- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#527
Jilid 16 [Part 369]
Spoiler for :
MENDENGAR jawaban itu, hati Pasingsingan berdesir. Ketika ia meraba jari-jarinya, ia menjadi berdebar-debar. Namun katanya kemudian,
Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Pasingsingan dari Mentaok itu menggigil. Ia menjadi curiga. Sejak orang yang menamakan diri Pasingsingan itu mampu melepaskan Gelap Ngampar, hatinya telah bergetar. Kini kata-kata itu menambah keyakinannya bahwa ia telah mengenal kedua orang itu. Meskipun demikian, ia masih mencoba untuk menyakinkan, apakah dugaannya itu benar. Maka katanya,
Tetapi dada Pasingsingan menjadi bergetar semakin cepat. Ada perasaan yang lain di dalam dirinya. Sekarang ia hampir pasti dengan siapa ia berhadapan. Namun di hadapan Sura Sarunggi, ia masih mencoba untuk bersembunyi. Ia tidak mau orang lain mengetahui tentang dirinya, apalagi Jaka Soka, Mantingan beserta kawan-kawannya. Meskipun ia berdiam diri, namun hati di dalam dadanya berteriak nyaring, “Hai Umbaran, yang berdiri di hadapanmu dengan ciri-ciri Pasingsingan adalah Radite dan Anggara.”
Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah letusan yang dahsyat. Ketika ia memandang kepada Sura Sarunggi, dilihatnya sahabatnya itu telah mengurai ikat pinggangnya, yang kemudian dengan marahnya, ikat pinggang yang mirip dengan sebuah cemeti itu dilecutkannya. Itulah senjata Sura Sarunggi, sebagaimana senjata-senjata yang dipergunakan oleh murid-muridnya, Uling Putih dan Uling Kuning dari Rawa Pening.
PASINGSINGAN, Guru Lawa Ijo kini tidak mempunyai pilihan lain. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya dengan mereka, apakah yang telah terjadi selama ini. Ia merasa bahwa pada saat-saat terakhir telah diketemukannya berbagai bentuk yang keras dari ajinya, Gelap Ngampar, maupun Alas Kobar. Kemajuan-kemajuan yang dicapainya dalam petualangannya. Lalu apakah yang telah didapatkan oleh kedua saudara seperguruan itu. Meskipun pada masa-masa lampau, Radite dan Anggara tak dapat diatasinya, namun kini Pasingsingan yang bernama Umbaran itu bukanlah Umbaran beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian akhirnya ia memutuskan, bahwa ia harus berjuang dengan senjatanya itu.
Kemudian terdengarlah suara meledak untuk mengatasi getaran-getaran di jantungnya,
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu agaknya lebih mudah tersinggung daripada Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan. Ternyata ia menjawab lantang,
Sura Sarunggi menutup kata-katanya dengan derai tertawa yang mengerikan. Kemudian ia pun bersiap untuk segera mulai dengan pertempuran melawan orang berjubah abu-abu dan menyebut dirinya Pasingsingan itu. Sesaat kemudian ia pun meloncat dengan garangnya.
Cemetinya berputar cepat sekali, melampaui kecepatan baling-baling yang ditiup angin ribut. Namun Pasingsingan itu pun telah bersiap pula. Tangan di balik jubah abu-abunya berkembang seperti hendak terbang. Pisau belati panjangnya berkilauan memantulkan cahaya api yang remang-remang.
Demikianlah, mereka tenggelam dalam satu perkelahian yang dahsyat.
Sura Sarunggi, iblis dari Rawa Pening itu bertempur seperti angin topan. Ia meloncat-loncat dengan dahsyatnya mengelilingi lawannya, dan menyerangnya dari segenap penjuru. Namun Pasingsingan itupun tidak membiarkan dirinya tersekat dalam lingkaran cemeti lawannya. Dengan tangkasnya ia melontarkan dirinya, sekali-kali memotong serangan lawannya. Dan bahkan kadang-kadang ia tegak menghadapi topan seperti bukit Telamaya yang tak tergoyahkan oleh angin dan badai.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri memandang perkelahian itu dengan mulut ternganga. Kedahsyatan ilmu mereka telah menggemparkan dada masing-masing. Demikian sengitnya perkelahian itu, sehingga akhirnya yang tampak di mata mereka hanyalah bayang-bayang hitam yang berputar-putar seperti angin pusaran.
