- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#526
Jilid 16 [Part 368]
Spoiler for :
"APA PEDULIMU?” bentak Pasingsingan yang berjubah abu-abu, guru Lawa Ijo.
Orang bertopeng di samping Sura Sarunggi itu berkata pula,
“Kalau keris-keris yang kau kehendaki, mengapa kau berbuat hal yang aneh-aneh? Mengapa kau akan membunuh orang-orang ini?”
“Mereka menghalangi maksudku, seperti kau,” jawab Pasingsingan.
“Kalau seseorang berusaha menemukan keris Nagasasra dan Sabuk Inten untuk diserahkan kepada yang berhak, kau berusaha untuk dirimu sendiri. Adakah kita akan berpihak padamu?” tanya Pasingsingan di samping Mantingan.
“Jangan merintangi aku!” Guru Lawa Ijo hampir berteriak,
“Atau kau akan tergilas roda perjuanganku. Mati tanpa arti?”
“Kebesaran yang akan kau dapatkan itu tak akan berarti bagiku, bagi orang-orang ini dan bagi kawula Demak. Kebesaran itu hanya akan berarti bagimu sendiri, bagi kawan-kawanmu. Nah, urungkan niatmu,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan itu.
“Persetan dengan kalian,” sahut Pasingsingan.
“Kita berhadapan sebagai lawan. Tetapi tunjukkan dahulu bahwa kau berhak bernama Pasingsingan.”
Tiba-tiba terdengar Sura Sarunggi tertawa.
“Kalian berbicara tanpa ujung dan pangkal. Tetapi aku sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa kalian sedang bersaing. Meskipun demikian aku harus mempunyai pilihan. Nah, aku berpihak pada Pasingsingan yang datang bersama aku di sini. Sebab bagiku kedua Pasingsingan yang lain tak akan berarti. Meskipun seandainya mereka mampu melepaskan aji Gelap Ngampar, aji Alas Kobar dan segala macam ciri-ciri Pasingsingan yang lain.”
“Tetapi aku akan memberimu kepuasan,” kata Pasingsingan di samping Mantingan.
“Kau ingin melihat aku melepaskan aji Gelap Ngampar?”
Kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi ia berkata,
“Kau juga ingin melihat kebenaran itu?”
Tak ada jawaban. Pasingsingan guru Lawa Ijo itu berdebar-debar.
Apakah orang-orang itu benar-benar memiliki Gelap Ngampar seperti dirinya?
Dalam kegelisahannya, ia menebak-nebak, siapakah sebenarnya kedua orang itu. Kalau mereka itu salah seorang dari Mahesa Jenar, Pandan Alas dan lain-lainnya, pasti mereka tak akan mampu melepaskan aji Gelap Ngampar.
Tetapi yang lebih gelisah lagi adalah Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri.
Kecuali mereka, Jaka Soka pun menjadi berdebar-debar. Agaknya benar-benar akan terjadi pertempuran ilmu yang dapat merontokkan isi dada mereka.
Jaka Soka akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu sebelum ia mati terhimpit dua kekuatan yang tak dapat dihindarinya. Meskipun demikian, ia harus menunggu sampai saat yang tepat baginya.
Pasingsingan di samping Mantingan itu kemudian mengangkat wajahnya. Kemudian ia memandang berkeliling. Kepada setiap orang yang berada di halaman itu. Mulai dari Mantingan dan kawan-kawannya, Wanamerta, Sendang Parapat dan para penjaga yang sudah kehilangan kesadaran mereka.
Sekali lagi Pasingsingan di samping Mantingan itu memandang berkeliling. Agaknya ia benar-benar menjadi ragu. Tiba-tiba ia menggeram, dan kepada Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi, ia berkata,
Pasingsingan belum sempat menjawab, ketika tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu tertawa. Perlahan-lahan, namun terasa betapa dahsyatnya. Gelombang demi gelombang menggeletar menggetarkan udara halaman Banyubiru itu, seolah-olah geteran yang memancar dari pusar bumi, menyebar ke seluruh penjuru. Terasa disetiap dada goncangan yang tak terkira dahsyatnya. Sehingga runtuhlah daun-daun yang tak mampu berpegangan lebih erat lagi pada dahan-dahannya.
