristiwa yang paling pedih dalam hidupnya, karena itu setiap kali ia dihadapkan pada kenangan itu, setiap kali ia kehilangan kesabaran.
Quote:
“Umbaran…” kata Radite dengan lantang,
“Kesabaran seseorang ada batasnya. Jangan menunggu demikian.”
“Kesabaran seseorang ada batasnya. Jangan menunggu demikian.”
Umbaran menjadi berdebar-debar. Apakah Radite benar-benar akan marah dan menyerangnya? Tetapi tak ada pilihan lain. Sura Sarunggi telah bertempur dengan gigihnya.
Keduanya berdiri tegak dengan tenangnya. Radite masih berusaha menguasai perasaannya, sedang Umbaran menjadi berdebar-debar menghadapi kemungkinan yang berat.
Ia tidak segarang biasanya, yang langsung menikam lambung lawannya. Kali ini ia benar-benar memperhitungkan keadaan. Karena keragu-raguannya itulah ia masih berdiri tegak.
Ketika keduanya sedang berusaha menekan perasaan masing-masing, tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi kentongan, yang dipukul bergelombang-gelombang. Rog-rog asem.
Quote:
“Setan,” desis Pasingsingan,
“Mereka datang.”
“Mereka datang.”
Radite mengangkat wajahnya. Lamat-lamat terdengar kentongan itu menjalar. Ia tidak tahu tanda apakah itu. Karena itu, ia harus memperhitungkan setiap kemungkinan.
Namun karena itulah maka Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi bertambah bingung. Akhirnya ia kehilangan kejernihan dan kelicinan otaknya. Ia tahu benar, bahwa tanda itu mengabarkan kedatangan orang Banyubiru atau Pamingit. Mahesa Jenar atau Sora Dipayana dan kawan-kawannya. Akhirnya ia menjadi mata gelap. Sebab menyingkirpun tak ada kesempatan.
Karena itu, tanpa diduga-duga, ia meloncat dengan garangnya sambil berteriak nyaring. Pedangnya berkilauan menyambar leher Radite.
fakhrie... dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Kutip
Balas