Jaka Soka tak luput pula dari perasaan itu. Heran dan berdebar-debar. Meskipun demikian ia masih ingat akan keselamatan diri. Sehingga dengan diam-diam ia mencari kemungkinan, ke mana ia harus melarikan diri. Sebab apabila Pasingsingan yang sepasang itu terlibat pula dalam pertempuran, serta apabila kemudian Mantingan dan kawan-kawannya telah berhasil menguasai diri mereka, bersama-sama menyerangnya, maka sulitlah baginya untuk bertahan. Padahal ia masih ingin menikmati kebesaran sebagai pimpinan bajak laut yang disegani.
Quote:
“Akik itu sudah aku berikan kepada muridku Lawa Ijo. Sesaat sebelum ia mati, diberikannya akik itu kepada Endang Widuri.”
“Hem…” desis Pasingsingan di samping Sura Sarunggi.
“Kau sedang mengarang sebuah ceritera.”
“Bertanyalah kepada Endang Widuri.”
Pasingsingan itu menegaskan. Pasingsingan di samping Mantingan itu menoleh kepada Endang Widuri. Kemudian ia berkata,
“Ciri Pasingsingan hanya melekat pada tubuh Pasingsingan. Tak ada ciri-ciri yang lain, apalagi yang dimiliki oleh orang lain. Aku dapat menyebut lebih dari seribu macam pusaka-pusaka ciri yang lain yang tak ada padaku.”
Darah Pasingsingan bertambah bergelora di jantungnya. Sambil berteriak ia memaki-maki,
“Setan, iblis, thethekan. Tetapi akik Kelabang Sayuta itu milikku.”
“Aku tidak bertanya siapakah yang mula-mula memiliki,” bantah Pasingsingan di samping Mantingan.
“Tetapi akik itu sekarang tidak ada padamu, tidak ada padaku, dan tidak ada pada Pasingsingan yang seorang itu lagi.”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi tertawa pendek, katanya,
“Sudahlah Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, yang madeg guru di Mentaok. Jangan terlalu banyak persoalkan di antara kita kini.”
“Diam!” bentak Pasingsingan guru Lawa Ijo.
“Aku beri kau waktu sepemakan sirih. Tinggalkan halaman ini. Jangan campuri urusanku.”
“Bukan demikian adat yang pernah kau lakukan,” sahut Pasingsingan di samping Mantingan,
“Kalau kau yakin dapat membunuh kami, kau tak akan melepaskan lagi. Dengan demikian, maka sekarang kau tak yakin akan kemenanganmu. Karena itu, bukankah lebih baik kita berbicara sebagai manusia terhadap manusia. Bukan sebagai hantu-hantu yang berkeliaran dari satu kuburan kelain kuburan, mencari mayat.”
“Hem. Benar-benar suatu penghinaan,” geram Sura Sarunggi.
Kepalanya yang besar itu terangkat dan dengan lantang ia melanjutkan,
“Jangan merasa dirimu kadang dewa. Tak ada waktu untuk berbicara sekarang. Pergilah atau kau akan terkubur di sini.”
“Jangan begitu Ki Sanak,” jawab Pasingsingan di samping Sura Sarunggi.
“Penyelesaian dengan pengertian, jauh lebih baik daripada penyelesaian dengan tetesan darah dari tubuh kita. Sebab dengan demikian, kita akan dikejar oleh rasa dendam yang tiada akan habis-habisnya. Dendam yang akan dibalas dengan dendam. Dengan demikian maka sepanjang umur kita, kita tidak akan dapat menikmati ketenangan.”
“Pengecut!” potong Pasingsingan dari Mentaok.
“Aku adalah laki-laki. Di tanganku telah tergenggam pusakaku Kyai Suluh. Karena itu kau tak ada kesempatan lagi untuk kedua kalinya, setelah kau menolak kesempatan yang pertama.”
“Jangan,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan,
“Kita masing-masing mempunyai kesempatan yang sama. Jangan mengancam dan menakut-nakuti. Aku ulangi, marilah kita berbicara sebagai manusia dengan manusia. Kita berbicara tanpa takbir di wajah kita. Kita bicara antara hati kita yang dilambari dengan kejujuran pada diri kita masing-masing, betapa hitamnya noda-noda yang melekat pada tubuh kita masing-masing.”
“Hem…” desis Pasingsingan di samping Sura Sarunggi.
“Kau sedang mengarang sebuah ceritera.”
“Bertanyalah kepada Endang Widuri.”