Sura Sarunggi itu tidaklah seperti suara guru Lawa Ijo yang mengerikan. Suara itu adalah suara yang sederhana saja, seperti lazimnya orang tertawa. Lunak dan tidak mengandung kebengisan. Namun yang terasa di dada orang yang mendengarnya adalah goncangan-goncangan yang dahsyat.
Pada saat goncangan-goncangan itu menyerang dada Mantingan, berdesislah ia,
Dan berusahalah ia menjaga dirinya. Demikian juga Rara Wilis, Wirasaba, Widuri dan Jaka Soka. Sedang orang-orang lain menjadi tak berdaya untuk berbuat sesuatu, mengatasi goncangan-goncangan di dada mereka, sehingga tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka pun mulai jatuh terkulai tak sadarkan diri.
MANTINGAN dan kawan-kawannya, bahkan Jaka Soka pun tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka mulai bergetar, dan tulang-tulang mereka seakan-akan terasa lolos dari persendian. Mereka mengeluh dalam hati. Mereka berada di medan pertempuran yang dahsyat, namun mereka tak mampu mengayunkan senjata-senjata mereka untuk turut serta di dalamnya. Mereka hanya dapat bertahan atas serangan yang dahsyat, yang jauh berada di atas kemampuan mereka. Sehingga dengan demikian mereka tidak lebih dari daun-daun kering yang berguguran di halaman itu. Meskipun demikian, terasa perbedaan pada kedua aji Gelap Ngampar yang sama-sama menggoncangkan dada mereka.
Meskipun keduanya dapat membunuhnya, namun tenaga ini tidak sekasar tenaga yang pertama. Namun, ketika dada mereka akan runtuh, dari sela-sela angin basah yang mengalir semakin kencang, menyusuplah di dalam tubuh mereka, getaran-getaran udara yang segar. Perlahan-lahan namun pasti, membebaskan mereka dari kengerian aji Gelap Ngampar itu. Dan sejalan dengan itu, suara tertawa Pasingsingan itupun terhenti pula.
Pasingsingan guru Lawa Ijo itupun berdiri tegak sambil menahan marahnya. Karena itu tubuhnya tiba-tiba bergetar. Dengan suara yang berat ia berkata pula,
Tiba-tiba kembali halaman itu bergetar ketika Pasingsingan Guru Lawa Ijo itu berteriak nyaring. Seperti hantu kelaparan yang kehilangan mangsanya.
Semua mata tertuju kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. Di tangannya tergenggam sebuah pisau belati panjang yang bercahaya kuning menyilaukan.
Ia tidak berkata lebih lanjut, namun iapun kemudian mencabut sebuah pisau belati yang mirip benar dengan pisau belati Pasingsingan yang lain itu.
Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi semakin marah. Darahnya serasa mendidih di dalam rongga dadanya. Karena itu tanpa disengaja, tiba-tiba tangannyapun telah menarik pusakanya. Sebuah belati panjang yang berkilau. Kni ketiga orang yang menamakan diri Pasingsingan itu masing-masing telah menggenggam senjata yang serupa. Senjata yang selama ini menjadi ciri Pasingsingan. Pusaka yang ampuh luar biasa.
Namun tiba-tiba Pasingsingan yang selama ini merasa tiada duanya, menjadi heran, marah dan bingung, ketika ada dua orang yang menamakan diri Pasingsingan, serta memiliki beberapa ciri kekhususannya Aji Gelap Ngampar serta pisau belati panjang yang kuning berkilauan. Dengan suara yang bergetar guru Lawa Ijo itu berkata,
Untuk sesaat halaman itu menjadi hening sepi. Angin lembah semakin lama semakin kencang. Dan awan yang kelabu menjadi bertambah tebal tergantung di langit. Sekali-kali guntur bergelegar di kejauhan, memukul-mukul tebing dan pecah menggema diseluruh relung-relung pegunungan. Sinar-sinar api memancar di udara seperti Ular Gundala raksasa yang meloncat-loncat dilangit.