Pasingsingan itu menegaskan. Pasingsingan di samping Mantingan itu menoleh kepada Endang Widuri. Kemudian ia berkata,
“Ciri Pasingsingan hanya melekat pada tubuh Pasingsingan. Tak ada ciri-ciri yang lain, apalagi yang dimiliki oleh orang lain. Aku dapat menyebut lebih dari seribu macam pusaka-pusaka ciri yang lain yang tak ada padaku.”
Darah Pasingsingan bertambah bergelora di jantungnya. Sambil berteriak ia memaki-maki,
“Setan, iblis, thethekan. Tetapi akik Kelabang Sayuta itu milikku.”
“Aku tidak bertanya siapakah yang mula-mula memiliki,” bantah Pasingsingan di samping Mantingan.
“Tetapi akik itu sekarang tidak ada padamu, tidak ada padaku, dan tidak ada pada Pasingsingan yang seorang itu lagi.”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi tertawa pendek, katanya,
“Sudahlah Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, yang madeg guru di Mentaok. Jangan terlalu banyak persoalkan di antara kita kini.”
“Diam!” bentak Pasingsingan guru Lawa Ijo.
“Aku beri kau waktu sepemakan sirih. Tinggalkan halaman ini. Jangan campuri urusanku.”
“Bukan demikian adat yang pernah kau lakukan,” sahut Pasingsingan di samping Mantingan,
“Kalau kau yakin dapat membunuh kami, kau tak akan melepaskan lagi. Dengan demikian, maka sekarang kau tak yakin akan kemenanganmu. Karena itu, bukankah lebih baik kita berbicara sebagai manusia terhadap manusia. Bukan sebagai hantu-hantu yang berkeliaran dari satu kuburan kelain kuburan, mencari mayat.”
“Hem. Benar-benar suatu penghinaan,” geram Sura Sarunggi.
Kepalanya yang besar itu terangkat dan dengan lantang ia melanjutkan,
“Jangan merasa dirimu kadang dewa. Tak ada waktu untuk berbicara sekarang. Pergilah atau kau akan terkubur di sini.”
“Jangan begitu Ki Sanak,” jawab Pasingsingan di samping Sura Sarunggi.
“Penyelesaian dengan pengertian, jauh lebih baik daripada penyelesaian dengan tetesan darah dari tubuh kita. Sebab dengan demikian, kita akan dikejar oleh rasa dendam yang tiada akan habis-habisnya. Dendam yang akan dibalas dengan dendam. Dengan demikian maka sepanjang umur kita, kita tidak akan dapat menikmati ketenangan.”
“Pengecut!” potong Pasingsingan dari Mentaok.
“Aku adalah laki-laki. Di tanganku telah tergenggam pusakaku Kyai Suluh. Karena itu kau tak ada kesempatan lagi untuk kedua kalinya, setelah kau menolak kesempatan yang pertama.”
“Jangan,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan,
“Kita masing-masing mempunyai kesempatan yang sama. Jangan mengancam dan menakut-nakuti. Aku ulangi, marilah kita berbicara sebagai manusia dengan manusia. Kita berbicara tanpa takbir di wajah kita. Kita bicara antara hati kita yang dilambari dengan kejujuran pada diri kita masing-masing, betapa hitamnya noda-noda yang melekat pada tubuh kita masing-masing.”
Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Pasingsingan dari Mentaok itu menggigil. Ia menjadi curiga. Sejak orang yang menamakan diri Pasingsingan itu mampu melepaskan Gelap Ngampar, hatinya telah bergetar. Kini kata-kata itu menambah keyakinannya bahwa ia telah mengenal kedua orang itu. Meskipun demikian, ia masih mencoba untuk menyakinkan, apakah dugaannya itu benar. Maka katanya,
Quote:
“Apakah alasanmu? Apakah untungnya kita berbicara dari hati ke hati?”
Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas, katanya,
“Bagaimanapun kotornya hati kita, namun kita adalah manusia. Kita memiliki hari-hari lampau dan hari-hari mendatang. Kita memiliki hari-hari yang cemerlang, namun kita memiliki juga hari-hari yang suram. Karena itu, janganlah kita tenggelam dalam kegelapan. Putus asa dan bunuh diri dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk terus-menerus.”
Sura Sarunggi kini benar-benar sudah kehilangan kesabarannya. Dengan suara yang geram ia berkata,
“Persetan dengan mimpi yang jahat itu. Jangan mencoba meracuni jiwa kami dengan hiasan kata-kata.”
Kemudian kepada Guru Lawa Ijo ia berkata,
“Sudahkah senjatamu itu siap?”
Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas, katanya,
“Bagaimanapun kotornya hati kita, namun kita adalah manusia. Kita memiliki hari-hari lampau dan hari-hari mendatang. Kita memiliki hari-hari yang cemerlang, namun kita memiliki juga hari-hari yang suram. Karena itu, janganlah kita tenggelam dalam kegelapan. Putus asa dan bunuh diri dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk terus-menerus.”
Sura Sarunggi kini benar-benar sudah kehilangan kesabarannya. Dengan suara yang geram ia berkata,
“Persetan dengan mimpi yang jahat itu. Jangan mencoba meracuni jiwa kami dengan hiasan kata-kata.”
Kemudian kepada Guru Lawa Ijo ia berkata,
“Sudahkah senjatamu itu siap?”
Tetapi dada Pasingsingan menjadi bergetar semakin cepat. Ada perasaan yang lain di dalam dirinya. Sekarang ia hampir pasti dengan siapa ia berhadapan. Namun di hadapan Sura Sarunggi, ia masih mencoba untuk bersembunyi. Ia tidak mau orang lain mengetahui tentang dirinya, apalagi Jaka Soka, Mantingan beserta kawan-kawannya. Meskipun ia berdiam diri, namun hati di dalam dadanya berteriak nyaring, “Hai Umbaran, yang berdiri di hadapanmu dengan ciri-ciri Pasingsingan adalah Radite dan Anggara.”
Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah letusan yang dahsyat. Ketika ia memandang kepada Sura Sarunggi, dilihatnya sahabatnya itu telah mengurai ikat pinggangnya, yang kemudian dengan marahnya, ikat pinggang yang mirip dengan sebuah cemeti itu dilecutkannya. Itulah senjata Sura Sarunggi, sebagaimana senjata-senjata yang dipergunakan oleh murid-muridnya, Uling Putih dan Uling Kuning dari Rawa Pening.
PASINGSINGAN, Guru Lawa Ijo kini tidak mempunyai pilihan lain. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya dengan mereka, apakah yang telah terjadi selama ini. Ia merasa bahwa pada saat-saat terakhir telah diketemukannya berbagai bentuk yang keras dari ajinya, Gelap Ngampar, maupun Alas Kobar. Kemajuan-kemajuan yang dicapainya dalam petualangannya. Lalu apakah yang telah didapatkan oleh kedua saudara seperguruan itu. Meskipun pada masa-masa lampau, Radite dan Anggara tak dapat diatasinya, namun kini Pasingsingan yang bernama Umbaran itu bukanlah Umbaran beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian akhirnya ia memutuskan, bahwa ia harus berjuang dengan senjatanya itu.
Kemudian terdengarlah suara meledak untuk mengatasi getaran-getaran di jantungnya,
Quote:
“Hai orang-orang yang tak tahu diri, yang telah menyia-nyiakan kesempatan terakhir karena kebaikan hatimu. Angkatlah wajahmu. Pandanglah angkasa yang suram sebagai aba-aba dari isi bumi ini, dan tundukanlah kemudian wajahmu itu sebagai penghormatan terakhir pada ibu pertiwi. Kemudian hadapilah aku sebagai lawanmu, yang akan mengantarkan nyawamu menyeberang ke dunia yang tak dikenal.”
Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya,
“Senjata bukanlah alat terakhir untuk menemukan kesempatan.”
“Tak ada yang akan disepakatkan,” sahut Sura Sarunggi,
“Kita berdiri berseberangan. Kita tidak dapat hidup bersama-sama dalam satu naungan langit yang luas ini.”
Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya,
“Senjata bukanlah alat terakhir untuk menemukan kesempatan.”
“Tak ada yang akan disepakatkan,” sahut Sura Sarunggi,
“Kita berdiri berseberangan. Kita tidak dapat hidup bersama-sama dalam satu naungan langit yang luas ini.”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu agaknya lebih mudah tersinggung daripada Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan. Ternyata ia menjawab lantang,
Quote:
“Tidak adakah jalan lain? Kalau demikian, kalau kau berpihak pada orang yang menamakan diri Pasingsingan pemarah itu, maka aku akan berdiri di pihak Pasingsingan yang seorang lagi. Sesudah itu, biarlah kami menentukan keadaan kami tanpa campur tanganmu.”
“Tunggu…” Pasingsingan di samping Mantingan mencoba untuk mencegahnya. Tetapi suaranya tenggelam dalam pekik lantang Sura Sarunggi.
“Bagus. Itulah kata-kata jantan. Sudah siapkah kau?”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu menjawab tidak kalah lantangnya,
“Aku lebih senang menempuh jalan lain. Tetapi kalau kau hadapkan aku pada satu pilihan yang tak dapat aku elakkan, silahkanlah.”
Sura Sarunggi tertawa seperti orang mabuk. Katanya,
“Meskipun kau kekasih dewa-dewa, meskipun kau berperisai guntur dan petir, tetapi kau belum mampu menjaring angin, maka kau akan kehilangan hidupmu karena tanganku.”
“Aku bukan kekasih dewa-dewa, namun aku menyerahkan diriku pada Yang Maha Kuasa,” jawab Pasingsingan itu.
“Kepada-Nya aku mohon kekuatan untuk melenyapkan keingkaran atas hukum-hukum-Nya.”
Kembali terdengar iblis dari Rawa Pening itu tertawa. Sesaat kemudian bergema kembali suara cemetinya menyusur lereng-lereng bukit.
“Hai, langit yang muram, angin yang kencang. Saksikanlah kutuk yang akan menimpa orang ini.”
“Tunggu…” Pasingsingan di samping Mantingan mencoba untuk mencegahnya. Tetapi suaranya tenggelam dalam pekik lantang Sura Sarunggi.
“Bagus. Itulah kata-kata jantan. Sudah siapkah kau?”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu menjawab tidak kalah lantangnya,
“Aku lebih senang menempuh jalan lain. Tetapi kalau kau hadapkan aku pada satu pilihan yang tak dapat aku elakkan, silahkanlah.”
Sura Sarunggi tertawa seperti orang mabuk. Katanya,
“Meskipun kau kekasih dewa-dewa, meskipun kau berperisai guntur dan petir, tetapi kau belum mampu menjaring angin, maka kau akan kehilangan hidupmu karena tanganku.”
“Aku bukan kekasih dewa-dewa, namun aku menyerahkan diriku pada Yang Maha Kuasa,” jawab Pasingsingan itu.
“Kepada-Nya aku mohon kekuatan untuk melenyapkan keingkaran atas hukum-hukum-Nya.”
Kembali terdengar iblis dari Rawa Pening itu tertawa. Sesaat kemudian bergema kembali suara cemetinya menyusur lereng-lereng bukit.
“Hai, langit yang muram, angin yang kencang. Saksikanlah kutuk yang akan menimpa orang ini.”
Sura Sarunggi menutup kata-katanya dengan derai tertawa yang mengerikan. Kemudian ia pun bersiap untuk segera mulai dengan pertempuran melawan orang berjubah abu-abu dan menyebut dirinya Pasingsingan itu. Sesaat kemudian ia pun meloncat dengan garangnya.
Cemetinya berputar cepat sekali, melampaui kecepatan baling-baling yang ditiup angin ribut. Namun Pasingsingan itu pun telah bersiap pula. Tangan di balik jubah abu-abunya berkembang seperti hendak terbang. Pisau belati panjangnya berkilauan memantulkan cahaya api yang remang-remang.
Demikianlah, mereka tenggelam dalam satu perkelahian yang dahsyat.
Sura Sarunggi, iblis dari Rawa Pening itu bertempur seperti angin topan. Ia meloncat-loncat dengan dahsyatnya mengelilingi lawannya, dan menyerangnya dari segenap penjuru. Namun Pasingsingan itupun tidak membiarkan dirinya tersekat dalam lingkaran cemeti lawannya. Dengan tangkasnya ia melontarkan dirinya, sekali-kali memotong serangan lawannya. Dan bahkan kadang-kadang ia tegak menghadapi topan seperti bukit Telamaya yang tak tergoyahkan oleh angin dan badai.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri memandang perkelahian itu dengan mulut ternganga. Kedahsyatan ilmu mereka telah menggemparkan dada masing-masing. Demikian sengitnya perkelahian itu, sehingga akhirnya yang tampak di mata mereka hanyalah bayang-bayang hitam yang berputar-putar seperti angin pusaran.
Jaka Soka tak luput pula dari perasaan itu. Heran dan berdebar-debar. Meskipun demikian ia masih ingat akan keselamatan diri. Sehingga dengan diam-diam ia mencari kemungkinan, ke mana ia harus melarikan diri. Sebab apabila Pasingsingan yang sepasang itu terlibat pula dalam pertempuran, serta apabila kemudian Mantingan dan kawan-kawannya telah berhasil menguasai diri mereka, bersama-sama menyerangnya, maka sulitlah baginya untuk bertahan. Padahal ia masih ingin menikmati kebesaran sebagai pimpinan bajak laut yang disegani.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas
Tutup