Menurut ceritera yang menjalar dari mulut ke mulut, di langit pada saat itu sedang terjadi pertempuran antara Ular Gundala Seta, senjata Wisnu yang sedang menyelamatkan bumi dari keangkaramurkaan, melawan Ular Gundala Wereng, senjata Kala yang sedang berusaha menghancurkan bumi karena ketamakannya.
Tetapi pada saat itu, di halaman Banyubiru itu pun sedang berhadapan dua kekuatan raksasa. Pasingsingan guru Lawa Ijo dan Sura Sarunggi di satu pihak, dan dua orang Pasingsingan di pihak lain. Mereka sedang tegak dengan tegangnya dalam pendirian masing-masing. Ketika kedua orang Pasingsingan itu belum juga berkata sepatah katapun, guru Lawa Ijo itu tertawa pendek, katanya, “Ha apa katamu tentang akik Kelabang Sayuta hadiah alam kepada Pasingsingan?”
Tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu menjawab,
Orang bertopeng di samping Sura Sarunggi itu berkata pula,
“Kalau keris-keris yang kau kehendaki, mengapa kau berbuat hal yang aneh-aneh? Mengapa kau akan membunuh orang-orang ini?”
“Mereka menghalangi maksudku, seperti kau,” jawab Pasingsingan.
“Kalau seseorang berusaha menemukan keris Nagasasra dan Sabuk Inten untuk diserahkan kepada yang berhak, kau berusaha untuk dirimu sendiri. Adakah kita akan berpihak padamu?” tanya Pasingsingan di samping Mantingan.
“Jangan merintangi aku!” Guru Lawa Ijo hampir berteriak,
“Atau kau akan tergilas roda perjuanganku. Mati tanpa arti?”
“Kebesaran yang akan kau dapatkan itu tak akan berarti bagiku, bagi orang-orang ini dan bagi kawula Demak. Kebesaran itu hanya akan berarti bagimu sendiri, bagi kawan-kawanmu. Nah, urungkan niatmu,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan itu.
“Persetan dengan kalian,” sahut Pasingsingan.
“Kita berhadapan sebagai lawan. Tetapi tunjukkan dahulu bahwa kau berhak bernama Pasingsingan.”
Tiba-tiba terdengar Sura Sarunggi tertawa.
“Kalian berbicara tanpa ujung dan pangkal. Tetapi aku sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa kalian sedang bersaing. Meskipun demikian aku harus mempunyai pilihan. Nah, aku berpihak pada Pasingsingan yang datang bersama aku di sini. Sebab bagiku kedua Pasingsingan yang lain tak akan berarti. Meskipun seandainya mereka mampu melepaskan aji Gelap Ngampar, aji Alas Kobar dan segala macam ciri-ciri Pasingsingan yang lain.”
“Tetapi aku akan memberimu kepuasan,” kata Pasingsingan di samping Mantingan.
“Kau ingin melihat aku melepaskan aji Gelap Ngampar?”
Kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi ia berkata,
“Kau juga ingin melihat kebenaran itu?”
Tak ada jawaban. Pasingsingan guru Lawa Ijo itu berdebar-debar.
Apakah orang-orang itu benar-benar memiliki Gelap Ngampar seperti dirinya?
Dalam kegelisahannya, ia menebak-nebak, siapakah sebenarnya kedua orang itu. Kalau mereka itu salah seorang dari Mahesa Jenar, Pandan Alas dan lain-lainnya, pasti mereka tak akan mampu melepaskan aji Gelap Ngampar.
Tetapi yang lebih gelisah lagi adalah Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri.
Kecuali mereka, Jaka Soka pun menjadi berdebar-debar. Agaknya benar-benar akan terjadi pertempuran ilmu yang dapat merontokkan isi dada mereka.
Jaka Soka akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu sebelum ia mati terhimpit dua kekuatan yang tak dapat dihindarinya. Meskipun demikian, ia harus menunggu sampai saat yang tepat baginya.
Pasingsingan di samping Mantingan itu kemudian mengangkat wajahnya. Kemudian ia memandang berkeliling. Kepada setiap orang yang berada di halaman itu. Mulai dari Mantingan dan kawan-kawannya, Wanamerta, Sendang Parapat dan para penjaga yang sudah kehilangan kesadaran mereka.
Quote:
“Hem…” desahnya,
“Kalau aku melepaskan aji Gelap Ngampar, mereka akan menjadi semakin parah.”
Tiba-tiba terdengar Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa.
“Nah, kau mencari alasan untuk mengelak?”
“Tidak… tidak,” sahut Pasingsingan itu.
“Tetapi kalau aku ingin memetik buahnya, jangan digugurkan daun-daunnya tanpa maksud.”
“Omong kosong. Apa padulimu dengan daun-daun yang tak berarti?” jawab guru Lawa Ijo.
“Kalau aku melepaskan aji Gelap Ngampar, mereka akan menjadi semakin parah.”
Tiba-tiba terdengar Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa.
“Nah, kau mencari alasan untuk mengelak?”
“Tidak… tidak,” sahut Pasingsingan itu.
“Tetapi kalau aku ingin memetik buahnya, jangan digugurkan daun-daunnya tanpa maksud.”
“Omong kosong. Apa padulimu dengan daun-daun yang tak berarti?” jawab guru Lawa Ijo.
Sekali lagi Pasingsingan di samping Mantingan itu memandang berkeliling. Agaknya ia benar-benar menjadi ragu. Tiba-tiba ia menggeram, dan kepada Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi, ia berkata,
Quote:
“Kalau kau ingin mencoba menjajarkan diri dengan kami, cobalah melawan aji Alas Kobar seperti yang aku lakukan.”
“Tidakkah kau bertanya kepadaku, apakah aku mampu melepaskan aji itu?” kata Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu.
“Akan datang saatnya nanti,” sahut guru Lawa Ijo.
Meskipun hatinya menjadi gelisah. Apakah benar kedua-duanya mampu berbuat demikian?
“Menjemukan,” sela Sura Sarunggi.
“Marilah kita bertempur, Pasingsingan,” katanya kepada Pasingsingan guru Lawa Ijo.
“Yang mana kau pilih? Menilik ketahanan mereka, kita harus melawan satu demi satu. Kecuali kalau mereka mau menyingkir.”
“Tidakkah kau bertanya kepadaku, apakah aku mampu melepaskan aji itu?” kata Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu.
“Akan datang saatnya nanti,” sahut guru Lawa Ijo.
Meskipun hatinya menjadi gelisah. Apakah benar kedua-duanya mampu berbuat demikian?
“Menjemukan,” sela Sura Sarunggi.
“Marilah kita bertempur, Pasingsingan,” katanya kepada Pasingsingan guru Lawa Ijo.
“Yang mana kau pilih? Menilik ketahanan mereka, kita harus melawan satu demi satu. Kecuali kalau mereka mau menyingkir.”
Pasingsingan belum sempat menjawab, ketika tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu tertawa. Perlahan-lahan, namun terasa betapa dahsyatnya. Gelombang demi gelombang menggeletar menggetarkan udara halaman Banyubiru itu, seolah-olah geteran yang memancar dari pusar bumi, menyebar ke seluruh penjuru. Terasa disetiap dada goncangan yang tak terkira dahsyatnya. Sehingga runtuhlah daun-daun yang tak mampu berpegangan lebih erat lagi pada dahan-dahannya.
Sura Sarunggi itu tidaklah seperti suara guru Lawa Ijo yang mengerikan. Suara itu adalah suara yang sederhana saja, seperti lazimnya orang tertawa. Lunak dan tidak mengandung kebengisan. Namun yang terasa di dada orang yang mendengarnya adalah goncangan-goncangan yang dahsyat.
Pada saat goncangan-goncangan itu menyerang dada Mantingan, berdesislah ia,
Quote:
“Aji Gelap Ngampar.”
Dan berusahalah ia menjaga dirinya. Demikian juga Rara Wilis, Wirasaba, Widuri dan Jaka Soka. Sedang orang-orang lain menjadi tak berdaya untuk berbuat sesuatu, mengatasi goncangan-goncangan di dada mereka, sehingga tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka pun mulai jatuh terkulai tak sadarkan diri.
MANTINGAN dan kawan-kawannya, bahkan Jaka Soka pun tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka mulai bergetar, dan tulang-tulang mereka seakan-akan terasa lolos dari persendian. Mereka mengeluh dalam hati. Mereka berada di medan pertempuran yang dahsyat, namun mereka tak mampu mengayunkan senjata-senjata mereka untuk turut serta di dalamnya. Mereka hanya dapat bertahan atas serangan yang dahsyat, yang jauh berada di atas kemampuan mereka. Sehingga dengan demikian mereka tidak lebih dari daun-daun kering yang berguguran di halaman itu. Meskipun demikian, terasa perbedaan pada kedua aji Gelap Ngampar yang sama-sama menggoncangkan dada mereka.
Meskipun keduanya dapat membunuhnya, namun tenaga ini tidak sekasar tenaga yang pertama. Namun, ketika dada mereka akan runtuh, dari sela-sela angin basah yang mengalir semakin kencang, menyusuplah di dalam tubuh mereka, getaran-getaran udara yang segar. Perlahan-lahan namun pasti, membebaskan mereka dari kengerian aji Gelap Ngampar itu. Dan sejalan dengan itu, suara tertawa Pasingsingan itupun terhenti pula.
Quote:
“Hem…” geramnya,
“Kau mampu melawan aji Gelap Ngampar,” katanya kepada Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi.
Orang itu masih tegak di tempatnya sambil menyilangkan kedua tangannya terlipat di dada. Sebelum orang itu menjawab, terdengar Sura Sarunggi tertawa,
“Permainan yang mengasyikkan,” katanya.
“Jangan bermain-main terlalu lama. Aku tahu bahwa kalian memiliki ilmu yang bersamaan. Pasingsingan yang datang kemudian berdua adalah seperti seperguruan. Entahlah hubungan kalian dengan Guru Lawa Ijo itu, sehingga kalian memiliki ilmu Gelap Ngampar. Meskipun terasa beberapa perbedaan, namun kalian bersumber dari mata air yang sama.”
“Kau mampu melawan aji Gelap Ngampar,” katanya kepada Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi.
Orang itu masih tegak di tempatnya sambil menyilangkan kedua tangannya terlipat di dada. Sebelum orang itu menjawab, terdengar Sura Sarunggi tertawa,
“Permainan yang mengasyikkan,” katanya.
“Jangan bermain-main terlalu lama. Aku tahu bahwa kalian memiliki ilmu yang bersamaan. Pasingsingan yang datang kemudian berdua adalah seperti seperguruan. Entahlah hubungan kalian dengan Guru Lawa Ijo itu, sehingga kalian memiliki ilmu Gelap Ngampar. Meskipun terasa beberapa perbedaan, namun kalian bersumber dari mata air yang sama.”
Pasingsingan guru Lawa Ijo itupun berdiri tegak sambil menahan marahnya. Karena itu tubuhnya tiba-tiba bergetar. Dengan suara yang berat ia berkata pula,
Quote:
“Gila. Kalian memiliki aji gelap Ngampar. Jangan berpura-pura, dan yang satu itu jangan mencoba melepaskan pula. Tetapi itu belum berarti bahwa kau bisa menamakan diri Pasingsingan.”
“Adakah aku harus melepaskan aji Alas Kobar?” tanya Pasingsingan di samping Mantingan.
“Mungkin kau mampu pula, menirukan setelah kau atau gurumu berhasil mencuri ilmu itu. Tetapi yang tak dapat kau curi adalah pusaka Pasingsingan. Apakah kau memiliki pisau yang bernama Kyai Suluh?” tanya Pasingsingan dengan pasti.
“Adakah aku harus melepaskan aji Alas Kobar?” tanya Pasingsingan di samping Mantingan.
“Mungkin kau mampu pula, menirukan setelah kau atau gurumu berhasil mencuri ilmu itu. Tetapi yang tak dapat kau curi adalah pusaka Pasingsingan. Apakah kau memiliki pisau yang bernama Kyai Suluh?” tanya Pasingsingan dengan pasti.
Tiba-tiba kembali halaman itu bergetar ketika Pasingsingan Guru Lawa Ijo itu berteriak nyaring. Seperti hantu kelaparan yang kehilangan mangsanya.
Quote:
“Gila, darimana kau dapatkan benda itu?”
Semua mata tertuju kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. Di tangannya tergenggam sebuah pisau belati panjang yang bercahaya kuning menyilaukan.
Quote:
“Inikah yang kau maksud?” katanya.
“Hem…” desis Pasingsingan di samping Mantingan.
“Kalian mau bermain-main dengan senjata.”
“Hem…” desis Pasingsingan di samping Mantingan.
“Kalian mau bermain-main dengan senjata.”
Ia tidak berkata lebih lanjut, namun iapun kemudian mencabut sebuah pisau belati yang mirip benar dengan pisau belati Pasingsingan yang lain itu.
Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi semakin marah. Darahnya serasa mendidih di dalam rongga dadanya. Karena itu tanpa disengaja, tiba-tiba tangannyapun telah menarik pusakanya. Sebuah belati panjang yang berkilau. Kni ketiga orang yang menamakan diri Pasingsingan itu masing-masing telah menggenggam senjata yang serupa. Senjata yang selama ini menjadi ciri Pasingsingan. Pusaka yang ampuh luar biasa.
Namun tiba-tiba Pasingsingan yang selama ini merasa tiada duanya, menjadi heran, marah dan bingung, ketika ada dua orang yang menamakan diri Pasingsingan, serta memiliki beberapa ciri kekhususannya Aji Gelap Ngampar serta pisau belati panjang yang kuning berkilauan. Dengan suara yang bergetar guru Lawa Ijo itu berkata,
Quote:
“Setan. Kalian dapat membuat senjata yang serupa dengan senjata ini. Tetapi ada lagi satu senjata Pasingsingan yang tak dapat dibuat oleh empu yang bagaimanapun saktinya. Senjata yang diberikan oleh alam kepadaku. Adakah kalian mempunyai akik yang berwarna merah menyala dan bernama Kelabang Sajuta?”
Untuk sesaat halaman itu menjadi hening sepi. Angin lembah semakin lama semakin kencang. Dan awan yang kelabu menjadi bertambah tebal tergantung di langit. Sekali-kali guntur bergelegar di kejauhan, memukul-mukul tebing dan pecah menggema diseluruh relung-relung pegunungan. Sinar-sinar api memancar di udara seperti Ular Gundala raksasa yang meloncat-loncat dilangit.
Menurut ceritera yang menjalar dari mulut ke mulut, di langit pada saat itu sedang terjadi pertempuran antara Ular Gundala Seta, senjata Wisnu yang sedang menyelamatkan bumi dari keangkaramurkaan, melawan Ular Gundala Wereng, senjata Kala yang sedang berusaha menghancurkan bumi karena ketamakannya.
Tetapi pada saat itu, di halaman Banyubiru itu pun sedang berhadapan dua kekuatan raksasa. Pasingsingan guru Lawa Ijo dan Sura Sarunggi di satu pihak, dan dua orang Pasingsingan di pihak lain. Mereka sedang tegak dengan tegangnya dalam pendirian masing-masing. Ketika kedua orang Pasingsingan itu belum juga berkata sepatah katapun, guru Lawa Ijo itu tertawa pendek, katanya, “Ha apa katamu tentang akik Kelabang Sayuta hadiah alam kepada Pasingsingan?”
Tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu menjawab,
Quote:
“Kalau kau dapat menunjukkan bahwa kau memiliki akik Kelabang Sayuta, akupun akan membuktikan pula bahwa sebagai Pasingsingan, aku memiliki ciri-ciri yang lengkap seperti katamu.”
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas